STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR EKONOMI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE SCAFFOLDING DAN TEAMS GAMES TURNAMENT ( TGT ) DENGAN MEMPERHATIKAN KECERDASAN ADVERSITAS TERHADAP SISWA KELAS XI MAN 2 METRO TAHUN PELAJARAN 2013-2014

(1)

ABSTRAK

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR EKONOMI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE SCAFFOLDING DAN

TEAMS GAMES TURNAMENT ( TGT ) DENGAN MEMPERHATIKAN KECERDASAN ADVERSITAS TERHADAP SISWA KELAS XI MAN 2

METRO TAHUN PELAJARAN 2013-2014 Oleh

Marisa Rahma Silvia

Penelitian ini mengkaji tentang Studi perbandingan hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Scaffolding dan Teams Games Turnament (TGT) pada mata pelajaran ekonomi dengan memperhatikan

kecerdasan adversitas kelas XI IPS semester genap di MAN 2 Metro. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komparatif dengan

pendekatan eksperimen. Populasi penelitian berjumlah 145 siswa dengan jumlah sampel yaitu sebanyak 72 siswa. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah cluster random sampling. Teknik pengambilan data yaitu dengan observasi, dokumentasi, tes, dan kuesioner/angket. Pengujian hipotesis menggunakan rumus analisis varian dua jalan dan t-test dua sampel independen.

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh sebagai berikut (1) ada perbedaan hasil belajar ekonomi siswa yang pembelaarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Scaffolding dibanding TGT, (2) ada interaksi antara model

pembelajaran dengan kecerdasan adversitas terhadap hasil belajar ekonomi siswa, (3) hasil belajar ekonomi siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Scaffolding lebih tinggi dibandingkan model TGT pada siswa yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi, (4) hasil belajar ekonomi siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Scaffolding lebih tinggi dibandingkan model TGT pada siswa yang memiliki kecerdasan adversitas sedang, (5) hasil belajar ekonomi siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Scaffolding lebih rendah dibandingkan model TGT pada siswa yang memiliki kecerdasan adversitas rendah.

Kata kunci: Ekonomi, Hasil belajar, Kecerdasan adversitas, Model Scaffolding, Model TGT


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Penulis dilahirkan di Metro pada tanggal 30 Maret 1992 dengan nama lengkap Marisa Rahma Silvia. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Putri dari pasangan Bapak Yosrizal dan Ibu Hamidah. Penulis dikenalkan pada pendidikan

pertamanya di Taman Kanak Kanak Pertiwi pada tahun 1996 dan menyelesaikannya pada tahun 1998. Pendidikan selanjutnya adalah Sekolah Dasar Pertiwi Teladan Metro pada tahun 1998 dan menyelesaikannya pada tahun 2004. Pendidikan dilanjutkan kejenjang berikutnya, yaitu Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Metro pada tahun 2004 dan menyelesaikannya pada tahun 2007. Selanjutnya penulis mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Metro pada tahun 2007 dan menyelesaikannya pada tahun 2010.

Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Pada bulan Januari 2013, penulis mengikuti Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di Jakarta-Semarang-Solo-Bali-Yogyakarta-Bandung. Pada bulan Juli-September, penulis mengikuti Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Cipta Mulya, Kecamatan Kebun Tebu, Kabupaten Lampung Barat dan PPL (Program Pengalaman Lapangan) di SMP Negeri 1 Cipta Mulya.


(7)

Rasulullah SAW bersabda ‘Dan barangsiapa yang berjalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga’

(hr. Muslim)

Everything happens for a reason

Life, Love, Lough ( Marisa )


(8)

Bismillahirrohmaanirrohiim

Dengan penuh syukur dan kerendahan hati, ku persembahkan karya kecilku ini untuk:

ALLAH SWT

Karna atas izin dan ridho-Nya skripsi ini bisa diselesaikan. Nabi Muhammad SAW

Telah menjadi inspirasi dan suri teladan yang baik buatku. Keluarga Tercinta

Ayahku tercinta Yosrizal & Ibuku tersayang Hamidah. Terimakasih atas setiap do’a, dukungan, kasih sayang, perhatian dan senyuman

yang kalian berikan dalam setiap langkahku menuju keberhasilan. Kakakku tercinta Reza Agusta dan Taufiq Renaldi

Serta adikku tersayang Edo Rahmadiansyah

Terimakasih atas do’a, dukungannya dan telah memberikan hiburan selama menyelesaikan tuliasanku ini.


(9)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : Studi Perbandingan Hasil Belajar Siswa dengan Menggunakan Model

Pembelajaran Kooperatif Tipe Scaffolding dan Teams Games Turnament (TGT) pada Mata Pelajaran Ekonomi dengan Memperhatikan Kecerdasan Adversitas Kelas XI MAN 2 Metro Tahun Pelajaran 2013/2014. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

Selesainya penyususnan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, motivasi, bimbingan, dan saran dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Unila; 2. Bapak Dr. M. Thoha B. S. Jaya, M.Si., selaku pembantu Dekan I FKIP

Unila;

3. Bapak Drs. Arwin Achmad, M.Si., selaku pembantu Dekan II FKIP Unila; 4. Bapak Drs. Iskandarsyah, M.H., selaku pembantu Dekan III FKIP Unila; 5. Bapak Drs. Bukhori Asyik, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu


(10)

bimbingan dan nasehat serta motivasi kepada penulis;

7. Bapak Drs. Tedi Rusman, M. Si., selaku pembimbing I yang telah memberikan motivasi, arahan, dan nasehat dalam menyelesaikan skripsi ini;

8. Bapak Dr. Edy Purnomo, M.Pd., selaku pembahas atas masukan-masukan demi kebaikan skripsi ini;

9. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Ekonomi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Unila, atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis;

10. Bapak Yosrizal dan Ibu Hamidah Ismail atas doa, cinta dan kasih sayangnya yang tak terhingga kepada penulis;

11. Abangku tersayang Reza Agusta, Taufiq Renaldi. Dan adikku trecinta Edo Rahmadinsyah terima kasih atas doa dan semangat yang kaliam berikan.; 12. Kepala MAN 2 Metro, Drs. Moch Yamin, S.Pd, M.PdI serta dewan guru

khususnya Pak Miswanto, M.Pd selaku guru mata pelajaran ekonomi kelas XI IPS dan staf tata usaha yang telah mengizinkan dan membantu proses penelitian;

13. Untuk murid-muridku tercinta yang ada di SMP N 1 Kebun Tebu terima kasih atas dukungannya.


(11)

15. Untuk sahabat-sahabat terbaikku yang sudah menemani dari penulis masih menggunakan seragam putih biru Dian (aton), Indah (kiting), Ratih (duka) dan sepupuku tersayang Feradita thankyou buat support nya.

16. Untuk sahabat-sahabat baikku di kampus Arnold rama, Sofia Luthfita, Eva Ristiani, Pemi Zurriyatina, Anggoro Yoga, Made Budi, Nuy, Wahyuni, Ayu Wulan.

17. Untuk teman-teman seperjuangan ECOEDU 2010 (Asti, Anggi, Kiki Jesika, Mami Ajeng, Teteh, Rendi, Ana R, Ana P, Ardi, Kus, Nuhay, Selvita, Jeni, Lek fitri, Tipeh, Cece, Suki, Cia, Vivin D, Henong, Ali, Benk, Hardian, Ditha, Tia, Poppy, Rie, Mak Cynd, Burhan, Astika, Tetty, Riza, dan semuanya) terima kasih atas bantuan, semangat dan

kebersamaannya selama ini;

18. Untuk keluarga Cipta Mulya Nissa, Ardelia, Mbk Andar, Anggi, Woro, Adit, Agung, Heru, Deni, Gilang terima kasih atas kebersamaannya yang tak akan pernah penulis lupakan;

19. Untuk kak Deni, Kak Dani, Om Herdi yang telah memberikan masukan dan arahan , terima kasih. Kakak tingkat 2009, 2008,dan 2007 yang telah memberikan informasi dan masukan tentang skripsi ini serta adik tingkat 2011, 2012, 2013 semoga sukses untuk kalian;


(12)

untuk semua pihak. Amin.

