Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Apendisitis Akut

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

2.5.3.1 Pemeriksaan Laboratorium Sampai saat ini belum ada satupun pemeriksaan laboratorium yang berdiri sendiri yang dapat mendiagnosis apendisitis akut. Data laboratorium awal biasanya disertai peningkatan sel darah putih lekositosis dan jumlah netrofil. Lekositosis 10.000mm 3 ditemukan pada 70-90 apendisitis akut. Netrofilia ditemukan pada lebih 75 sebagian besar kasus. Akan tetapi, peningkatan ini juga ditemukan pada pasien usia lanjut dan kehamilan yang menderita apendisitis akut. Pada pasien gangguan sistem imun seperti penderita Acquired Immune Deficiency Syndrome AIDS, lekositosis ditemukan pada 12-14 kasus Petroianu, 2012. Pada penelitian prospektif yang dilakukan Cardall, dkk. 2004 untuk menilai penggunaan klinis lekositosis dan demam dalam mendiagnosis apendisitis, mereka mendapatkan angka sensitivitas 76, spesifisitas 52, nilai prediksi positif 42, nilai prediksi negatif 82 untuk lekosit dan sensitivitas 47, spesifisitas 64, nilai prediksi positif 37, nilai prediksi negatif 72 untuk demam lebih dari 99,0ºF. Mereka menyimpulkan bahwa lekositosis dan demam merupakan alat diagnostik yang tidak dapat diandalkan dalam mendiagnosis apendisitis. Dalam dua dekade terakhir, terdapat peningkatan penggunaan panel diagnostik tambahan dalam memprediksi kejadian apendisitis. Di samping diterapkannya pemeriksaan laboratorium rutin seperti jumlah lekosit dan hitung netrofil, beberapa tes laboratorium lain dapat dipakai secara luas dan bersifat praktis. Pengukuran CRP, suatu reaktan fase akut, telah mulai ditingkatkan. Angka normal CRP adalah 10 mgl sedangkan pada penderita dengan apendisitis akut meningkat 25 mgl. Pada apendiks gangrenosa, angka CRP melampaui 55 mgl dan pada apendiks perforasi 66 mgl. Peningkatan CRP pada apendisitis akut memiliki angka sensitivitas sebesar 47-75 dan spesifisitas sebesar 56-82. CRP ini meningkat dalam 12 jam sejak munculnya gejala. Kombinasi dari lekositosis, netrofilia lebih dari 75 dan peningkatan CRP meningkatkan sensitivitas sebesar 97-100 dalam mendiagnosis apendisitis akut Petroianu, 2012; Shogilev, dkk., 2014. Tsioplis, dkk. 2013 melaporkan bahwa disamping riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, lekosit, CRP dan ultrasonografi masih merupakan faktor yang penting dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Level CRP pada penderita apendisitis akut sering dihubungkan dengan beratnya derajat infeksi dan bahkan kadar CRP dipakai untuk membedakan apendisitis flegmonosa dengan perforasi apendisitis Kaya, dkk., 2012. Nilai cut- off CRP yang diberikan oleh Moon, dkk. 2011 sebesar 7,05 mgdL mengindikasikan bahwa penanganan apendisitis harus segera dilakukan oleh karena kemungkinan terjadinya perforasi sangat tinggi, terutama pada anak kecil dan orang tua. Yokoyama, dkk. 2009 melaporkan bahwa hanya CRP yang konsisten dengan derajat keparahan apendisitis dan merupakan tanda yang mengindikasikan dilakukannya pembedahan apendisektomi dengan nilai cut-off 4,95 mgdl. Asfar, dkk. 2000 mencatat angka sensitivitas CRP dalam mendiagnosis apendisitis akut sebesar 93,6, spesifisitas sebesar 86,6, nilai prediksi positif 96,7, nilai prediksi negatif 76,5 dan