2. Landasan Teori
Landasan teori ini atau tinjauan pustaka ini dimaksudkan untuk mengetahui dan mebemukan dasar-dasar secara teoritis guna membantu
memecahkan masalah.
2.2.1. Teori Ekonomi Regional
Terdapat banyak sekali teori-teori ekonomi regional yang sudah ada, tetapi untuk menunjang landasan teori pada penelitian ini terdapat
beberapa teori yang dianggap cukup mewakili, teori-teori tersebut adalah :
1. Teori basis dan Non Basis
Teori ini dikembangkan berdasarkan teori perdagangan komparatif dari David Ricardo dan John Stuart Mill dalam Aziz 1999. Dari
studi empirik yang dilakukan oleh Pfouts 1960 dalam rangka memisah misalkan sektor – sektor basis dari yang bukan basis
daerah perkotaan ternyata dapat dipergunakan sebagai sarana memperjelas struktur daerah tersebut, dalam hubungan ini kegiatan
ekonomi suatu daerah dibagi dalam dua golongan. a.
Kegiatan ekonomi industri yang melayani kebutuhan akan barang-barang dan jasa di daerah itu sendiri daerah
swasembada maupun mengekspornya ke tempat-tempat diluar batas-batas perekonomian daerah tersebut. Daerah yang
demikian disebut sebagai daerah basis atau daerah surplus.
b. Kegiatan ekonomi atau industri yang hanya melayani
kebutuhan barang-barang dan jasa bagi masyarakat yang bertempat tinggal da dalam batas-batas perekonomian daerah
tersebut bahkan masih harus mendatangkan barang kebutuhan tersebut dari tempatdaerah lain karena masih kekurangan
daerah yang demikian ini disebut sebagai daerah non basis atau daerah minus. Untuk menentukan daerah kedalam salah satu
dari kedua golongan tersebut digunakan metode Loatin Quotien LQ yaitu dengan jalan membandingkan peranan industri
tersebut dengan peranan industri yang sama dalam perekonomian regional. Glason dalam Aziz, 1999 : 63
2. Space Cost Theory
Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith dari hasil studi analisis tentang lokasi industri secara geografi. Dari analisis
ia menerapkan suatu pendekatan yang terbukti lebih prktis terhadap berbagai rumusan tentang teori lokasi industri menurut Adam
Smith, lokasi yang paling menguntungkanefisien bagi suatu industri adalah dimana penerimaan total lebih besar dari pada biaya
total atas dasar asumsi maksimiliasi laba dan out put konstan, dan sebaliknya bila biaya total ternyata lebih besar dari biaya
penerimaan total, maka lokasi tersebut adalah merugikan tidak efisien. Analisis ini dapat dipergunakan pula untuk menentukan
lokasi industri dengan memperhitungkan antara faktor biaya dan
pasarpermintaan. Dari segi pasarpermintaan antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat. Letak industri
terhadap bahan mentah. Kualitas dan kuantitas, tenaga kerja, sarana transportasi dan komunikasi, faktor lingkungan dan pemerintah
pajak dan suubsidi. 3.
Teori Lokasi Industri Menurut Weber dalam Sukirno 1909:56 adalah orang
pertama yang menggarap teori tentang lokasi industri secara komprehensif. Teori lokasi dari Weber ini didasarkan dari
penerapan teori Von Thunen yang berprinsip bahwa pengusaha akan memilih lokasi yang paling kecil. Untuk itu Weber
mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi industri atau terbagi dalam dua kelompok yaitu :
a. Regional Factors, yaitu terdiri atas biaya pengangkutan dan
tenaga kerja. b.
Local Factors, yaotu kekuatan-kekuatan aglomerasi dan deglomerasi, terutama letak dan sifat bahan mentah.