Metro, 7 Agustus 2014 Penulis,


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ……….. i

DAFTAR TABEL ……….. iii

DAFTAR GAMBAR………... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Identifikasi Masalah ……….. 9

C. Pembatasan Masalah ………... 10

D. Rumusan Masalah ………. 10

E. Tujuan Penelitian ……….. 11

F. Kegunaan Penelitian ………. 12

G. Ruang Lingkup Penelitian ……….... 13

BAB II Kajian Pustaka, Kerangka Pikir, dan Hipotesis A. Tinjauan Pustaka ………... 14

1. Hasil Belajar ………...…….... 14

2. Pembelajaran kooperatif ………... 18

3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Games Turnaments ……...……. 22

4. Model Pembelejaran Kooperatif Tipe Scaffolding ...… 28

5. Kecerdasan Adversitas ... 31

B. Penelitian yang Relevan ………... 36

C. Kerangka Fikir ………. 37

D. Hipotesis ………... 40

BAB III Metodologi Penelitian A. Metode Penelitian ………... 39

1. Desain Eksperimen ……… 40

2. Prosedur Penelitian ……… 41

B. Populasi dan Sampel ……… 42

1. Populasi ………. 42


(14)

Halaman

C. Variabel Penelitian ……….. 43

D. Definisi Konseptual Variabel ……….. 43

E. Definisi Operasional Variabel ………. 44

F. Teknik Pengumpulan Data ……….. 45

G. Uji Persyaratan Instrumen ………... 49

1. Uji Validitas Instrumen …... 50

2. Uji Reabilitas Instrumen ……… 51

3. Taraf Kesukaran ……… 53

4. Daya Beda ………. 54

H. Uji Persyaratan Analisis Data ………. 55

1. Uji Normalitas ………... 55

2. Uji Homogenitas ……… 55

I. Teknik Analisis Data ………... 56

1. T-test dua sampel independen ...… 56

2. Analisis Varians Dua Jalan ... 57

J. Pengujian Hipotesis ………. 59

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 62

a. Latar Belakang Historis MAN 2 Metro ... 62

b. Visi, Misi, dan Tujuan MAN 2 Metro ... . 64

c. Proses Belajar Mengajar ... 66

d. Kondisi siswa ... .. 66

e. Sarana dan Prasarana MAN 2 Metro ... .. 67

f. Kegiatan Ekstrakurikuler ... .. 69

g. Struktur Organisasi ... 69

2. Deskripsi Data ... .. 82

a. Data Kecerdasan Adversitas Pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 72

b. Data Hasil Post Test Kelas Eksperimen danKelas Kontrol ... 77

c. Data hasil belajar Ekonomi siswa dengan kecerdasan Adversitas Tinggi, Sedang dan Rendah di Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 82

3. Pengujian Persyaratan Analisis Data ... .. 94

1. Uji Normalitas ... . 95

2. Uji Homogenitas ... . 96

4. Pengujian Hipotesis ... . 97

E. Pembahasan ... . 108

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 115

B. Saran ... 117 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Hasil MID Semester Mata Pelajaran Ekonomi Kelas

XI MAN 2 Metro …….……... 3

2. Kriteria penghargaan kelompok ... 25

3. Penelitian yang Relevan ... 36

4. Definisi operasional variabel ... 47

5. Penghitungan kecerdasan adversitas ... 50

6. Tingkat besarnya koefisien korelasi ... 54

7. Reabilitas soal ... 52

8. Realibilitas angket ... 52

9. Rumus unsur tabel persiapan analisis varians 2 jalan ... 58

10. Kondisi siswa dan Ruang kelas ... 67

11. Distribusi frekuensi hasil kecerdasan adversitas adversitas siswa terhadap mata elajaran ekonomi kelas eksperimen ... 73

12. Distribusi frekuensi hasil kecerdasan adversitas adversitas siswa terhadap mata elajaran ekonomi kelas kontrol ... 76

13. Distribusi frekuensi hasil post test kelas eksperimen ... 78

14. Distribusi frekuensi hasil post test kelas kontrol ... 80

15. Distribusi frekuensi hasil belajar siswa yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi pada kelas eksperimen ... 84

16. Distribusi frekuensi hasil belajar siswa yang memiliki kecerdasan adversitas sedang pada kelas eksperimen ... 86

17. Distribusi frekuensi hasil belajar siswa yang memiliki kecerdasan adversitas rendah pada kelas eksperimen ... 88

18. Distribusi frekuensi hasil belajar siswa yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi pada kelas kontrol ... 90

19. Distribusi frekuensi hasil belajar siswa yang memiliki kecerdasan adversitas sedang pada kelas kontrol ... 91

20. Distribusi frekuensi hasil belajar siswa yang memiliki kecerdasan adversitas rendah pada kelas kontrol ... 93

21. Uji normalitas data ... 95

22. Hasil uji homogenitas... 96

23. Hasil pengujian hipotesis 1 ... 98

24. Hasil pengujian hipotesis 2 ... 100

25. Hasil pengujian hipotesis 3 ... 101

26. Hasil pengujian hipotesis 4 ... 103


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Paradigma Penelitian ...………. 40

2. Desain penelitian ... 44

3. Hasil belajar ekonomi ... 106


(17)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran

1. Struktur Organisasi MAN 2 Metro 2. Daftar Nama Guru MAN 2 Metro 3. Denah MAN 2 Metro

4. Daftar Nama Siswa Kelas Eksperimen Kelas XI IPS 1 (Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Scaffolding)

5. Daftar Nama Siswa Kelas Kontrol Kelas XI IPS 2 (Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT)

6. Daftar Pembagian Kelompok Kelas Eksperimen (XI IPS 1) 7. Daftar Pembagian Kelompok Kelas Kontrol (XI IPS 2) 8. Uji normalitas

9. Uji homogenitas 10. Uji t-test

11. Uji anava

12. Jumlah rata-rata profil plots 13. Ujicoba soal

14. Ujicoba angket 15. Silabus

16. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Eksperimen 17. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Kontrol 18. Soal post test

19. Angket kecerdasan adversitas

20. Daftar Nilai hasil belajar di Kelas Eksperimen (Scaffolding) 21. Daftar Nilai hasil belajar di Kelas Kontrol (TGT)

22. Data kecerdasan adversitas kelas eksperimen 23. Data kecerdasan adversitas kelas kontrol


(18)

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat menyebabkan timbulnya persaingan di berbagai bidang kehidupan, salah satu diantaranya yaitu bidang pendidikan. Hal ini mau tidak mau menuntut seseorang untuk membekali diri dengan ilmu pengetahuan agar dapat bersaing dan mempertahankan diri dari kerasnya kehidupan dan rintangan yang harus dihadapi.

Pendidikan adalah suatu hal yang harus dipenuhi dalam upaya meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia agar tidak sampai tertinggal dengan bangsa lain. Karena itu sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan di seluruh wilayah Indonesia sampai ke pedalaman untuk dapat menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, global sehingga diperlukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Untuk mewujudkan sistem pendidikan yang demikian itu perlu adanya peran aktif dari semua pihak diantaranya adalah pemerintah, orang tua siswa, guru dan lain-lain.

