CHOICE OF FORUM and CHOICE OF LAW DALAM

CHOICE OF FORUM & CHOICE OF LAW DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL: STUDY KASUS YASMINA - THE WORLD FOOD PROGRAMME (WFP)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemilihan Judul Hukum Perdata Internasional (HPI) adalah termasuk dalam kelompok hukum

privat. Karena menyangkut hukum privat, maka HPI tersebut juga mengatur hubungan hukum antar pihak dalam suatu kontrak yang timbul dari hukum perikatan. HPI memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar yurisdiksi dalam satu negara. HPI adalah hukum perdata untuk hubungan-hubungan internasional. Pengertian internasional bukan diartikan sebagai law of nations, bukan hukum antar negara, tetapi internasional ini harus diartikan sebagai ada unsur luar negerinya atau unsur asing (foreign element). 1

Dipilihnya Kontrak Contract Between The World Food Programme (WFP) And Yasmina-Regarding The Implementation Of Community Development Project Under The

OPSM Trust Fund During The Period 1 February 2005 to 30 June 2005 2 sebagai objek analisis dalam paper ini adalah karena kontrak ini dapat dikategorikan sebagai kontrak

yang mengandung unsur-unsur asing (foreign elements). Oleh karena itu, apabila timbul perselisihan antara WFP dan Yasmina, dalam hal ini

merupakan bidang kajian dari HPI, yang akan menjawab persoalan-persoalan mengenai forum mana yang berwenang mengadili jika terjadi perselisihan antara para pihak dan

hukum 3 mana yang akan dipergunakan jika terjadi perselisihan antara para pihak.

Pada prinsipnya, forum yang berlaku didasarkan pada pilihan forum para pihak. Pilihan forum yang dimaksud di atas selain dapat menunjuk kepada suatu pengadilan di negara tertentu juga dapat menunjuk badan arbitrase tertentu.

1 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Bandung, 1987, hlm. 21. 2 Selanjutnya disebut kontrak antara WFP dan Yasmina.

3 Hukum yang dimaksud dalam konteks ini adalah hukum materil suatu negara tertentu sesuai dengan pilihan hukum atau yang dirujuk sesuai dengan kaidah-kaidah HPI.

Selain dikenal adanya pilihan forum, di dalam suatu kontrak yang mengandung unsur-unsur asing, dikenal pula pilihan hukum. Oleh karena itu, manakala terjadi perselisihan antara para pihak, hukum yang akan dipergunakan adalah pilihan hukum yang dipilih oleh para pihak.

Namun, adakalanya dalam suatu kontrak, para pihak tidak mengadakan pilihan hukum. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dapat digunakan bantuan titik-titik taut penentu atau titik-titik taut sekunder yang penggunaannya tergantung pada teori yang dianut oleh negara hakim yang bersangkutan.

Dalam salah satu klausula kontrak antara WFP dan Yasmina disebutkan bahwa manakala terjadi perselisihan akan diselesaikan secara musyawarah antara kedua belah pihak. Selain itu, disebutkan pula apabila cara tersebut tidak mendatangkan penyelesaian, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui arbitrase dengan menggunakan

Arbitration Rules dari United Nations Commision on Internasional Trade Law 4 . Dengan demikian, ketentuan beracara arbitrase antara WFP dan Yasmina didasarkan pada

UNCITRAL Arbitration Rules. Dipilihnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada pertimbangan

bahwa cara tersebut lebih menguntungkan kedua belah pihak, mengingat hubungan kerjasama bersifat perdata dan merupakan hubungan antar lembaga. Selain itu, dikarenakan WFP masih di bawah naungan PBB maka aturan arbitrase yang dipakai adalah aturan arbitrase yang diakui oleh lembaga tersebut, yang dalam hal ini adalah UNCITRAL Arbitration Rules .

Berkaitan dengan hal di atas, masih terdapat suatu pertanyaan tentang hukum manakah yang akan dipergunakan manakala terjadi sengketa antara WFP dan Yasmina. Dengan dipilihnya UNCITRAL Arbitration Rules sebagai rules dalam penyelesaian sengketanya, maka jawaban pertanyaan di atas dapat kita telusuri dari ketentuan-ketentuan hukum acara dalam UNCITRAL Arbitration Rules.

Pasal 33 paragrap (1) UNCITRAL Arbitration Rules disebutkan :

4 Selanjutnya disebut UNCITRAL Arbitration Rules.

“The arbitral tribunal shall apply the law designated by the parties as applicable to the substance of the dispute. Failing such designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it considers applicable ”.

Selanjutnya dalam Pasal 16 UNCITRAL Arbitration Rules sisebutkan:

“Unless the parties have agreed upon the place where the arbitration is to be held, such place shall be determined by the arbitral tribunal, having regard to the

circumstances of the arbitration”. Berdasarkan ketentuan tersebut, hukum yang dipergunakan oleh panitia arbitrase,

yang pertama-tama adalah hukum yang dikehendaki oleh para pihak sendiri dan apabila pilihan hukum tersebut tidak ada, maka panitia arbitrase akan menggunakan hukum yang ditentukan oleh kaidah-kaidah HPI yang dianggap harus diperlakukan oleh panitia arbitrase. Selanjutnya, panitia arbitrase dapat menentapkan tempat arbitrase di dalam wilayah negara yang sudah disepakati oleh para pihak dan dapat mendengar keterangan saksi dan mengadakan pertemuan untuk berkonsultasi antara sesama anggota dimanapun yang dianggap pantas dengan mempertimbangkan segala keadaan sekitar arbitrase.

