10 larutan tersebut. Konsentrasi tersebut dapat bernilai cukup besar maupun
cukup kecil sehingga biasanya dinyatakan dengan nilai pH, yang merupakan bilangan negatif dari logaritma konsentrasi ion H
+
.
4. Mutu Organoleptik
Sifat sensori merupakan hal yang sangat penting karena menyangkut penilaian oleh indera manusia sebagai konsumen. Hal ini terkait dengan
fakta bahwa konsumen akhir dari suatu produk pangan adalah manusia. Bagaimanapun
tingginya mutu
gizi, sifat
fungsional, kualitas
mikrobiologis dan kimia suatu produk pangan, mutu organoleptik merupakan mutu yang juga harus dipertimbangkan.
5. Slicing Quality
Kualitas irisan atau slicing quality menggambarkan kualitas yang berkaitan dengan mutu akibat pengirisan suatu produk pangan. Pada
tempe, kualitas irisan dapat diamati dengan membandingkan gaya force yang diperlukan dalam pengirisan dan kekompakan matriks kedelai hasil
pengirisan.
C. KERUSAKAN MUTU TEMPE
Terbentuknya amonia, seperti yang dikemukakan oleh Koswara 1992 merupakan penyebab kerusakan yang utama pada tempe. Enzim proteolitik
yang dihasilkan bakteri kontaminan dapat mendegradasi protein sehingga menimbulkan bau. Hal ini menyebabkan tempe segar yang disimpan dalam
suhu ruang dan tidak dikemas dengan baik akan bertahan maksimal dua hari Nuraini, 1995. Berbagai penyimpangan mutu tempe kedelai dapat dilihat
pada Tabel 4. Tempe segar dapat disimpan selama satu hingga dua hari pada suhu
ruang tanpa banyak mengalami perubahan mutunya. Setelah dua hari, tempe akan mengalami proses pembusukan tidak dapat lagi dikonsumsi oleh
manusia. Meskipun demikian di beberapa daerah Jawa Tengah, tempe yang
11 busuk sering dikehendaki untuk bahan sayur atau masakan tradisional
setempat.
Tabel 4. Penyimpangan Mutu Tempe Kedelai
NO Jenis Penyimpangan Mutu Penyebab
1 Tempe terlalu basah
Suhu fermentasi terlalu tinggi Kelembaban udara terlalu tinggi
Kedelai terlalu basah karena kurang tiris
Lubang pembungkus terlalu kecil Alat tidak bersih atau tidak higienis
2 Tempe tidak kompak
Kapang tidak aktif atau sudah mati Laru terlalu sedikit
Laru terlalu tua Pengadukan laru tidak merata
Waktu fermentasi kurang lama Suhu fermentasi terlalu rendah
3 Permukaan tempe bercak-
bercak hitam Pembentukan spora kapang karena
oksigen terlalu banyak Fermentasi kurang lama
Suhu terlalu tinggi Kualitas laru rendah
Kelembaban terlalu kering 4
Tempe berbau amoniak atau alkohol
Terlalu lama fermentasi Suhu terlalu tinggi
Alat tidak bersih kontaminasi Kadar air terlalu tinggi
5 Tempe pecah-pecah dan
pertumbuhan kapang tidak merata
Pencampuran laru tidak merata Suhu ruang inkubasi tidak merata
Lubang aerasi dan pergerakan udara dalam ruang inkubasi tidak merata
6 Tempe kepanasan
overheating Pengatur suhu, kelembaban, aerasi
atau ventilasi tidak baik Suhu terlalu tinggi
Inkubasi terlalu tertutup Bahan terlalu banyak
7 Tempe beracun
Bahan dan laru terkontaminasi mikroba patogen, bahan beracun
Laru terlalu lemah keaktifannya, laru terlalu sedikit sehingga
mikroba berbahaya yang tumbuh
Ruang dan alat tidak higienis Sumber : Syarief et al., 1999
12 Peningkatan daya simpan tempe secara tradisional telah dikembangkan
misalnya dalam bentuk keripik tempe. Produk keripik tempe bila disimpan pada suhu ruang dapat bertahan selama beberapa minggu tanpa banyak
mengalami penurunan mutu. Selain itu telah dikembangkan juga sambal kering tempe dari irisan tempe tipis yang setelah dikeringkan di bawah sinar
matahari digoreng dalam minyak dan kemudian dicampur dengan cabai dan gula merah. Produk ini bertahan hingga beberapa minggu.
