88 Dampak yang terjadi kemudian dapat ditemukan pada bagian anti klimaks,
dimana ibu menemui Bik Sarti lebih dahulu, demi memperbaiki relasi. Dari cuplikan dialog di bawah, pembaca tidak mendapatkan informasi mengenai alasan
dari perubahan sikap ibu ini. Apakah Ibu masih jengkel ataukah tidak terhadap Bik Sarti, tidak diketahui dalam teks. Tidak ditunjukan alasan dari perubahan
sikap ibu, selain karena dia memang harus melakukan kewajibannya membayar upah Bik Sarti setiap bulan. Sehingga kesan yang muncul tentang sosok ibu
adalah seorang yang memiliki kecenderungan ingin dinilai baik dan terhindari dari tuduhan tidak masuk akal yang dilontarkan si anak sebelumnya.
Tidak mengherankan karena dalam cerpen ini yang bertindak sebagai pencerita adalah tokoh anak, dirinya melakukan penilaian atas sikap ibunya.
Dominasi tokoh anak kemudian menempatkan pembaca seperti memerankan tokoh anak. Pembaca diposisikan sebagai tokoh anak, mengikuti
penceritaan yang dilakukan oleh tokoh anak. Sehingga pembaca turut dalam alam pikiran anak
5.10.3. Perempuan Menindas Perempuan Lain
Realitas kejengkelan majikan perempuan tokoh ibu, kepada pembantu perempuannya dikonstruksi melalui penceritaan dari tokoh anak. Hal ini
menyebabkan realitas tampil timpang dan begitu menguntung tokoh anak. Karena pandangan dari anaknya yang tampil dalam cerpen ini. Penggambaran Ibu dalam
Buktinya, baru saja aku bertemu Bik Sarti bersama anaknya, tepat di depan tempat pengungsian ibu. Aku pun berkata
kepadanya, Ibu mengungsi di sini. Namun yang ditonjolkan oleh Bik Sarti adalah ia sendiri yang sakit-sakitan.
Kulihat dari kejauhan, antara mereka berdua terjadi dialog Dialog, yang baru pertama kali dilakukan selama banjir
melanda kota kami. Sudah kuberikan uang upah untuknya buat bulan kerja
yang telah lewat ungkap ibu sekembali di rumah. Bagus, Ibu. Anggap saja pembayaran penuh satu bulan
dengan tujuh hari tanpa kerjanya Bik Sarti itu sebagai bantuan korban banjir ujarku sambil mengacungkan dua
jempol tangan.
89 tokoh ini cenderung diburukkan. Bik Sarti yang tidak melakukan tugasnya di kala
banjir padahal sudah dibayar upahnya oleh ibu, dinilai sebagai tuntutan tidak masuk akal adalah keluar dari mulut anak. Pembaca tidak mendapatkan
kemungkinan-kemungkinan lain atas sikap ibu tersebut karena pembaca turut dalam alam pemikiran anak.
Dengan kode representasi demikian, pengarang ingin menumbangkan ideologi patriakhi yang banyak muncul pada teks-teks. Melalui realitas yang
dibangunnya, pengarang menampilkan kenyataan baru bahwa penderitaan yang dialami perempuan sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh sosok patriakhi tetapi
juga oleh perempuan itu sendiri, dalam konteks cerpen ini adalah tokoh ibu. Tokoh ibu adalah gambaran sosok yang memiliki kekuasaan, yang dengan
alat kekuasaannya tersebut kemudian melakukan tuntutan kepada pembantu rumah tangganya, Bik Sarti. Merasa telah membayar upah Bik Sarti, lantas
membuat ibu ini dengan mudah menuntut pembantu rumah tangganya. Hal ini dinilai tidak masuk akal oleh anaknya. Tokoh anak tampil memberikan tanggapan
atas apa yang dilakukan ibunya. Ibu memang melakukan tuntutan terhadap perempuan lain. Namun yang
menarik adalah perempuan ini pula yang menyelesaikan konflik dengan perempuan lain. Menurut Jean Baker Miller, bagi banyak perempuan ancaman
rusaknya hubungan-hubungan antar pribadi dianggap bukan saja sebagai hilangnya keterkaitan tapi sebagai sesuatu yang mendekati lenyap-totalnya diri. Ia
menyebut bahwa hal itu bisa menyebabkan masalah-masalah misalnya depresi Wolf, 1997: 402. Perempuan memang cenderung melihat relasi interpersonal
untuk menjalin kerja sama, berbeda dengan lelaki yang memandang hubungan antar pribadi sebagai sebuah persaingan. Konsep genderis ini kemudian
mempengaruhi ibu untuk menjalin hubungan kembali dengan bik Sarti. Meskipun perempuan melakukan tuntutan terhadap perempuan lain, pada akhirnya
perempuan itu sendirilah yang menyelesaikan konflik. Bik Sarti pun kembali bekerja dan bersama keluarganya bersilaturahmi ke rumah majikannya.
90
Tabel 5.10.3
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Banjir Bik Sarti’ Pertama
Realitas Tuntutan Ibu kepada pembantu rumah tangganya, yang
tidak melakukan kerja saat banjir padahal sudah dibayar upahnya.
Kedua Representasi
Realitas kejengkelan majikan perempuan tokoh ibu, kepada pembantu perempuannya dikonstruksi melalui
penceritaan dari tokoh anak. Hal ini menyebabkan realitas tampil timpang dan begitu menguntung tokoh
anak. Ketiga
Ideologi Dengan kode representasi demikian, pengarang ingin
menumbangkan ideologi patriakhi yang banyak muncul pada teks-teks. Melalui realitas yang dibangunnya,
pengarang menampilkan kenyataan baru bahwa penderitaan yang dialami perempuan sebenarnya tidak
hanya disebabkan oleh sosok patriakhi tetapi juga oleh perempuan itu sendiri, dalam konteks cerpen ini adalah
tokoh ibu. Menariknya, konflik antar perempuan terselesaikan oleh
perempuan itu sendiri, karena konsep genderis yang mana perempuan melihat relasi interpersonal untuk
menjalin kerja sama, berbeda dengan lelaki yang memandang hubungan antar pribadi sebagai sebuah
persaingan.
91
5.11. CERPEN 11