4. Teori Tempat Sentral
Teori ini dikenalkan oleh seorang geograf jerman yang bernama Cristaller pada tahun 1933. Ia mengemukakan konsep
tentang pembentukan system kota, dari studi empirik konsep tersebut dikembangkan dari teori-teori yang sudah ada pada waktu
itu yakni dari Weber 1909 dan Thunen 1826 dalam Sukirno
1998:58. Dikatakan bahwa kota adalah pusat atau sentralisasi kegiatan dai daerah sekitar yang kemudian disebut sebagai tempat
sentral, yang menghubungkan perdagangan setempat dengan dunia luar. Sistem yang diciptakan didasarkan pada dua faktor lokasi
yaitu biaya transfer dan aglomerasi. Dasar ekonomi dari Cristaller Sukirno:2001 adalah bahwa
pusat kota pada umumnya merupakan pusat daerah yang produktif yang didukung oleh kondisi tanah yang produktif karena berbagai
jasa penting harus disediakan, dengan demikian tempat sentral atau pusat kota tersebut bertindak sebagai pusat pelayanan bagi daerah
belakang daerah komplementer yaitu mensuplainya dengan barang dan jasa. Selanjutnya penduduk kota akan menyebar
membentuk hierarki perkotaan yang merupakan sarana yang efisien untuk administrasi dan alokasi sumber kepada daerah-daerah.
Dengan demikian distribusi ruang dari pusat-pusat kota ini akan menimbulkan dominasi dan polarisasi.
5. Teori Kutub Pertumbuhan
Teori ini dikembangkan berdasarkan teori tempat sentral Christaller 1909. Konsep-konsep dasar dan penyempurnaan serta
pengembangan teori ini dilakukan oleh Perroux ‘f, Boudenville, Hanssen, Hermansen, Hirchman dan Myrdal 1967. Dari berbagai
tulisan para ahli mengenai kutub pertumbuhan tersebut, konsep-
konsep ekonomi dasar dan perkembangan geogradiknya dapat didefinisikan sebagai berikut Sukirno;2001:59 :
a. Konsep Leading Industries dan perusahaan-perusahaan
propulsip, menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan propulsip yang besar, yang termasuk dalam
Leading Industries yang mendominasi unit-unit ekonomi lainnya, ada kemungkinan bahwa suatu kelompok komplek
industry hanya terdiri dari satu atau segelintir perusahaan propulsip yang dominan. Lokasi yang geografik dari industri-
industri seperti itu pada titik-titik lokal tertentu dalam suatu daerah mungkin disebabkan oleh beberapa faktor lokasi
sumber daya, alam, lokasi kemanfaatn-kemanfaatan buatan manusia komunikasi atau tempat-tempat sentral berlandaskan
kegiatan jasa yang sudah ada, dimana terdapat keuntungan- keuntungan karena prasarana dan tenaga kerja atau barangkali
hanya bersifat kebetulan saja. b.
Konsep polarisasi menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari “Leading Industries” mendorong polarisasi dari unit-unit
ekonomi lainnya kedalam kutub pertumbuhan implicit dalam proses polarisasi ini adalah berbagai macam keuntungan
aglomerasi keuntungan ekstern dan intern dari skala. Polarisasi ekonomi ini pasti menimbulkan polarisasi geografik
dengan mengalirnya sumber daya dan konsentrasi ekonomi
pada pusat-pusat yang jumlahnya terbatas di dalam suatu daerah bahkan kendatipun lokasi seperti tersebut deringkali
tetap berkembang dengan baik karena adanya keuntungan- keuntungan aglomerasi.
c. Konsep “Spread Effect” menyatakan bahwa pada waktunya,
kualitas propulsip dinamik dari kutub pertumbuhan akan memancar keluar dan memasuki uang disekitarnya. “Trickling
Down” atau Spread Effect ini sangat menarik bagi perencanaan regional dan telah memberikan sumbangan besar bagi
kepopuleran teori ini pada waktu belakangan ini sebagai saran kebijaksanaan. Dari konsep ini maka dapatlah disimpulkan
sebagai suatu kerangka untuk memahami anatomi regional, teori ini memberikan suatu pelengkap dinamik yang sangat
bermanfaat kepada teori tempat sentral dan walaupun mempunyai keterbatasan sangat berguna bagi perencanaan
regional. Teori ini menampilkan banyak konsep yang berorientasi perencanaan. Menekankan kemanfaatn-
kemanfaatn komplek industri, “leading industries”, pertumuhan yang berkutub dan keuntungan-keuntungan
aglomerasi dan “Spread Effect” yang ditimbulkan. Model ini cukup jelas dalam menerangkan pertumbuhan hierarki kota
yang menekankan interdependensi antara pusat kota dan daerah disekitarnya. Dari kondisi ini mungkin akan timbul
persaingan antar daerah pelayanan masing-masing Glasson;1997:154-1560.
2.2.2. Pertumbuhan Ekonomi Regional