Pemerintah diharapkan dapat membantu melalui sarana dan prasarana belajar mengajar, seperti gedung sekolah. Kebijakan pemerintah mengenai pendidikan


(19)

pun sangat berperan penting untuk dapat membantu para pengajar maupun peserta didik melakukan kegiatan belajar mengajar didalam kelas. Salah satu kebijakan yang paling menentukan belajar mengajar adalah kurikulum. Dimana kurikulum adalah sebuah panduan atau acuan bagaimana belajar mengajar berlangsung. Menurut Taba dalam bukunya “Curriculum Development Theory and Practice (1962: 63). “Kurikulum sebagai a plan for learning, yakni sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh siswa. Sementara itu, pandangan lain mengatakan bahwa kurikulum sebagai dokumen tertulis yang memuat rencana

untuk peserta didik selama di sekolah.”

Guru adalah komponen yang paling depan dalam melakukan berbagai perubahan di sekolah. Oleh karena itu, diharapkan guru paling dahulu melakukan perubahan-perubahan terutama perubahan-perubahan pada dirinya. Perubahan tingkah laku yang diharapkan telah ada pada dirinya antara lain keterampilan membuat rencana kerja yang logis dan fleksibel dalam mempersiapkan pelajaran-pelajaran terpadu dan keterampilan memodifikasi persiapan sebagai hasil balikan.

Sekolah merupakan institusi pendidikan sekaligus yang bertugas untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik baik dari segi akademis, sikap serta keterampilan agar mampu menjalankan tugas-tugas kehidupan dengan baik. Dengan demikian, sekolah memiliki pengaruh besar dalam upaya meningkatkan prestasi belajar yang didukung oleh usaha yang sungguh-sungguh dari siswa maupun guru sebagai pendidik.

Saat ini pendidikan dihadapkan oleh beberapa persoalan. Persoalan-persoalan itu berkaitan dengan rendahnya mutu proses dan hasil pembelajaran. Rendahnya mutu proses dan hasil belajar salah satunya disebabkan oleh kurangnya


(20)

keterampilan dan kreativitas guru dalam menggali model pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran. Pembelajaran memang tidak diperkenankan untuk dilakukan secara sembarangan, diperlukan perencanaan yang matang, pembuatan perangkat pembelajaran, pemilihan strategi, media, teknik, model pembelajaran, hingga evaluasi pembelajaran yang semua itu merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan.

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang di laksanakan pada siswa/i kelas XI MAN 2 Metro Tahun Ajaran 2013/2014, guru masih menggunakan metode ceramah. Tetapi, model pembelajaran yang sering dilakukan oleh guru adalah Model pembelajaran Kooperatif atau kelompok , walau penggunaannya masih kurang efektif. Guru menerangkan bahwa masih banyak hambatan atau kendala yang dialami dari model pembelajan secara berkelompok ini . seperti sulit berkerjasamanya siswa didalam kelas karena pembagian kelompok yang masih monoton. Masih kurangnya pemerataan ilmu yang diserap oleh setiap siswa. Kurang efektifnya model pembelajaran yang dilakukan di MAN 2 Metro ini terlihat dari hasil belajar yang masih tergolong rendah. Ini dapat di lihat pada tabel sebagai berikut.

Tabel 1. Hasil Mid Semester Mata Pelajaran Ekonomi Kelas XI MAN 2 Metro

Nomor Kelas

Interval Nilai

Jumlah Siswa < 70 ≥ 70

1 XI IPS 1 21 13 34

2 XI IPS 2 23 15 38

3 XI IPS 3 21 14 35

4 XI IPS 4 23 15 38

Jumlah

Siswa 88 57 145

Presentase % 60,69 39,31 100


(21)

Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa ketuntasan belajar Ekonomi siswa masih tergolong rendah. Siswa yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang berlaku di MAN 2 Metro dengan standar nilai 57 hanya (39,31 %) orang. Siswa dengan nilai di bawah nilai KKM ada 88 (60,69 %) orang. Sehingga dapat dikatakan bahwa hasil belajar siswa kurang baik.

Djamarah dan Zain (2006: 107) sebagai berikut: Istimewa/maksimal : apabila seluruh bahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh siswa, baik sekali/optimal : apabila ada sebagaian besar (76% s.d. 99%) bahan pelajaran yang diajarkan dapat dikuasai oleh siswa. Baik/minimal : apabila bahan pelajaran yang diajarkan hanya 60% s.d. 75% saja dikuasai oleh siswa, kurang : apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 60% dikuasai oleh siswa.

Metode pembelajaran yang digunakan oleh MAN 2 Metro adalah metode ceramah atau pebelajaran langsung. Berhasil atau tidaknya pencapaian hasil belajar yang diperoleh siswa bergantung pada bagaimana proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Dalam pendidikan, proses pembelajaran merupakan faktor yang cukup penting. Proses pembelajaran yang baik akan memperoleh hasil yang baik pula.

Modelpembelajaran adalah beberapa cara atau teknik yang digunakan oleh guru kepada siswa dalam menyajikan materi pembelajaran dalam sebuah proses pembelajaran agar tujuan pembelajaran yang sudah dirancang dapat tercapai. Beberapa model pembelajaran ini diterapkan guru saat mengajarkan sesuatu kepada muridnya dengan tujuan agar pesan dari materi pembelajaran itu sendiri tersampaikan dengan mudah. Model pembelajaran yang sudah ada sejauh ini terbukti bisa sangat membantu pekerjaan para guru dikarenakan para siswa dapat mengerti, tahu, dan paham sebuah pelajaran dengan lebih mudah .


(22)

Masih banyaknya siswa yang masih belum mencapai nilai KKM di kelas X di MAN 2 Metro menunjukkan bahwa masih kurang maksimalnya kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Maka perubahan dalam suasana belajar sangat diperlukan untuk dapat merubah suasana belajar dan keberhasilan dari pembelajaran tersebut. Salah satunya para guru dapat mempergunakan model pembelajaran kooperatif agar pelajaran yang berlangsung tidak monoton dan membosankan sehingga pembelajaran dapat berlangsung aktif, inovatif, kreatif serta menyenangkan, dengan demikian minat dan motivasi belajar peserta didik dapat meningkat dan membantu para siswa untuk menyerap pelajaran yang disampaikan guru .

Penerapan model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran. Menurut Davidson dan Warsham (dalam Isjoni, 2011: 28), “pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang berefektivitas yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang

bermuatan akademik”. Model pembelajaran ini dapat membuka kesempatan siswa untuk ikut berpartisipasi dan berpikir kritis dalam kegiatan pembelajaran.

Menurut Rusman (2010: 201) model pembelajaran kooperatif ada beberapa macam, diantaranya pembelajaran kooperatif tipe Snowball Throwing, Talking Stick, Examples Non-Examples, Mind Mapping, Numbered Heads Together (NHT), Jigsaw, Group Investigation (GI), Think Pair Share (TPS), Student Teams Achievement Divisions (STAD), Teams Games Tournament (TGT), dan Two Stay Two Stray (TS-TS) dan yang terbaru adalah Scaffolding. Model – model


(23)

pembelajaran kooperatif ini diharapkan dapat membantu guru untuk membantu peserta didik agar dapat memahami pelajaran lebih mudah dan lebih menyenangkan. Namun setiap model pembelajaran di atas memiliki kekurangan dan kelebihan masing–masing , langkah–langkah pelaksanaanya pun memiliki perbedaan (Cahya, 2012: 104).

Setiap model pembelajaran di atas terdapat kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dengan menerapkan model tersebut secara variatif akan tercipta proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Salah satu upaya untuk meningkatkan hasil belajar mata pelajaran ekonomi adalah penggunaan pembelajaran kooperatif, maka peneliti tertarik meneliti keefektifan pembelajaran kooperatif tersebut. Pemilihan model pembelajaran yang tepat akan mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan guru sehingga pembelajaran berlangsung efektif dan melibatkan peranan siswa. Peneliti menerapkan dua model pembelajaran yaitu Teams Games Tournamen (TGT) dan tipe Scaffolding pada dua kelas. Pemilihan model pembelajaran tersebut dianggap dapat meningkatkan hasil belajar Ekonomi.

