ANALISIS TERHADAP KONTRAK ANTARA WFP DAN YASMINA

BAB III ANALISIS TERHADAP KONTRAK ANTARA WFP DAN YASMINA

A. Substansi Kontrak yang Disepakati Kontrak antara WFP dan Yasmina merupakan pedoman pelaksanaan dari kerja sama

yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Secara umum, kontrak tersebut harus memperhatikan apa yang menjadi tujuan dari dibuatnya kontrak dan harus sesuai dengan keinginan mereka. Adapun ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para pihak adalah sebagai berikut:

1. Ruang Lingkup Kontrak Kontrak ini melingkupi pelaksanaan dari Community Development Project (CDP)

sebagaimana yang sudah disebut di atas, yang telah disetujui oleh Komite Penanggung Jawab OPSM. CDP akan dibiayai dari dana trust OPSM dan bagian dari

masyarakat/NGO (yang menyediakan Rp.30,150,000.- dari seluruh anggaran belanja) 93 .

Kontrak antara WFP dan Yasmina tersebut dibuat untuk mengatur pelaksanaan CDP. Dalam hal ini pembuatan sanitasi umum bagi masyarakat miskin di RT 04 dan RT 05-RW 04, Desa Teiuk Pinang, Ciawi, Bogor, yang telah disetujui oleh Komite Penanggung Jawab OPSM. Program tersebut akan dibiayai dari dana trust OPSM dan sebagian lagi dari masyarakat/NGO dengan jumlah sebesar Rp.30,150,000.- dari seluruh anggaran belanja.

2. Tujuan Kontrak Tujuan dari kontrak ini adalah untuk menyediakan permodalan bagi pembiayaan

pelaksanaan CDP, pelaporan dan pertanggungjawaban partner dalam pelaksanaan program ini 94 .

93 Pasal 1 Kontrak antara WFP dan Yasmina

94 Pasal 2 Kontrak antara WFP dan Yasmina

Berdasarkan ketentuan pasal ini, tujuan dibuatnya kontrak ini adalah untuk mengatur masalah permodalan bagi pembiayaan pelaksanaan CDP, pelaporan, dan pertanggungjawaban Yasmina sebagai partner WFP.

3. Jangka Waktu, Saat Dimulai dan Berakhirnya Kontrak Pelaksanaan kontrak tidak boleh melebihi waktu lima bulan dari saat pembayaran

angsuran pertama. Ini akan dilaksanakan mulai dari tanggal 1 FebrUNCITRAL Arbitration Rules i 2005 sampai dengan 30 Juni 2005 kecuali jika ditentukan lain oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan. Kontrak ini dapat diakhiri oleh kedua belah pihak

30 hari setelah adanya pemberitahuan tertulis 95 .

Berdasarkan ketentuan pasal ini, pembangunan sanitasi umum tersebut tidak dapat melebihi waktu lima bulan dari saat pemberian angsuran pertama, yang akan dilaksanakan mulai dari tanggal 1 Februari 2005 sampai dengan 30 Juni 2005, kecuali jika ditentukan lain oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan. Selain itu, ketentuan pasal ini juga menyebutkan bahwa kontrak ini dapat diakhiri oleh kedua belah pihak, yaitu 30 hari setelah adanya pemberitahuan tertulis.

4. Penerima Penerima adalah masyarakat miskin di RT04 dan RT05 -RW04, Desa Teluk

Pinang, Ciawi, Bogor 96 . Berdasarkan ketentuan pasal ini, pembangunan sanitasi umum tersebut ditujukan bagi masyarakat miskin di RT04 dan RT05 -RW04, Desa Teluk

Pinang, Ciawi, Bogor, yang merupakan target sasaran CDP.

5. Persetujuan Permodalan 97

(1) Partner mengajukan proposal pembiayaan untuk CDP. (2) WFP telah menilai proposal tersebut dan melakukan evaluasi awal di wilayah tempat

masyarakat tersebut tinggal pada bulan Juli 2004.

95 Pasal 3 Kontrak antara WFP dan Yasmina 96 Pasal 4 Kontrak antara WFP dan Yasmina 97 Pasal 5 Kontrak antara WFP dan Yasmina

(3) Komite Pekerja, yang terdiri dari WFP dan Bappenas, telah meninjau proposal, berdasarkan penilaian WFP. Proposal tersebut sudah diserahkan oleh WFP Country Director untuk Ketua Komite Penanggung Jawab OPSM untuk pemberian bantuan dana.

Ketentuan Pasal 5 di atas mengatur masalah mekanisme persetujuan pertnodalan. Dalam hal ini Yasmina harus mengajukan proposal pembiayaan CDP kepada Komite Pekerja (yang terdiri dari WFP dan Bappenas). Selanjutnya, proposal tersebut dinilai berdasarkan hasil evaluasi WFP pada bulan Juli 2004 di RT04 dan RT05 - RW04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor, yang merupakan lokasi pelaksanaan proyek. Setelah disetujui, proposal tersebut diserahkan oleh Country Director WFP kepada Ketua Komite Penanggung Jawab OPSM untuk mendapatkan pembiayaan peiaksanaan proyek.

6. Kewajiban Partner 98

Selama berlangsungnya kontrak ini dan sesuai dengan proposal CDP yang telah disetujui, partner diwajibkan untuk :

(1) melaksanakan CDP sesuai dengan jangka waktu dan ruang lingkup yang telah disepakati. 50% dari hasil CDP harus memberikan manfaat dan dikelola oleh wanita;

(2) dalam dua minggu setelah proyek disetujui, harus menyerahkan laporan penggunaan anggaran secara terperinci;

(3) dalam 30 hari setelah proyek disetujui, harus dibentuk Komite CDP, yang terdiri dari perwakilan masyarakat dan partner untuk mengawasi pelaksanaan proyek. Komite ini harus terdiri dari 50% wanita;

(4) harus berkonsultasi secara teratur dengan Komite CDP untuk mengetahui kemajuan dalam pelaksanaan pembangunan dan masalah yang ditemukan di lapangan;

(5) menjamin kepemilikan dari fasilitas tersebut (sesuai dengan Provision of Public Sanitation facilities for Poor People in RT04 and RT05 - RW04, Village of Teluk Pinang, Ciawi Sub-district, Bogor District). Dalam hal ini adalah masyarakat RT04

98 Yang dimaksud dengan Partner dalam kontrak ini adalah Yasmina.

dan RT05 - RW04 Desa Teluk Pinang yang telah diketahui tidak mempunyai struktur sanitasi umum yang pantas. Masyarakat bersangkutan akan bertanggung jawab dalam merawat dan memelihara fasilitas tersebut. Pemindahan kepemilikan 99

akan dilakukan secara tertulis kepada Komite CDP. (6) menjamin pemeliharaan dari Fasilitas Sanitasi Umum untuk Masyarakat Miskin di

RT04 dan RT05 - RW04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor oleh anggota masyarakat (sebagian besar wanita).

(7) memantau kemajuan proyek secara berkala; (8) laporan keuangan dilakukan tiap bulan, sebelum diturunkan angsuran baru dan tiga

bulan setelah proyek selesai; laporan narasi sebelum diturunkan angsuran baru , dan tiga bulan setelah proyek selesai yang berisi kemajuan dari pelaksanaan proyek sejak saat dimulai hingga selesai (lihat Annex III);

(9) melengkapi semua dokumen keuangan dalam setiap transaksi keuangan; (10) memberikan akses kepada WFP dan Pemerintah Indonesia atau pihak yang

ditunjuknya untuk datang ke tempat lokasi, penentuan bahan-bahan dan laporan setiap saat;

(11) jika terdapat masalah teknis harus meminta petunjuk bantuan teknis pada WFP/Pemerintah Indonesia untuk semua persoalan proyek; mengenai ketidakteraturan, masalah-masalah yang menjadi perhatian WFP, dan lain-lain;

(12) menyimpan data masuk dan keluarnya dana berkenaan dengan proyek; (13) sumber-sumber yang dialokasikan harus digunakan secara optimal; (14) dana yang tidak digunakan dikirimkan kepada rekening trust OPSM dalam waktu 30

hari setelah berakhirnya proyek WFP Trust Fund Prj. 10069 (IDR) No. Rekening 0-

99 Pembangunan sanitasi umum tersebut dibangun di atas tanah salah satu anggota masyarakat yang dengan sukarela menghibahkan tanahnya demi kepentingan umum tersebut. Dengan demikian. kepemilikan tanah tersebut beralih

dari penghibah kepada masyarakat RT04 dan RT05 - RW04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor.

