Analisis Ekspektasi Inflasi Di Sumatera Utara

(1)

SKRIPSI

ANALISIS EKSPEKTASI INFLASI DI SUMATERA UTARA

OLEH ARIWAN REZEKI

110523015

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Lembar Pernyataan

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Ekspektasi Inflasi Di Sumatera Utara” adalah benar hasil karya saya sendiri yang disusun sebagai tugas akademik guna menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari perusahaan atau lembaga, dan atau saya kutip dari hasil orang lain telah mendapat izin, dan atau dituliskan sumbernya secara jelas sesuai norma, kaidah dan etika peulisan ilmiah.

Apabila kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan plagiat dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Maret 2014

110523015 Ariwan Rezeki


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

Nama : Ariwan Rezeki

PERSETUJUAN PERCETAKAN NIM : 110523015

Departemen : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perbankan

Judul Skripsi : Analisis Ekspektasi Inflasi Di Sumatera Utara

Tanggal, Ketua Program Studi,

NIP. 19710503 200312 1 003 Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D

Tanggal, Ketua Departemen,

NIP. 19730408 199802 1 001 Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

Nama : Ariwan Rezeki

PERSETUJUAN PERCETAKAN NIM : 110523015

Departemen : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perbankan

Judul Skripsi : Analisis Ekspektasi Inflasi Di Sumatera Utara

Tanggal, Ketua Program Studi,

NIP. 19710503 200312 1 003 Kasyful Mahalli, SE, M.Si

Tanggal, Pembaca Nilai,

NIP. 19671111 200212 1 001 Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si


(5)

ABSTRACT

Inflation is an indicator to see the rate of change, and is considered to occur if the price increase takes place continuously and mutually-affecting effect. The level of inflation is determined by forces of demand and supply for goods and services that reflect the behavior of market participants or the public. One of the factors that influence people's behavior is the expectation of the inflation rate in the future. Expectations of high inflation that will encourage people to divert its financial assets into real assets, such as land, houses, and other consumer goods. Vice versa expectations of low inflation rates will provide incentives for people to save and invest in productive sectors. Public expectations for inflation in the future, among others, can be seen from the development of the nominal interest rate. The nominal interest rate reflects the real interest rate plus expected inflation. Thus, the development of the nominal interest rate can be used as an indicator of the public's expectations.

This analysis using regression and cointegration to examine the relationship of short-term and long-term inflation spreads between the interest rate spread. From the results obtained for the short-term and long-term spreads are able to explain in a period equal to the period of significant inflation expectations and the direction of movement in both the short and long-term inflation expectations deposit interest rate spread is only 3 and 12 months. However, the model still can not be used to make projections of inflation expectations.


(6)

ABSTRAK

Inflasi merupakan indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Tingkat laju inflasi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran terhadap barang dan jasa yang mencerminkan perilaku para pelaku pasar atau masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut adalah ekspektasi terhadap laju inflasi di masa yang akan datang. Ekspektasi laju inflasi yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk mengalihkan aset finansial yang dimilikinya menjadi asset riil, seperti tanah, rumah, dan barang-barang konsumsi lainnya. Begitu juga sebaliknya ekspektasi laju inflasi yang rendah akan memberikan insentif terhadap masyarakat untuk menabung serta melakukan investasi pada sektor-sektor produktif. Ekspektasi masyarakat terhadap inflasi di masa yang akan datang antara lain dapat dilihat dari perkembangan suku bunga nominal. Suku bunga nominal ini mencerminkan suku bunga riil ditambah ekspektasi inflasi. Dengan demikian, perkembangan suku bunga nominal dapat digunakan sebagai indikator ekspektasi masyarakat.

Analisa ini menggunakan regresi dan kointegrasi untuk menguji hubungan janka pendek maupun jangka panjang antara spread inflasi dengan spread suku bunga. Dari hasil yang diperoleh untuk jangka pendek dan jangka panjang spread

yang mampu menjelaskan dalam suatu priode jangka waktu yang sama dengan ekspektasi inflasi secara signifikan dan searah pergerakannya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan ekspektasi inflasi hanyalah spread suku bunga deposito 3 dan 12 bulan. Namun demikian model masih belum dapat digunakan untuk melakukan proyeksi ekspektasi inflasi.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah

skripsi yang berjudul “Analisis Ekspektasi Inflasi Di Sumatera Utara” dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai

pihak dan berkah dari Alla

dihadapi tersebut dapat diatasi. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si Dosen pembimbing yang telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun skripsi.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada:

1. Teristimewa kepada Ibunda tercinta Asnawati_S.Pd dan Ayahanda Drs._Amiruddin, serta Adik-adikku Setiadi, Arisma, Bayaku Tona yang telah memberikan do’a, dukungan moril maupun materi kepada penulis selama penulis duduk di bangku kuliah hingga penulisan skripsi ini selesai. 2. Bpk Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec, Ac.Ak, CA selaku Dekan Fakultas

Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku Ketua dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.


(8)

4. Bpk Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D selaku Ketua dan Bpk Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

5. Bpk Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si selaku Dosen Pembaca Penilai yang telah memberikan masukan, petunjuk serta nasehat dalam menyempurnakan penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi yang telah mendidik mahasiswa/i dengan penuh dedikasi, loyalitas, dan profesionalitas.

7. Seluruh Staff dan Pegawai di Fakultas Ekonomi Sumatera Utara untuk semua jasa-jasanya dalam memberikan bantuan kepada penulis selama perkuliahan.

8. Kepada seluruh Rekan-rekan penulis di Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan, dalam penyusunan skripsi ini, namun semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun para pembaca.

Medan, Maret 2014

110523015 Ariwan Rezeki


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Hipotesis ... 5

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Inflasi ... 7

2.1.1. Defenisi dan Pengertian Inflasi ... 7

2.1.2. Macam-Macam Inflasi ... 8

2.1.3. Teori-Teori Inflasi ... 13

2.1.4. Pengelompokan Inflasi ... 25

2.1.5. Dampak Inflasi ... 27

2.1.6. Ekspektasi Inflasi ... 32

2.2. Suku Bunga Deposito ... 35

2.2.1. Suku Bunga ... 35

2.2.2. Bunga Deposito ... 38

2.2.3. Fungsi Suku Bunga ... 41

2.3. Kebijakan Moneter ... 41

2.4. Penelitian Terdahulu ... 45

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 47

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 47

3.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 48

3.4. Pengolahan Data ... 48

3.5. Model Analisis Data ... 48

3.5.1. Uji akar unit (ADF Test) ... 50

3.5.2. Uji Granger Causality ... 51

3.5.3. Uji Regresi Ordinary Least Square (OLS) ... 51

3.5.4. Uji Kointegrasi (Engle-Granger) ... 52

3.5.5. Persamaan Error Correction Model (ECM) ... 53


(10)

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Deskriktif ... 55

4.1.1. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara ... 55

4.1.2. Gambaran Umum Perekonomian Sumatera Utara ... 59

4.2. Perkembangan Inflasi Sumatera Utara ... 61

4.3. Perkembangan Suku Bunga Deposito ... 65

4.4. Interprestasi Data ... 66

4.4.1. Uji akar unit (ADF Test) ... 66

4.4.2. Uji Granger Causality ... 67

4.4.3. Uji Regresi Ordinary Least Square (OLS) ... 68

4.4.4. Uji Kointegrasi (Engle-Granger) ... 70

4.4.5. Persamaan Error Correction Model (ECM) ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 73

5.2. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

4.1. Kondisi Geografis Sumatera Utara ... 57

4.2. Perkembangan Indikator Makro Ekonomi Sumatera Utara ... 61

4.3. Perkembangan tingkat inflasi di Sumatera Utara Kondisi... 62

4.5. Perkembangan tingkat Suku Bunga Deposito di Sumatera Utara . 65 4.6. Uji Stationaritas ... 67

4.7. Uji Kausalitas ... 68

4.8. Uji Kointegrasi Engle-Granger ... 70


(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1. Gambar Demand Full Inflation ... 10

2.2. Gambar Cost Full Inflation ... 10

2.3. Gambar Inflationary Gap timbul ... 19

2.4. Gambar Inflationary Gap hilang ... 21


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Uji Regresi OLS (Ordinary Least Square) Lampiran 2 Uji Kointegrasi Engle-Granger


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Inflasi dapat di artikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai tinggi-rendahnya tingkat harga (Sukwiaty, 2006 : 154). Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Tingkat inflasi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran terhadap barang dan jasa yang mencerminkan perilaku para pelaku pasar atau masyarakat.

Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut adalah ekspektasi terhadap inflasi di masa yang akan datang. Ekspektasi inflasi yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk mengalihkan aset finansial yang dimilikinya menjadi asset riil, seperti tanah, rumah, dan barang-barang konsumsi lainnya. Begitu juga sebaliknya ekspektasi inflasi yang rendah akan memberikan insentif terhadap masyarakat untuk menabung serta melakukan investasi pada sektor-sektor produktif.

Ekspektasi inflasi dapat dibentuk diantaranya melalui pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan serta kebijakan yang diambil bank sentral dalam pencapaian target tersebut. Jika Bank sentral sangat kredibel di mata agen ekonomi, maka


(15)

ABSTRACT

Inflation is an indicator to see the rate of change, and is considered to occur if the price increase takes place continuously and mutually-affecting effect. The level of inflation is determined by forces of demand and supply for goods and services that reflect the behavior of market participants or the public. One of the factors that influence people's behavior is the expectation of the inflation rate in the future. Expectations of high inflation that will encourage people to divert its financial assets into real assets, such as land, houses, and other consumer goods. Vice versa expectations of low inflation rates will provide incentives for people to save and invest in productive sectors. Public expectations for inflation in the future, among others, can be seen from the development of the nominal interest rate. The nominal interest rate reflects the real interest rate plus expected inflation. Thus, the development of the nominal interest rate can be used as an indicator of the public's expectations.