Persoalannya, UNCITRAL sendiri tidak mendirikan lembaga arbitrase berkenaan dengan rules itu, sehingga para pihak dapat memilih arbitrase ad hoc atau arbitrase institusional untuk menyelesaikan sengketanya, yang dalam melaksanakan fungsinya akan menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules. 5

Dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas secara singkat, maka penulis akan menyoroti klausula-klausula yang terdapat dalam Kontrak anrata WFP dan Yasmina untuk mencari forum manakah yang berwenang dan hukum manakah yang berlaku manakala timbul perselisihan antara WFP dan Yasmina.

B. Pokok-Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan,

sebagai berikut:

5 Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Intemasional dalam Transaksi Bisnis Intemasional, Refika Aditama, Bandung, 1997, hlm. 86.

1. Forum manakah yang berwenang menyelesaikan apabila timbul perselisihan dalam kontrak antara WFP dan Yasmina?

2. Hukum manakah yang akan mengatur dan menyelesaikan apabila timbul persetisihan dalam kontrak antara WFP dan Yasmina?

C. Metode Penelitian Metode Penelttian yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah metode

sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis

normatif, yaitu dengan mengkaji Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UNCITRAL Arbitration Rules, pasal- pasal dalam kontrak antara WFP dan Yasmina, kaidah-kaidah HPI dalam bidang hukum kontrak dan hukum acara perdata internasional.

2. Spesifikasi penelitian Spesifikasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berupa deskriptif analitis

yaitu untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai kaidah-kaidah penyelesaian sengketa HPI dalam bidang hukum kontrak dan kaidah-kaidah hukum acara perdata internasional.

3. Tahap Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan yang dimaksudkan untuk

mendapatkan data sekunder, berupa bahan-bahan hukum, yaitu:

1) Bahan hukum primer, berupa peraturan mengenai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UNCITRAL Arbitration Rules , yurisprudensi HPI dalam bidang hukum kontrak dan hukum acara perdata internasional.

2) Bahan hukum sekunder, berupa kontrak antara WFP dan Yasmina, doktrin para ahli yang berkaitan dengan bidang hukum kontrak dan, hukum acara perdata internasional, buku atau bahan-bahan yang terkait mengenai kaidah- kaidah HPI dalam bidang hukum kontrak dan hukum acara perdata internasional, serta bahan lain dari situs-situs internet.

3) Bahan hukum tersier, berupa kamus-kamus yang memberikan pengertian- pengertian dasar yang menunjang.

4. Teknik Pengumpulan Data Data penelitian yang ada dikumpulkan dengan teknik studi pustaka (library

research ), yaitu melakukan penelitian dokumen-dokumen yang menyangkut kaidah- kaidah HPI dalam bidang hukum kontrak dan hukum acara perdata internasional, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan ketentuan-ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules guna mendapatkan landasan-landasan teoritis. Selain itu, penulis juga melakukan penelusuran data-data mengenai Yasmina, dan WFP, UNCITRAL, dan makalah-makalah pada situs-situs di internet.

5. Analisis Data Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode yuridis

kualitatif, karena dari data yang diperoleh selanjutnya disusun secara sistematis, selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas tanpa mempergunakan rumus dan angka-angka.

D. Kerangka Landasan Teori Dalam hal terdapat fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang

menunjukkan bahwa peristiwa tersebut mengandur unsur-unsur asing, maka dapat disimpulkan bahwa peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa HPI. Suatu kasus akan menjadi kasus HPI apabila terdapat sekumpulan fakta hukum yang mengandung unsur-unsur asing di dalamnya. Fakta-fakta ini dalam HPI disebut sebagai Titik Pertalian

6 Primer (TPP). 7 TPP tersebut diantaranya:

1. Kewarganegaraan;

2. Bendera kapal;

3. Domisili;

4. Tempat kediaman;

5. Tempat kedudukan badan hukum;

6. Pilihan hukum dalam hubungan intern. Hal tersebut juga berlaku dalam bidang hukum kontrak. Suatu kontrak merupakan

bidang kajian HPI apabila mengandung foreign elements didalamnya. HPI pada prinsipnya harus menjawab pertanyaan: forum manakah yang berwenang mengadili dan hukum manakah yang harus diberlakukan. HPI adalah ilmu mengenai hukum yang harus diberlakukan (Internationaal privaatrecht is rechtstoepassingsrecht/Applicable law/rechtstoepassingsrecht ), hukum yang harus dipergunakan menurut istilah van Zevenbergen . Hukum untuk mempergunakan hukum, hukum di antara tata hukum, hukum yang mengatur, hukum manakah yang harus kita pilih di antara tata-tata hukum masing- masing, itulah HPI. 8

Pada prinsipnya, mengenai persoalan forum mana yang berhak untuk mengadili didasarkan pada pilihan forum para pihak. Para pihak mempunyai kebebasan untuk memilih forum manakah yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul diantara kedua belah pihak, baik melalui forum pengadilan suatu negara tertentu atau suatu badan arbitrase tertentu.

Dalam hal para pihak tidak mengadakan pilihan forum, maka untuk menentukan suatu forum mempunyai kompetensi atau tidak, ditentukan berdasarkan Pasal 118 Met

6 Bayu Seto, Dasar-Dasar HPI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 10. 7 Sudargo Gautama, Pengantar … Ibid, hlm.26-34.