104727-093 Citibank, NA, Citibank Tower, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 54-55, Jakarta 12910, Indonesia

(15) masyarakat atau NGO memberikan kontribusi sebesar Rp.30,150,000.- dari seluruh anggaran belanja;

(16) tanggung jawab penuh terhadap tindakan dan kelalaian dari para anggotanya. Anggota dari partner bukan sebagai anggota staf atau pekerja dari PBB dan bagian- bagiannya. WFP tidak menanggung segala biaya apabila terjadi sakit, ketidakmampuan, kematian atau efek dari bahaya yang mungkin diderita oleh para pekerja partner, apakah berhubungan dengan proyek atau tidak, atau kehilangan atau kerusakan barang-barang kepunyaan partner, mitiknya pribadi atau pihak ketiga;

(17) member) informasi kepada penerima dan masyarakat umum bahwa sumber pembiayaan proyek diberikan WFP dan Pemerintah Indonesia;

(18) pertanggungjawaban teknis 100 untuk semua aktivitas dalam proyek CDP. Dalam pelaksanaan proyek, partner harus mengikuti semua aktivitas yang tertulis secara

detail dalam proposal, bahkan juga harus mengikuti prosedur standar dan teknis umum. Beton, konstruksi bahan mentah, proses perawatan yang mengikuti standar teknis harus tersedia dan tepat guna;

(19) menerapkan manajemen terbuka dalam seluruh pelaksanaan proyek. Berkenaan dengan koordinasi, logistik, program kerja, proses teknis, laporan, penyediaan barang, kapasitas teknis para pekerja partner yang harus sesuai dengan spesifikasi proyek CDP (Pasal 6 Kontrak antara WFP dan Yasmina).

Ketentuan Pasal 6 mengatur mengenai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan Yasmina sebagai partner WFP dalam pelaksanaan proyek pembuatan sanitasi umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1), Yasmina harus melaksanakan CDP sesuai dengan apa yang tercantum di dalam kontrak. Pasal ini juga mengharuskan agar CDP memberikan manfaat serta dikelola oleh 50 % wanita. Diutamakannya wanita

Pertanggungjawaban teknis adalah tanggung jawab yang berkaitan langsung dengan proses pernbangunan sanitasi umum, misalnya saja mengenai masalah konstruksi bangunan.

sebagai penerima manfaat dan pengelola, karena sudah rnerupakan misi bagi Yasmina dan WFP untuk memberdayakan wanita menjadi sumber daya manusia (SDM) yang bermakna bagi diri, keluarga dan masyarakat. Selain itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban Yasmina atas bantuan dana yang diberikan WFP, pihak tersebut diharuskan untuk:

a. memberikan laporan mengenai penggunaan anggaran secara terperinci dalam waktu dua minggu setelah proposal proyek disetujui (Pasal 6 ayat (2));

b. memberikan laporan keuangan setiap bulan, sebelum diturunkan angsuran baru dan tiga bulan setelah proyek selesai (Pasal 6 ayat (8));

c. memberikan laporan narasi, untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan proyek dari saat dimulainya hingga selesai, yang diserahkan sebelum diturunkan angsuran baru dan tiga bulan setelah proyek terselesaikan (Pasal 6 ayat (8));

d. melengkapi semua dokumen keuangan dalam setiap transaksi keuangan (Pasal

6 ayat (9);

e. menyimpan data masuk dan keluarnya dana berkenaan dengan pelaksanaan proyek (Pasal 6 ayat (12)); Bentuk pelaporan yang disebutkan di atas, dimaksudkan agar Yasmina dapat memastikan bahwa sumber keuangan dikelola dengan layak, dan ada kontrol yang memadai atas sumber keuangan tersebut untuk menjaganya dari kemungkinan salah penggunaan.

Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (13), sumber daya program dan keuangan yang dialokasikan harus digunakan secara optimal. Dana yang tidak digunakan harus dikirimkan kepada rekening trust OPSM dalam waktu 30 hari setelah berakhirnya proyek (Pasal 6 ayat (14)).

Selanjutnya, sebagai bentuk pengawasan dalam pelaksanaan proyek, Yasmina diharuskan untuk :

a. memantau kemajuan proyek secara berkala (Pasal 6 ayat (7));

b. membentuk Komite CDP, yang berasal dari perwakilan masyarakat dan pihak

Yasmina, yang terdiri dari 50% wanita (Pasal 6 ayat (3)). Komite CDP tersebut akan memberikan bantuan konsultasi kepada Yasmina untuk mengetahui kemajuan dalam pelaksanaan proyek dan penanganan masalah-masalah yang ditemukan di lapangan (Pasal 6 ayat(4));

c. memberikan kewenangan adanya campur tangan dari WFP dan Pemerintah Indonesia untuk turut memberikan pengawasan pelaksanaan proyek (Pasal 6 ayat (10)). Dalam hal ini, pihak WFP dan Pemerintah Indonesia akan membantu dalam memberikan petunjuk teknis untuk semua permasalahan proyek, konsultasi dan hal-hal lain yang dibutukan (Pasal 6 ayat (11)).

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (5), Yasmina harus menjamin kepemilikan dari fasilitas sanitasi umum adalah milik masyarakat di RT04 dan RT05-RW04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor. Fasilitas tersebut harus dirawat dan dipelihara oleh masyarakat bersangkutan dengan sebagian besar dilakukan oleh wanita (Pasal 6 ayat (6)).

Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (16), anggota Yasmina yang terlibat dalam pelaksanaan proyek bukan merupakan bagian dari staf atau pekerja PBB. Oleh karena itu, WFP tidak bertanggung jawab apabila terjadi hal-hal yang menimpa anggota Yasmina baik yang berhubungan atau tidak berhubungan dengan pelaksanaan proyek. Dengan demikian, Yasmtna harus bertanggung jawab penuh terhadap semua tindakan dan kelalalaian dari para anggotanya. Selain itu, bentuk pertanggungjawaban Yasmina lainnya adalah memberikan pertanggungjawaban teknis untuk semua kegiatan dalam CDP, yaitu:

a. melaksanakan semua kegiatan yang secara detail tertulis dalam proposal dan sesuai dengan prosedur standar dan teknis umum (Pasal 6 ayat (18));

b. menerapkan manajemen terbuka 101 dalam seluruh pelaksanaan proyek, yang berkenaan dengan koordinasi, logistik, program kerja, proses teknis, laporan,

101 Manajemen terbuka berarti Yasmina harus menerapkan pengelolaan yang transparan dalam seluruh pelaksanaan proyek yang meliputi koordinasi, logistik, program kerja, proses teknis, laporan, penyediaan barang dan kapasitas

teknis para pekerja Yasmina, sehlngga setiap pihak dapat mengetahui tanggung jawabnya masing-masing dan diketahui oleh masing-masing pihak lainnya.

penyediaan barang, dan kapasitas teknis para pekerja Yasmina (Pasal 6 ayat(19)). Bahkan, Yasmina pun juga harus mengusahakan dana sebesar Rp Rp.30,150,000.-

dari total anggaran belanja untuk membiayai pembangunan sanitasi umum tersebut (Pasal 15). Selanjutnya, berdasarkan Pasal 6 ayat (17), Yasmina harus memberikan informasi kepada masyarakat penerima bahwa pembuatan sanitasi umum tersebut didanai oleh WFP dan Pemerintah Indonesia.