Gambar 1. Kerusakan Mutu pada Tempe
Beberapa teknik pengawetan tempe menurut Shurtleff dan Aoyagi 1979 antara lain, yaitu 1 penyimpanan suhu dingin, bisa memperpanjang
umur simpan maksimal satu minggu, 2 pembekuan, 3 blansir, merupakan perlakuan pendahuluan sebelum penyimpanan suhu rendah meupun
pembekuan, yang
bertujuan untuk
inaktivasi enzim,
menghambat pertumbuhan kapang dan menurunkan jumla h bakteri, 4 pengeringan, 5
pengeringan beku freeze drying dilakukan dengan cepat, 6 pengeringan semprot spray drying, 7 penggorengan dan 8 pengalengan.
Steinkraus et al. 1965 mengembangkan produk tempe kering tanpa bumbu dengan ukuran empat persegi 2.5 cm. Pengeringan dilakukan pada
suhu 6 9˚C selama 90-120 menit. Dengan teknik pengeringan, kadar air tempe
dapat dikurangi sampai mencapai 2-4. Tempe ini dapat disimpan hingga
13 beberapa bulan pada suhu ruang, namun dapat terjadi pengurangan kandungan
bahan kering dan nitrogen terlarut karena pa nas. Usaha lain untuk meningkatkan daya simpan tempe yang dilakukan
adalah dengan cara pembekuan dan pengalengan. Tempe yang akan dibekukan diproses dengan blansir terlebih dahulu selama 5 menit dalam air mendidih
untuk menginaktifkan kapang, enzim proteolitik, dan lipolitik. Tempe tersebut dapat bertahan hingga 100 hari. Tempe yang dikalengkan mampu bertahan
hingga 10 minggu. Teknik baru untuk meningkatkan umur simpan tempe adalah dengan menunda proses fermentasi.
D. PROSES TERMAL
Proses termal merupakan aplikasi panas pada bahan pangan tertentu yang diharapkan dapat memperpanjang umur simpannya. Proses termal juga
memiliki manfaat lain, terutama dalam peningkatan mutu santap. Tujuan utama proses termal adalah membunuh mikroba pembusuk dan patogen
dengan pemanasan sehingga dapat meningkatkan keamanannya dan memperpanjang daya awetnya dalam jangka waktu tertentu. Proses termal
juga mempengaruhi menyebabkan inaktivasi enzim perusak sehingga mutu produk pangan lebih stabil. Namun demikian, proses termal dapat
menyebabkan kerugian, yaitu kerusakan zat gizi dan mutu organoleptik Kusnandar et al., 2006.
Proses termal seperti pasteurisasi dan sterilisasi uap diharapkan dapat menjadi metode yang tepat untuk memperpanjang umur simpan tempe karena
proses termal dapat menginaktivasi sejumlah mikroba penyebab kerusakan, terutama kapang. Proses termal secara umum meliputi blansir, pasteurisasi,
dan sterilisasi. Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan
pada proses pengalengan dengan tujuan memperbaik i mutunya sebelum dikenai proses lanjutan. Proses blansir bertujuan untuk a membersihkan
jaringan dan mengurangi jumlah mikroba awal, b meningkatkan suhu produk atau jaringan, c mengeluarkan udara dalam jaringan, d menginaktivasi
enzim, e menghilangkan rasa mentah, f mempermudah proses pemotongan,
14 g mempermudah pengupasan, h memberikan warna yang dikehendaki, dan
i mempermudah pengaturan produk dalam kaleng Kusnandar et al., 2006. Pasteurisasi merupakan proses perlakuan panas yang membunuh
sebagian besar sel vegetatif mikroorganisme yang terdapat di dalam makanan. Dalam beberapa produk makanan, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh
mikroba patogen, sedangkan dalam produk fermentasi seperti bir, pasteurisasi ditujukan untuk membunuh mikroba pembusuk. Untuk produk lainnya,
pasteurisasi yang dikembangkan didasarkan pada daya tahan panas dari mikroba tertentu yang ingin dihancurkan.
Hampir semua bahan pangan dapat diawetkan dengan menggunakan proses pasteurisasi. Selain untuk membunuh mikroba patogen dan mikroba
lain yang tidak diinginkan, pasteurisasi juga bertujuan utnuk memperpanjang umur simpan dengan cara meminimumkan perubahan cita rasa dan sifat-sifat
fisiknya. Pasteurisasi dapat dilakukan setelah atau sebelum bahan pangan
dikemas. Setelah pasteurisasi, bahan pangan didinginkan kembali sampai suhu sekitar 40°C untuk menguapkan sisa-sisa air, sehingga mencegah proses
korosi dan mempermudah proses penempelan label pada permukaan bahan pengemas. Bila proses pasteurisasi dilakukan sebelum ba han pangan dikemas,
proses pemanasan dilakukan dengan menggunakan alat penukar panas heat exchanger yang beroperasi secara kontinyu.