8 Sudargo Gautama, op.cit, Pengantar..., hlm. 24.

Herziene Indonesisch Reglement (HIR). Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada

pengadilan negeri di tempat tinggal (woonplaats) si tergugat (actor sequitor forum rei), atau jika tidak ada tempat tinggal, tempat ia sebenarnya berada (werkelijk verblijf). 9

Jika terdapat lebih dari satu tergugat, maka dapat diajukan gugatan pada pengadilan negeri dari tempat tinggal (kediaman) salah satu tergugat. 10

Kemudian jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga tempat tinggal sebenarnya tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di tempat penggugat (forum actoris). Selain itu, apabila gugatan berkaitan dengan benda tidak bergerak (benda tetap), gugatan diajukan kepada pengadilan negeri dimana benda tetap itu terletak (forum rei sitae). 11

Berkaitan dengan uraian di atas, yang diutamakan ialah prinsip penyampaian gugatan di tempat tinggal (beradanya) pihak tergugat. Kewenangan untuk mengadili ini didasarkan pertama-tama atas the basis of presence, yakni bahwa pada umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara teritorial atas semua orang dan benda-benda yang berada di dalam batas-batas wilayahnya. 12

Prinsip presence dari pihak tergugat, yang tak dapat dirugikan dalam pembelaannya, membawa kepada pilihan dari pengadilan tempat tinggal tergugatlah, sebagai yang berwenang. 13

Principle of effectiveness pun memegang peranan penting, di samping pertimbangan-pertimbangan untuk memberi perlindungan sewajarnya terhadap semua orang yang mencari keadilan. Prinsip efektivitas berarti, bahwa pada umumnya hakim hanya akan memberi putusan yang pada hakikatnya akan dapat dilaksanakan kelak.

9 Sudargo Gautama, Hukum Perdata fnternasional Indonesia, Jilid III Bagian II (Buku 8). Alumni, Bandung, 2002, hlm. 210.

10 Ibid. 11 Ibid. 12 Ibid. hlm. 213. 13 Ibid.

Tentunya yang paling terjamin apabila gugatan diajukan di hadapan pengadilan di mana pihak tergugat (dan benda-bendanya) berada. 14

Selain itu, prinsip forum of conveniens pun perlu diperhatikan. Prinsip ini mengemukakan bahwa forum yang berwenang harus menguntungkan tergugat. 15 Dalam hal

ini, penggugat tidak boleh menyulitkan tergugat dengan mengajukan gugatan di tempat yang tidak mempunyai hubungan dengan perkara, sehingga tidak akan ada kesulitan dalam pengumpulan bukti-bukti yang dibutuhkan.

Selain pemilihan forum pengadilan suatu negara tertentu, para pihak dapat memilih arbitrase sebagai pilihan forumnya. Bilamana para pihak telah memilih forum arbitrase

16 baik melalui sistem factum de compromitendo 17 maupun akta kompromis , maka arbitrase memiliki kewenangan atau kompetensi absolut untuk menyelesaikan perkaranya.

Berkaitan dengan kontrak antara WFP dan Yasmina, pada Article 10, disebutkan bahwa manakala terjadi perselisihan akan diselesaikan secara musyawarah antara kedua belah pihak. Apabila cara tersebut tidak mendatangkan penyelesaian, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui arbitrase dengan menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules .

Dengan dipilihnya UNCITRAL Arbitration Rules sebagai rules, maka penyelesaian sengketa ini akan memperhatikan ketentuan-ketentuan dari UNCITRAL Arbitration Rules yang diklasifikasikan atas empat bagian, yaitu :

1. Ketentuan pengantar (intoductory rules), Pasal 1-4 UNCITRAL Arbitration Rules;

2. Komposisi Arbitrase (composition of the arbitral tribunal), Pasal 5-14 UNCITRAL Arbitration Rules ;

14 Ibid. 15 Ibid, hlm. 274.

16 Sebelum terjadi sengketa diantara para pihak, telah dimasukkan atau dibuat klausula arbitrase di dalam kontrak yang bersangkutan. Lihat Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum Arbitrase, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2001, hlm. 47.

17 Apabila di dalam suatu kontrak yang dibuat para pihak tidak terdapat klausula arbitrase, kemudian terjadi sengketa atau perselisihan, dan mereka sepakat menyelesaikannya melalui arbitrase, maka kesempatan penyelesaian

sengketa melalui arbitrase harus dituangkan dalam perjanjian tersendiri. Lihat, Ibid, hlm. 48.

3. Proses Pemeriksaan (arbitral proceeding), Pasal 15-30 UNCITRAL Arbitration Rules;

4. Keputusan Arbitrase (the award), Pasal 31-41 UNCITRAL Arbitration Rules.

UNCITRAL sendiri tidak mendirikan lembaga arbitrase (arbitration institution) berkenaan dengan rules itu. Oleh karena itu, maka para pihak dapat memilih arbitrase ad hoc atau lembaga arbitrase (arbitral institution) yang ada untuk membantu mereka dalam menyelenggarakan arbitrase bersangkutan. Lembaga arbitrase ini dalam hal demikian akan memakai kaedah-kaedahnya sendiri. Dengan demikian maka arbitrase yang dilakukan itu akan merupakan suatu arbitrase ad hoc yang diatur oleh lembaga-lembaga arbitrase yang sudah ada (administered ad hoc arbitration). 18

Mengenai masalah tempat arbitrase, pada prinsipnya akan dilakukan di tempat yang telah dimusepakati para pihak. Namun, apabila para pihak tidak mengadakan pilihan, maka panitia arbitrase yang akan menentukan tempat itu dan dalam hal ini maka akan diperhatikan segala keadaan sekitar arbitrase ini (circumstances of arbitration). 19

Selain masalah forum manakah yang berwenang mengadili, timbul masalah lain berkaitan dengan hukum (materiil) mana yang akan berlaku adalah hukum yang dipilih sendiri oleh para pihak. Pilihan hukum dalam hukum perjanjian adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan

untuk perjanjian mereka. 20

Namun, dalam keadaan para pihak tidak mengadakan pilihan hukum, dapat digunakan bantuan teori-teori HPI sesuai dengan yang dianut oleh negara hakim yang bersangkutan. 21

18 Sudargo Gautama, op.cit, Arbitrase Dagang International, hlm. 19.

19 Pasal 16 UNCITRAL Arbitration Rules : (1) Unless the parties have agreed upon the place where the arbitration is to be held, such place shall be

determined by the arbitral tribunal, having regard to the circumstances of the arbitration. (2) The arbitral tribunal may determine the locale of the arbitration within the country agreed upon the parties. It

may hear witnesses and hold meetings for consultation among its members at any place it deems appropriate, having regard to the circumstances of the arbitration.