7. Kewajiban WFP Selama berlakunya Kontrak ini, WFP diharuskan untuk : (1) menyediakan dana sebesar Rp.149,296,000.- dalam tiga angsuran Tahap I:

Rp.44,789,000.- , Tahap II: Rp.89,578,000.- dan Tahap III: Rp.14,929,000.- untuk kemajuan pelaksanaan proyek sesuai dengan proposal CDP dan/atau persetujuan bersama;

(2) menunjuk staf WFP untuk memberikan saran teknis dan pelatihan, seperlunya, dalam semua aspek dari perancangan proyek, pelaksanaan, pengoperasian dan manajemen keuangan dan laporan. Bila WFP menganggap bahwa partner tidak bekerja secara memuaskan dalam pelaksanaan proyek dan/atau dalam penggunaan dana, WFP mempunyai kewenangan untuk menghentikan partner dan menuntut pengembalian dana proyek yang belum digunakan;

(3) Pemerintah Indonesia harus terus diinformasikan mengenai kemajuan dan hasil dari proyek (Pasal 7 Kontrak antara WFP dan Yasmina). Ketentuan Pasal 7 ini mengatur mengenai kewajiban WFP sebagai pihak yang menyalurkan bantuan dana bagi pelaksanaan CDP kepada Yasmina, yaitu :

e. menyalurkan dana sebesar Rp. 149,296,000 dalam tiga kali angsuran, yaitu pada tahap I : Rp.44,789,000,- , tahap II : 89,578,000,-, tahap III: Rp.14,929,000,- (Pasal 7 ayat (1));

f. menyediakan staf yang memenuhi syarat untuk memberikan petunjuk dan pelatihan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan proyek. Bahkan,

WFP dapat menghentikan kerja sama dengan Yasmina dan menuntut pengembalian dana proyek yang belum digunakan, apabila Yasmina tidak bekerja secara memuaskan dalam pelaksanaan proyek dan/atau penggunaan dana (Pasal 7 ayat (2)). Kewenangan tersebut diberikan agar Yasmina sebagai partner WFP, yang diamanatkan untuk mengemban pelaksanaan CDP, menggunakan dana sesuai dengan aktivitas yang telah disetujui dalam kerangka kerja;

g. memberikan laporan mengenai pelaksanaan program kepada Pemerintah Indonesia (Pasal 7 ayat (3)). Adanya kewajiban tersebut, karena pelaksanaan CDP tidak hanya merupakan bentuk kerja sama antara WFP dan Yasmina. Akan tetapi juga melibatkan Pemerintah Indonesia sebagai pihak yang menandatangani Letter of Understanding dengan WFP dalam Operasi Perpanjangan Bantuan dan Pemulihan untuk internally displaced persons ( IDPs) dan Masyarakat Miskin dengan menggunakan dana Operasi Pasar Swadaya Masyarakat (OPSM).

8. Ketentuan Umum (1) WFP akan mengatur sumber dana berdasarkan regulasi dan peraturan keuangan,

petunjuk administratif dan petunjuk lain yang dapat digunakan. WFP akan membiayai hal-hal yang sudah ditentukan dalam perjanjian ini. Semua dokumen keuangan akan dikelola dan dilaporkan sampai selesainya proyek CDP.

(2) pemeriksaan dilakukan terhadap dana yang digunakan untuk CDP, sesuai dengan prosedur pemeriksaan, yang telah ditetapkan dalam regulasi, peraturan dan petunjuk WFP. Partner setuju untuk memberikan akses untuk semua laporan, dokumen- dokumen dan rekening bank atau semua detail lainnya, yang diperintahkan oleh auditor.

(3) Jika selama pelaksanaan kontrak terdapat bagian-bagian yang perlu direvisi, maka

revisi akan dibuat dengan persetujuan tertulis para pihak dalam kontrak. (4) pelaksanaan CDP akan dipandu oleh petunjuk-petunjuk, yang dilampirkan dalam

Annex I. Petunjuk tersebut dapat diperbaharui oleh WFP dan Pemerintah Indonesia. Setiap ada pembaharuan akan diinformasikan kepada partner.

(5) Jika partner tidak menggunakan dana sesuai dengan proposal proyek yang telah disetujui setelah dua kali peringatan, WFP dan GOI dapat mengambil langkah hukum melalui pihak yang berwenang. Partner harus mematuhi setiap keputusan hukum yang dihasilkan (Pasal 8 Kontrak antara WFP dan Yasmina)

Ketentuan Pasal 8 mengatur mengenai ketentuan umum yang meliputi:

a. Akuntansi (accounting) Akuntasi meliputi pengelolaan dan penggunaan dana yang akan diatur

berdasarkan peraturan keuangan, petunjuk administratif dan petunjuk lain yang dapat digunakan.

b. Pemeriksaan (auditing) Sebagai bagian dari tanggung jawabnya, maka WFP akan melakukan

pemeriksaan terhadap dana yang digunakan untuk CDP melalui kunjungan lapangan, pertemuan rutin, audit lingkup terbatas, pengecekan dokumentasi yang mendukung atau cara lainnya.

c. Revisi Selama pelaksanaan program dimungkinkan terjadi perubahan dan modifikasi

terhadap kontrak ini yang dapat dibuat sesuai dengan kesepakatan bersama secara tertulis.

d. Pelaksanaan petunjuk (implementation of guidelines/metodology) Pelaksanaan CDP ini akan dipandu oleh petunjuk-petunjuk yang dilampirkan

dalam Annex I. WFP dan GOI mempunyai kewenangan untuk memperbaharui setiap petunjuk tersebut dan akan selalu diinformasikan kepada Yasmina.

e. Proses hukum (legal proceedings) Proses hukum dapat dilakukan, apabila telah dilakukan dua kali peringatan

dalam hal Yasmina tidak menggunakan dana sesuai dengan proposal proyek yang dalam hal Yasmina tidak menggunakan dana sesuai dengan proposal proyek yang

9. Kejadian Tak Terduga (force majeure) Jika sewaktu-waktu selama berlakunya kontrak ini, setiap pihak menjadi tidak

mungkin untuk melaksanakan kewajibannya dengan alasan force majeure, maka pihak tersebut harus memberitahukan secara tertulis tentang adanya force majeure tersebut, selanjutnya pihak lainnya memberikan pemberitahuan yang membebastugaskan dari

kewajiban selama force majeure berlangsung 102 .

Klausula force majeure ini dimaksudkan sebagai langkah untuk melakukan antisipasi yang ditempuh para pihak yang membuat perjanjian, terhadap kejadian yang mungkin timbul di kemudian hari dan berakibat langsung terhadap pelaksanaan perjanjian. Oleh karena itu, klausula tersebut dicantumkan guna melindungi para pihak apabila bagian dari kontrak atau kewajiban yang disebut prestasi, tidak bisa dipenuhi karena sebab-sebab yang berada di luar kekuasaan para pihak (act of God) dan tidak bisa dihindarkan dengan melakukan tindakan yang sepantasnya. Dalam ketentuan Pasal 9 disebutkan bahwa salah satu pihak diharuskan membuat pemberitahuan tertulis tentang adanya force majeure yang menghambatnya untuk melakukan kewajiban, dan pihak lainnya memberikan pemberitahuan yang membebastugaskan dari kewajiban selama force majeure berlangsung.

10. Klausula Arbitrase 103

Apabila timbul sengketa atas Kontrak ini, maka akan diselesaikan dengan cara musyawarah, tetapi apabila tidak bisa maka akan diselesaikan melalui arbitrase dengan menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules. Para pihak diminta untuk menunjuk arbiternya masing-masing, yang kemudian apabila salah satu pihak belum juga menunjuk arbiternya paling lama setelah 14 hari sejak pihak lain menunjuk arbiternya, maka arbiter

102 Pasal 9 Kontrak antara WFP dan Yasmina. 103 Klausula arbitrase merupakan dasar hukum bagi kewenangan forum arbitrase guna menerima dan menyelesaikan

sengketa. Dengan adanya klausula arbitrase ini, maka meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke forun Pengadilan Negeri. Lihat Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hlm. 43-51.

tersebut akan menjadi arbiter tunggal yang keputusannya mengikat kedua belah pihak. 104

Ketentuan Pasal 10 mengatur mengenai penyelesaian sengketa. Menurut pasal ini, manakala terjadi sengketa, pertama-tama akan diselesaikan dengan cara musyawarah. Hal ini sangat wajar untuk ditempatkan sebagai suatu penyelesaian yang didahulukan, mengingat kontrak ini dibuat dalam suatu keadaan atau kondisi dengan masing-masing pihak dalam keadaan puas, yang diakhiri dengan penandatanganan kontrak. Selain itu, pasal ini juga menyebutkan apabila dengan cara musyawarah tidak mendatangkan penyelesaian, maka akan diselesaikan melalui arbitrase dengan menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules. Pencantuman klausula arbitrase dalam kontrak ini dimaksudkan bahwa para pihak telah menentukan atau memilih arbitrase dan proses penyelesaian yang akan digunakan apabila ternyata timbul sengketa di kemudian hari.