This analysis using regression and cointegration to examine the relationship of short-term and long-term inflation spreads between the interest rate spread. From the results obtained for the short-term and long-term spreads are able to explain in a period equal to the period of significant inflation expectations and the direction of movement in both the short and long-term inflation expectations deposit interest rate spread is only 3 and 12 months. However, the model still can not be used to make projections of inflation expectations.


(16)

ABSTRAK

Inflasi merupakan indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Tingkat laju inflasi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran terhadap barang dan jasa yang mencerminkan perilaku para pelaku pasar atau masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut adalah ekspektasi terhadap laju inflasi di masa yang akan datang. Ekspektasi laju inflasi yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk mengalihkan aset finansial yang dimilikinya menjadi asset riil, seperti tanah, rumah, dan barang-barang konsumsi lainnya. Begitu juga sebaliknya ekspektasi laju inflasi yang rendah akan memberikan insentif terhadap masyarakat untuk menabung serta melakukan investasi pada sektor-sektor produktif. Ekspektasi masyarakat terhadap inflasi di masa yang akan datang antara lain dapat dilihat dari perkembangan suku bunga nominal. Suku bunga nominal ini mencerminkan suku bunga riil ditambah ekspektasi inflasi. Dengan demikian, perkembangan suku bunga nominal dapat digunakan sebagai indikator ekspektasi masyarakat.

Analisa ini menggunakan regresi dan kointegrasi untuk menguji hubungan janka pendek maupun jangka panjang antara spread inflasi dengan spread suku bunga. Dari hasil yang diperoleh untuk jangka pendek dan jangka panjang spread

yang mampu menjelaskan dalam suatu priode jangka waktu yang sama dengan ekspektasi inflasi secara signifikan dan searah pergerakannya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan ekspektasi inflasi hanyalah spread suku bunga deposito 3 dan 12 bulan. Namun demikian model masih belum dapat digunakan untuk melakukan proyeksi ekspektasi inflasi.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Inflasi dapat di artikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai tinggi-rendahnya tingkat harga (Sukwiaty, 2006 : 154). Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Tingkat inflasi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran terhadap barang dan jasa yang mencerminkan perilaku para pelaku pasar atau masyarakat.

Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut adalah ekspektasi terhadap inflasi di masa yang akan datang. Ekspektasi inflasi yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk mengalihkan aset finansial yang dimilikinya menjadi asset riil, seperti tanah, rumah, dan barang-barang konsumsi lainnya. Begitu juga sebaliknya ekspektasi inflasi yang rendah akan memberikan insentif terhadap masyarakat untuk menabung serta melakukan investasi pada sektor-sektor produktif.

Ekspektasi inflasi dapat dibentuk diantaranya melalui pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan serta kebijakan yang diambil bank sentral dalam pencapaian target tersebut. Jika Bank sentral sangat kredibel di mata agen ekonomi, maka


(18)

agen ekonomi sangat percaya bahwa bank sentral akan melakukan tindakan yang tepat dalam mengendalikan inflasi ketika inflasi mulai bergerak menjauh dari sasaran inflasi yang ditetapkan. Dalam situasi tersebut, ekspektasi inflasi masyarakat tidak akan bergerak liar, namun terpatri pada tingkat yang sesuai dengan tujuan Bank Sentral dalam menjaga stabilitas harga.

Penetapan harga dan upah cenderung mengikuti koridor target inflasi yang ditetapkan bank sentral dan kurang responsif terhadap fluktuasi inflasi sesaat. Hal ini sangat membantu bank sentral, karena otoritas moneter dapat mengabaikan volatilitas harga jangka pendek dan lebih cenderung mengambil pendekatan jangka menengah-panjang dalam mengendalikan inflasi.

Ekspektasi inflasi merupakan salahsatu peran penting dalam proses pembentukan inflasi sebagai konsekuensi logis dari aktivitas perekonomian suatu Negara. Pengambilan keputusan-keputusan ekonomi dari suatu rumah tangga, perusahaan atau pemerintah selaku pembuat kebijakan-kebijakan juga sangat tergantung pada bagaimana ekspektasi mereka terhadap kondisi ekonomi mendatang. Ekspektasi inflasi juga menjadi salah satu landasan utama umumnya para agen ekonomi dalam menetapkan harga dan upah yang pada akhirnya mempengaruhi keputusan konsumsi dan investasi.

Ekspektasi inflasi mengacu pada pandangan atau ramalan pelaku ekonomi mengenai perubahan harga yang terjadi di masa mendatang. Pemahaman agen ekonomi akan prospek harga ke depan melatar belakangi keputusan yang diambilnya saat ini, yang bahkan dapat mempengaruhi harga aktual atau bahkan variabel ekonomi lain di luar harga. Ekspektasi inflasi dapat terbentuk dari proses


(19)

pemikiran yang bersifat backward looking atau forward looking. Dengan pola pikir yang backward looking, agen ekonomi meramal arah tingkat harga ke depan berdasarkan data historis. Dalam hal ini, perubahan ekspektasi inflasi bersifat adaptif, artinya perubahan itu tergantung pada persepsi pelaku ekonomi mengenai inflasi, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang telah terjadi. Sebagai contoh, sebuah perusahaan menaikkan harga produknya dalam merespons inflasi bahan pokok yang tinggi. Selama inflasi aktual (perubahan harga dari masa lalu ke masa sekarang) masih tinggi, perusahaan tersebut belum akan berhenti menaikkan harga. Sementara itu, ada ekspektasi yang disusun berdasarkan pola pikir yang forward looking. Dimana ekspektasi inflasi agen ekonomi mengacu pada target inflasi bank sentral dan upayanya untuk mencapai sasaran itu. Dalam kasus perusahaan tadi misalnya, perusahaan yang lebih berorientasi forward

looking akan langsung menghentikan kenaikan harga produknya jika dia

mendapati bahwa bank sentral sudah bertindak untuk menahan laju inflasi (dan dengan demikian percaya bahwa inflasi ke depan akan lebih terkendali).

Di Indonesia, ekspektasi inflasi belakangan ini menjelma menjadi salah satu faktor yang menentukan arah dan stabilitas pasar keuangan, tren kenaikan upah minimum buruh di beberapa daerah, rencana kenaikan tarif tenaga listrik (TTL), dan tekanan kepada pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM), turut meningkatkan ekspektasi inflasi setiap tahunnya.

Dari sisi moneter, kondisi tersebut telah menyebabkan tekanan terhadap pelemahan nilai tukar rupiah yang meningkat, sementara inflasi masih relatif tinggi salah satunya karena dampak meningkatnya ekspektasi inflasi. Bank


(20)

Indonesia memandang bahwa meningkatnya ekspektasi inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah tersebut dapat meningkatkan resiko ketidak stabilan makro ekonomi yang dapat mengganggu keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Secara umum tingkat laju inflasi dapat ditentukan oleh kekutan permintaan dan penawaran yang mencerminkan perilaku para pelaku pasar atau masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut adalah ekspektasi mereka terhadap laju inflasi di masa yang akan datang. Ekspektasi laju inflasi yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk mengalihkan aset finansial yang dimilikinya menjadi aset rill seperti tanah, rumah dan barang-barang konsumsi lainnya. Begitu juga sebaliknya, ekspektasi laju inflasi yang rendah akan memberikan insentif kepada masyarakat untuk menabung serta melakukan investasi pada sektor-sektor produktif.

Ekspektasi masyarakat terhadapa inflasi di masa yang akan datang antara lain dapat dilihat dari perkembangan suku bunga nominal perbankan. Hal ini sejalan dengan sudut pandang term structure theory yang mengatakan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi di masa yang akan datang dapat dilihat dari suku bunga nominal. Secara umum, suku bunga nominal mencerminkan suku bunga rill ditambah ekspektasi inflasi. Dengan demikian, perkembangan suku bunga nominal dapat digunakan sebagai indikator ekspektasi inflasi masyarakat.

Di Indonesia terdapat beberapa jenis suku bunga nominal di antaranya PUAB. Deposito berjangka 1 bulan sampai dengan 2 tahun, suku bunga kredit


(21)

modal kerja, dan suku bunga kredit investasi. Pada umumnya, di negara-negara maju ekspektasi inflasi dilihat dengan menggunakan suku bunga obligasi. Namun demikian, Fry (1988) dalam membahas terms structure of interest rate di negara-negara berkembang menggunakan suku bunga deposito untuk penelitiannya.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis mencoba untuk membahas lebih lanjut mengenai ekspektasi inflasi yang berkembang dimasyarakat, dengan suku bunga yang ada melakukan pengujian terhadap berbagai spread suku bunga untuk menemukan suatu suku bunga yang dapat digunakan dalam menjelaskan pergerakan laju ekspektasi inflasi di Sumatera Utara dengan mengangkat judul “Analisis Ekspektasi Inflasi di Sumatera Utara”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan suku bunga yang ada penulis akan melakukan pegujian terhadap berbagi spread suku bunga untuk menemukan suatu suku bunga yang dapat digunakan dalam menjelaskan pergerakan laju ekspektasi inflasi di Sumatera Utara.

1.3. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari suatu permasalahan yang ada. Hal ini berarti bahwa hipotesis yang ada bukan berarti jawaban akhir, namun kesimpulan sementara yang harus diuji kebenarannya dengan data-data yang mempunyai hubungan ataupun dengan melihat fakta yang terjadi dilapangan.


(22)

Berdasarkan bentuk permasalahan yang di kemukakan diatas maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut, yaitu diduga ada pengaruh positif dan signifikan antara suku bunga terhadap inflasi sehingga dapat ditemukan suatu suku bunga untuk dapat digunakan sebagai salah satu indikator yang dapat mencerminkan ekspektasi inflasi pada priode jangka pendek dan panjang.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pergerakan spread suku bunga yang dapat menjelaskan pergerakan ekspektasi inflasi sehingga dapat menggambarkan ekspektasi inflasi masyarakat di Sumatera Utara.

Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Melalui penelitian ini diharapkan penulis akan memperoleh wawasan yang lebih bermanfaat dan hal-hal yang berkaitan dengan ekspektasi inflasi di Sumatera Utara. Demikian juga dengan pihak-pihak lain akan memperoleh informasi pergerakan ekspektasi inflasi yang terjadi di Sumatera Utara.

2. Sebagai sumbangan pikiran bagi peneliti lainnya untuk menganalisa masalah yang sama dengan metode yang lain, baik dari segi jangka waktu, data yang digunakan, maupun kaedah analisisnya.

3. Dapat digunakan sebagai bahan studi atau tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Inflasi

2.1.1. Defenisi dan Pengertian Inflasi

Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Banyak pengertian inflasi yang dapat kita jumpai pada beberapa sumber, diantaranya:

Dornbusch dan Fischer (2001), menyebutkan bahwa inflasi merupakan kejadian ekonomi yang sering terjadi meskipun kita tidak pernah menghendaki. Inflasi ada dimana saja dan selalu merupakan fenomena moneter yang mencerminkan adanya pertumbuhan moneter yang berlebihan dan tidak stabil.

Boediono (1980 : 105), mengemukakan bahwa defenisi inflasi adalah kecendrungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga-harga barang lain. Syarat adanya kecendrungan menaik yang terus-menerus juga perlu diingat. Kenaikan harga-harga karena, misalnya musiman, menjelang hari-hari besar, atau yang terjadi sekali saja (dan tidak mempunyai pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi. Kenaikan harga semacam ini tidak dianggap sebagai masalah atau “penyakit” ekonomi yang tidak memerlukan kebijakan khusus untuk menanggulanginya.


(24)

Sedangkan Murni Asfia (2006 : 202), menyatakan bahwa inflasi adalah suatu kejadian yang menunjukan kenaikan tingkat harga secara umum dan berlangsung secara terus menerus.

Dari defenisi tersebut ada tiga kriteria yang perlu diamati untuk melihat telah terjadinya inflasi, yaitu kenaikan harga, bersifat umum, dan terjadi terus menerus dalam rentang waktu tertentu. Apabila terjadi kenaikan harga satu barang yang tidak mempengaruhi harga barang lain, sehingga harga tidak naik secara umum, kejadian seperti itu bukanlah inflasi. Kecuali bila yang naik itu seperti harga BBM, ini berpengaruh terhadap harga-harga lain sehingga secara umum semua produk hampir mengalami kenaikan harga. Bila kenaikan harga itu terjadi sesaat kemudian turun lagi, itu pun belum bisa dikatakan inflasi, karena kenaikan harga yang diperhitungkan dalam konteks inflasi mempunyai rentang waktu minimal satu bulan.

2.1.2. Macam-Macam Inflasi

Ada berbagai cara untuk menggolongkan inflasi, dan penggolongan mana yang kita pilih tergantung pada tujuan kita.

Boediono, dalam bukunya “Pengantar Ilmu Ekonomi” (1980 : 106), menjabarkan bahwa ada beberapa cara untuk penggolongan inflasi, yakni, penggolongan pertama didasarkan atas “parah” tidaknya inflasi tersebut.


(25)

Disini dapat dibedakan beberapa macam inflasi, yaitu: 1. Inflasi ringan (dibawah 10% pertahun)

2. Inflasi sedang (diantara 10-30% pertahun) 3. Inflasi berat (antara 30-100% pertahun) 4. Hiper inflasi (diatas 100% pertahun)

Lebih lanjut, Boediono (1980) memaparkan, Penentuan parah tidaknya inflasi tentu saja sangat relatif dan tergantung pada “selera” kita untuk menamakannya. Dan lagi sebetulnya kita tidak bisa menentukan parah tidaknya suatu inflasi hanya dari sudut laju inflasi saja, tanpa mempertimbangkan siapa-siapa yang menanggung beban atau yang memperoleh keuntungan dari inflasi tersebut. Kalau seandainya laju inflasi adalah 20% dan semuanya berasal dari kenaikan harga dari barang-barang yang dibeli oleh golongan yang berpenghasilan rendah, maka seharusnya kita menamakannya inflasi yang parah.

Penggolongan yang kedua adalah atas dasar sebab awal dari inflasi. Atas dasar ini dapat dibedakan dua macam inflasi, yaitu:

1. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat. Inflasi semacam ini disebut demand full inflation.

2. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Ini disebut cost full inflation.


(26)

Gambar berikut ini akan menggaris bawahi perbedaan dari kedua macam inflasi tersebut.

Gambar 2.1 demand full inflation Gambar 2.2 cost full inflation

Sumber: Pengantar Ilmu Ekonomi Sumber: Pengantar Ilmu Ekonomi

Gambar 2.1 menggambarkan suatu demand full inflation, karena permintaan masyarakat akan barang-barang (aggregate demand) bertambah (misalnya, karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor, atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah), maka kurva aggregate demand bergeser dari Z1 ke Z2. Akibatnya, tingkat harga umum naik pada P1 ke P2.

Pada gambar 2.2 kita lihat bahwa bila biaya produksi naik (misal, karena kenaikan harga sarana produksi yang didatangkan dari luar negeri, atau karena


(27)

kenaikan harga bahan bakar minyak) maka kurva penawaran masyarakat (aggregate supply) bergeser dari S1 ke S2.

Akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output (GDP riil) ada perbedaan. Dalam kasus demand inflation, biasanya ada kecendrungan untuk output (GDP riil) naik bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Besar kecilnya kenaikan output ini tergantung kepada elastisitas kurva

aggregate supply; biasanya semakin mendekati output maksimum semakin tidak elastis kurva tersebut. Sebaliknya, dalam kasus cost inflation, biasanya kenaikan harga-harga dibarengi dengan penurunan omzet penjualan barang (kelesuan usaha).

Perbedaan lain dari kedua proses inflasi tersebut terletak pada urutan kenaikan harga. Dalam demand inflation kenaikan harga barang akhir (output) mendahului kenaikan barang-barang input dan harga-harga faktor produksi (upah dan sebagainya). Sebaliknya, dalam cost inflation kita melihat kenaikan harga barang-barang akhir (otuput) mengikuti kenaikan harga barang-barang input/faktor produksi.

Boediono (1980 : 109), menegaskan bahwa kedua macam inflasi tersebut jarang sekali dijumpai pada prakteknya dalam bentuk yang murni. Pada umumnya, inflasi yang terjadi diberbagai negara di dunia adalah kombinasi dari kedua macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu sama lain.


(28)

Penggolongan yang ketiga adalah berdasarkan asal dari inflasi. Disini dapat dibedakan menjadi dua (Boediono, 1980 : 110):

1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) 2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)

Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul misalnya karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan percetakan uang baru, panen yang gagal, dan sebagainya. Inflasi yang bersaal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan harga-haraga (yaitu, inflasi) di luar negeri atau negara-negara langganan berdagang negara kita. Kenaikan harga barang-barang yang kita impor

mengakibatkan: (1) secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian dari barang-barang yang tercakup didalamnya berasal dari impor, (2) secara tidak langsung menaikan indeks harga melalui kenaikan ongkos produksi (dan kemudian, harga jual) dari berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin yang harus di impor (cost inflation), (3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga didalam negeri karena ada kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian) kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan kenaikan pengeluaran pemerintah/swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan harga impor tersebut (demand inflation).

“Penularan” inflasi dari luar negeri ke dalam negeri bisa pula melalui kenaikan harga barang-barang ekspor, dan saluran-salurannya hanya sedikit berbeda dengan penularan lewat kenaikan harga barang-barang impor. (1) bila harga barang

-

barang ekspor (sepeti kopi, teh ) naik, maka indeks biaya hidup


(29)

akan naik pula sebab barang ini langsung masuk dalam daftar barang-barang yang mencangkup dalam indeks harga. (2) bila harga barang-barang-barang-barang ekspor (seperti kayu, karet timah dan sebagainya) naik, maka ongkos produksi barang-barang yang menggunakan barang-barang tersebut dalam proses produksinya (perumahan, sepatu, kaleng dan sebagainya) akan naik, dan kemudian harga jualnya akan naik pual (cost inflation). (3) kenaikan harga barang-barang ekspor berarti kenaikan penghasilan eksportir (dan juga para produsen barang-barang ekspor tersebut). Kenaikan penghasilan ini kemudian akan dibelanjakan untuk membeli barang-barang (baik dari dalam maupun luar negeri). Bila jumlah barang yang tersedia dipasar tidak bertambah, maka harga-harga barang lain akan naik pula (demand inflation).

Penularan inflasi dari luar negeri ke dalam negeri ini jelas lebih mudah terjadi pada negara-negara yang perekonomiannya terbuka, yaitu dari sektor pedagangan luar negerinya penting (seperti Indonesia, Korea, Taiwan, Singapura, Malaysia dan sebagainya) namun beberapa jauh penularan tersebut terjadi juga

tergantung kepada kebijakan pemerintah yang diambil. Dengan kebijakan-kebjakan moneter dan perpajakan tertentu pemerintah bisa menetralisir kecendrungan inflasi yang berasal dari luar negeri tersebut.

2.1.3. Teori Teori Inflasi

Boediono (1980 : 112), menyebutkan bahwa secara garis besar ada 3 (tiga) kelompok mengenai inflasi, masing-masing menyoroti aspek-aspek tertentu dari proses inflasi dan masing-masing bukan teori inflasi yang lengkap yang


(30)

mencangkup semua aspek penting dari proses kenaikan harga ini. Untuk menerapkannya kita harus menentukan aspek-aspek mana yang dalam kenyataannya penting didalam proses inflasi di suatu negara, dan dengan demikian teori mana (atau kombinasi teori-teori mana) yang lebih cocok.