20 Sudargo Gautama, op. cit, hal 5, lihat pula Subekti, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung,1987, hlm. 11. 21 Ibid.

Dalam HPI terdapat beberapa teori dalam menentukan hukum mana yang berlaku dalam suatu kontrak, yaitu :

1. Teori Lex Loci Contractus Menurut teori klasik lex loci contractus, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak

internasionai adalah hukum di tempat perjanjian atau kontrak dibuat. 22 Dalam hal ini, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak internasionai adalah hukum di tempat

perjanjian atau kontrak itu ditandatangani oleh para pihak.

2. Teori Lex Loci Solutionis Sebagai variasi terhadap teori lex loci contractus dikemukakan pula adanya teori

lex loci solutionis, Menurut teori ini, hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah tempat di mana kontrak tersebut dilaksanakan. 23

3. Teori The Proper Law of The Contract Menurut Morris, the proper law suatu kontrak adalah sistem hukum yang

dikehendaki oleh para pihak, atau jika kehendak itu tidak dinyatakan dengan tegas atau tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya, maka proper law bagi kontrak tersebut adalah sistem hukum yang mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata dengan transaksi yang terjadi. 24

4. Teori The Most Characteristic connection. Dalam teori ini kewajiban untuk melakukan suatu prestasi yang paling

karakteristik merupakan tolak ukur penentuan hukum yang akan mengatur perjanjian itu. 25

Dengan demikian, dasar analisis penulis dalam melakukan kajian terhadap

22 Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahir Thontowi, Pengantar Hukum Perdata Internasionai Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 114.

23 Ibid., hlm. 116. 24 Ibid. 25 Ibid., hlm. 118.

forum manakah yang berwenang mengadili dan hukum negara manakah yang akan dipergunakan manakala timbul perselisihan dalam kontrak antara WFP dan Yasmina, bertitik tolak pada hal-hal yang telah diutarakan di atas.

E. Kerangka Konsepsional Berikut ini akan diuraikan konsep-konsep yang akan dipergunakan dalam penelitian

ini dengan tujuan menghindarkan perbedaan pengertian dan memperoleh pemahaman yang sama. Istilah-istilah tersebut tersebut:

1. HPI Istilah HPI yang digunakan dalam paper ini mengacu pada istilah Private

International Law , International Private Law, Internationales Privaatrecht, Droit International Prive, Dirritto Internazionale Privato 26 . HPI didefinisikan sebagai

keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan- hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga (-warga) negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari 2 (dua) atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal. 27 Dengan demikian, pengertian internasional bukan diartikan sebagai law of nations, bukan hukum antar negara, tetapi internasional ini harus diartikan sebagai ada unsur luar negerinya atau unsur asing (foreign element). 28

2. Pilihan Hukum Pilihan hukum diartikan sebagai kebebasan yang diberikan kepada para pihak

untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk perjanjian mereka. 29 Tujuan penerapan pilihan hukum adalah perlakuan sama untuk kasus serupa, dan

26 Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan JawahirThontowi, op.cit. hlm. 1. 27 Sudargo Gautama, op.cit , Pengantar…, hlm. 21. 28 Bandingkan dengan Ibid, hlm. 6. 29 Subekti, Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1987, hal. 11.

pengembangan kepentingan, tujuan dan kebijakan masyarakat.

3. Pilihan Forum Pilihan forum ini dumaksudkan bahwa para pihak di dalam kontrak bersepakat

memilih forum atau lembaga yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul diantara kedua belah pihak. Menurut Convention on the Choice of Court 1965, pilihan forum terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat internasional. Pilihan forum dalam hal ini tidak berlaku bagi: 30

1. status atau kewenangan orang atau hukum keluar, termasuk kewajiban atau hak- hak pribadi atau finansial antara orang tua dan/ atau antara suami dan. istri;

2. permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir a;

3. warisan;

4. kepailitan;

5. hak-hak atas benda tidak bergerak

4. UNCITRAL Arbitration Rules UNCITRAL Arbitration Rules adalah kaidah-kaidah yang mengatur apa yang

dinamakan ad hoc arbitration. Arbitrase secara ad hoc ini adalah arbitrase yang tidak diselenggarakan oleh suatu atau melatui suatu badan lembaga arbitrase tertentu (institutional abitration). Para pihak dapat menunjuk kepada kaidah-kaidah UNCITRAL Arbitration Rules ini dengan cara memasukkan arbitration clause di dalam kontrak mereka. Arbitration clause ini menyatakan secara tegas bahwa semua sengketa yang akan timbul dari atau berkenaan dengan kontrak mereka ini akan diselesaikan secara final dan mengikat dengan cara arbitrase sesuai dengan ketentuan- ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules. 31

F. Sistematika Penulisan

30 Sudargo Gautama, op.cit, ...Buku ke-8, hlm. 234. 31 Sudargo Gautama, op.ctf, Arbitrase Dagang Internasional, hlm. 19.

Untuk memberikan gambaran yang komprehensif, penulis akan menyusun sistematika penulisan paper ini sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah, maksud dan

tujuan, kegunaan penetitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KONTRAK YANG MENGANDUNG UNSUR-UNSUR ASING

Bab ini akan membahas mengenai aspek-aspek hukum secara umum yang terkait dengan kontrak yang mengandung unsur asing, sebagai landasan dalam menganalisis Kontrak antara WFP dan Yasmina pada bab selanjutnya. Aspek-aspek hukum tersebut meliputi pengertian HPI, ruang lingkup HPI, tahap-tahap pemeriksaan suatu perkara HPI, forum yang berwenang mengadili dikaitkan dengan pilihan forum, pilihan forum pengadilan, pilihan forum arbitrase (pengertian arbitrase, perumusan klausula arbitrase, jenis-jenis arbitrase, Uncitral Arbitration Rules, kewenangan mengadili (forum rei, forum actoris, forum rei sitae ), prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kewenangan mengadili (the basis of presence, principle of effectiveness, dan forum of conveniens ), teori-teori HPI untuk menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak internasional ( yaitu teori lex loci contractus , teori lex loci solutionis, teori the proper law of contract, teori the most characteristic connection ).