kejadian apendisektomi negatif sebesar 19,2 15 dari 78 pasien yang dioperasi; dimana dari 15 pasien tersebut didapatkan kadar CRP normal pada 13 pasien. Mereka menilai bahwa kadar CRP pre-operatif yang normal pada pasien dengan kecurigaan apendisitis akut berhubungan dengan apendiks yang normal. Hal yang serupa dilaporkan oleh Gurleyik, dkk. 1995 dalam penelitiannya yang membandingkan CRP dengan penilaian klinis ahli bedah mengenai apendisitis akut. Mereka mendapatkan sensitivitas 93,5, spesifisitas 80, akurasi 91, negatif palsu 3, positif palsu 11 kadar CRP dalam mendiagnosis apendisitis akut dan merekomendasikan pemeriksaan CRP sebagai laboratorium rutin pada pasien dengan kecurigaan apendisitis akut. Apabila parameter laboratorium lekositosis dan CRP digabungkan, maka didapat angkasensitivitas 85, spesifisitas 100, nilai prediksi positif 100 dan nilai prediksi negatif 81 Kumar, dkk., 2011. Hal serupa juga dikemukakan oleh Mohammed, dkk. 2004, mereka melaporkan evaluasi klinis ditambah dengan pemeriksaan lekosit, netrofil dan CRP dapat meningkatkan akurasi diagnosis apendisitis dan mengurangi insiden terjadinya perforasi dan apendisektomi negatif. Kwan dan Nager 2010 melaporkan penggunaan CRP yang dikombinasi dengan lekositosis merupakan alat bantu yang berguna dalam mendiagnosis apendisitis akut pada anak-anak. Studi yang dilakukan oleh mereka tersebut juga mirip oleh penelitian yang dilakukan Mekhail, dkk. 2011. Bahkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Gavela, dkk. 2012 tentang evaluasi procalcitonin PCT dan CRP sebagai prediktor derajat keparahan apendisitis pada anak kecil, mereka mendapatkan bahwa CRP dan PCT dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi hasil akhir apendisitis akut pada anak kecil. Kadar CRP 3 mgdl danatau PCT 0,18 mgmL memiliki resiko untuk terjadinya komplikasi yang pada akhirnya menentukan tindakan intervensi. Mereka juga mendapatkan angka sensitivitas 95, spesifisitas 74, nilai prediksi positif 68, nilai prediksi negatif 96,2 untuk CRP dan sensitivitas 97, spesifisitas 80, nilai prediksi positif 72, nilai prediksi negatif 89,3 untuk PCT. Hal serupa juga dilaporkan oleh Wu, dkk. 2005, mereka mendapatkan nilai cut-off CRP selama 3 hari berturut-turut memberikan nilai prediksi yang berguna terutama untuk mendiagnosis apendisitis akut pada tahap awal. Untuk kasus apendisitis akut pada anak kecil yang menderita obesitas, kadar CRP bukan merupakan marker inflamasi yang bisa dipercaya. Hal ini disebabkan lemak viseral merupakan organ endokrin penting yang terlibat secara kompleks dalam hubungannya dengan inflamasi sistemik yang dapat mengganggu kadar CRP pada pasien dengan apendisitis akut Kutasy, dkk., 2010. Akan tetapi pada penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Hallan dan Asberg 1997, mereka melaporkan CRP merupakan alat bantu diagnostik untuk apendisitis akut dengan tingkat akurasi yang medium dan sedikit lebih inferior dibanding pemeriksaan lekosit. Dari 22 artikel yang diteliti, mereka mendapatkan angka sensitivitas 40-99, spesifisitas 27-90, nilai cut-off untuk apendisitis yang positif bervariasi antara 5 sampai 25 mgl serta hanya 2 artikel yang melaporkan penambahan pemeriksaan CRP memberikan informasi yang bermakna dalam mendiagnosis apendisitis akut. Penggunaan serum biomarker tunggal dan diambil dalam waktu yang berbeda untuk menegakkan apendisitis akut pada anak kecil apabila dibandingkan dengan skor Alvarado dan pemeriksaan radiologis mempunyai beberapa keuntungan, antara lain biaya yang relatif lebih murah, obyektif dan lebih mudah dilakukan oleh karena tanpa resiko terpapar radiasi atau kebutuhan sedasi untuk anak kecil Wu, dkk., 2012. 