11. Klausula Kekebalan 105

(1) Dalam perjanjian ini tidak ada yang menyatakan melepaskan tuntutan oleh WFP, sebagai bagian dari PBB atas setiap hak istimewa atau kekebalan yang dinikmati mereka atau penundukan terhadap yurisdiksi pengadilan pada suatu negara terhadap semua persengketaan yang timbul dalam perjanjian.

(2) Baik WFP maupun partner pelaksana memikul setiap tanggung kerugian,

kehilangan atau hutang yang timbul dari aktivitas di bawah perjanjian ini 106 .

Berdasarkan ketentuan Pasal 11, dengan berlangsungnya kontrak, WFP tidak kebal atas yurisdiksi pengadilan pada suatu negara terhadap semua persengketaan yang timbul dalam perjanjian. Selain itu, baik WFP maupun partner memikul setiap tanggung

104 Pasal 10 Kontrak antara WFP dan Yasmina

105 Tidak semua pihak dapat digugat di hadapan hakim perdata dari suatu Negara. Adapun pihak-pihak yang mempunyai kekebalan (immunity) adalah Negara yang berdaulat, orang-orang yang berstatus diplomatik, duta-duta

dan anggota stafhya serta keluarga mereka. Lihat Sudargo Gautama, op. cit, ...Buku ke-8, hlm. 237-239. Lihat juga Pasal 105 ayat (2) Piagam PBB, bahwa "wakil-wakil anggota PBB dan pejabat-pejabat Organisasi ini memperoleh hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan yang sama yang diperlukan untuk melaksanakan secara bebas tugas- tugasnya yang bertalian dengan Organisasi ini". Oleh karena itu, dengan adanya klausula kekebalan dalam kontrak antara WFF dan Yasmina, menunjukkan bahwa staf WFP menyatakan tunduk di bawah kompetensi pengadilan dalam suatu negara. Oleh karena itu, staf WFP tidak kebal atas yurisdiksi pengadilan dalam suatu negara terhadap semua persengketaan yang timbul dalam kontrak.

106 Pasal 11 Kontrak antara WFP dan Yasmina.

jawab terhadap setiap tuntutan terhadap kerusakan, kematian, kerugian, kehilangan atau hutang yang timbul dari aktivitas di bawah perjanjian ini.

B. Klausula dalam Kontrak yang Mengandung Unsur-Unsur Asing Kontrak antara WFP dan Yasmina dikategorikan sebagai kontrak yang mengandung

unsur-unsur asing. Adapun unsur-unsur asing yang terdapat pada kontrak tersebut diantaranya adalah :

1. Para pihak (subjek) dalam kontrak Para pihak dalam kontrak ini adalah Yasmina dan WFP. Yasmina adalah

organisasi non-pemerintah, non-profit, non organisasi politik, dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dengan demikian status hukum Yasmina adalah badan hukum Indonesia.

Adapun WFP merupakan salah satu badan PBB yang bergerak dalam bidang pemberian bantuan pangan yang bermarkas besar di Roma, Italia dan memiliki beberapa kantor perwakilan, yang salah satunya di Jakarta, Indonesia.

2. Tempat dibuatnya kontrak Kontrak ini ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 18 Januari 2005 di

Indonesia. Dalam hal ini pihak WFP diwakili oleh Mohamed Saleheen sebagai Country Director dan pihak Yasmina diwakili oleh Iim Nurochimah sebagai Ketua Yasmina.

3. Tempat dilaksanakannya kontrak Kontrak antara WFP dan Yasmina ini adalah mengenai pembuatan sanitasi umum

yang dilaksanakan di RT 04 dan RT 05 - RW 04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor, Indonesia, sedangkan pemberian dana oleh WFP dilakukan melalui transfer antar bank di Indonesia, yaitu dari Citibank (Jakarta) ke Bank Syariah Mandiri (cabang Bogor).

4. Bahasa Kontrak berisi beberapa hal yang berkekuatan mengikat, seperti perintah,

keharusan, larangan, janji, kebolehan dan batas-batasnya. Batas-batas tersebut dibuat dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya, yang harus dibuat setepat mungkin, sedemikian rupa sehingga tidak bisa ditafsirkan ke kiri atau ke kanan, serta tidak menimbulkan ambiguitas atau keraguan akan maksudnya. Adapun bahasa yang dipergunakan dalam kontrak ini adalah Bahasa Inggris.

C. Forum yang Berwenang Menyelesaikan Perselisihan yang Mungkin Timbul dalam Kontrak antara WFP dan Yasmina adalah Arbitrase

Dalam pelaksanaan suatu kontrak kerja sama internasional ada kemungkinan berakhir dengan perselisihan hukum antara para pihak yang terkait di dalamnya. Oleh karena itu, pada umumnya dalam setiap kontrak dicantumkan klausula yang mengatur bagaimana sengketa yang terjadi di antara mereka itu akan diselesaikan.

Cara penyelesaian sengketa yang dicantumkan para pihak dalam kontrak beraneka ragam. Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Pada perkembangannya dalam praktik ditemui suatu kontrak yang mencantumkan penyelesaian sengketa pada suatu badan arbitrase.

Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak dimaksudkan untuk menunjukkan forum atau lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa yang timbul. Oleh karena itu, untuk menentukan berwenang tidaknya suatu forum atau lembaga dalam mengadili suatu perkara dapat dilakukan dengan meneliti klausula pilihan forum yang terdapat dalam kontrak yang bersangkutan.

Apabila dalam suatu kontrak terdapat klausula pilihan forum yang menunjuk pada suatu badan arbitrase, maka badan arbitrase tersebut memiSiki kompetensi absolut 107 untuk

Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan. Wewenang mutlak menjawab pertanyaan : badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa ini. Lihat Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan. Wewenang mutlak menjawab pertanyaan : badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa ini. Lihat Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar

menyelesaikan dan memutus sengketa tercantum dalam Pasal II ayat (3) Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri yang berbunyi:

"The court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this Article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that

the said agreements is null and void, in operative or in capable of being performed 108 .

Ketentuan diatas mempunyai pengertian bahwa apabila perjanjian arbitrase telah dibuat, maka pengadilan harus menolak dan tidak campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali perjanjian arbitrase tersebut dibatalkan atau batal demi hukum. Hal ini sejalan dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa "Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase".

Dengan adanya klausula arbitrase dalam suatu kontrak, meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa kepada Pengadilan Negeri. Dalam hal ini Pengadilan Negeri harus menolak dan tidak akan ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Bilamana sengketa itu tetap diajukan kepada Pengadilan Negeri, hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang.

Mahkamah Agung Republik Indonesia sudah mengakui hal tersebut. Dalam berbagai perkara yang telah diputuskan, dapat dilihat bahwa pengadilan di Indonesia menghormati adanya klausula arbitrase. Sebagai contoh adalah putusan Mahkamah Agung No. 2924K/Sip/1981 tentang Ahyu Forestry Company Limited melawan Sutomo, Direktur Utama PT Balapan Jaya. Dalam tingkat Pengadilan Negeri dan Pengaditan Tinggi, pihak PT

Maju, Bandung, 1997,hlm.11.

108 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hlm. 118.

Balapan Jaya telah memenangkan perkaranya dan klausula arbitrase tidak dihiraukan. Namun pada tingkat terakhir oleh Mahkamah Agung telah dinyatakan sebaliknya, bahwa dengan adanya klausuia arbitrase, maka pengadilan harus menyatakan diri tidak berwenang untuk memeriksa lebih lanjut perkara tersebut 109 .