1. Teori Kuantitas adalah teori yang paling tua mengenai inflasi, namun teori ini (yang akhir-akhir ini mengalamai penyempurnaan-penyempurnaan oleh kelompok ahli ekonomi Universitas Chicago) masih sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern ini, terutama di negara-negara yang sendang berkembang. Teori ini menyoroti peranan dalam inflasi dari (a) jumlah uang beredar, dan (b) ekspektasi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut:

a. Inflasi hanya bisa terjadi jika ada penambahan volume uang yang beredar (apakah berupa penambahan uang kartal atau penambahan uang giral tidak menjadi soal). Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, kejadian seperti misalnya, kegagalan panen hanya akan menaikan harga-harga untuk

sementara waktu saja. Penambahan jumlah uang ibarat “bahan bakar” bagi inflasi. Bila jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan berhenti dengan sendirinya, walau apapun sebab awal kenaikan harga tersebut.

b. Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan oleh jumlah uang yang beredar dan oleh ekspektasi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang. Ada 3 kemungkinan keadaan. Keadaan pertama adalah bila masyarakat tidak (atau belum) mengharapakan harga-harga untuk naik pada bulan-bulan mendatang. Dalam hal ini, sebagian besar dari penambahan


(31)

jumlah uang yang beredar akan diterima oleh masyarakat untuk menambah likuiditasnya (yaitu, memperbesar post kas dalam buku neraca para anggota masyarakat). Ini berarti bahwa sebagian besar dari kenaikan jumlah uang tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Selanjutnya, ini berarti bahwa tidak ada kenaikan permintaan yang berarti akan barang-barang, jadi tidak ada kenaikan harga barang-barang (atau harga-harga mungkin naik sedikit sekali). Dalam keadaan seperti ini, kenaikan jumlah uang yang beredar sebesar 10% diikuti oleh kenaikan harga-haraga sebesar, misal 1%. Keadaan ini biasanya dijumpai pada waktu inflasi masih baru mulai dan masyarakat masih belum sadar bahwa inflasi sedang berlangsung. Keadaan yang kedua

adalah dimana masyarakat (atas dasar pengalaman dibulan-bulan sebelumnya) mulai sadar bahwa ada inflasi. Orang-orang mulai mengharapkan kenaikan harga. Penambahan jumlah uang yang beredar tidak lagi diterima oleh masyarakat untuk menambah pos kasnya, tetapi akan digunakan untuk membeli barang-barang (memperbesar pos aktiva barang-barang didalam neraca). Hali ini dilakukan karena orang-orang berusaha untuk menghindari kerugian yang timbul seandainya mereka memegang uang kas. Kenaikan harga (inflasi) tidak lain adalah suatu “pajak” atas saldo kas yang dipegang masyarakat, karena uang semakin tidak berharga. Dan orang-orang berusaha menghindari “pajak” ini dengan jalan menggunakan saldo kasnya menjadi barang. Orang secara perseorangan bisa melakukan penyesuaian dalam neracanya seperti ini, yaitu dengan jalan membelanjakan uang kasnya untuk membeli barang-barang. Akibat selanjutnya adalah


(32)

naiknya harga barang-barang tersebut. Bila masyarakat mengharapkan harga-harga untuk naik dimasa mendatang sebesar laju inflasi di bulan-bulan yang lalu, maka kenaikan jumlah uang beredar akan sepenuhnya diterjemahkan menjadi kenaikan permintaan akan barang-barang, dalam hal ini kenaikan jumlah uang sebesar misalnya, 10%, akan diikuti dengan kenaikan harga barang-barang sebesear 10% pula. Keadaan seperti ini biasanya dijumpai pada waktu inflasi sudah berjalan cukup lama, dan orang-orang mempunyai cukup waktu untuk menyesuaikan sikapnya terhadapa situasi yang baru. Keadaan yang ketiga terjadi pada tahap inflasi yang lebih parah yaitu tahap hiper inflasi.

Samuelson dan Nordhaus (2001 : 390), mengatakan bahwa dalam keadaan ini orang-orang sudah kehilangan kepercayaannya terhadapa nilai mata uang. Keenganan untuk memegangn uang kas dan keinginan membelanjankan untuk membeli barang seperti uang kas tersebut diterima ditangan menjadi semakin meluas di kalangan masyarakat. Orang-orang cenderung mengharapkan keadaan semakin memburuk; laju inflasi untuk bulan-bulan mendatang diharapkan menjadi semakin besar dibandingkan dengan laju inflasi dibulan-bulan sebelumnya. Keadaan ini ditandai oleh makin cepatnya peredaran uang (velocity of circulation yang naik). Dalam keadaan ini kenaikan jumlah uang yang beredar, misalnya 20% akan mengakibatkan kenaikan harga-harga lebih besar dari 20%. Hiper inflasi menghancurkan bukan hanya sendi-sendi ekonomi moneter tetapi juga sendi-sendi sosial politik dari suatu masyarakat. Struktur masyarakat yang baru akan timbul menggantikan struktur yang lama.


(33)

2. Teori Keynes mengenai inflasi didasarkan atas teori makronya. Teori ini menyoroti aspek lain dari inflasi. Menurut teori ini, inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi menurut pandangan ini tidak lain adalah proses perebutan bagian rezeki diantara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar dari pada yang bisa disediakan oleh masyrakat tersebut. Proses perebutan ini akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan dimana permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (timbulah apa yang disebut dengan inflationary gap). Inflationary gap ini timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut berhasil menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintan yang efektif akan barang-brang. Dengan kata lain, mereka berhasil memperoleh dana untuk mengubah aspirasinya menjadi rencana pembelian barang-barang yang didukung dengan dana.

Muana (2005 : 259), golongan masyarakat seperti ini mungkin adalah pemerintah sendiri, yang berusaha memperoleh bagian yang lebih besar dari output masyarakat dengan jalan menjalankan defisit dalam anggaran belanja yang dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan tersebut mungkin juga pengusaha-pengusaha swasta yang menginginkan utnuk melakukan investasi-investsai baru dan memperoleh dana pembiayaan dari kredit bank. Golongan tersebut bisa pula berupa serikat buruh yang berusaha memperoleh kenaikan gaji bagi anggota-anggotanya melebihi kenaikan produktivitas buruh. Bila jumlah dari permintaan-permintaan efektif dari semua golongan masyarakat tersebut, pada


(34)

harga-harga yang berlaku melebihi jumlah maksimum dari barang-barang yang bisa dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap akan timbul. Karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka harga-harga akan naik. Adanya kenaikan harga-harga berarti bahwa sebagian dari rencana-rencana pembelian barang dari golongan-golongan tersebut tidak bisa terpenuhi. Pada priode selanjutnya golongan-golongan tersebut akan berusaha untuk memperoleh dana yang lebih besar lagi (dari percetakan uang baru atau kredit dari bank yang lebih besar atau dari kenaikan gaji yang lebih besar).

Boediono (1980 : 117), berpendapat bahwa tentunya tidak semua golongan tersebut berhasil memperoleh tambahan dana yang diinginkan. Golongan yang bisa memperoleh dana yang lebih banyak bisa memperoleh bagian dari output yang lebih banyak. Mereka yang tidak bisa memperoleh dana akan mendapat bagian output yang lebih sedikit. Yang termasuk golongan yang “kalah" dalam proses perebutan ini adalah golongan-golongan yang berpenghasilan tetap atau yang penghasilannya tidak naik secepat laju inflasi (golongan-golongan ini antara lain termasuk kaum pensiunan, pegawai negeri, para petani yang harus menjual hasilnya pada harga yang dikenakan stabilitas harga, para karyawan perusahaan yang tidak mempunyai serikat buruh atau tidak mempunyai saluran yang efektif untuk memperjuangkan perbaikan nasib mereka). Proses inflasi akan terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan masyarakat. Inflasi akan berhenti bila permintaan efektif total tidak melebihi pada harga-harga yang berlaku dan jumlah output yang tersedia.


(35)

Gambar 2.3 Inflationary Gap timbul

Sumber: Pengantar Ilmu Ekonomi

Gambar 2.3 menunjukan keadaan dimana inflationary gap tetap timbul. Disini kita menganggap bahwa semua golongan masyarakat bisa memperoleh dana yang cukup untuk membiayai, pada harga yang berlaku, rencana-rencana pembelian mereka. Dengan timbulnya inflationary gap (misalnya, pemerintah memperbesar pengeluarannya dengan jalan mencetak uang baru), kurva permintaan efektif bergeser dari Z1 ke Z2. Inflationary gap sebesar Q1 Q2 timbul dan harga naik dari P1 ke P2. Kenaikan harga ini mengakibatkan rencana-rencana pembelian golongan masyarakat (termasuk pemerintah sendiri) tidak terpenuhi. Karena jumlah barang-barang yang tersedia tidak bisa lebih besar daripada 0Q1, maka yang terjadi hanyalah relokasi barang-barang yang tersedia dari golongan-golongan lain dalam mayarakat kepada sektor pemerintah. Seandainya pada priode berikutnya golongan-golongan masyarakat lain tersebut bisa memperoleh


(36)

dana untuk membiayai rencana-rencana pembeliannya yang lama dengan harga-harga baru yang lebih tinggi, dan pemerintah tetap pula berusaha memperoleh jumlah barang-barang seperti yang direncanakan pada priode sebelumnya dengan harga-harga baru yang lebih tinggi (dan disini perlu lagi dicetak lagi uang baru), maka inflationary gap sebesar Q1 Q2 akan timbul lagi. Harga akan naik lagi dari P2 ke P3. Jika setiap golongan masyarakat tetap berusaha memperoleh jumlah barang-barang yang sama dan mereka berhasil memperoleh dana untuk membiayai rencana-renacana tersebut pada tingkat harga yang berlaku, maka

inflationary gap akan tetap timbul pada priode-priode selanjutnya. Dalam hal ini harga-harga akan terus-menerus naik. Inflasi akan berhenti hanya bila salah satu golongan masyarakat tidak lagi (atau tidak bisa lagi) memperoleh dana untuk membiayai rencana pembelian barang-barang pada harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (inflationary gap hilang). Perhatikan bahwa mereka yang “menang” dalam perebutan ini adalah mereka yang paling mudah untuk memperoleh dana tambahan untuk membiayai rencana pembelian mereka. Mereka yang tidak bisa dengan mudah memperoleh dana untuk membiayai rencana pembelian barang mereka dengan harga-harga yang baru (yang lebih tinggi) terpaksa harus menerima bagian yang lebih kecil dari barang –barang yang tersedia dari pada bagian mereka sebelum proses inflasi terjadi. Secara umum mereka yang penghasilannya tidak naik secepat kenaikan harga-haraga akan terus tertinggal dan harus menerima bagian barang-barang yang semakin kecil.