Rusman (2010: 224): “TGT merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang

memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan suku atau ras yang berbeda”

Diawali dengan penyampaian materi secara garis besar oleh guru, kemudian siswa dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai dengan tingkat kemampuan. Siswa berdiskusi dalam kelompok untuk mengerjakan soal, sedangkan guru memberikan pengetahuan secukupnya. Setelah berdiskusi setiap perwakilan dari kelompok


(24)

dipersilahkan untuk mengambil kartu soalnya yang telah di kocok, kemudian tiap kelompok berebut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanyang sedang di pertandingkan. Kemudian guru menyimpulkan materi pembelajaran (Slavin dalam buku Solehatin dan Raharjo).

Scaffolding adalah merupakan bagian dari model pembelajatan kooperatif atau secara berkelompok. Vygotsky (1962: 176) menuliskan bahwa scaffolding merupakan bentuk bantuan yang tepat waktu yang juga harus ditarik tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi saat anak-anak mengerjakan puzzle, membangun miniatur bangunan, mencocokkan gambar dan tugas-tugas pelajaran lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa model pembelajaran tersebut menitikberatkan pada aktivitas siswa. Namun, ada sedikit perbedaan yaitu pada model pembelajaran tipe Teams Games Tournamen (TGT) setiap siswa berlomba untuk menjadikan kelompok pemenang dan Scaffolding menekankan siswa menjadi tutor sebaya karena siswa dituntut bekerja sama dalam kelompoknya membuat dan menjawab pertanyaan atau masalah yang diberi guru.

Meningkatnya kemampuan siswa dalam belajar secara terus menerus akan meningkatkan kemampuan berpikir dan kecerdasan mereka dalam memecahkan masalah dalam belajar yang mereka hadapi. Terdapat beberapa cara untuk mendefinisikan kecerdasan. Dalam beberapa kasus, kecerdasan bisa termasuk kreativitas, kepribadian, watak, pengetahuan, atau kebijaksanaan. Namun, beberapa psikolog tak memasukkan hal-hal tadi dalam kerangka definisi kecerdasan. Kecerdasan biasanya merujuk pada kemampuan atau kapasitas mental


(25)

dalam berpikir, namun belum terdapat definisi yang memuaskan mengenai kecerdasan.

Mulanya seorang anak dikatakan cerdas jika memiliki Intellegence Quetient (IQ) yang tinggi. Namun ternyata IQ kurang bisa menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan. Begitu juga dengan Emotional Quetient (EQ) kemampuan individu mengontrol emosi diri sendiri, memahami emosi orang lain dan kemampuan individu yang pandai bergaul. Begitu juga dengan individu selalu taat beribadah dan memiliki pemahan yang tinggi akan agama yang dianutnya (SQ), namun kenyataan yang terjadi ketiga kecerdasan di atas masih bisa membuat seorang individu gagal dalam belajar. Ini dikarenakan siswa dalam proses belajar tidak mampu menghadapi tantangan, kesulitan dan hambatan yang mereka hadapi pada proses pembelajaran yang penuh persaingan. Individu yang mampu mengadapi tantangan dan kesulitan yang dihadapi dalam proses pembelajaran adalah mereka yang memiliki motivasi, semangat, dan tidak mudah menyerah akan kesulitan yang mereka hadapi, bahkan kesulitan, dan hambatan yang yang ada merupakan peluang untuk meraih apa yang mereka inginkan, ini merupakan pandangan sosok seorang individu yang memiliki kecerdasan adversitas (Adversity Quetient).

Kecerdasan adversitas adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk dapat mengatasi suatu kesulitan, dengan karakteristik mampu mengontrol situasi sulit, menganggap sumber – sumber kesulitan berasal dari luar diri, memiliki tanggung jawab dalam situasi sulit, mampu membatasi pengaruh situasi sulit dalam aspek kehidupannya, dan memiliki daya tahan yang baik dalam menghadapi situasi atau keadaan yang sulit (Stoltz 2000)


(26)

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang hendak di angkat

adalah ”Studi Perbandingan Hasil Belajar Ekonomi Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Scaffolding dan Teams Games Turnament ( TGT ) Dengan Memperhatikan Kecerdasan Adversitas Terhadap Siswa Kelas XI MAN 2 Metro Tahun Pelajaran 2013-2014”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Kurangnya variasi model pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Guru masih menggunakan model pembelajaran konvensional (ceramah, tanya jawab, dan diskusi)

2. Hasil belajar ekonomi siswa yang masih tergolong rendah. Siswa masih banyak yang belum mencapai ketuntasan belajar minimum.

3. Guru masih mendominasi kegiatan pembelajaran di dalam kelas. 4. Siswa kurang berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran.

5. Kondisi belajar mengajar yang masih monoton sehingga siswa merasa bosan di kelas.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya masalah, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah perbandingan hasil belajar ekonomi siswa antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran Scaffolding dengan yang diajar menggunakan


(27)

model pembelajaran TGT pada siswa XI semester genap dengan memperhatikan kecerdasan adversitas.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan pembatan masalah, maka masalah yang diteliti dalam penelitan ini dirumuskan sebagai berikut.

1. Apakah ada perbedaan rata-rata hasil belajar Ekonomi siswa yang pembelajaranya menggunakan model pembelajaran Scaffolding dengan siswa yang menggunakan model TGT ?

2. Apakah hasil belajar Ekonomi siswa yang pembelajaranya menggunakan model pembelajaran Scaffolding lebih baik daripada siswa yang pembelajaranya menggunakan model pembelajaran TGT bagi siswa yang memiliki kecerdasan adversitas rendah (quitter) ?

3. Apakah hasil belajar Ekonomi siswa yang pembelajaranya menggunakan model pembelajaran Scaffolding lebih baik daripada siswa yang pembelajaranya menggunakan model pembelajaran TGT bagi siswa yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi (climber) ?

4. Apakah hasil belajar Ekonomi siswa yang pembelajaranya menggunakan model pembelajaran Scaffolding lebih baik daripada siswa yang pembelajaranya menggunakan model pembelajaran TGT bagi siswa yang memiliki kecerdasan adversitas sedang (camper) ?

5. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran tipe Scaffolding dan tipe TGT dengan kecerdasan adversitas pada mata pembelajaran Ekonomi ?


(28)

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui.

1.Perbedaan rata-rata hasil belajar Ekonomi siswa yang pembelajaranya menggunakan model pembelajaran Scaffolding dengan siswa yang menggunakan model TGT.

2. Efektivitas antara penggunaan model pembelajaran Scaffolding dan TGT dalam pencapaian hasil belajar pada siswa yang memiliki kecerdasan adversitas rendah (quitter).

3. Efektivitas antara penggunaan model pembelajaran Scaffolding dan TGT dalam pencapaian hasil belajar pada siswa yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi (climber).

4. Efektivitas antara penggunaan model pembelajaran Scaffolding dan TGT dalam pencapaian hasil belajar pada siswa yang memiliki kecerdasan adversitas sedang (camper).

5. Ada interaksi antara model pembelajaran tipe Scaffolding dan tipe TGT dengan kecerdasan adversitas pada mata pembelajaran Ekonomi.

F. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Sumbangan pemikiran bagi guru mata pelajaran Ekonomi tentang alternatif model pembelajaran yang lebih menyenangkan dan tidak membosankan, dan menciptakan kerjasama bagi siswa seperti model pembelajaran kooperatif tipe TGT dan Scaffolding


(29)

b. Memberikan wawasan kepada siswa tentang strategi dalam belajar sehingga dapat meningkatkan hasil belajar.