BAB III ANALISIS TERHADAP KONTRAK ANTARA WFP DAN YASMINA Bab ini akan menguraikan tentang unsur-unsur asing yang terdapat dalam Kontrak

antara WFP dan Yasmina, forum yang berwenang mengadili dikaitkan dengan pilihan forum, klausula arbitrase (Article 10 Kontrak antara WFP dan Yasmina), ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selain itu juga menguraikan tentang hukum yang berwenang untuk menyelesaikan dan mengatur apabila timbul perselisihan dalam kontrak antara WFP dan Yasmina dikaitkan dengan teori-teori HPI dalam antara WFP dan Yasmina, forum yang berwenang mengadili dikaitkan dengan pilihan forum, klausula arbitrase (Article 10 Kontrak antara WFP dan Yasmina), ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selain itu juga menguraikan tentang hukum yang berwenang untuk menyelesaikan dan mengatur apabila timbul perselisihan dalam kontrak antara WFP dan Yasmina dikaitkan dengan teori-teori HPI dalam

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Sebagai bab terakhir maka di dalamnya akan dirumuskan secara singkat, padat dan

jelas, hal-hal yang dapat disimpulkan dan juga saran dari hasil penelitian paper ini. Kesimpulan ini akan menjawab pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya akan disampaikan saran sebagai tindak lanjut dan perbaikan yang perlu berdasarkan pembelajaran dari kasus yang diteliti.

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KAIDAH HPI YANG TERKAIT DENGAN KONTRAK YANG MENGANDUNG UNSUR-UNSUR ASING

A. Tinjauan Umum HPI Meningkatnya hubungan internasional berpengaruh pada semakin kompleks dan

beragamnya pola-pola hubungan hukum antar manusia dalam lingkup internasional. Dengan demikian, sistem hukum atau aturan-aturan hukum dari suatu negara berdaulat seringkali dihadapkan pada masaiah-masalah hukum yang tidak sepenuhnya bersifat intern- domestik, melainkan menunjukkan adanya kaitan dengan unsur-unsur asing. 32

Hubungan/peristiwa hukum yang mengandung unsur-unsur yang melampaui batas- batas teritorial negara atau unsur-unsur transnasional itulah yang diatur oleh bidang hukum yang dikenal dengan sebutan HPI .

1. Pengertian HPI Dalam bukunya Pengantar HPI Indonesia, Sudargo Gautama mendefinisikan HPI

sebagai keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga (-warga) negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari 2 (dua) atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal. 33

Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian internasional bukan diartikan sebagai law of nations, bukan hukum antar negara, tetapi internasional ini harus

32 Bayu Seto, op.cit., hlm.2 33 Sudargo Gautama, op.cit , Pengantar…, hlm. 21.

diartikan sebagai ada unsur luar negerinya atau unsur asing. 34 Unsur-unsur inilah yang menjadikan hubungan-hubungan tersebut menjadi internasional (obyeknyalah yang

internasional), sedangkan kaidah-kaidah HPI adalah hukum perdata nasional. Dengan demikian, masing-masing negara yang ada di dunia ini memiliki HPI sendiri, sehingga akan dikenal HPI Indonesia, HPI Jerman, HPI Inggris, HPI Belanda, dan sebagainya. 35

2. Ruang Lingkup HPI (HPI) Menurut Sudargo Gautama, ruang lingkup HPI, yaitu : 36

a. HPI = rechtstoepassingsrecht HPI hanya terbatas pada masalah hukum yang diberlakukan

(rechtstoepassingsrecht). Pandangan yang demikian ini merupakan pandangan yang tersempit sehubungan dengan ruang lingkup HPI. Sistem semacam ini dianut oleh HPI Jerman dan Belanda.

b. HPI = choice of law + choice of jurisdiction Menurut sistem ini, HPI tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan

masalah hukum yang diberlakukan (conflict of laws atau lebih tepatnya choice of law ), tetapi mencakup pula persoalan-persoalan mengenai hakim manakah yang berwenang (conflict of jurisdiction atau lebih tepat choice of jurisdiction), yakni persoalan tentang kompetensi atau wewenang hakim. Sistem HPI yang lebih luas ini dikenal di Inggris, Amerika Serikat,, dan negara-negara Anglo Saxon lainnya.

c. HPI = choice of law + choice of jurisdiction + condition des etrangers

Dalam sistem ini HPI tidak hanya menyangkut persoalan pilihan hukum dan pilihan forum, tapi juga menyangkut status orang asing (condition des etranger, vreemdelingen-statuut ). Sistem semacam ini dikenal di negara-negara latin, yaitu Italia, Spanyol, dan negara-negara Amerika Selatan.

34 Bandingkan dengan Ibid, hlm. 6. 35 Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan JawahirThontowi, op.cit, hlm. 4. 36 Sudargo Gautama, op.cit., Pengantar..., hlm. 8-10 34 Bandingkan dengan Ibid, hlm. 6. 35 Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan JawahirThontowi, op.cit, hlm. 4. 36 Sudargo Gautama, op.cit., Pengantar..., hlm. 8-10

Menurut sistem ini, HPI menyangkut persoalan choice of laws, choice of jurisdiction, status orang asing, dan kewarganegaraan (nationalite). Masalah kewarganegaraan ini menyangkut persoalan tentang cara memperoleh dan hilangnya kewarganegaraan. Sistem yang luas ini dikenal dalam HPI Perancis dan juga dianut kebanyakan penulis HPI.