2.5.3.2 Sistem Skoring Sejumlah sistem skoring telah dikembangkan dalam mendiagnosis apendisitis akut dan mempengaruhi penatalaksanaan kasus tersebut. Sistem tersebut merupakan penunjang diagnosis berharga dalam membedakan suatu apendisitis akut dengan nyeri abdomen yang tidak spesifik. Ada beberapa sistem skoring diagnosis yang dikenal, antara lain skor Alvarado, skor RIPASA, versi modifikasi skor Alvarado, skor apendisitis pediatri, serta yang jarang dipakai seperti skor Kharbanda dan Lintula Wray, dkk., 2013; Chong, dkk., 2010; Memon, dkk., 2013. Skor Alvarado sendiri merupakan sistem skoring yang sederhana, mudah diterapkan dan paling banyak diadopsi oleh klinisi. Pada tahun 1986, Alfredo Alvarado mengembangkan sebuah sistem skoring untuk membantu mendiagnosis apendisitis akut serta penatalaksanaannya. Sistem ini disebut juga MANTRELS oleh karena terdiri dari kombinasi 8 gejala klinis dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan klinis maupun penunjang. Jumlah skor yang diperoleh akan menentukan apakah pasien yang dicurigai tersebut akan dipulangkan, diobservasi atau dioperasi. Rentang skor dari 0-10, dimana skor 5 merupakan indikasi bagi pasien untuk dipulangkan, skor 5-6 dilakukan observasi dan pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi serta skor ≥ 7 merupakan indikasi tindakan pembedahan Wray, dkk., 2013; Ohle, dkk., 2011. Berdasarkan skor Alvarado, kemungkinan pasien menderita apendisitis akut dengan skor 5 adalah 30, skor 5- 6 adalah 66 dan skor ≥ 7 adalah 9γ Tabel β.γ. Ohle, dkk., 2011. Penilaian obyektif adalah nyeri pada fossa iliaka kanan. Ali, dkk 2013 melaporkan validasi skor Alvarado dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pada penelitian tersebut didapatkan sensitivitas sebesar 88,13, spesifisitas sebesar 70,96, angka prediksi positif 85,24, angka prediksi negatif 75,86 dan 16,9 untuk apendisektomi negatif. Nizamuddin dkk. 2009 melaporkan sensitivitas sebesar 86 pada grup dengan skor ≥ 7 dan 90,6 pada grup dengan skor 5-6. Nilai prediksi positif sebesar 85,4 laki-laki 88,3 dan perempuan 81,4 dan tingkat akurasi sebesar 85,4. Penelitian ini serupa dengan studi yang dilakukan Memon, dkk. 2013 dimana mereka mendapatkan sensitivitas sebesar 93,5, nilai prediksi positif sebesar 92,3 dan akurasi sebesar 89,9. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ohle, dkk. 2011 mendapatkan angka sensitivitas sebesar 94- 99 untuk skor 5, 8β untuk skor ≥ 7 dan spesifisitas sebesar 81. Data yang terkumpul mengindikasikan bahwa skor Alvarado dapat digunakan sebagai alat diagnostik yang efektif dan cepat dalam mendiagnosis apendisitis akut. 2.5.3.3 Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis hanya dilakukan apabila terdapat kesulitan mendiagnosis berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengaruh tehnik pencitraan dengan angka kejadian apendisektomi negatif masih belum sepenuhnya