Secara praktis kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan yang bermanfaat bagi perbaikan mutu pembelajaran.

b. Bagi guru, sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran tentang alternatif model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar Ekonomi.

c. Bagi siswa, sebagai tambahan wawasan untuk meningkatkan hasil belajar melalui model pembelajaran yang melibatkan siswa secara lebih optimal.

G. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah hasil belajar ekonomi, model pembelajaran kooperatif tipe Scaffolding, model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Turnament dan kecerdasan adversitas

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI semester genap. 3. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di MAN 2 Metro. 4. Waktu Penelitian


(30)

5. Ruang Lingkup Ilmu


(31)

II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Belajar dan Hasil Belajar

Belajar merupakan proses perubahan seseorang untuk memahami, yang semula tidak tahu menjadi tahu. Menurut Djamarah (2006:13) belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungan yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor.

Slameto (2010: 2), mendefinsikan belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Berikut ini cirri-ciri perubahan tingkah laku menurut Slameto (2010: 2).

1. Perubahan terjadi secara sadar.

2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional. 3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif.

4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara. 5. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah. 6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.


(32)

Setiap proses belajar mengajar keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa. Hasil belajar berasal dari dua kata dasar yaitu hasil dan belajar, istilah hasil dapat diartikan sebagai sebuah prestasi dari apa yang telah dilakukan.

Dalyono (2009: 49) menyatakan bahwa “belajar adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan di dalam diri seseorang, mencakup perubahan tingkah laku, sikap kebiasaan, ilmu pengetahuan, keterampilan dan

sebagainya”, sedangkan Hamalik berpendapat bahwa (2001: 28) “ elajar adalah

suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan

lingkungan”.

Intinya, belajar dapat memberikan perubahan tingkah laku maupun potensial yang disertai dengan adanya usaha yang disengaja Aspek tingkah laku tersebut meliputi: pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etika dan sikap. Apabila seseorang telah belajar, maka akan terlihat terjadinya perubahan pada salah satu atau beberapa aspek tingkah laku tersebut.

Hasil belajar adalah hal yang paling penting dalam pendidikan, karena dengan hasil belajar kita dapat mengetahui efektifitas atau tidak, cara yang dipakai selama pembelajaran. Menurut Sudjana, (2005: 65) hasil belajar adalah hasil yang telah dicapai seseorang setelah mengalami proses belajar dengan terlebih dahulu mengadakan evaluasi dari proses belajar yang dilakukan dinyatakan kedalam ukuran dan data hasil belajar.


(33)

Hasil belajar merupakan keluaran (outputs) dan suatu sistem pemrosesan masukan (inputs). Masukan dari sistem tersebut berupa bermacam-macam informasi sedangkan keluarannya adalah perbuatan atau kinerja (performance). Menurut Romiszowski, perbuatan merupakan petunjuk bahwa proses belajar telah terjadi dan hasil belajar dapat dikelompokkan kedalam dua macam saja, yaitu pengetahuan dan keterampilan.

Hamalik (2004: 30) mengatakan secara garis besar hasil belajar ialah adanya perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tingkah laku manusia terdiri dari sejumlah aspek, hal ini akan tampak setiap perubahan pada aspek-aspek tersebut. Adanya aspek-aspek tersebut itu adalah sebagai berikut.

1. Pengetahuan; 2. Pengertian; 3. Kebiasaan; 4. Keterampilan; 5. Apresiasi; 6. Emosional; 7. Hubungan sosial; 8. Jasmani;

9. Etis dan budi pekerti; 10. Sikap.

Intinya hasil belajar adalah suatu alat untuk megukur tingkat keberhasilan para siswa dalam proses belajar mengajar. Dengan mengetahui hasil belajar maka siswa maupun guru dapat mengukur kemampuan yang dimiliki. Sebagai seorang guru dapat mengevaluasi cara mengajar. Sedangkan siswa dapat mengukur sejauh mana dapat mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh guru.

Menurut Latuheru (2002: 68) ada tiga ranah (domain) hasil belajar, yaitu sebagai berikut:

1. Cognitif Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.

2. Affective Domain (Ranah Afektif), berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Tujuan pendidikan ranah afektif adalah hasil belajar atau kemampuan yang berhubungan dengan sikap atau afektif.

3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor), berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik, karena keterampilan ini melibatkan secara langsung otot, urat dan persendian, sehingga keterampilan benar-benar berakar pada kejasmanian.


(34)

Peserta didik dapat berhasil dalam mendapatkan hasil belajar atau tahu tentang materi pelajaran yang diajarkan di sekolah dengan maksimal yaitu ada beberapa persyaratan tertentu. Wijaya dan Tabrani yang dikutip oleh Firman (2008: 14)

menyatakan bahwa “hasil belajar yang diperoleh siswa adalah berupa pernyataan

dalam bentuk angka dan tingkah laku”.

Penguasaan hasil belajar oleh seseorang dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan berpikir maupun keterampilan motorik. Hampir sebagian besar dari kegiatan atau perilaku yang diperlihatkan seseorang merupakan hasil belajar.

Setiap siswa pada dasarnya menginginkan dapat mencapai hasil belajar yang baik. Namun, pada fakta di lapangan tidak sedikit pula siswa yang mengalami kegagalan. Djamarah (2000: 97), mengemukakan bahwa setiap interaksi edukatif selalu menghasilkan prestasi belajar.

Menurut Slameto (2003: 54-71) faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi siswa yaitu.

1) Faktor internal, yaitu faktor yang ada dalam individu yang sedang belajar, seperti:

a. faktor jasmaniah, meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh.

b. faktor psikologis, meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motivasi, kematangan, dan kesiapan.

c. faktor kelelahan, baik kelelahan jasmani maupun rohani.

2) Faktor eksternal, yaitu faktor yang ada dari luar individu yang sedang belajar.

a. Faktor keluarga, merupakan lingkungan utama dalam proses belajar. b. Faktor sekolah, lingkungan dimana siswa belajar secara sistematis. c. Faktor masyarakat


(35)

2. Teori belajar

Dalam psikologi dan pendidikan, pembelajaran secara umum didefinisikan sebagai suatu proses yang menyatukan kognitif, emosional,dan lingkungan pengaruh dan pengalaman untuk memperoleh, meningkatkan, atau membuat perubahan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan pandangan dunia (Illeris, 2000; Ormorod, 1995).

Belajar sebagai suatu proses berfokus pada apa yang terjadi ketika belajar berlangsung. Penjelasan tentang apa yang terjadi merupakan teori-teori belajar. Teori belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana orang dan hewan belajar, sehingga membantu kita memahami proses kompleks inheren pembelajaran. (Wikipedia)

Macam-macam Teori Belajar

Teori belajar yang secara umum dapat di kelompokkan dalam empat kelompok atau aliran yang meliputi :

a. Teori belajar Behavioristik ( tingkah laku )

Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau


(36)

perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

b. Teori Belajar kognitivisme

Teori belajar kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang mengembangkan teori kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan.

Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni 1).Asimilasi, 2).Akomodasi, dan 3).Equilibrasi (penyeimbangan) Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.


(37)

c. Teori Belajar Konstruktivisme

Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan dapat diartikan Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajarankonstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.

Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan teori konstruktivisme siswa dapat berfikir untuk menyelesaikan masalah, mencari ide dan membuat keputusan. Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan mampu mengapliklasikannya dalam semua situasi. Selain itu siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.

Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang siswa yang aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh siswa itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah.


(38)

Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, siswa yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa sehingga belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pembelajar.

Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: a. Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam konteks yang

relevan.

b. Mengutamakan proses,

c. Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial, d. Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman

Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan


(39)

antar individual. Terdapat dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vigotsky adalah:

1. mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan.