(37)

Gambar 2.4 Inflationary Gap hilang

Sumber: Pengantar Ilmu Ekonomi

Gambar 2.4 menunjukan proses inflasi yang akhirnya berhenti karena

inflationary gap semakin mengecil dan akhirnya hilang pada priode ke 5. Harga menjadi stabil pada P5. Dibalik proses ini beberapa golongan masyarakat menerima bagian output yang lebih kecil. Atau dengan kata lain, Inflasi selalu diikut dengan terjadinya redistribusi pendapatan.

3. Teori Strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas pengalaman di negara-negara Amerika Latin. (Muana, 2005 : 263), mengatakan bahwa teori ini memberi tekanan pada ketegaran (inflexibilities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian (yang menurut defenisi faktor-faktor ini hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang), maka teori ini bisa disebut teori inflasi “jangka panjang”. Dengan kata lain, yang dicari disini adalah: faktor-faktor jangka panjang manakah yang bisa mengakibatkan inflasi (yang berlangsung lama).


(38)

Menurut teori ini, ada 2 keterangan utama dalam perekonomian negara-negara sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi, yaitu:

1. Keterangan yang pertama berupa “ketidak elastisan” dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Boediono (2001 : 99), menjabarkan kelambanan ini disebabkan karena: (a) Harga dipasar dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut semakin tidak menguntungkan (dibandingkan dengan harga barang-barang impor yang harus dibayar), atau sering disebut dengan istilah dasar penukaran (term of trade) yang semakin memburuk. Sering dianggap bahwa harga barang-barang hasil alam, yang merupakan ekspor dari negara-negara sedang berkembang, dalam jangka panjang naik lebih lampat daripada harga barang-barang industri, yang merupakan impor oleh negara-negara sedang berkembang. (b) Supply atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsif terhadap kenaikan harga (supply barang-barang ekspor yang tidak elastis). Kelambanana penerimaan ekspor ini berarti kelambanan pertumbuhan kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan (untuk konsumsi maupun untuk investasi). Akibatnya, negara tersebut (yang berusaha sesuai dengan rencana pembangunannya, untuk mencapai target pertumbuhan tertentu) terpaksa mengambil kebijakan pembanguan yang menekan pada penggalakan produksi dalam negeri dari barang-barang yang sebelumnya diimpor (import substitution strategy), meskipun seringkali produksi dalam negeri mempunyai biaya produksi untuk


(39)

mengikuti kenaikan kebutuhan di dalam negeri menimbulkan tekanan untuk mengimpor bahan makanan dan selanjutnya membuat masalah neraca pembayaran semakin parah, dan selanjutnya mendorong penekanan proses subtitusi impor yang berlebihan, dan selanjutnya kenaikan harga-harga.

Boediono (2001 : 101), lebih lanjut menjelaskan mengenai teori struktural ini ada 3 (tiga) hal yang perlu ditekankan, yaitu:

1. Teori ini menerangkan proses inflasi jangka panjang dinegara-negara yang sedang berkembang.

2. Dibalik “cerita inflasi” ala strukturalis ini ada asumsi (yang tidak disebutkan secara eksplisit) bahwa jumlah uang yang beredar bertambah dan secara pasif mengikuti dan menampung kenaikan harga-harga tersebut. Dengan kata lain, proses inflasi tersebut bisa berlangsung terus hanya apabila jumlah uang yang beredar juga bertambah terus. Tanpa kenaikan jumlah uang, proses tersebut akan berhenti dengan sendirinya. Disini dan juga dalam teori inflasi Keynes, ternyata teori kuantitas tetap berlak, meskipun hanya dibelakang layar. 3. Tidak jarang faktor-faktor “struktural” yang dikatakan sebagai sebab

yang paling dasar dari proses inflasi tersebut bukan 100% “struktural”. Sering dijumpai bahwa keterangan-keterangan tersebut disebabkan oleh kebijakan harga atau kebijakan moneter pemerintah sendiri. Sebagai contoh, ketidak mampuan produksi bahan makanan dalam negeri untuk tumbuh mungkin sekali disebabkan oleh penekanan harga


(40)

bahan makanan di dalam negeri sehingga gairah produksi petani menurun. Sering pula dijumpai bahwa ketidak mampuan produksi barang-barang ekspor untuk tumbuh disebabkan karena kurs valuta asing ditekan terlalu rendah dengan maksud diskusi yang lebih tinggi (dan sering pula dengan kualitas yang lebih rendah) daripada barang-barang yang sejenis yang diimpor. Biaya produksi yang lebih tinggi ini mengakibatkan harga yang lebih tinggi. Dan bila proses subtitusi impor ini semakin meluas, kenaikan biaya produksi juga semakin meluas ke berbagai barang (yang tandinya diimpor), sehingga semakin banyak harga barang-barang yang naik. Dengan demikian inflasi terjadi.

2. Keterangan yang kedua berkaitan dengan “ketidak elastisan” dari supply

atau produksi bahan makanan dalam negeri. Dikatakan bahwa produksi bahan makanan dalam negeri tidak tumbuh secepat pertambahan penduduk dan penghasilan perkapita, sehingga harga bahan makanan didalam negeri cenderung untuk naik melebihi kenaikan harga barang-barang lain. Akibat selanjutnya adalah timbulnya tuntutan dari para karyawan (di sektor industri) untuk memperoleh kenaikan upah/gaji. Karena upah berarti kenaikan ongkos produksi, yang berarti pula kenaikan harga dari barang tersebut. Kenaikan harga barang-barang seterusnya mengakibatkan timbulnya tuntutan kenaikan upah lagi. Kenaikan upah kemudian diiukuti dengan kenaikan harga-harga, dan seterusnya. Proses ini akan berhenti dengan sendirinya seandainya harga


(41)

bahan makanan tidak terus naik. Tetapi oleh karena faktor struktural tadi, harga bahan makanan akan terus naik, sehingga proses saling dorong mendorong atau proses “spiral” antara harga dan upah tersebut terus selalu mendapat “upah” baru dan tidak berhenti.

Proses inflasi yang timbul karena dua keterangan tersebut dalam prakteknya jelas tidak berdiri sendiri. Umumnya kedua proses tersebut saling berkaitan dan sering kali memperkuat satu sama lain. Misalnya, tidak bisanya produksi bahan makanan dalam negeri untuk menekan inflasi. Sering pula ketidak elastisan ini disebabkan oleh ada pungli-pungli, sehingga harga bahan-bahan ekspor yang betul-betul diterima produsen rendah dan kurang cukup untuk menggairahkan produksi. Apakah pungli-pungli ini kita sebut faktor “struktural” atau bukan, itu masalah defenisi saja.

2.1.4. Pengelompokan Inflasi

Menurut Bank Indonesia (BI) (2013), Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dapat dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan

the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu : 1. Kelompok Bahan Makanan

2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau 3. Kelompok Perumahan

4. Kelompok Sandang 5. Kelompok Kesehatan

6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga 7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.


(42)

Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.

Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:

1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:

• Interaksi permintaan-penawaran

• Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang

• Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen

2. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari :

• Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food), yaitu Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.


(43)

• Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices), yaitu Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.

2.1.5. Dampak Inflasi

Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif tergantung dari parah atau tidaknya tingkat inflasi itu sendiri. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiper inflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.

Murni Asfia (2006 : 206), mengatakan bahwa inflasi yang tinggi tingkatnya tidak akan menggalakkan perkembangan ekonomi suatu negara. Hal-hal yang mungkin timbul antara lain sebagai berikut:

1. Ketika biaya produksi naik akibat inflasi, hal ini akan sangat merugikan pengusaha dan ini menyebabkan kegiatan investasi beralih pada kegiatan


(44)

yang kurang mendorong produk nasional, seperti tindakan para spekulan yang ingin mencari keuntungan sesaat.

2. Pada saat kondisi harga tidak menentu (inflasi) para pemilik modal lebih cenderung menanamkan modalnya pada bentuk pembelian tanah, rumah dan bangunan. Pengalihan investasi seperti ini akan menyebabkan investasi produktif berkurang dan kegiatan ekonomi menurun.

3. Inflasi menimbulkan efek yang buruk pada perdagangan dan mematikan pengusaha dalam negeri. Hal ini dikarenakan kenaikan harga menyebabkan produk-produk dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk negara lain sehingga kegiatan ekspor turun dan impor meningkat.

4. Inflasi menimbulkan dampak yang buruk pula pada neraca pembayaran. Karena menurunnya ekspor dan meningkatnya impor menyebakan ketidak seimbangan terhadap aliran dana yang masuk dan keluar negeri, sehingga kondisi neraca pembayaran akan memburuk.