Demikian halnya dengan kontrak antara WFP dan Yasmina. Pasal 10 kontrak tersebut mengatur cara penyelesaian sengketa sebagai berikut:

Any dispute arising from this Contract which is not settled by amicable discussion between parties shall be referred, upon agreement by the parties, to a single arbitrator or, in default of agreement, to two arbitrators to be appointed in accordance with the arbitration rules of The United nations Commission on International Trade Law. If one party fails to appoint an arbitrator for 14 (fourteen) clear days after the other party, having appointed its arbitrator, has served the party making default with notice to make appointment, the party who has appointed an arbitrator may appoint that arbitrator to act as sole arbitrator in reference and his/her decision shall be binding an both parties as if he/she has been appointed by consent.

109 Sudargo Gautama, Aneka Hukum Arbitrase (ke arah hukum arbitrase Indonesia yang barn), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 15-16.

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 tersebut, manakala terjadi sengketa antara WFP dan Yasmina, pertama-tama akan diselesaikan dengan cara musyawarah. Cara musyawarah ini dinilai efektif karena sifatnya yang sederhana, informal dan langsung. Dalam hal ini para pihak yang bersengketa mengadakan suatu perundingan untuk mencari penyelesaian sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Oleh karena itu, cara tersebut selaiu dijadikan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan sengketa.

Segi positif dari musyawarah ini adalah sebagai berikut : 110

1. Para pihak sendiri yang melakukan perundingan (musyawarah) secara langsung dengan pihak lainnya;

2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana penyelesaian secara musyawarah ini dilakukan menurut kesepakatan mereka;

3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya;

4. Musyawarah menghindari perhatian dan tekanan publik;

5. Dalam musyawarah, para pihak berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang menang dan kalah, tetapi diupayakan kedua belah pihak menang.

Dalam praktik, penyelesaian sengketa dengan cara musyawarah menemukan kesulitan manakala para pihak bersikeras dengan pendiriannya, sehingga sengketa yang timbul tidak dapat terpecahkan,bahkan mungkin semakin meruncing. Selain itu, tertutupnya keikutsertaan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa, mengakibatkan musyawarah tidak akan berjalan seimbang karena adanya salah satu pihak yang mempunyai posisi yang lebih lemah.

Untuk mengantisipasi ketemahan yang ada pada penyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah, maka dalam kalimat terakhir Pasal 10 Kontrak antara WPF dan Yasmina disebutkan pula bahwa sengketa akan diselesaikan meialui arbitrase dengan menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules .

Menurut Sudargo Gautama, karena UNCITRAL tidak mendirikan lembaga arbitrase,

110 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Intemasional, Sinar Grafika, Bandung, 2004, hlm. 27.

maka para pihak dapat mengadakan suatu arbitrase ad hoc (arbitrase volunteer), yaitu arbitrase yang tidak diselengarakan oleh suatu atau melalui suatu lembaga arbitrase tertentu (institutional arbitration). Arbitrase pertama bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan. Dalam hal ini arbitrase ad hoc tersebut akan menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules sebagai hukum acara dalam menyelesaikan sengketa 111 .

Berkaitan dengan hal di atas, masih terdapat suatu pertanyaan mengenai dimanakah arbitrase ad hoc tersebut dapat diselenggarakan. Dalam hal ini mengacu pada ketentuan Pasal

16 ayat (1) dan (2) UNCITRAL Arbitration Rules yang mengatur tentang tempat arbitrase sebagai berikut:

1. Kecuali para pihak menentukan lain, panitia arbitrase akan menetapkan tempat arbitrase dengan memperhatikan segala keadaan sekitar arbitrase ini 112 .

2. Panitia arbitrase dapat menetapkan tempat arbitrase di dalam wilayah negara yang sudah disepakati oleh para pihak. Panitia arbitrase dapat mendengar keterangan saksi dan mengadakan pertemuan untuk berkonsultasi antara sesama anggota dimanapun yang dianggap pantas dengan mempertimbangkan segala keadaan sekitar arbitrase ini 113 .

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan (2) UNCITRAL Arbitration Rules, maka pada prinsipnya arbitrase ad hoc tersebut dilakukan di tempat yang telah dimufakati para pihak. Misalnya saja WFP dan Yasmina sepakat untuk menyelenggarakan arbitrase ad hoc tersebut di Indonesia. Namun, apabila WFP dan Yasmina tidak mengadakan pilihan mengenai tempat penyelenggaraannya, maka panitia arbitrase yang akan menentukan tempat itu dan dalam hal ini maka akan diperhatikan segala keadaan sekitar arbitrase ini (circumstances of the arbitration).

111 Sudargo Gautama, op.cit, Arbitrase Dagang Intemasional, Alumni, hlm. 19.

112 Article 16 Paragraph 1 UAR : Unless the parties have agreed upon the place where the arbitration is to be held, such place shall be determined by the arbitral tribunal, having regard to the circumstances of the arbitration .

113 Article 16 Paragraph 2 UAR : The arbitral tribunal may determine the locale of the arbitration within the country agreed upon the parties. It may hear witnesses and hold meetings for consultation among its members at

any place it deems appropriate, having regard to the circumstances of the arbitration.

Hal-hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan panitia arbitrase tersebut adalah segala situasi dan kondisi dari persoalan yang ersangkutan, termasuk juga persoalan yang praktis bagi para pihak, yaitu kepraktisan dalam hal pengumpulan bukti dan pemeriksaan saksi-saksi. Dalam hal ini panitia arbitrase akan memperhatikan tempat dimana kontrak dilaksanakan dan tempat dimana para pihak mempunyai tempat usaha mereka sehari-hari. Pembuatan sanitasi umum tersebut dilaksanakan di RT 04 dan RT 05-RW 04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor. Bahkan, Yasmina menjalankan kegiatan usahanya di Bogor, Indonesia, dan WFP pun mempunyai kantor perwakilan di Jakarta, Indonesia. Oleh karena itu, lebih wajar untuk memilih tempat arbitrase di Indonesia daripada negara lain mengingat lebih mudahnya memperoleh pembuktian dan pemeriksaan saksi-saksi di tempat ini.

Dalam hal arbitrase ad hoc tersebut diselenggarakan di suatu tempat yang mempunyai hukum acara mengenai prosedur arbitrase, dan di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa, maka hukum acara dari negara bersangkutan-lah yang akan berlaku jika bertentangan dengan UNCITRAL Arbitration Rules. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) UNCITRAL Arbitration Rules, yang berbunyi sebagai berikut:

Article 1 paragraph 2 (Scope of Application) These Rules shall govern the arbitration except that where any of these Rules is in conflict with a provision of the law applicable to the arbitration from which the parties cannot derogate, that provision shall prevail.

Selain itu, WFP dan Yasmina pun dapat memilih salah satu lembaga arbitrase (arbitral institution) yang ada untuk membantu mereka alam menyelenggarakan arbitrase

bersangkutan. 114 Misalnya saja dengan meminta bantuan pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Dalam hal ini lembaga arbitrase tersebut akan memakai UNCITRAL

Arbitration Rules dan tidak memakai kaidah-kaidahnya sendiri. Dengan demikian maka arbitrase yang dilakukan itu akan merupakan suatu ad hoc arbitration yang diatur oleh lembaga-lembaga arbitrase yang sudah ada (administered ad hoc arbitration). 115

Menurut R. Subekti, pada waktu menyusun prosedur arbitrase BANI telah dipakai

114 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Intemasional, op cit. hlm. 109. 115 Ibid .

pula berbagai bagian dari pada UNCITRAL Arbitration Rules. 116 Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam BANI telah mengadopsi UNCITRAL Arbitration

Rules . Oleh karena itu, tidak akan terjadi pertentangan antara prosedur yang diatur dalam BANI dan UNCITRAL Arbitration Rules.

Dipilihnya penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase yang akan menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules, didasarkan pada pertimbangan bahwa pilihan forum atau lembaga tersebut lebih menguntungkan kedua belah pihak, antara lain berkenaan dengan sifat arbitrase yang privat dan tertutup. 117

Menurut penulis, sifat rahasia arbitrase dapat melindungi WFP dan Yasmina akibat penyingkapan informasi kepada umum. Dengan demikian, baik WFP maupun Yasmina akan terlindung dari publisitas yang merugikan dan akibat-akibat lainnya, seperti kehilangan reputasi dan pemicu bagi tuntutan-tuntutan lain, yang dalam proses ajudikasi publik dapat mengakibatkan pemeriksaan sengketa secara terbuka.