Pada proses sterilisasi komersial produk pangan, kondisi absolut sulit tercapai. Sterilisasi komersial adalah sterilisas i yang biasanya dilakukan
terhadap sebagian besar makanan di dalam kaleng, plastik, atau botol. Makanan yang steril secara komersial berarti semua mikroba penyebab
penyakit dan pembentuk racun toksik dalam makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga semua mikroba pembusuk. Spora bakteri non
patogen yang tahan panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi bersifat dorman tidak dalam kondisi aktif
bereproduksi, sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal Hariyadi, 2000. Makanan- makanan
15 yang steril komersial biasanya mempunyai daya awet dan daya simpan yang
tinggi, tahan beberapa bulan sampai beberapa tahun. Kondisi proses sterilisasi komersial sangat bergantung pada berbagai
faktor, antara lain kondisi produk pangan yang disterilisasi nilai pH, jumlah mikroba awal, dan lain- lain, jenis dan ketahanan panas mikroba yang ada
dalam bahan pangan, karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan wadah yang digunakan, medium pemanas, serta kondisi penyimpanan setelah
disterilisasi. Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi.
E. KINETIKA PERUBAHAN MUTU
Proses termal bertujuan untuk mengawetkan produk pangan dengan membunuh mikroba pembusuk dan patogen dengan suhu tinggi. Meskipun
demikian, proses termal tidak semata- mata digunakan untuk membunuh mikroba, tetapi juga harus mempertimbangkan mutu akhir dari produk dimana
kerusakan mutu oleh pemanasan harus diminimalkan. Dengan demikian, optimasi proses termal diperlukan untuk dapat menentukan kombinasi suhu
dan waktu selama pemanasan yang dapat memenuhi kriteria keamanan dan mutu.
Saat produk dipanaskan, maka komponen pangan umumnya akan dipengaruhi oleh lama dan suhu proses yang diberikan. Disamping itu,
pemanasan dapat mempengaruhi flavor, rasa, tekstur, dan perubahan struktur bahan pangan. Setiap produk pangan memiliki tingkah laku yang berbeda oleh
pengaruh pemanasan, sehingga akan sangat berguna apabila mengetahui kinetika penurunan mutu oleh panas. Secara umum kinetika penurunan mutu
lebih lambat daripada kinetika inaktivasi mikroba. Mikroba memiliki ketahanan panas yang berbeda-beda. Ketahanan
panas mikroba bergantung pada sejumlah faktor, yaitu: karakteristik pertumbuhan mikroba, sifat makanan dimana mikroba dipanaskan, dan jenis
makanan dimana mikroba dibiarkan tumbuh. Jumlah panas yang diperlukan untuk memusnahkan mikroba dalam suatu produk dapat diperoleh melalui uji
waktu kematian termal atau thermal death time Kusnandar et al., 2006.
16 Sel vegetatif, khamir, dan kapang dapat diinaktifkan pada suhu yang
lebih rendah 60- 88˚C, sedangkan bakteri termofilik dan mesofilik
memerlukan suhu yang lebih tinggi untuk membunuhnya. Tabel 5 memperlihatkan kombinasi suhu dan waktu yang diperlukan untuk membunuh
mikroba Kusnandar et al., 2006.
Tabel 5. Kombinasi Suhu dan Waktu untuk Menurunkan
Jumlah Mikroba pada Level yang Sama Organisme
Waktu menit Suhu ˚C
Sel vegetative 10
80 Khamir
5 60
Kapang 30-60
88
Bakteri Termofilik
Clostridium thermosacahharilyticum 3-4
121 Bacillus stearothermophillus
4 121
Bakteri Mesofilik
Clostridium botulinum 3
121 Toksin botulin A dan B
0.1-1 121
Clostridium sporogenes 1.5
121 Bacillus subtillis
0.6 121
Sumber : Kusnandar et al. 2006
Apabila suspensi mikroba dipanaskan pada suhu konstan, maka penurunan jumlah mikroba hidup yang tersisa akan mengikuti reaksi orde
pertama, dimana penurunan jumlah mikroba mengikuti pola logaritmik sebagai fungsi dari waktu. Laju inaktivasi mikroba selama waktu pemanasan
pada suhu tertentu dapat dinyatakan sebagai berikut:
dN kN
dt
1 dimana N adalah jumlah mikroba sisa yang masih hidup setelah waktu
pemamasan t, No adalah jumlah mikroba awal, t adalah waktu pemanasan dalam menit, dan D adalah waktu pemanasan dala m desimal decimal
reduction time. Nilai k adalah laju reaksi dan t adalah waktu pemanasan. Apabila
persamaan 1 diintegrasikan maka akan diperoleh persamaan 2 berikut
17
N In
kt No
2 Persamaan 2 menunjukkan p lot kurva semi logaritmik dari N
terhadap t. Persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi persamaan 3.