37 Selain itu, beberapa sarjana HPI seperti Sunaryati Hartono 38 dan Bayu Seto mengemukakan bahwa yang termasuk dalam masalah-masalah pokok HPI, yaitu :

a. Hakim atau badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan perkara- perkara hukum yang mengandung unsur asing.

b. Hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur dan/atau menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mengandung unsur asing.

c. Bilamana/sejauh mana suatu pengadilan harus memperhatikan dan mengakui putusan-putusan hukum asing atau mengakui hak-hak yang terbit berdasarkan hukum atau putusan pengadilan asing.

3. Tahap-Tahap Pemeriksaan suatu Perkara HPI Untuk menjelaskan bagaimana tahap-tahap pemeriksaan suatu perkara HPI akan

dikemukakan contoh sebagai berikut: Kontrak kerja sama antara sebuah Yayasan di Indonesia dengan WFP, yang merupakan badan PBB, bermarkas besar di Roma, Italia dan memiliki beberapa kantor perwakilan, yang salah satunya di Jakarta, Indonesia. Kontrak ditandatangani di Jakarta. Dalam hal ini Yayasan tersebut mempunyai kewajiban untuk membangun fasilitas sanitasi umum, sedangkan pihak WFP memberikan bantuan dana, yang dilakukan dengan transfer antar bank melalui kantor perwakilannya di Indonesia. Namun, setelah dana dikirimkan, yayasan tersebut tidak

37 Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Intemasional, Putra A. Bardin, Bandung, 2001, hlm. 13-14. 38 Bayu Seto, op.cit, hlm.14-16.

memenuhi janjinya untuk menyelesaikan pembangunan fasilitas sanitasi umum pada waktunya. Dalam kontrak kerja sama tersebut para pihak memilih forum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka.

Menurut Sunaryati Hartono, tahap-tahap pemeriksaan suatu perkara HPI, yaitu: 39

a. Jika dengan bantuan TPP diketahui terdapat suatu perkara HPI, maka pertama-tama harus ditentukan: pengadilan mana yang berwenang memeriksa perkara yang bersangkutan.

Dalam tahap ini, terdapat persoalan hukum dalam wujud sekumpulan fakta hukum yang mengandung unsur-unsur asing. Contoh di atas menunjukkan adanya kaitan antara fakta-fakta yang ada di perkara dengan suatu negara dan juga sistem hukum negara-negara tertentu, yaitu :

1) Status badan hukum Yayasan (Indonesia);

2) Status hukum WFP (Italia);

3) Tempat kontrak ditandatangani (Indonesia);

4) Tempat dilaksanakannya pembangunan fasilitas sanitasi umum (Indonesia);

5) Tempat dilakukannya pemberian dana melalui transfer antar bank (Indonesia);

6) Tempat perkara diajukan/forum (Indonesia);

7) Bahasa dalam kontrak yang digunakan (Inggris). Fakta-fakta tersebut dalam HPI disebut TPP. TPP adalah faktor-faktor atau

keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta yang melahirkan atau menciptakan hubungan HPI. 40 TPP menunjukkan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan

peristiwa HPI, dan bukan suatu peristiwa intern nasional. Oleh sebab itu maka TPP

39 Sunaryati Hartono, op .cit, hlm. 81-82. Lihat juga Bayu Seto, op. cit, hlm. 9-14. 40 Sudargo Gautama, op.cit, Pengantar..., hlm.25 39 Sunaryati Hartono, op .cit, hlm. 81-82. Lihat juga Bayu Seto, op. cit, hlm. 9-14. 40 Sudargo Gautama, op.cit, Pengantar..., hlm.25

kemudian harus ditentukan forum yang memiltki kewenangan untuk memeriksa perkara. Dalam hal ini karena para pihak memilih forum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka HPI dan Hukum Acara Indonesia yang akan beriaku baginya. Dalam hal para pihak memilih arbitrase sebagai pilihan forumnya, maka hukum formil yang mengatur prosedur arbitrase ini adalah hukum dari tempat dimana arbitrase ini dilakukan. Misalnya saja para pihak mengadakan arbitrase di Indonesia, maka ketentuan beracara mereka akan menggunakan hukum acara Indonesia.

b. Tingkat yang kedua selanjutnya adalah menentukan mengenai persoalan apakah perkara HPI tersebut.

Pada tahap ini dilakukan kualifikasi (dari fakta-fakta). Oleh karena pada tahap ini baru diketahui lex fori-nya 42 , maka pengkualifikasian dilakukan menurut

lex fori , Dari contoh di atas, maka hakim Indonesia harus terlebih dahulu melakukan kualifikasi fakta 43 yang pada dasarnya merupakan upaya untuk

menentukan kategori yuridik dari sekumpulan fakta yang dihadapi dalam perkara dan menentukan kualifikasi hukum 44 dari pokok perkara berdasarkan kategori

yuridis yang dikenal hakim (berdasarkan kategori yuridis yang dikenal di dalam lex fori ). Dalam hal ini, hakim Indonesia mengkualifikasikan sekumpulan fakta yang dihadapi dalam perkara tersebut, selanjutnya berdasarkan kualifikasi hukum yang dikenal di dalam hukum Indonesia, perkara dikualifikasikan sebagai gugatan wanprestasi dalam kontrak.

c. Usaha selanjutnya adalah mencari hukum mana yang berlaku (lex causae). Dalam

41 Sunaryati Hartono, op. cit, hlm. 88. 42 Lex fori adalah sistem hukum dari tempat dimana persoalan hukum diajukan sebagai perkara. Dengan kata lain, lex fori adalah hukum dari forum tempat perkara diselesaikan. Lihat Bayu Seto, op.cit, hlm.10.