Selain itu, menurut penulis dipilihnya forum arbitrase karena WFP dan Yasmina memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter mengenai permasalahan yang dipersengketakan dibandingkan dengan menyerahkannya kepada pengadilan. Dalam hal ini, WFP dan Yasmina dapat mengangkat atau menunjuk arbiter atau suatu panel arbitrase yang memiliki keahlian terhadap pokok permasalahan yang dipersengketan.

Pertimbangan lainnya menurut penulis adalah karena WFP masih di bawah naungan PBB maka hukum acara arbitrase yang dipakai adalah aturan arbitrase yang diakui oleh lembaga tersebut, yang dalam hal ini adalah UNCITRAL Arbitration Rules.

116 Ibid. 117 Sengketa-sengketa yang diadili melalui jalan arbitrase tidak demikian umum sifatnya seperti perkara-perkara di muka pengadilan yang dapat diketahui semua orang. Di pengadilan, perkara-perkara perdata dapat diikuti oleh

orang-orang luar karena proses pemeriksaan perkara di pengadilan berasaskan terbuka untuk umum, dan keputusan- keputusan yang diucapkan dilakukan dalam sidang terbuka dengan kemungkinan adanya reportase di dalam harian- harian serta publikasi-publikasi mass media. Di dalam pemeriksaan persengketaan dalam forum arbitrase tidak demikian. Dalam hal ini suasana dan keadaan para pihak hanya diketahui panitia arbitrase. Selain itu, pertimbangan- pertimbangan para arbiter sifatnya confidential (rahasia) dan lazim tidak diumumkan secara lengkap dalam surat- surat kabar atau pers seperti halnya dengan keputusan-keputusan pengadilan. Lihat Sudargo Gautama, op.cit. Arbitrase Dagang Intemasional, hlm.2.

D. Hukum yang Berlaku untuk Mengatur dan Menyelesaikan Perselisihan yang Mungkin Timbul dalam Kontrak antara WFP dan Yasmina Ditentukan oleh Forum Arbitrase

Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, WFP dan Yasmina telah mengadakan suatu pilihan forum kepada arbitrase sebagai forum yang berwenang untuk mengadili sengketa yang mungkin timbul diantara mereka. Sedangkan hukum acara yang digunakan adalah UNCITRAL Arbitration Rules. Lantas hukum materil mana yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa tersebut? ketentuan Pasal 33 ayat (1) UNCITRAL Arbitration Rules menyatakan bahwa:

“The arbitral tribunal shall apply the law designated by the parties as applicable to the substance of the dispute. Failing such designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it considers applicable ”.

Jadi tentang hukum yang dipergunakan oleh panitia arbitrase adalah hukum yang dikehendaki oleh para pihak sendiri. Dan dalam hal pilihan hukum tersebut tidak ada, maka panitia arbitrase akan menggunakan hukum yang ditentukan oleh kaidah-kaidah HPI yang dianggap harus diperlakukan.

Dari ketentuan Pasal 33 ayat (1) tersebut, dapat dikatakan bahwa pertama-tama panitia arbitrase akan memberlakukan hukum yang telah dipilih sendiri oleh para pihak - (pilihan hukum). Dalam hal ini para pihak mempunyai otonomi atau kebebasan untuk menentukan sendiri hukum mana yang berlaku untuk arbitrase mereka itu.

Menurut Sudargo Gautama, biasanya pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak tersebut dicantumkan dalam kontrak yang bersangkutan. Misalnya saja terdapat klausula yang mencantumkan bahwa : "Hukum yang berlaku untuk perjanjian ini adalah hukum Indonesia". Jika hal ini terjadi, maka manakala timbul sengketa, para arbiter akan menggunakan hukum Indonesia dan tidak dapat memakai hukum lain selain hukum Indonesia yang telah dipilih oleh para pihak. 118

118 Sudargo Gautama, Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989, hlm. 41.

Jadi, dalam pilihan hukum yang dinyatakan secara tegas, pilihan hukum dinyatakan dengan kata-kata yang menyatakan pilihan hukum tertentu dalam kontrak tersebut Bilamana hakim mengadili perkara kontrak-kontrak internasional, maka dalam menentukan hukum mana yang harus berlaku dalam kontrak tersebut, hakim akan menggunakan pilihan hukum sebagai titik taut penentunya.

Selanjutnya dalam kalimat terakhir Pasal 33 ayat (1) disebutkan bahwa apabila tidak ada pilihan hukum oleh para pihak, maka panitia arbitrase akan menggunakan hukum yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah HPI yang dianggap berlaku oleh para arbiter ini. Dengan demikian HPI memegang peranan yang penting di dalam menentukan hukum yang harus berlaku dalam sengketa yang telah diajukan di hadapan badan arbitrase bersangkutan.

Berkaitan dengan kontrak antara WFP dan Yasmina, para pihak tersebut tidak mencantumkan pilihan hukum dalam salah satu klausula ontraknya, maka panitia arbitrase akan memperhatikan katdah-kaidah HPI dalam menentukan hukum yang harus berlaku itu.

Hal pertama yang harus diperhatikan oleh panitia arbitrase adalah titik taut penentu atau TPS yang terdapat pada hubungan hukum antara WFP dan Yasmina.

Menurut Sudargo Gautama, TPS adalah faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan HPI. 119

TPS seringkali disebut titik taut penentu, karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the applicable law dalam penyelesaian suatu perkara. 120

Selanjutnya, TPS yang terdapat dalam hubungan hukum antara WFP dan Yasmina tersebut menurut teori-teori HPI dapat digunakan untuk menentukan hukum yang berlaku, yaitu teori lex loci contractus, lex loci solutionis, the proper law of the contract dan the most characteristic connection .

1. Teori Lex Loci Contractus Berdasarkan teori lex loci contractus, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak

119 Sudargo Gautama, op.cit, Pengantar..., hlm. 34. 120 Bayu Seto, op.cit., hlm. 43.

internasional adalah hukum di tempat perjanjian atau kontrak itu dibuat, diciptakan, dilahirkan. 121 Jadi, menurut teori ini, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak

internasional adalah hukum di tempat perjanjian atau kontrak itu ditandatangani oleh para pihak, karena pada saat itulah terbentuk kesepakatan, sehingga kontrak tersebut mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian, jika dianut teori lex loci contractus, maka hukum yang berlaku apabila terjadi sengketa antara WFP dan Yasmina adalah hukum Indonesia, karena kontrak ini ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 18 Januari 2005 di Indonesia.

2. Teori Lex Loci Solutionis Sebagai variasi terhadap teori lex loci contractus dikemukakan pula adanya teori

lex loci solutionis . Menurut teori ini, maka sangatlah penting place of performance dari suatu kontrak. 122 Jadi, menurut teori ini hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah

tempat di mana kontrak tersebut dilaksanakan. Dengan kata lain, tempat dimana para pihak melakukan prestasinya masing-masing.

Dilihat dari prestasi Yasmina yang harus membangun sanitasi umum di RT 04 dan RT 05-RW 04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor, Indonesia, maka jika dianut teori lex loci solutionis , hukum Indonesia-lah yang berlaku.

Apabila dilihat dari prestasi WFP yang harus memberikan bantuan dana bagi pembangunan sanitasi umum, maka hukum Indonesia pula yang dianggap berlaku, karena WFP memberikan bantuan dana melalui transfer antar bank yang dilakukan di Indonesia, yaitu dari Citibank (Jakarta) ke Bank Syariah Mandiri (cabang Bogor).

Jika dilihat dari prestasi masing-masing pihak menunjukkan bahwa hukum Indonesia-lah yang berlaku, akan tetapi penerapan teori lex loci solutionis ini tidak dapat disangkal membawa kesulitan. Hal ini dikarenakan harus dapat ditentukan terlebih dahulu tempat dilaksanakannya prestasi dari masing-masing pihak. Dengan kata lain, jika akan menerapkan teori ini, maka prestasi masing-masing pihak harus dipecah-pecah

121 Sudargo Gautama, op.cit, ...Buku ke-8, hlm. 12.

122 Sudargo Gautama, op.cit. ...Buku ke-8, nlm. 16.

sedemikian rupa sehingga tunduk pada berbagai sistem hukum yang berbeda. Seandainya saja, tempat dilaksanakannya prestasi pihak Yasmina dan WFP jatuh di negara yang berbeda, maka apakah hukum dari tiap negara, dimana prestasi masing-masing pihak dilaksanakan harus semua dipakai. Jika memang hukum dari tiap negara tersebut harus dipakai, tentu saja akan menyulitkan pengadilan untuk menyelesaikan perkara. Dengan demikian, teori lex loci solutionis ini kurang memberikan jalan keluar yang memuaskan, terutama bila diterapkan pada kontrak-kontrak yang masing-masing pihaknya harus melaksanakan prestasi di berbagai negara yang berbeda.