Tabel 2.3. Probabilitas apendisitis berdasarkan skor Alvarado dan strategi penatalaksanaan Ohle, dkk., 2011 jelas. Beberapa penelitian melaporkan angka kejadian apendisektomi negatif yang tidak berubah walaupun banyak muncul tehnik pencitraan. Di sisi lain, penggunaan ultrasonografi dan CT-scan menurunkan jumlah rawat inap dan apendisektomi yang tidak diperlukan Birnbaum dan Wilson, 2000; Humes dan Simpson, 2006. Pada tahun 1986, Puylaert mengusulkan penggunaan ultrasonografi dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pada ultrasonografi, kompresi secara gradual pada abdomen kanan bawah meningkatkan ketepatan dalam mendiagnosis apendisitis akut. Tehnik kompresi ini memiliki peran yang penting dalam mengurangi jumlah apendisektomi yang negatif. Ultrasonografi merupakan alat bantu yang cepat, non-invasif, murah dan tidak memerlukan persiapan ataupun kontras. Kegunaan ultrasonografi sangatlah membantu klinisi dalam mendiagnosis apendisitis akut terutama pada pasien yang hamil dan anak kecil. Anielski, dkk. 2010 mencatat bahwa meskipun ultrasonografi merupakan alat yang membantu dalam diagnosis preoperatif untuk kasus-kasus akut abdomen, kegunaannya untuk apendisitis akut terbatas. Penggunaan ultrasonografi sangat bergantung dari operator yang memerlukan keahlian khusus serta harus diperhatikan untuk menghindari penafsiran yang berlebihan. Akan tetapi hal ini tertutup oleh pentingnya ultrasonografi dalam memeriksa pasien dengan nyeri perut kanan bawah. Kurva pembelajaran dibutuhkan operator dalam memeriksa dan menganalisa pasien dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Kekurangan lain dari ultrasonografi antara lain letak atau posisi apendiks yang menyulitkan, biaya yang relatif mahal, interpretasi yang membutuhkan waktu, keberadaan gas di dalam usus sehingga menyulitkan operator untuk melihat kondisi apendiks atau berat badan pasien yang berlebihan indeks massa tubuh 25 merupakan faktor yang dapat menurunkan sensitivitas sampai 37 Anielski, dkk., 2010; Lee, J. H., 2003. Di tangan yang ahli, sensitivitas ultrasonografi dilaporkan sebesar 75-90, spesifisitas 86-100, akurasi 87-96, nilai prediksi positif sebesar 91-94 dan nilai prediksi negatif sebesar 89-97 dalam mendiagnosis apendisitis akut Birnbaum dan Wilson, 2000. Akurasi yang diberikan oleh ultrasonografi dapat menekan angka apendisektomi negatif sebesar 10-20 Morrow dan Newman, 2007; Wray, dkk., 2013; Kurane, dkk., 2008. Pada penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Doria, dkk. 2006 mengenai penggunaan ultrasonografi atau CT- Scan dalam mendiagnosis apendisitis akut pada pasien anak kecil, mereka mendapatkan angka sensitivitas dan spesifisitas CT-scan yang lebih tinggi dibanding ultrasonografi 94 dan 95 vs 88 dan 94. Ultrasonografi harus dilakukan dengan memeriksa abdomen dan organ pelvis. Hal ini penting terutama untuk membedakan apakah apendiks terletak di rongga pelvis atau terdapat kelainan di bidang ginekologi. Bendeck, dkk. 2002 melaporkan keuntungan pemeriksaan radiologis berupa ultrasonografi atau CT-scan pada penderita perempuan dewasa dengan kecurigaan apendisitis akut. Mereka mendapatkan angka kejadian apendisektomi negatif yang lebih rendah dibandingkan yang tidak dilakukan pemeriksaan radiologis pre-operatif. Akan tetapi