N 2.303log
=-kt No
atau
log 2.303
N kt
No
3 Nilai slope 2.303k sering dinyatakan sebagai nilai D, sehingga
log N
t No
D
4 dimana nilai D = 2.303k merupakan waktu penurunan desimal Kusnandar et
al., 2006. Beberapa reaksi degradasi mutu juga dapat mengikuti orde reaksi nol.
Hal ini berarti kecepatan reaksi degradasi mutu tersebut bersifat konstan. Konstanta laju reaksi dapat ditentukan dari kemiringan kurva hubungan antara
waktu terhadap konsentrasi suatu pereaksi. Nilai D menyatakan ketahanan panas mikroba atau sensitifitas mikroba
oleh suhu pemanasan. Nilai D didefinisikan sebagai waktu dalam menit pada suhu tertentu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah spora atau sel
vegetatif tertentu sebesar 90 atau satu logaritmik. Setiap mikroba memiliki nilai D pada suhu tertentu. Semakin besar nilai D suatu mikroba pada suatu
suhu tertentu maka semakin tinggi ketahanan panas mikroba tersebut. Nilai D merupakan parameter kinetika yang juga berlaku untuk parameter mutu
dimana nilai D menyatakan waktu pada suhu tertentu untuk menurunkan nilai mutu suatu parameter sebesar 90 atau satu logaritmik.
Nilai D dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu, maka nilai D akan semakin kecil. Artinya, semakin tinggi suhu pemanasan, maka waktu
yang diperlukan untuk menginaktivasi mikroba akan semakin pendek. Nilai D dari setiap mikroba memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap perubahan
suhu. Sensitivitas nilai D terhadap suhu sering dinyatakan sebagai nilai Z, yaitu perubahan suhu yang diperlukan untuk mengubah nilai D sebesar 90
atau satu siklus logaritma. Kurva semi logaritmik hubungan antara suhu dan nilai D berbentuk linear dengan kemiringannya adalah -1Z. Secara matematis,
Nilai D
T
pada suhu tertentu dapat dinyatakan dengan persamaan 5 berikut
18 log
ref T
T T
D D
Z 5
dimana D
T
adalah nilai D pada suhu tertentu menit, D adalah nilai D pada
suhu standar referensi, T adalah suhu pemanasan pada waktu tertentu dan T
ref
adalah suhu standar yang digunakan untuk nilai D Kusnandar et al.,
2006.
Gambar 2 . Thermal Reduction Time sebagai Hubungan antara Waktu dan
Kuantitas Mikroorganisme
Gambar 3 . Kurva Semi Logaritma Hubungan Suhu dengan Nilai D
Waktu Jumlah m.o.
Nila i D 10
n-1
10
n
Suhu Nila i D
Nila i Z 10
n-1
10
n
19
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan adalah tempe kacang kedelai, akuades, larutan buffer pH 7.0 dan pH 4.0, aluminium foil, dan minyak goreng. Tempe
diperoleh dari produsen tempe di Sindangbarang, Bogor. Peralatan yang digunakan adalah water bath, steam jacket, pH meter,
Minolta Chroma Meters CR300, penetrometer, Texture Analyzer, neraca analitik, gelas piala, gelas ukur, mortar, pisau, dan alat pengorengan.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Laboratorium SEAFAST Center IPB.
B. METODE PENELITIAN
Tempe yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari produsen di Sindangbarang, Bogor. Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu
penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan waktu dimana parameter-perameter mutu
dipengaruhi secara nyata oleh proses pemanasan. Tempe dipotong dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Tempe yang telah dipotong dikemas dengan
aluminium foil dan diberi perlakuan pemanasan dalam water bath atau steam jacket dengan air sebagai media pindah panas.
Suhu produk diukur dan dipertahankan pada waktu yang telah ditentukan untuk parameter masing- masing. Setiap produk diambil untuk
dilakukan analisis parameter-parameternya, yaitu: tekstur, warna, dan mutu organoleptik warna, bau dan rasa. Berdasarkan hasil penelitian
pendahuluan, suhu dan waktu pemanasan ditentukan untuk mengamati pengaruhnya pada parameter yang dipengaruhi secara nyata. Analisis dari
setiap parameter diplotkan untuk mendapatkan nilai D dan Z sebagai karakteristik kinetika proses panas melalui pendekatan nilai konstanta laju
reaksi k. Selain itu juga dilakukan analisis terhadap pH dan mutu irisan slicing quality tempe hasil pemanasan. Diagram alir proses penelitian dapat
dilihat pada Gambar 4.
20
Gambar 4. Diagram Alir Penelitian
1. Penelitian Pendahuluan