3. Teori The Proper Law Menurut Morris, the proper law suatu kontrak adalah sistem hukum yang

dikehendaki oleh para pihak, atau jika kehendak itu tidak dinyatakan dengan tegas atau tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya, maka proper law bagi kontrak tersebut adalah sistem hukum yang mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata dengan

transaksi yang terjadi. 124 Hal yang serupa dikatakan oleh Lord Atkin bahwa:

"The legal principles which are to guide an English Court on the question of the proper law are now well settled. It is the law which the parties intended to apply. Their intention will be ascertained by the intention expressed in the contract if any, which will be conclusive. If no intention be expressed, the intention will be presumed by the court from the terms of the contract and the relevant surrounding circumstances".

Berdasarkan perumusan yang dikemukakan oleh Lord Atkin tersebut, maka proper law dalam kontrak adalah hukum yang dikehendaki oleh para pihak (intention of the parties ). Kehendak tersebut dapat terlihat jika dinyatakan dengan tegas dalam kontrak, jika kehendak tersebut tidak dinyatakan dengan tegas, maka kehendak tersebut akan diduga oleh pengadilan dari ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan suasana paling berkaitan yang melingkupi kontrak.

Cara yang harus ditempuh adalah dengan mendasarkannya pada the grouping of the various elements of the contract as they reflected in its formation and its terms . Jadi, diperhatikan seluruh bentuk dan isi serta keadaan-keadaan sekitar pembentukan kontrak

123 Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, Jawahir Thontowi, op.cit, hlm. 116. 124 Sudargo Gautama, op.cit., ...Buku ke-8, hlm. 21.

bersangkutan, sehingga akan dapat ditentukan unsur-unsur manakah yang terpenting (pre dominant 125 ).

Menurut Sudargo Gautama, dalam hal ini suatu kontrak akan dilokalisir. Suatu kontrak karena sifatnya yang abstrak memang akan sukar untuk dilokalisir, akan tetapi kontrak ini akan menyentuh dan mempunyai hubungan dengan berbagai negara dan sudah pasti salah satu negara bersangkutan akan disentuhnya lebih erat dari pada yang lain, dan inilah yang merupakan negara yang hukumnya harus dipergunakan. 126

Jika dikaitkan dengan kontrak antara WFP dan Yasmina, maka dalam hal ini akan dianalisis sifat-sifat para pihak yang membuat kontrak, segala incidents pada waktu pembentukannya, pada istilah-istilah yang dipergunakan, dan pada tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian ditemukan suatu factual weight dan disinilah terletak centre of gravity dari kontrak yang bersangkutan 127 , yang penerapannya sebagai berikut: -

a. Bahwa Yasmina merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dengan demikian status hukum Yasmina adalah badan hukum Indonesia.

b. WFP merupakan salah satu badan PBB yang bergerak dalam bidang pemberian bantuan pangan yang bermarkas besar di Roma, ttalia dan memiliki beberapa kantor perwakilan, yang salah satunya di Jakarta, Indonesia.

c. bahwa kontrak kerja sama ini terjadi karena korespondensi yang sebagian dilakukan di Jakarta, Indonesia, tetapi dilangsungkan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia;

d. bahwa prestasi pihak Yasmina adalah membuat sanitasi umum di RT 04 dan RT 05- RW 04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor, Indonesia, maka pelaksanaan dari prestasi ini telah berlangsung di Bogor, Indonesia. Selain itu, pihak Yasmina juga harus mengumpulkan dana sebesar Rp 30,150,000.- yang dilakukan di Indonesia, untuk

125 Ibid, hlm.23. 126 Ibid.

127 Bandingkan dengan Ibid, hlm 23-24.

kelangsungan proyek pembangunan sanitasi umum yang didapat dari bantuan masyarakat dan NGO lainnya yang berada di Indonesia.

e. Bahwa prestasi pihak WFP adalah memberikan bantuan dana untuk pembangunan sanitasi umum tersebut, melalui transfer antarbank yang dilakukan di Indonesia, dari Citibank (Jakarta) ke Bank Syariah Mandiri (cabang Bogor).

Dari uraian di atas, jika dianut teori the proper law of the contract maka hukum Indonesia-lah yang dianggap berlaku karena semua faktor-faktor di atas menunjukkan kepada pemakaian dari hukum Indonesia.

Berkaitan dengan itu, maka hukum yang berlaku bagi sebuah kontrak yang tidak ada pilihan hukumnya menurut the profer law of the contract adalah hukum dari suatu negara di mana suatu kontrak mempunyai hubungan yang paling erat dan nyata dengan kontrak tersebut.

4. Teori The Most Characteristic Connection Menurut Rabbel apabila para pihak dalam suatu kontrak internasional tidak

menentukan sendiri pilihan hukumnya, maka akan berlaku hukum dari negara di mana kontrak yang bersangkutan memperlihatkan the most characteristic connection. 128

Dalam teori ini, kewajiban. untuk melakukan suatu prestasi yang paling karakteristik merupakan tolak ukur penentuan hukum yang akan mengatur kontrak itu. Dalam setiap kontrak dapat dilihat pihak mana yang melakukan prestasi yang paling karakteristik dan hukum dari pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik inilah yang dinggap sebagai hukum yang harus dipergunakan. Misalnya dalam perjanjian jual beli, penjual dianggap melakukan prestasi yang paling karakteristik, atau dalam perjanjian kredit Bank, pihak Bank-lah yang dianggap mempunyai prestasi yang paling karakteristik. 129

Jika dianut teori the most characteristic connection, maka harus diperhatikan kewajiban-kewajiban yang dilakukan oleh Yasmina dalam Pasal 6 Kontrak antara WFP

128 Ibid, hlrn.32.

Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, Jawahir Thontowi, op.cit, hlm.118.

dan Yasmina dan kewajiban-kewajiban WFP yang diatur dalam Pasal 7 Kontrak antara WFP dan Yasmina.

Ketentuan Pasal 6 Kontrak antara WFP dan Yasmina mengatur mengenai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan Yasmina sebagai partner WFP dalam pelaksanaan proyek pembuatan sanitasi umum. Dalam hal ini, Yasmina yang diamanatkan untuk mengemban pelaksanaan proyek harus bertanggung jawab atas bantuan dana yang diberikan WFP, dengan menggunakan dana tersebut untuk pembuatan sanitasi umum sesuai dengan apa yang tercantum dalam kontrak.

Untuk menjaga agar dana tersebut dikelola dengan layak dan jauh dari kemungkinan salah penggunaan, maka Yasmina mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan mengenai penggunaan anggaran secara terperinci dalam waktu dua minggu setelah proposal proyek disetujui (Pasal 6 ayat (2)); memberikan laporan keuangan setiap bulan, sebelum diturunkan angsuran baru dan tiga bulan setelah proyek selesai (Pasal 6 ayat (8)); memberikan laporan narasi, untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan proyek dari saat dimulainya hingga selesai, yang diserahkan sebelum diturunkan angsuran baru dan tiga bulan setelah proyek terselesaikan (Pasal 6 ayat (8)}; melengkapi semua dokumen keuangan dalam setiap transaksi keuangan (Pasal 6 ayat (9); dan menyimpan data masuk dan keluarnya dana berkenaan dengan pelaksanaan proyek (Pasal 6 ayat (12));

. Selain itu, menurut ketentuan Pasal 6 ayat (13), Yasmina harus menggunakan sumber daya program dan keuangan secara optimal. Oleh karena itu, dana yang tidak digunakan harus dikirimkan kepada rekening trust OPSM dalam waktu 30 hari setelah berakhirnya proyek (Pasal 6 ayat (14)).