Murni Asfia (2006 : 207), lebih lanjut menjabarkan bahwa selain yang telah disebutkan diatas dampak buruk dari inflasi dapat pula ditinjau dari tingkat kesejahteraan masyarakat, yakni sebagai berikut:

1. Inflasi akan menurunkan pendapatan riil yang diterima masyarakat, dan ini sangat merugikan orang-orang yang berpenghasilan tetap. Pada saat inflasi, kenaikan tingkat upah tidak secepat kenaikan harga barang yang diperlukan dan dijual dipasar.

2. Inflasi akan mengurangi kekayaan yang berbentuk uang. Seperti tabungan masyarakat di bank nilai riilnya akan menurun.


(45)

3. Inflasi akan memperburuk pembagian kekayaan, karena bagi masyarakat yang berpenghasilan tetap dan mempunyai kekayaan dalam bentuk uang bisa-bisa jatuh miskin. Tetapi bagi masyarakat yang menyimpan kekayaan dalam bentuk tanah dan rumah akan terjadi peningkatan kekayaan, baik secara riil mapun secara nominal. Demikian pula bagi perdagangan, pendapatan riil mereka akan dapat bertahan dan mungkin meningkat pada saat terjadi inflasi.

Meskipun inflasi banyak dampak buruknya, tetapi setiap kebijakan anti inflasi bukan berarti bertujuan untuk menghilangkan inflasi sampai nol persen. Apabila laju inflasi nol persen ini juga tidak memacu terjadinya pertumbuhan ekonomi, tetapi akan menimbulkan stagnasi. Kebijakan akan sangat berarti bagi kegiatan ekonomi, apabila bisa menjaga laju inflasi berada di tingkat yang sangat rendah.

(Boediono (2001 : 155), Idealnya laju inflasi agar bisa meningkatkan kegiatan ekonomi adalah sekitar dibawah 5%. Inflasi yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi adalah inflasi yang laju inflasinya relatif tetap dan bila ada perubahan akan dapat diprediksi. Inflasi seperti ini disebut inflasi inersial (inertial inflastion). Laju inflasi yang dapat diperkirakan seperti inflasi inersial dapat digunakan untuk mengadakan kontrak jangka panjang dalam kegiatan perekonomian. Misalnya dalam transaksi yang memerlukan tenggang waktu yang cukup lama (pembelian barang-barang secara kredit untuk jangka panjang).

Laju inflasi inersial tidak akan bisa bertahan secara terus menerus, tetapi mempunyai kecenderungan bertahan dalam jangka waktu lama, sampai tiba


(46)

waktunya untuk berubah secara drastis. Hal ini dikarenakan munculnya inflasi dipengaruhi oleh banyak faktor, ada faktor ekonomi dan ada faktor di luar ekonomi.

Sementara, Muana Nanga dalam bukunya “Ekonomi Makro” (2005 : 247), menjabarkan bahwa inflasi yang terjadi di dalam suatu perekonomian memiliki beberapa dampak atau akibat sebagai berikut:

Pertama, inflasi dapat mendorong terjadinya redistribusi pendapatan diantara anggota masyarakat, dan inilah yang disebut dengan “efek redistribusi dari inflasi” (redistribution effect of inflation). Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi dari anggota masyarakat, sebab redistribusi pendapatan yang terjadi akan menyebabkan riil satu orang meningkat, tetapi pendapatan riil orang lain jatuh. Namun parah atau tidaknya dampak inflasi terhadap redistribusi pendapatan dan kekayaan tersebut adalah sangat tergantung pada apakah inflasi tersebut dapat diantisipasi (anticipated) ataukah tidak dapat diantisipasi sebelumnya (unanticipated). Inflasi yang tidak dapat diantisipasi sudah tentu akan mempunyai dampak atau akibat yang jauh lebih serius terhadap redistribusi pendapatan dan kekayaan, dibandingkan dengan inflasi yang dapat diantisipasi.

Kedua, inflasi yang menyebabkan penurunan dalam efesiensi ekonomi (economic efficiency). Hal ini dapat terjadi karena inflasi dapat mengalahkan sumberdaya dari investasi yang produktif (productive investment) ke investasi yang tidak produktif (unproductive investment) sehingga mengurangi kapasitas ekonomi produktif. Ini disebut “efficiency of inflation”.


(47)

Ketiga, inflasi juga dapat menyebabkan perubahan-perubahan didalam output dan kesempatan kerja (employment), dengan cara yang lebih langsung yaitu dengan memotivasi perusahaan untuk memproduksi lebih atau kurang dari yang telah dilakukan, dan juga memotivasi orang untuk bekerja lebih atau kurang dari yang telah dilakukan selama ini. Ini disebut “output and employment effect of inflation”.

Keempat, inflasi dapat menciptakan suatu lingkungan yang tidak stabil (unstable environment) bagi keputusan ekonomi. Jika sekiranya konsumen memperkirakan bahwa tingkat inflasi di masa mendatang akan naik, maka akan mendorong mereka untuk melakukan pembelian barang-barang dan jasa secara besar-besaran pada saat sekarang ketimbang mereka menunggu dimana tingkat harga sudah meningkat lagi. Begitu pula halnya dengan bank, atau lembaga pinjaman (lenders) lainnya, jika sekiranya mereka menduga bahwa tingkat inflasi akan naik dimasa mendatang, maka mereka akan mengenakan tingkat bunga yang tinggi atas pinjaman yang diberikan sebagai langkah proteksi dalam menghadapi penurunan pendapatan riil dan kekayaan (losses of real income and wealth) (Bradley, 1985 : 95).

Dalam kaitannya dengan dampak atau akibat iflasi ini, McKinnon (1973) mengemukakan bahwa inflasi cenderung memperendah tingkat bunga riil, menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan di pasar modal. Hal ini akan menyebabkan penawaran dana untuk investasi menurun, dan sebagai akibatnya, investasi sektor swasta tertekan sampai kebawah tingkat keseimbangannya, yang disebabkan oleh terbatasnya penawaran dana yang dapat dipinjamkan(loanable


(48)

funds). Oleh karena itu, selama inflasi menurun kearah tingkat unga riil yang rendah dan ketidak seimbangan pasar modal, maka inflasi tersebut akan menurunkan investasi dan pertumbuhan. Apa yang dikemukakan oleh Mc Kinnon ini sesunggunya merupakan tanggapan terhadap pendapat Robert Mundekk seorang ekonom terkenal dari Universitas Columbia dan peraih nobel ekonomi, yang mengatakan bahwa inflasi itu memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.1.6. Ekspektasi Inflasi

Bank Indonesia (2013), menyebutkan bahwa Ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking.

Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang, terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR).

Dalam konteks makro ekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut.


(49)

Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.

Sudirman Wayan (2011 : 135), mengatakan bahwa masyarakat selalu melakukan ekspektasi terhadap perkembangan ekonomi dengan dasar beberapa variabel seperti perkembangan tingkat bunga, tingkat harga, dan kurs valuta asing. Setiap variabel tersebut memiliki kekuatan yang mempengaruhi variable lain dalam perekonomian sehingga semua variabel dapat digunakan sebagai petunjuk atas perkembangan ekonomi atau disebut sebagai indikator ekonomi. Sebagai contoh, menurunnya cadangan devisa atau sering disebut neraca pembayaran mengalami tekanan merupakan cerminan atau fenomena dari penurunan ekspor dan penurunan capital inflow atau peningkatan impor dan peningkatan capital

outflow. Ekspektasi terjadinya gangguan terhadap neraca pembayaran

menyebabkan semakin berkurangnnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uang domestik dibanding dengan mata uang asing sehingga mendorong masyarakat melakukan spekulasi di pasar valuta asing. Spekulasi ini akan berdampak kepada lembaga keuangan bank yaitu sulitnya lembaga keuangan bank dalam menghimpun dana masyarakat. Sebagaimana telah diuraikan diatas, kesulitan itu juga menyebabkan berkurangnya kemampuan bank dalam menyalurkan kredit ke masyarakat. Jika ekspektasi masyarakat yang dibenarkan dengan kenyataan yang berkelanjutan secara pisikologis akan mendorong masyarakat terus-menerus tidak percaya dengan mata uang domestik. Pisikologi masyarakat ini juga menyulitkan bank dalam menghimpun dana masyarakat.


(50)

Laksomono (2000 : 124), menjelaskan bahwa ekspektasi masyarakat terhadap infalsi dimasa yang akan datang antara lain dapat dilihat dari perkembangan suku bunga nominal perbankan. Hal ini sejalan dengan sudut pandang term structure theory yang mengatakan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi di masa yang akan datang dapat dilihat dari perkembangan suku bunga nominal. Dengan demikian, perkembangan suku bunga nominal dapat digunakan sebagai indikator ekspektasi inflasi masyarakat.

Lebih lanjut, Laksomono (2000 : 124), menjelaskan bahwa salah satu cara melihat ekspektasi inflasi didalam suku bunga nominal adalah dengan menggunakan yield curve. Yield curve merupakan hubungan antara pendapatan atau suku bunga (rate of return) dengan jangka waktu (term of matury). Pada dasarnya bentuk yield curve memiliki keterkaitan dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter. Secara konvensional, transmisi kebijakan moneter terjadi dari suku bunga jangka pendek yang dikendalikan bank sentral ke suku bunga jangka panjang. Suku bunga jangka panjang pada gilirannya akan mempengaruhi aggregate. Bank sentral di negara yang menggunakan inflasi sebagai sasaran akhir, dapat menggunakan suku bunga jangka panjang untuk menguji efektifitas pencapaian dalam mengendalikan inflasi yang rendah.

2.2. Suku Bunga Deposito 2.2.1. Suku Bunga

Menurut Boediono (1996 : 76), suku bunga adalah harga yang harus dibayar apabila terjadi pertukaran antara satu rupiah sekarang dan satu rupiah yang akan datang. Adanya kenaikan suku bunga yang tidak wajar akan


(51)

menyulitkan dunia usaha untuk membayar beban bunga dan kewajiban, karena suku bunga yang tinggi akan menambah beban bagi perusahaan sehingga secara langsung akan mengurangi profit perusahaan.