pada kelompok lain, tidak didapatkan perbedaan secara bermakna angka kejadian apendisektomi negatif pada kelompok yang dilakukan pemeriksaan radiologis pre-operatif maupun yang tidak. Secara spesifik, ultrasonografi dilakukan dengan penekanan pada perut kanan bawah. Menempatkan pasien dengan posisi dekubitus lateral kiri sangat membantu memvisualisasi apendiks retrosekal. Pada pemeriksaan ultrasonografi, apendiks yang mengalami inflamasi akan memiliki diameter 6 mm atau lebih. Ditemukan juga adanya perubahan inflamasi pada jaringan sekitar khususnya pada jaringan lemak yang mengelilinginya Gambar 2.4.. Pada apendiks perforasi gambaran ultrasonografi menunjukkan bentuk apendiks yang irregular dan adanya penumpukan cairan di sekitar sekum Birnbaum dan Wilson, 2000; Kaiser, dkk., 2002; Morrow dan Newman, 2007; Rybkin dan Thoeni, 2007; Kurane, dkk., 2008; Doria, 2009; Poortman, dkk., 2009. A B Gambar 2.4. Gambaran ultrasonografi apendisitis akut. a Axis memanjang dan b Potongan melintang Birnbaum dan Wilson, 2000 CT-scan merupakan alternatif diagnostik pada apendisitis akut. Alat ini direkomendasikan apabila ultrasonografi belum dapat menyimpulkan apendisitis. CT-scan merupakan alat diagnostik yang lebih superior dibanding ultrasonografi dalam hal spesifisitas 96 vs 76, akurasi 94 vs 83 dan nilai prediksi negatif 95 vs 76. Dalam hal sensitivitas dan nilai prediksi positif, CT-scan menyerupai ultrasonografi 91 vs 89 dan 95 vs 96 Shelton, dkk., 2003; Hlibczuk, dkk., 2010; Birnbaum dan Wilson, 2000; Doria, 2009; Poortman, dkk., 2009; Krajewski, dkk., 2011. CT-scan lebih superior dalam mendiagnosis inflamasi periapendiks, kelainan abdomen akut selain apendisitis akut dan lebih sensitif menganalisa apendiks normal dibanding ultrasonografi. Pada pemeriksaan CT-scan, apendiks yang mengalami inflamasi memiliki diameter lebih besar dari 9 mm dan cenderung mengalami perubahan inflamasi pada jaringan sekitarnya. Diameter apendiks normal yang ditemukan pada orang dewasa bervariasi mulai dari 3 mm sampai 10 mm. Kadang kala dijumpai juga apendikolit yang terdapat pada lumen apendiks yang menyebabkan inflamasi perisekal. Pemeriksaan ini juga dapat membedakan penyebab apendisitis seperti obstruksi lumen akibat keganasan. Kekurangan dari pemeriksaan CT-scan adalah waktu yang dibutuhkan dalam memvisualisasi dan menginterpretasi hasil yang pencitraan serta biaya untuk melakukan pemeriksaan ini Shelton, dkk., 2003; Birnbaum dan Wilson, 2000. Laparoskopi, CT-Scan dan MRI merupakan pemeriksaan yang relatif mahal dan tidak mudah dilakukan di semua rumah sakit, terutama di Unit Gawat Darurat. Pemeriksaan tersebut hanya akan menunda penegakkan diagnosis yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah komplikasi, beban biaya dan masa rawat inap serta waktu untuk beraktivitas kembali. Angka mortalitas akibat penundaan diagnostik dan penatalaksanaan dilaporkan sebesar 0,2-0,8 dapat meningkat sampai diatas 20 pada pasien dengan usia diatas 70 tahun Ali, dkk., 2013. Lee, dkk. 2001 bahkan melaporkan bahwa CT-scan dan ultrasonografi tidak meningkatkan akurasi diagnostik apendisitis maupun menurunkan angka kejadian apendisektomi negatif. Pemeriksaan tersebut hanya akan menghambat diagnosis dan penanganan pasien dengan apendisitis.

2.6 Penatalaksanaan