43 Kualifikasi fakta adalah proses kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta di dalam sebuah peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah hukum (legal issues), sesuai dengan

klasifikasi kaidah-kaidah hukum yang berlaku di dalam suatu sistem hukum tertentu. Lihat Ibid, hlm. 47. 44 Kualifikasi hukum adalah penetapan tentang penggolongan/pembagian seluruh kaidah hukum di dalam sebuah

sistem hukum ke dalam pembidangan, pengelompokan, atau kategori hukum tertentu. Ibid, hlm.48.

tahap ini harus dicari titik-titik pertalian sekunder (TPS) yang dilakukan berdasarkan lex fori, oleh karena sampat tahap ini belum ada sistem hukum lain yang ditemukan. TPS adalah faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan HPI. 45 IPS

seringkali disebut titik taut penentu, karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan (lex causae) dalam penyelesaian suatu perkara. 46 Dalam praktik, terkadang lex causae ini adalah lex fori juga, maka usaha

selanjutnya diteruskan menurut lex fori. Selain itu, terkadang lex causae ditentukan oleh tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus ), tempat dilaksanakannya kontrak (lex loci solutionis), dan lain-lain.

Sejalan dengan butir b di atas, misalnya kaidah HPI yang harus digunakan adalah kaidah HPI lex fori (Indonesia) tentang pelaksanaan kontrak, yang rumusannya sebagai berikut: "Masalah-masalah hukum yang timbuldari pelaksanaan suatu kontrak (ini adalah kategori perkara hasil kualifikasi) harus diatur berdasarkan hukum dari tempat di mana kontrak itu dilaksanakan. Dengan demikian, karena fakta dalam perkara menunjukkan bahwa tempat pelaksanaan kontrak (pembangunan sanitasi umum dan pemberian dana) adalah di Indonesia, maka hukum Indonesia-lah yang harus dianggap sebagai lex causae. Artinya, kaidah-kaidah hukum perdata intern Indonesia-lah yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara hukum yang sedang dihadapi.

d. Setelah lex causae diketahui, maka kualifikasi dan penentuan perkara HPI selanjutnya dilakukan menurut lex causae. Dihubungkan dengan contoh di atas, hakim akan memutus perkara tentang wanprestasi dalam pelaksanaan kontrak dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUH Perdata). Namun, apabila lex causae memberi hasil yang :

1) Bertentangan dengan ketertiban umum lex fori, maka lex fori-lah yang berlaku; atau

45 Sunaryati Hartono, op.cit, hlm, 34. 46 Bayu Seto, op.cit, hlm. 43.

2) Jika lex causae tidak mengatur persoalan HPI yang bersangkutan.

B. Forum yang Berwenang Menyelesaikan Perselislhan yang Timbul dalam Kontrak yang Mengandung Unsur-Unsur Asing

Yurtsdiksi suatu forum di dalam HPI merupakan kekuasaan dan kewenangan suatu forum untuk memeriksa dan menentukan suatu permasalahan yang dimintakan kepadanya untuk diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum asing yang relevan. 47

Untuk menjalankan yurisdiksi yang diakui secara internasional, suatu forum harus mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak atau harta kekayaan yang dipersengketakan. 48

Mengenai persoalan forum mana yang berhak untuk mengadili harus diperhatikan masalah pilihan forum (forum pengadilan atau forum arbitrase), kewenangan mengadili dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kewenangan mengadili.

1. Pilihan Forum Di dalam suatu kontrak internasional, selain dikenal adanya pilihan hukum

(choice of law) juga dikenal adanya pilihan forum (choice of forum). Pilihan forum ini bermakna, bahwa para pihak di dalam kontrak bersepakat memilih forum atau lembaga yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul diantara kedua belah pihak.

Menurut Convention on the Choice of Court 1965, pilihan forum terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat internasional. Pilihan forum tidak berlaku bagi: 49

a. status atau kewenangan orang atau hukum keluar, termasuk kewajiban atau hak-hak pribadi atau fmansial antara orang tua dan/ atau antara suami dan. istri;

47 Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahif Thontowi, op.cit, hlm. 141. 48 Ibid. 49 Sudargo Gautama, op.cit, ...Buku ke-8, hlm. 234.

b. permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir a;

c. warisan;

d. kepailitan;

e. hak-hak atas benda tidak bergerak Pilihan forum yang dimaksud di atas selain dapat menunjuk kepada suatu

pengadilan di negara tertentu, juga dapat menunjuk badan arbitrase tertentu. Pengadilan atau arbitrase sebelum memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan kepadanya, terlebih dahulu harus meneliti apakah ia berwenang mengadili perkara tersebut. Salah satu cara untuk menentukan berwenang tidaknya ia mengadili perkara yang bersangkutan adalah dengan meneliti ktausula pilihan forum yang terdapat dalam kontrak yang bersangkutan. 50

Bilamana hakim yang mengadili suatu perkara yang mengandung unsur asing menemui adanya pilihan forum yang menunjuk kepada badan peradilan lain atau menunjuk pada badan arbitrase lain, tetapi berlainan kompetensi relatifnya, maka hakim yang bersangkutan harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut. 51

Demikian juga apabila di dalam suatu kontrak itu para pihak ternyata memilih forum arbitrase di luar negeri atau di Indonesia, maka perkaranya tidak dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri. 52

2. Pilihan Forum Pengadilan Penyelesaian sengketa melalui forum pengadilan adalah suatu pola penyelesaian

melalui proses gugatan atas suatu sengketa yang diritualisasikan untuk menggantikan sengketa sesungguhnya, melalui persidangan-persidangan untuk diperiksa oleh hakim,

50 Bandingkan dengan Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno, dan Jawahir Thontowi op.cit, hlm. 147. 51 Ibid.