Kasmir (2008 : 131), bunga bank adalah sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produkanya. Bunga juga dapat diartikan harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman). Berdasarkan pengertian tersebut suku bunga terbagi dalam dua macam yaitu sebagai berikut :

1. Bunga simpanan yaitu bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan, dan bunga deposito.

2. Bunga pinjaman yaitu bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga. Sebagai contoh bunga deposito.

Weston dan Brigham (1990 : 84), menyebutkan bahwa suku bunga mempengaruhi laba perusahaan dalam dua cara: (1) karena bunga merupakan biaya, maka semakin tinggi tingkat suku bunga maka semakin rendah laba perusahaan apabila hal-hal lain dianggap konstan; dan (2) suku bunga mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi, karena itu mempengaruhi laba perusahaan. Suku bunga tidak diragukan lagi mempengaruhi investasi portofolio karena pengaruhnya terhadap laba, tetapi yang terpenting adalah suku bunga berpengaruh karena adanya persaingan di pasar modal antara saham dan obligasi.


(52)

Pohan (2008 : 53), mengatakan bahwa suku bunga yang tinggi di satu sisi akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk menabung sehingga jumlah dana perbankan akan meningkat. Sementara itu, di sisi lain suku bunga yang tinggi akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh dunia usaha sehingga mengakibatkan penurunan kegiatan produksi di dalam negeri. Menurunnya produksi pada gilirannya akan menurunkan pula kebutuhan dana oleh dunia usaha. Hal ini berakibat permintaan terhadap kredit perbankan juga menurun sehingga dalam kondisi suku bunga yang tinggi, yang menjadi persoalan adalah kemana dana itu akan disalurkan. Sedangkan menurut Tandelilin (2001 : 213), suku bunga yang terlalu tinggi akan mempengaruhi nilai sekarang aliran kas perusahaan, sehingga kesempatan-kesempatan investasi yang ada tidak akan menarik lagi. Suku bunga yang tinggi juga akan meningkatkan biaya modal yang akan ditanggung oleh perusahaan. Disamping itu, suku bunga yang tinggi juga akan menyebabkan return yang diisyaratkan investor dari suatu investasi akan meningkat.

Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin rendahnya suku bunga maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena intensitas aliran dana yang akan meningkat. Dengan demikian suku bunga dan keuntungan yang diisyaratkan merupakan variabel penting yang sangat berpengaruh terhadap keputusan para investor, dimana berdampak terhadap keinginan investor untuk melalukan investasi portofolio di pasar modal dengan suku bunga yang rendah.

Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau


(53)

menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman).

Tandelilin (2001 : 213), menjabarkan dalam kegiatan perbankan sehari-hari ada 2 macam bunga yang diberikan kepada nasabahnya yaitu:

1. Bunga Simpanan

Bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan merupakan harga yang harus dibayar bank kepada nasabahnya. Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan dan bunga deposito.

2. Bunga Pinjaman

Adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau harga yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai cotoh bunga kredit.

Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank konvensional. Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah. Baik bunga simpanan maupun bunga pinjaman masing-masing saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sebagai contoh seandainya bunga simpanan tinggi, maka secara otomatis bunga pinjaman juga terpengaruh ikut naik da demikian pula sebaliknya.

Edward dan Khan (1985), mengatakan bahwa faktor penentu suku bunga tcrbagi alas 2 (dua) faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendapatan nasional, jumlah uang beredar, dan Ekspektasi Inflasi. Sedangkan


(54)

faktor eksternalnya adalah penjumlahan suku bunga luar negeri dan tingkat Ekspektasi perubahan nilai tukar valuta asing. Seperti halnya dalam setiap analisis keseimbangan ekonomi, pembicaraan mengenai keseimbangan di pasar uang juga akan melibatkan unsur utamanya, yaitu permintaan dan penawaran uang. Bila mekanisme pasar dapat berjalan tanpa hambatan maka pada prinsipnya keseimbangan di pasar uang dapat terjadi, dan merupakan wujud kekuatan tarik menarik antara permintaan dan penawaran uang.

2.2.2. Bunga Deposito

Menurut Undang-undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan Indonesia “Deposito adalah simpanan pihak ketiga kepada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara pihak ketiga dengan bank yang bersangkutan.”

Menurut Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan Indonesia “Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank.”

Ada berbagai jenis deposito yang ditawarkan dengan menyesuaikan cara mengelola gaji bagi karyawan yang banyak dilakukan.Misalnya, jenis deposito bisa saja berbeda diberbagai negara, namun di Indonesia sendiri terdapat penggolongan jenis deposito seperti berikut ini :

1. Deposito Berjangka (Time Deposit)

Triandaru dan Budisantoso (2006 : 97), menyebutkan bahwa Deposito Berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu sesuai tanggal yang diperjanjikan antara deposan dan bank. Mengingat


(55)

simpanan hanya dapat dicairkan pada saat jatuh tempo oleh pihak yang namanya tercantum dalam bilyet deposito sesuai tanggal jatuh temponya, maka deposito berjangka ini merupakan simpanan atas nama dan bukan atas unjuk. Apabila deposan menghendaki agar deposito berjangkanya diperpanjang secara otomatis, maka pihak bank dapat memberikan fasilitas perpanjangan otomatis (automatic roll over-ARO).

Untuk menarik minat masyarakat, pihak bank dapat memberikan berbagai insentif seperti hadiah atau ransangan. Insentif biasanya diberikan untuk jumlah nominal yang besar baik berupa bunga khusus maupun insentif seperti hadiah atau cendera mata lainnya. Insentif juga dapat diberikan kepada nasabah yang loyal terhadap bank tersebut. Artinya deposito berjangka dengan nominal besar dan terus dipertahankan untuk jangka waktu yang relatif lama.

2. Deposito Automatic Roll Over

Deposito automatic roll over adalah suatu bentuk lain dari deposito berjangka dimana simpanan masyarakat (dalam bentuk deposito) yang telah jatuh tempo sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan, namun pihak deposan belum mengambilnya maka secara otomatis terhadap simpanan tadi dilakukan perpanjangan waktu tanpa menunggu persetujuan dari deposan.

3. Sertifikat Deposito

Sertifikat deposito merupakan hasil pengembangan dari deposito berjangka. Sertifikat deposito adalah deposito berjangka yang bukti simpanannya dapat diperjualbelikan. Agar simpanan ini dapat diperjualbelikan dengan mudah maka penarikan pada saat jatuh tempo dapat dilakukan atas unjuk, sehingga


(56)

siapapun yang memegang bukti simpanan tersebut dapat menguangkannya pada saat jatuh tempo.

Hal lain yang menjadi ciri dari sertifikat deposito adalah dalam hal pembayaran bunganya. Apabila deposito berjangka bunga dibayarkan setelah dana mengendap, maka bunga sertifikat deposito ini dibayarkan dimuka yaitu pada saat nasabah menempatkan dananya dalam bentuk deposito.

4. Deposit on Call

Deposit on call adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan pemberitahuan lebih dahulu dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan antara pihak bank dengan nasabah. Deposit on call biasanya digunakan oleh nasabah yang tidak setiap saat perlu menarik dananya dan keperluan penarikan dana itu dapat diprediksi oleh nasabah dalam jangka waktu tertentu.

2.2.3. Fungsi Suku Bunga

Adapun fungsi suku bunga menurut Sunariyah (2004:81) adalah :

a. Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan.

b. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung pertumbuhan suatu sektor industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut akan meminjam dana. Maka pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan sektor lain.


(57)

c. Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar. Ini berarti, pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu perekonomian.

2.3. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.

Boediono (2001 : 96), menyebutkan Kebijakan moneter adalah semua kebijakan pemerintah ( Bank Sentral ) yang mengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat untuk menjaga kestabilan nilai uang yang ada. Secara umum, kebijakan moneter adalah tindakan pemerintah untuk mempengaruhi situasi makro melalui pasar uang. Sedangkan secara khusus, kebijakan moneter adalah tindakan makro pemerintah dengan cara mempengaruhi proses penciptaan uang.

Dalam mempengaruhi proses penciptaan uang, pemerintah bisa mempengaruhi jumlah uang beredar. Dengan mempengaruhi jumlah uang beredar pemerintah bisa mempengaruhi tingkat bunga yang berlaku di pasar uang. Melalui


(58)

tingkat bunga pemerintah bisa mempengaruhi pengeluaran investasi (I), dan selanjutnya permintaan agregat (Z) dan akhirnya tingkat harga (P) dan GDP rill (Q). inilah matarantai kebijakan moneter menurut Keynes: Kebijakan Moneter → Ms → r → I → Z → P,Q

Kebijakan moneter dibagi menjadi dua golongan yaitu kebijakan moneter kuantitatif dan kebijakan moneter kualitatif.

3. Kebijakan Moneter Kuantitatif.

Kebijakan moneter kuantitatif adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah ( Bank Sentral ) untuk mempengaruhi jumlah penawaran uang dan suku bunga dalam perekonomian. Langkah penawaran uang yang ditambah akan menurunkan suku bunga dan akibatnya terjadi perkembangan kegiatan ekonomi sehingga tingkat kesempatan kerja menjadi lebih tinggi dan penganggguran pun akan berkurang. Selain penawaran uang yang perlu ditambah, pengeluaran agregat perlulah dikurangi sehingga terdapat keseimbangan antara pengeluaran dalam ekonomi dengan jumlah penawaran barang-barang.

Kebijakan moneter kuantitatif dibedakan menjadi tiga tindakan, yaitu: a. Operasi Pasar Terbuka.

Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Agar operasi terbuka ini menjadi sukses, haruslah ada dua keadaan dalam perekonomian. Keadaan-keadaan tersebut adalah:

- Bank-bank perdagangan tidak memiliki kelebihan cadangan.