2. Zona of Proximal Development (ZPD) Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.

Dalam interaksi sosial dikelas, ketika terjadi saling tukar pendapat antar siswa dalam memecahkan suatu masalah, siswa yang lebih pandai memberi bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan berupa petunjuk bagaimana cara memecahkan masalah tersebut, maka terjadi scaffolding, siswa yang mengalami kesulitan tersebut terbantu oleh teman yang lebih pandai. Ketika guru membantu secukupnya kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya, maka terjadi scaffolding.

d. Teori belajar Humanistik

Bloon dan Krathowl menunjukkan apa yang mungkin di kuasai (dipelajari) oleh siswa yang tercakup dalam tiga kawasan berikut:

1. Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu : a. Pengetahuan ( mengingat dan menghafal ) b. Pemahaman ( menginterpretasikan )

c. Aplikasi ( menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah) d. Analisis ( menjabarkan suatu konsep )

e. Sintesis ( menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh )


(40)

2. Afektif terdiri dari lima tingkatan, yaitu :

a. Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu) b. Merespons (aktif berpartisipasi)

c. Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu) d. Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai) e. Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup) 3. Psikomotor terdiri daari lima tingkatan, yaitu:

a. Peniruan (menirukan gerak)

b. Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak) c. Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)

d. Perangkaian (beberapa gerakan sekaligus gerakan dengan benar) e. Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)

3. Model Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif adalah penggunaan kelompok kecil bagi siswa dalam bekerjasama untuk saling membantu mencapai tujuan belajar. Menurut Slavin

(1995: 2) “pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dimana siswa belajar dalam suatu kelompok kecil, saling membantu dalam memahami materi pelajaran, menyelesaikan tugas atau kegiatan lain agar semua siswa dalam kelompok mencapai hasil belajar yang tinggi”.

Menurut Nurhadi (2004: 112) “ pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan

belajar”.

Selain itu Ornstein dan lasley (Sucahyo, 2004: 73) mengemukakan bahwa ,“ model belajar kooperatif merupakan pendekatan pembelajaran dimana siswa bekerjasama dalam kelompok kecil dan tidak menggantungkan pada peranan

guru”. Pola belajar kelompok dengan cara kerjasama antar siswa dapat mendorong timbulnya gagasan yang lebih bermutu dan meningkatkan kreativitas siswa,


(41)

pembelajaran juga dapat mempertahankan nilai sosial bangsa Indonesia yang perlu dipertahankan. Ketergantungan timbal balik mereka memotivasi mereka untuk dapat bekerja lebih keras untuk keberhasilan mereka, hubungan kooperatif juga mendorong siswa untuk menghargai gagasan temannya bukan sebaliknya.

Model pembelajaran kooperatif ini, guru lebih berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai jembatan penghubung ke arah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri. Guru tidak hanya memberikan pengetahuan pada siswa, tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam fikirannya. Siswa mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung dan menerapkan ide-ide mereka sendiri.

Carin dalam (Aisyah, 2000: 58) mengemukakan bahwa “pembelajaran kooperatif ditandai oleh ciri-ciri :

a) setiap anggota mempunyai peran; b) terjadi interaksi langsung diantara siswa

c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya;

d) peranan guru adalah membantu siswa mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok; dan

e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan”.

Abdurrahman dan Bintoro (2000) dalam Nurhadi 2004 : 61 menyatakan Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Adapun berbagai elemen-elemen dalam pembelajaran kooperatif adalah adanya;

a. saling ketergantungan positif, b. interaksi tatap muka,

c. akuntabilitas individual, dan

d. keterampilan untuk menjalin hubungan antara pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan.


(42)

Menurut Roger dan Johnson dalam Lie (2002: 31-34), unsur-unsur yang harus diterapkan untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut.

a. Saling ketergantungan positif

Ketergantungan positif merupakan suatu persepsi bahwa dalam suatu kegiatan kelompok apa yang dilakukan dan dicapai seorang anggota kelompok berhubungan dan saling berkaitan dengan apa yang dilakukan dan dicapai oleh anggota kelompok yang lain.

b. Tanggung jawab perseorangan

Dalam pembelajaran kooperatif, guru harus dapat menyusun tugas supaya setiap anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawab sendiri

agar selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan. c. Tatap muka

Interaksi tatap muka akan membuat siswa dapat berdiskusi. Interaksi semacam ini sangat penting karena lebih mudah belajar dari sesamanya. Setiap anggota kelompok memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga mereka akan belajar saling menghargai, memanfaatkan kelebihan, dan saling mengisi kekurangan masing-masing.

d. Komunikasi antaranggota

Keterampilan berkomunikasi antaranggota sangat diperlukan dalam memperkaya pengalaman belajar, pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.

e. Evaluasi proses kelompok

Evaluasi proses kelompok perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa baik siswa telah mencapai tujuan dan efektivitas kerja sama yang telah mereka lakukan.

“Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidaktidaknya tiga tujuan penting pembelajaran, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial” (Ibrahim, dkk, 2000:7). Widyantini (2006: 4), tujuan pembelajaran kooperatif adalah “hasil


(43)

belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya serta pengembangan keterampilan sosial”. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai tujuan pembelajaran penting. Tujuan tersebut yaitu peningkatan hasil belajar akademik. Di samping model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar kompetensi akademik, model pembelajaran kooperatif juga lebih efektif untuk mengembangkan kompetensi siswa pada aspek sosial.

Dalam susunan kooperatif, kelompok siswa yang heterogen bekerja bersama untuk menemukan tujuan. Masing-masing pribadi mempertanggungjawabkan pembelajarannya sendiri dan membantu yang lainnya. Kekuatan yang dapat dicapai untuk setiap pribadi dalam kelompok. Keterampilan komunikasi dan sosial yang baik dibutuhkan dalam urut-urutan perkembangan hubungan kerja yang baik. “Dalam kelompok belajar kooperatif, di sana cenderung terjadi peraturan teman sebaya, umpan balik, dukungan, dan anjuran belajar yang agak beragam. Dukungan akademik teman sebaya demikian tidak tersedia pada situasi

belajar kompetitif dan individualistik” ( ohnson and ohnson, 1987: 28).

4. Model Pembelajaran Tipe Teams Games Turnament (TGT)

Pembelajaran Kooperatif sangat beragam jenisnya. Salah satunya adalah model pembelajaran TGT (Teams Games Tournament). TGT awalnya dikembangkan oleh David de Vrios dan Keith Edwards. Model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung


(44)

unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model Teams Games Tournament (TGT) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. Menurut Kurniasari (2006: 73), model pembelajaran TGT merupakan model pembelajaran kooperatif dengan membentuk kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang terdiri atas 3-5 siswa yang heterogen, baik dalam hal akademik, jenis kelamin, ras, maupun etnis. Inti dari model ini adalah adanya game dan turnamen akademik. TGT ini juga menggunakan presentasi oleh guru dan kerja team seperti yang digunakan di STAD, hanya dalam pengajaran ini ada permainan dengan anggota dari tim yang lain untuk peningkatan skor dari tim mereka. Pemberian hadiah ataupun sertifikat juga diberikan sebagaimana di STAD bagi team yang paling sukses. Anggota team yang kemampuannya tinggi bisa bermain bersama anggota team lain yang juga kemampuannya tinggi. Bagi yang kemampuannya rendah bisa bermain dengan yang kemampuannya rendah.

STAD dan TGT adalah dua model yang sema walaupun tidak sama dalam cara pengajarannya, perbedaan yang paling penting adalah STAD menggunakan kuis secara individual pada akhir dari setiap pelajaran sedangkan TGT menggunakan permainan (Slavin, 1995: 71). Menurut Kurniasari (2006: 97), model pembelajaran TGT merupakan model pembelajaran kooperatif dengan membentuk kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang terdiri atas 3-5 siswa yang heterogen, baik dalam hal akademik, jenis kelamin, ras, maupun etnis. Inti dari model ini adalah adanya game dan turnamen akademik.