52 Ibid. hlm. 148.

dengan putusannya yang bersifat mengikat. 53 Para pihak dapat melakukan pilihan forum pada pengadilan untuk

menyelesaikan sengketanya, dengan mencantumkan klausula dalam kontrak. Misalnya saja para pihak memilih yurisdiksi District of Court di New York, maka dalam hal ini District of Court New York -lah yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka.

Pada umumnya para pihak dianggap mempunyai kebebasan untuk memilih forum pengadilan. Mereka bisa menyimpang dari kompetensi relatif dengan memilih hakim lain. Akan tetapi, tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi berwenang bilamana menurut kaidah-kaidah hukum intern negara yang bersangkutan hakim tidak berwenang adanya. Menurut Sudargo Gautama, misalnya saja untuk Nederland tak akan dapat dipilih hakim jika menurut hukum Belanda sama sekali tidak ada hakim Belanda yang, relatif berwenang untuk mengadili perkara itu. 54

3. Pilihan Forum Arbitrase

a. Pengertian Arbitrase Berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Jadi, arbitrase adalah perjanjian perdata di antara para pihak sendiri yang bersepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka, yang diputuskan oleh pihak ketiga yang netral (arbitrator) secara musyawarah.

b. Perumusan Klausula Arbitrase Berdasarkan definisi yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 30

53 Salim, H.S., Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 141. 54 Sudargo Gautama, Buku ke-8, op.cit, hlm.233.

Tahun 1999 tentang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikenal adanya dua bentuk klausula arbitrase, yaitu : 55

1) Pactum de compromittendo Dalam pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan

akan menyelesaikan perselisihan melalui forum arbitrase sebelum terjadi perselisihan yang nyata.

Bentuk klausula pactum de compromittendo ini diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal tersebut berbunyi: “Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase ”.

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada dua cara, yaitu dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok atau dibuat terpisah dalam akta tersendiri.

2) Akta Kompromis Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, akta kompromis diatur dalam Pasal 9 yang berbunyi:

(1) Dalam hal para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.

(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

55 Gunawan Widjaja, op.cit., hlm. 47.

(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat:

a) masalah yang dipersengketakan;

b) nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

c) nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau rnajelis arbitrase;

d) tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;

e) nama lengkap sekretaris;

f) jangka waktu penyelesaian sengketa;

g) pernyataan kesediaan arbiter; dan

h) pernyataan kesediaan para pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. (4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.

c. Jenis-Jenis Arbitrase Dengan mengacu kepada Konvensi New York 1958 dan ketentuan yang

terdapat dalam UNCITRAL Arbitration Rules, maka dapat dikemukakan dua jenis arbitrase, yaitu: 56

1) Arbitrase ad hoc; Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk

menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan. Para pihak dapat mengatur cara-cara bagimana pelaksanaan pemilihan para arbiter, kerangka kerja prosedur arbitrase dan aparatur administratif dari arbitrase.

56 Ibid, hlm.52-54.

2) Arbitrase institusional Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang

sifatnya permanen. Karena sering juga disebut permanent arbitration sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958, arbitrase ini disedikan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Selain itu, arbitrase institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc yang baru dibentuk setelah perselisihan timbul.

d. UNCITRAL Arbitration Rules UNCITRAL Arbitration Rules merupakan suatu set kaidah-kaidah yang

mengatur apa yang dinamakan ad hoc arbitration, Arbitrase secara ad hoc ini adalah arbitrase yang tidak diselenggarakan oleh suatu atau melatui suatu badan lembaga arbitrase tertentu (institutional abitration). Para pihak dapat menunjuk kepada kaidah-kaidah UNCITRAL Arbitration Rules ini dengan cara memasukkan Arbitration Clause di dalam kontrak mereka. Arbitration clause ini menyatakan secara tegas bahwa semua sengketa yang akan timbul dari atau berkenaan dengan kontrak mereka ini akan diselesaikan secara final dan mengikat dengan cara arbitrase sesuai dengan ketentuan-ketentuan UNCITRAL Arbitration Rules. 57

Kaidah-kaidah ini bersifat optional di dalam arbitrase ad hoc. Artinya bahwa para pihak tidak diwajibkan untuk memakainya. Mereka dapat memilih untuk memakainya atau tidak.

Mengingat UNCITRAL sendiri tidak mendirikan lembaga arbitrase, maka para pihak dapat memilih ad hoc arbitration atau memilih lembaga arbitrase yang ada untuk membantu mereka dalam menyelenggarakan arbitrase bersangkutan. Lembaga arbitrase ini dalam hal demikian akan memakai kaedah- kaedahnya sendiri. Dengan demikian maka arbitrase yang dilakukan itu akan merupakan suatu ad hoc arbitration yang diatur oleh lembaga-lembaga arbitrase

57 Sudargo Gautama, op.ctf, Arbitrase Dagang Internasional, hlm. 19.

yang sudah ada (administered ad hoc arbitration). 58 Substansi UNCITRAL Arbitration Rules diklasifikasikan atas empat bagian,

yaitu:

1) Ketentuan pengantar (intoductory rules), yang mencakup:

a. Ruang Lingkup (Scope of Application), Pasal 1 UNCITRAL Arbitration Rules .

Pasal 1 Paragraph 1 dari UNCITRAL Arbitration Rules menyatakan secara tegas bahwa apabila para pihak telah menyetujui secara tertulis (yaitu dengan menerima apa yang dinamakan suatu arbitration clause) untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari kontrak melalui arbitrase berdasarkan UNCITRAL Arbitration Rules, maka sengketa-sengketa demikian itu harus diselesaikan sesuai dengan apa yang diatur UNCITRAL Arbitration Rules , kecuali jika para pihak telah mengadakan modifikasi- modifikasi tertentu secara tertulis terhadap kaidah-kaidah UNCITRAL Arbitration Rules ini.