(59)

b. Fasilitas Diskonto (Discount Rate).

Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

c. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio).

Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Jadi, apabila bank sentral melihat jumlah uang yang beredar sudah terlalu banyak, bank sentral akan menaikkan ketentuan cadangan wajib. Akibatnya, dana yang akan dipinjamkan berjurang sehingga jumlah uang beredar berkurang.

4. Kebijakan Moneter Kualitatif.

Kebijakan moneter kualitatif adalah kebijakan pemerintah ( Bank Sentral ) yang bertujuan mengawasi bentuk-bentuk pinjaman dan investasi yang dilakukanoleh bank-bank perdagangan. Tujuan utama kebijakan ini bukanlah untuk mengawasi perkembangan penawaran uang, tetapi untuk mempengaruhi jenis-jenis pinjaman yang diberikan institusi keuangan. Ini memungkinkan bank sentral menggalakan pertumbuhan ekonomi ke arah yang diharapkan.


(60)

Kebijakan moneter kualitatif biasanya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a. Pengawasan Pinjaman Secara Terpilih.

Bank sentral melakukan pengawasan agar pinjaman dan investasi yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dan keinginan pemerintah. Hal ini dilakukan terutama untuk mengendalikan dan mengawasi corak pinjaman dan investasi yang dilakukan oleh bank-bank.

b. Imbauan Moral.

Imbauan moral yang dilakukan oleh bank sentral adalah dengan menganjurkan bank-bank untuk melakukan penyesuaian dalam mengalokasikan dananya. Dengan demikian, keadaan yang diharapkan pemerintah dapat tercapai.

2.4. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah antara lain yang dilakukan oleh:

Neny Erawati (2002), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pergerakan Suku Bunga Dan Laju Ekspektasi Inflasi Untuk Menentukan Kebijakan Moneter di Indonesia”. Hasil penelitian mengatakan bahwa dari dua pengujian dalam penelitian tersebut, yaitu dalam jangka pendek dan panjang yang dilakukan terhadap spread inflasi dengan spread suku bunga maka hasil yang diperoleh untuk jangka pendek, spread yang mampu menjelaskan ekspektasi inflasi adalah spread suku bunga deposito 12-1 bulan; spread deposito 12-3 bulan;

spread deposito 12-6 bulan; spread deposito 6-1 bulan dan 6-3 bulan. Sedangkan untuk jangka panjang hanya ada satu spread deposito yang dapat menjelaskan pergerakan ekspektasi inflasi, yaitu spread deposito 12-3 bulan.


(1)

Null Hypothesis: D(RESID01) has a unit root Exogenous: None

Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=1)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.570244 0.0008 Test critical values: 1% level -2.937216

5% level -2.006292

10% level -1.598068

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Warning: Probabilities and critical values calculated for 20

observations and may not be accurate for a sample size of 7

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RESID01,2) Method: Least Squares

Date: 02/17/13 Time: 01:47 Sample (adjusted): 2007 2013

Included observations: 7 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(RESID01(-1)) -1.443790 0.315911 -4.570244 0.0060 D(RESID01(-1),2) 0.281206 0.154376 1.821567 0.1282 R-squared 0.849026 Mean dependent var 0.490039 Adjusted R-squared 0.818832 S.D. dependent var 1.106079 S.E. of regression 0.470790 Akaike info criterion 1.566147 Sum squared resid 1.108216 Schwarz criterion 1.550693 Log likelihood -3.481515 Durbin-Watson stat 1.543659


(2)

Null Hypothesis: D(RESID01) has a unit root Exogenous: None

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=1)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.322128 0.0000 Test critical values: 1% level -2.886101

5% level -1.995865

10% level -1.599088

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Warning: Probabilities and critical values calculated for 20

observations and may not be accurate for a sample size of 8

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RESID01,2) Method: Least Squares

Date: 02/17/13 Time: 01:48 Sample (adjusted): 2006 2013

Included observations: 8 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(RESID01(-1)) -1.587715 0.216838 -7.322128 0.0002 R-squared 0.883712 Mean dependent var -0.775796 Adjusted R-squared 0.883712 S.D. dependent var 9.953135 S.E. of regression 3.394115 Akaike info criterion 5.398432 Sum squared resid 80.64011 Schwarz criterion 5.408362 Log likelihood -20.59373 Durbin-Watson stat 1.277914


(3)

Null Hypothesis: D(RESID01) has a unit root Exogenous: None

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=1)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -6.178041 0.0001 Test critical values: 1% level -2.886101

5% level -1.995865

10% level -1.599088

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Warning: Probabilities and critical values calculated for 20

observations and may not be accurate for a sample size of 8

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(RESID01,2) Method: Least Squares

Date: 02/17/13 Time: 01:49 Sample (adjusted): 2006 2013

Included observations: 8 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(RESID01(-1)) -1.384701 0.224133 -6.178041 0.0005 R-squared 0.841768 Mean dependent var -0.370231 Adjusted R-squared 0.841768 S.D. dependent var 2.730881 S.E. of regression 1.086299 Akaike info criterion 3.119899 Sum squared resid 8.260324 Schwarz criterion 3.129830 Log likelihood -11.47960 Durbin-Watson stat 1.657744


(4)

Lampiran 3.

Uji Persamaan

(ECM)

Dependent Variable: D(INFL12_INFL1) Method: Least Squares

Date: 02/19/13 Time: 00:52 Sample (adjusted): 2005 2013

Included observations: 9 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.075238 1.832840 -0.041050 0.9686

D(DEP12_DEP1) -0.313931 0.122851 -2.555383 0.0432 RES(-1) -1.002592 0.407218 -2.462052 0.0490 R-squared 0.683541 Mean dependent var 0.284444 Adjusted R-squared 0.578055 S.D. dependent var 8.402793 S.E. of regression 5.458225 Akaike info criterion 6.493326 Sum squared resid 178.7533 Schwarz criterion 6.559067 Log likelihood -26.21997 F-statistic 6.479915 Durbin-Watson stat 1.291867 Prob(F-statistic) 0.031692

Dependent Variable: D(INFL12_INFL3) Method: Least Squares

Date: 02/19/13 Time: 01:07 Sample (adjusted): 2005 2013

Included observations: 9 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.100946 0.648176 0.155738 0.8813

D(DEP12_DEP3) -0.378809 0.107177 -3.534431 0.0123 RES(-1) -1.156807 0.403955 -2.863704 0.0287 R-squared 0.806043 Mean dependent var 0.130000 Adjusted R-squared 0.741391 S.D. dependent var 3.819866 S.E. of regression 1.942542 Akaike info criterion 4.427073 Sum squared resid 22.64081 Schwarz criterion 4.492815 Log likelihood -16.92183 F-statistic 12.46734 Durbin-Watson stat 1.136640 Prob(F-statistic) 0.007297


(5)

Dependent Variable: D(INFL12_INFL6) Method: Least Squares

Date: 02/19/13 Time: 01:14 Sample (adjusted): 2005 2013

Included observations: 9 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.021925 1.026225 -0.021365 0.9836

D(DEP12_DEP6) -0.244416 0.104673 -2.335055 0.0582 RES(-1) -1.124953 0.405538 -2.773979 0.0323 R-squared 0.663160 Mean dependent var 0.155556 Adjusted R-squared 0.550880 S.D. dependent var 4.583274 S.E. of regression 3.071545 Akaike info criterion 5.343440 Sum squared resid 56.60635 Schwarz criterion 5.409182 Log likelihood -21.04548 F-statistic 5.906310 Durbin-Watson stat 1.308533 Prob(F-statistic) 0.038218

Dependent Variable: D(INFL3_INFL1) Method: Least Squares

Date: 02/19/13 Time: 01:15 Sample (adjusted): 2005 2013

Included observations: 9 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.035648 0.319485 0.111579 0.9148

D(DEP3_DEP1) -0.095383 0.046816 -2.037412 0.0878 RES(-1) -1.215373 0.395208 -3.075270 0.0218 R-squared 0.705774 Mean dependent var 0.052222 Adjusted R-squared 0.607699 S.D. dependent var 1.529867 S.E. of regression 0.958217 Akaike info criterion 3.013716 Sum squared resid 5.509074 Schwarz criterion 3.079457 Log likelihood -10.56172 F-statistic 7.196244 Durbin-Watson stat 1.215107 Prob(F-statistic) 0.025471


(6)

Dependent Variable: D(INFL6_INFL1) Method: Least Squares

Date: 02/19/13 Time: 01:09 Sample (adjusted): 2005 2013

Included observations: 9 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.141636 1.543030 -0.091791 0.9299

D(DEP6_DEP1 -0.345172 0.149968 -2.301629 0.0610 RES(-1) -0.864994 0.391561 -2.209090 0.0692 R-squared 0.664288 Mean dependent var 0.232222 Adjusted R-squared 0.552385 S.D. dependent var 6.875443 S.E. of regression 4.599951 Akaike info criterion 6.151170 Sum squared resid 126.9573 Schwarz criterion 6.216911 Log likelihood -24.68026 F-statistic 5.936244 Durbin-Watson stat 1.381441 Prob(F-statistic) 0.037835

Dependent Variable: D(INFL6_INFL3) Method: Least Squares

Date: 02/19/13 Time: 01:16 Sample (adjusted): 2005 2013

Included observations: 9 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.038652 0.500372 0.077247 0.9409

D(DEP6_DEP3) -0.256167 0.138723 -1.846610 0.1143 RES(-1) -0.809344 0.458634 -1.764683 0.1281 R-squared 0.680008 Mean dependent var 0.077778 Adjusted R-squared 0.573344 S.D. dependent var 2.290004 S.E. of regression 1.495806 Akaike info criterion 3.904410 Sum squared resid 13.42462 Schwarz criterion 3.970151 Log likelihood -14.56984 F-statistic 6.375226 Durbin-Watson stat 1.060732 Prob(F-statistic) 0.032766