(45)

Dalam Implementasinya secara teknis Slavin (2008) mengemukakan empat langkah utama dalam pembelajaran dengan teknik TGT yang merupakan siklus regular dari aktivitas, sebagai berikut:

(1) Mengajar (teach)

Mempersentasekan atau menyajikan materi, menyampaikan tujuan, tugas, atau kegiatan yang harus dilakukan siswa, dan memberikan motivasi.

(2) Belajar Kelompok (team study)

Siswa bekerja dalam kelompok yang terdiri atas 5 sampai 6 orang dengan kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras / suku yang berbeda. Setelah guru menginformasikan materi, dan tujuan pembelajaran, kelompok berdiskusi dengen menggunakan LKS. Dalam kelompok terjadi diskusi untuk memecahkan masalah bersama, saling memberikan jawaban dan mengoreksi jika ada anggota kelompok yang salah dalam menjawab.

(3) Permainan (game tournament)

Permainan diikuti oleh anggota kelompok dari masing – masing kelompok yang berbeda. Tujuan dari permainan ini adalah untuk mengetahui apakah semua anggota kelompok telah menguasai materi, dimana pertanyaan – pertanyaan yang diberikan berhubungan dengan materi yang telah didiskusikan dalam kegiatan kelompok.

(4) Penghargaan kelompok (team recognition)

Pemberian penghargaan (rewards) berdasarkan pada rerata poin yang diperoleh oleh kelompok dari permainan. Lembar penghargaan dicetak dalam kertas HVS, dimana penghargaan ini akan diberikan kepada tim yang memenuhi kategori rerata poin sebagai berikut.

Tabel 2. Kriteria Pengahrgaan Kelompok

Kriteria (Rerata Kelompok) Predikat

30 sampai 39 Tim Kurang baik

40 sampai 44 Tim Baik

45 sampai 49 Tik Baik Sekali

50 ke atas Tim Istimewa


(46)

Menurut Sadu (2010: 29-30) menulis langkah-langkah model pembelajaran TGT dari 6 fase yaitu.

1. Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa, dalam fase ini sebagai pendahuluan kegiatan pembelajaran guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa.

2. Menyajikan informasi, pada fase ini guru menyajikan informasi kepada siswa dengan demonstrasi atau bacaan.

3. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, guru membantu siswa dalam setiap kelompok agar melakukan kegiatan secara efesien.

4. Membimbing kelompok bekerja dan belajar

5. Fase evaluasi, pada fase ini merupakan ciri khas tipe ini dengan melaksanakan pertandingan permainan tim atau Teams Games Tournament (TGT), pada fase ini siswa diberikan kesempatan untuk mempresentasikan materi yang telah dipelajari lewat pertandingan permainan tim dengan menjawab soal-soal yang tertulis pada kartu soal di meja turnamen.

6. Memberikan penghargaan, pada fase ini diberikan penghargaan kepada kelompok dan individu dengan skor terbaik. Pemberian skor ini dapat dilakukan dengan: 1) menetapkan skor dasar, 2) memberi skor kuis (tes individu) yang dilaksanakan setelah bekerja dalam kelompok, 3) menghitung skor peningkatan yang besarnya ditentukan berdasar skor yang diperoleh dalam pertandingan permainan tim di meja turnamen yang dikenakan kepada setiap siswa, 4) penghargaan kelompok diberikan berdasarkan rata-rata nilai peningkatan yang diperoleh masing-masing kelompok dengan memberikan predikat seperti baik, sangat baik, istimewa, sempurna.

Sedangkan Pelaksanaan games dalam bentuk turnamen dilakukan dengan prosedur, sebagai berikut.

1. Guru menentukan nomor urut siswa dan menempatkan siswa pada meja turnamen (3 orang , kemampuan setara). Setiap meja terdapat 1 lembar permainan, 1 lbr jawaban, 1 kotak kartu nomor, 1 lbr skor permainan. 2. Siswa mencabut kartu untuk menentukan pembaca I (nomor tertinggi) dan

yang lain menjadi penantang I dan II.


(47)

4. Pembaca I membaca soal sesuai nomor pada kartu dan mencoba menjawabnya. Jika jawaban salah, tidak ada sanksi dan kartu dikembalikan. Jika benar kartu disimpan sebagai bukti skor.

5. Jika penantang I dan II memiliki jawaban berbeda, mereka dapat mengajukan jawaban secara bergantian.

6. Jika jawaban penantang salah, dia dikenakan denda mengembalikan kartu jawaban yang benar (jika ada).

7. Selanjutnya siswa berganti posisi (sesuai urutan) dengan prosedur yang sama.

8. Setelah selesai, siswa menghitung kartu dan skor mereka dan diakumulasi dengan semua tim.

9. Penghargaan sertifikat, Tim Super untuk kriteria atas, Tim Sangat Baik (kriteria tengah), Tim Baik (kriteria bawah)

10. Untuk melanjutkan turnamen, guru dapat melakukan pergeseran tempat siswa berdasarkan prestasi pada meja turnamen.

Metode pembelajaran kooperatif Team Games Tournament (TGT) ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menurut Suarjana dalam Istiqomah (2006: 102).

a. Adapun kelebihan dari model pembelajaran TGT sebagai berikut.

1) Lebih meningkatkan pencurahan waktu untuk tugas. 2) Mengedepankan penerimaan terhadap perbedaan individu.

3) Dengan waktu yang sedikit dapat menguasai materi secara mendalam. 4) Proses belajar mengajar berlangsung dengan keaktifan dari siswa. 5) Mendidik siswa untuk berlatih bersosialisasi dengan orang lain. 6) Motivasi belajar lebih tinggi.


(48)

7) Hasil belajar lebih baik.

8) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi.

b. Adapun kelemahan TGT sebagai berikut. 1) Bagi Guru

Sulitnya pengelompokan siswa yang mempunyai kemampuan heterogen dari segi akademis. Kelemahan ini akan dapat diatasi jika guru yang bertindak sebagai pemegang kendali teliti dalam menentukan pembagian kelompok waktu yang dihabiskan untuk diskusi oleh siswa cukup banyak sehingga melewati waktu yang sudah ditetapkan. Kesulitan ini dapat diatasi jika guru mampu menguasai kelas secara menyeluruh.

2) Bagi Siswa

Masih adanya siswa berkemampuan tinggi kurang terbiasa dan sulit memberikan penjelasan kepada siswa lainnya. Untuk mengatasi kelemahan ini, tugas guru adalah membimbing dengan baik siswa yang mempunyai kemampuan akademik tinggi agar dapat dan mampu menularkan pengetahuannya kepada siswa yang lain.

5. Model Pembelajaran Tipe Scaffolding

Scaffolding merupakan bantuan, dukungan (support) kepada siswa dari orang yang lebih dewasa atau lebih kompeten khususnya guru yang memungkinkan penggunaan fungsi kognitif yang lebih tinggi dan memungkinkan berkembangnya kemampuan belajar sehingga terdapat tingkat penguasaan materi yang lebih tinggi yang ditunjukkan dengan adanya penyelesaian soal-soal yang lebih rumit.