Selanjutnya, sebagai bentuk pengawasan dalam pelaksanaan proyek, Yasmina harus memantau kemajuan proyek secara berkata (Pasal 6 ayat (7)). Yasmina pun diharuskan membentuk Komite CDP, yang berasal dari perwakilan masyarakat dan pihak Yasmina, yang terdiri dari 50% wanita (Pasal 6 ayat (3)). Komite CDP tersebut akan memberikan bantuan konsultasi kepada Yasmina untuk mengetahui kemajuan dalam pelaksanaan proyek dan penanganan masalah-masalah yang ditemukan di lapangan (Pasal 6 ayat (4)). Bahkan, Yasmina pun diwajibkan untuk memberikan kewenangan Selanjutnya, sebagai bentuk pengawasan dalam pelaksanaan proyek, Yasmina harus memantau kemajuan proyek secara berkata (Pasal 6 ayat (7)). Yasmina pun diharuskan membentuk Komite CDP, yang berasal dari perwakilan masyarakat dan pihak Yasmina, yang terdiri dari 50% wanita (Pasal 6 ayat (3)). Komite CDP tersebut akan memberikan bantuan konsultasi kepada Yasmina untuk mengetahui kemajuan dalam pelaksanaan proyek dan penanganan masalah-masalah yang ditemukan di lapangan (Pasal 6 ayat (4)). Bahkan, Yasmina pun diwajibkan untuk memberikan kewenangan

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (5), bahwa Yasmina harus memastikan kepemilikan dari fasilitas sanitasi umum adalah milik masyarakat di RT04 dan RT05- RW04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor. Fasilitas tersebut harus dirawat dan dipelihara oleh masyarakat bersangkutan dengan sebagian besar dilakukan oleh wanita (Pasat 6 ayat (6)).

Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (18), anggota Yasmina yang terlibat dalam pelaksanaan proyek bukan merupakan bagian dari staf atau pekerja PBB. Oleh karena itu, WFP tidak bertanggung jawab apabila terjadi hal-hal yang menimpa anggota Yasmina baik yang berhubungan atau tidak berhubungan dengan pelaksanaan proyek. Dengan demikian, Yasmina harus bertanggung jawab penuh terhadap semua tindakan dan kelalalaian dari para anggotanya.

Selatn itu, bentuk pertanggungjawaban Yasmina lainnya adalah memberikan pertanggungjawaban' teknis untuk semua kegiatan dalam CDP. Dalam hal ini pelaksanaan proyek harus mengikuti semua kegiatan yang secara detail tertulis dalam proposal dan sesuai dengan prosedur standar dan teknis umum (Pasal 6 ayat (18)). Selanjutnya, Yasmina pun harus menerapkan manajemen terbuka dalam seluruh pelaksanaan proyek, yang berkenaan dengan koordinasi, logistik, program kerja, proses teknis, laporan, penyediaan barang, dan kapasitas teknis para pekerja Yasmina (Pasal 6 ayat (19)). Bahkan, Yasmina pun juga harus mengusahakan daha sebesar Rp Rp.30,150,000.- dari total anggaran belanja untuk membiayai proyek tersebut (Pasal 15).

Jika dibandingkan dengan kewajiban WFP dalam Pasal 7 Kontrak antara WFP dan Yasmina, pihak WFP hanya sebatas menunjuk staf WFP untuk memberikan saran teknis dan pelatihan, menginformasikan pada GOI mengenai kemajuan proyek dan memberikan dana sebesar Rp.149,296,000.- untuk pembanguan -sanitasi umum tersebut. Bahkan ketersediaan dana tersebut diperoleh dari hasil penjualan beras dengan harga murah sebesar Rp 1000/kg (netto) yang dilakukan WFP dengan perantara Yasmina.

Dalam hal ini, hasil penjualan beras tersebut kemudian ditransfer pihak Yasmina ke rekening trust fund OPSM sebesar Rp 760/kg, yang selanjutnya oleh WFP dialokasikan untuk pembangunan sanitasi umum tersebut.

Berdasarkan kewajiban-kewajiban yang harus ditaksanakan oleh WFP dan Yasmina datam pasal-pasal dalam Kontrak antara WFP dan Yasmina diatas, dapat dilihat bahwa kewajiban Yasmina merupakan kewajiban yang paling karakteristik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan karakteristik adalah mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu 130 , sedangkan dalam buku HPI Indonesia (Jilid III Bagian 2 Buku ke-8), Sudargo Gautama mengemukakan bahwa karakteristik dapat berarti typis atau funktional 131 . Dalam hal ini dilihat dari segi fungsi kontrak yang

bersangkutan, dan dengan sistem hukum manakah kontrak ini dilihat secara fungsional, sehingga tidak hanya melihat kepada faktor tempat dilakukannya prestasi saja. Selain itu, karakteristik juga dapat berarti prestasi yang paling berat 132 , yang berarti prestasi pihak

manakah yang dianggap paling berat. Bahkan, prestasi yang karakteristik dapat berarti prestasi spesifik 133 , yaitu prestasi yang bersifat khusus atau khas, jadi adanya hubungan

yang khusus atau khas antara prestasi yang dilakukan dengan tempat prestasi dilakukan. Selanjutnya, karakteristik pun juga dapat berarti prestasi yang paling kuat 134 untuk

menguasai kontrak bersangkutan. Berkaitan dengan hal di atas, prestasi pihak Yasmina merupakan prestasi yang

typis, funksional, berat, spesifik dan kuat untuk mewujudkan pembangunan sanitasi umum di RT04 dan RT 05-RW 04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor, Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari kewajiban-kewajiban yang dilakukan oleh pihak Yasmina, mulai dari menjadi perantara WFP dalam melakukan penjualan beras dengan harga murah sebesar Rp 1000/kg, mengusahakan tambahan dana sebesar Rp. 30,150,000.- untuk kelangsungan proyek, sampai melakukan pembangunan sanitasi umum tersebut. Selain itu, pihak Yasmina pun juga harus melakukan kewajiban-kewajiban lainnya seperti memberikan laporan-laporan, melakukan konsultasi, memastikan pemeliharaan

130 Kamus Besar Bahasa Indonesia, loc.cit. 131 Sudargo Gautama, op.cit., ...Buku ke-8, hlm. 35. 132 Ibid, hlm 35 dan 41. 133 Ibid, hlm. 42. 134 Ibid 130 Kamus Besar Bahasa Indonesia, loc.cit. 131 Sudargo Gautama, op.cit., ...Buku ke-8, hlm. 35. 132 Ibid, hlm 35 dan 41. 133 Ibid, hlm. 42. 134 Ibid

Berdasarkan uraian di atas, maka hukum yang berlaku bagi kontrak berdasarkan teori the most characteristic connection adalah hukum Indonesia karena prestasi yang paling karakteristik dalam arti yang paling typis, funksional, berat, spesifik dan kuat ada pada pihak Yasmina sebagai pihak yang menentukan keberhasilan pembangunan sanitasi umum di RT04 dan RT 05-RW 04, Desa Teluk Pinang, Ciawi, Bogor, Indonesia.

Di antara berbagai teori-teori HPI untuk mencari hukum manakah yang berlaku dalam suatu kontrak apabila tidak terdapat pilihan hukum, maka penulis cenderung memiiih dipergunakannya teori The Most Characteristic Connection.

Hai ini dikarenakan dengan menerimanya, maka tidak lagi dipersoalkan mengenai di mana para pihak (subjek) yang bersangkutan ini kebetulan bertempat tinggal atau apakah yang merupakan kewarganegaraan mereka. Di sini juga tidak perlu lagi dtadakan kualifikasi yang cukup rumit seperti halnya dalam teori lex loci contractus dan teori lex loci solutionis . Bahkan tidak lagi perlu mengandalkan akumulasi titik-titik taut untuk melokalisir suatu kontrak pada suatu tempat tertentu. 135 Dalam hal ini yang dipentingkan adalah kualitas dari prestasi para pihak, dan bukan dilihat dari kuantitasnya.

135 Bandingkan Sudargo Gautama, op.cit., ...Buku ke-8, hlm. 33-34.