Teori Scaffolding pertama kali diperkenalkan di akhir 1950-an oleh Jerome Bruner, seorang psikolog kognitif. Dia menggunakan istilah untuk menggambarkan anak-anak muda dalam akuisisi bahasa. Anak-anak pertama kali mulai belajar berbicara melalui bantuan orang tua mereka, secara naluriah anak-anak telah memiliki struktur untuk belajar barbahasa. Scaffolding merupakan


(49)

interaksi antara orang-orang dewasa dan anak yang memungkinkan anak-anak untuk melaksanak-anakan sesuatu di luar usaha mandiri-nya. Konstruksi scaffolding terjadi pada peserta didik yang tidak dapat mengartikulasikan atau menjelajahi belajar secara mandiri. Scaffolding dipersiapkan oleh pembelajar untuk tidak mengubah sifat atau tingkat kesulitan dari tugas, melainkan dengan scaffolding yang disediakan memungkinkan peserta didik untuk berhasil menyelesaikan tugas. (http://martinis1960.wordpress.com/2010/07/29/model-pembelajaran-scaffolding/)

Cazden (1983: 6) mendefinisikan scaffolding sebagai “kerangka kerja sementara

untuk aktivitas dalam penyelesaian”. caffolding adalah bantuan (parameter,

aturan atau saran) pembelajar memberikan peserta didik dalam situasi belajar. Scaffolding memungkinkan peserta didik untuk mendapat bantuan melalui keterampilan baru atau di luar kemampuannya. (http://s4n-t1.blogspot.com/2011 /10/metode-pembelajaran-scaffolding.html)

Inti dari pengertian diatas, dapat disimpulkan Scaffolding adalah proses dimana seorang siswa diberi tugas-tugas, selanjutnya siswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan dari seorang guru atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih.

Secara umum, Gasong (2007: 104) mengemukakan langkah-langkah pembelajaran scaffolding dapat dilihat pada tabel berikut :

1. Menjelaskan materi pembelajaran.

2. Menentukan Zone Of Proximal Development (ZPD) atau level

perkembangan siswa berdasarkan tingkat kognitifnya dengan melihat nilai hasil belajar sebelumnya.


(50)

4. Memberikan tugas belajar berupa soal-soal berjenjang yang berkaitan dengan materi pembelajaran.

5. Mendorong siswa untuk bekerja dan belajar menyelesaikan soal-soal secara mandiri dengan berkelompok.

6. Memberikan bantuan berupa bimbingan, motivasi, pemberian contoh, kata kunci atau hal lain yang dapat memancing siswa ke arah kemandirian belajar.

7. Mengarahkan siswa yang memiliki ZPD yang tinggi untuk membantu siswa yang memilki ZPD yang rendah.

8. Menyimpulkan pelajaran dan memberikan tugas-tugas

Lange (2002: 6) menyatakan bahwa ada dua langkah utama yang terlibat dalam scaffolding pembelajaran: (1) pengembangan rencana pembelajaran untuk membimbing peserta didik dalam memahami materi baru, dan (2) pelaksanaan rencana, pembelajar memberikan bantuan kepada peserta didik di setiap langkah dari proses pembelajaran. Scaffolding terdiri dari beberapa aspek khusus yang dapat membantu peserta didik dalam internalisasi penguasaan pengetahuan. Berikut aspek-aspek scaffolding.

Intensionalitas: Kegiatan ini mempunyai tujuan yang jelas terhadap aktivitas pembelajaran berupa bantuan yang selalu didiberikan kepada setiap peserta didik yang membutuhkan.

Kesesuaian: Peserta didik yang tidak bisa menyelesaikan sendiri permasalahan yang dihadapinya, maka pembelajar memberikan bantuan penyelesaiannya.

Struktur: Modeling dan mempertanyakan kegiatan terstruktur di sekitar sebuah model pendekatan yang sesuai dengan tugas dan mengarah pada urutan alam pemikiran dan bahasa.

Kolaborasi: Pembelajar menciptakan kerjasama dengan peserta didik dan menghargai karya yang telah dicapai oleh peserta didik. Peran pembelajar adalah kolaborator bukan sebagai evaluator.

Internalisasi: Eksternal scaffolding untuk kegiatan ini secara bertahap ditarik sebagai pola yang diinternalisasi oleh peserta didik.

6. Kecerdasan Adversitas

Pengertian kecerdasan adversitas adalah sebuah bentuk pendekatan dalam teori kecerdasan yang menekankan pada beberapa aspek. Kecerdasan adversitas pertama kali diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz yang disusun berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia. Kecerdasan adversitas ini merupakan


(51)

terobosan penting dalam pemahaman tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan.

Tidaklah cukup untuk mencapai kesuksesan hanya dengan IQ tinggi, atau EQ tinggi. Sementara itu EQ sendiri tidak mempunyai standar pengukuran yang sah dan metode yang jelas untuk mempelajarinya. Maka, kecerdasan emosional tetap sulit untuk dipahami. Pertanyaan yang mengusik Stoltz adalah, mengapa ada orang yang kecerdasan intelektualnya (IQ-nya) tinggi serta kemampuan bergaul dan komunikasi yang mengesankan (EQ-nya juga tinggi), namun ternyata gagal untuk meraih sukses? Jawabannya, menurut Stoltz lagi, ada dalam kerangka berpikir yang disebutnya dengan Adversity Quotient (kecerdasan menghadapi tantangan). Baginya, AQ mendasari semua segi kesuksesan. Oleh Stoltz AQ diartikan sebagai, "..mampu bertahan menghadapi serta kemampuan untuk mengatasi kesulitan...". (http://www.e-jurnal.com/2013/09/pengertian-kecerdasan-adversitas.html)

Stoltz (2000: 8), mengatakan bahwa sukses tidaknya seorang individu dalam pekerjaan maupun kehidupannya ditentukan oleh kecerdasan adversitas, dimana kecerdasan adversitas dapat memberitahukan

1. Seberapa jauh individu mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya

2. Siapa yang akan mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur 3. Siapa yang akan melampaui harapan harapan atas kinerja dan potensi mereka


(52)

4. Siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan.

Kecerdasan adversitas mempunyai tiga bentuk. Pertama, kecerdasan adversitas adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru dalam memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Melalui riset-riset yang telah dilakukan kecerdasan adversitas menawarkan suatu pengetahuan baru dan praktis dalam merumuskan apa saja yang diperlukan dalam meraih keberhasilan. Kedua, kecerdasan adversitas adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon individu terhadap kesulitan. Melalui kecerdasan adversitas pola-pola respon terhadap kesulitan tersebut untuk pertama kalinya dapat diukur, dipahami dan diubah. Ketiga, kecerdasan adversitas merupakan serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap kesulitan yang akan mengakibatkan perbaikan efektivitas pribadi dan profesional individu secara keseluruhan (Stoltz, 2000: 9).

Menurut Stoltz (2000), kecerdasan adversitas adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. Kecerdasan adversitas mempengaruhi pengetahuan, kreativitas, produktivitas, kinerja, usia, motivasi, pengambilan resiko, perbaikan, energi, vitalitas, stamina, kesehatan, dan kesuksesan dalam pekerjaan yang dihadapi.

Menurut kamus adversity berarti kemalangan, kesulitan, dan penderitaan. AQ disini adalah kecerdasan kita pada saat menghadapi segala kesulitan tersebut. Beberapa orang mencoba untuk tetap bertahan menghadapinya, sebagian lagi mudah takluk dan menyerah. Dengan demikian kecerdasan adversitas adalah sebuah daya kecerdasan budi-akhlak-iman manusia menundukkan


(53)

tantangan-tantangannya, menekuk kesulitan-kesulitannya, dan meringkus masalah-masalahnya sekaligus mengambil keuntungan dari kemenangan-kemenangan itu. (http://tharita66.wordpress.com/2011/05/18/pengertian-iq-eq-sq-aq-cq/)

Menurut Stoltz menggolongkan tiga tipe kelompok indvidu yang menjadi tiga bentuk yang menggambarkan potensi kecerdasan adversitas yang dimiliki, yakni: Quitters atau orang-orang yang berhenti. Mereka mengabaikan, menutupi, atau meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan. Mendaki atau pendakian dalam pengertian yang luas, yaitu menggerakkan tujuan hidup ke depan, baik pendakian yang berkaitan dengan mendapatkan pangsa pasar, mendapatkan nilai yang lebih baik, memperbaiki hubungan dengan relasi kerja, menjadi lebih mahir dalam segala hal yang sedang dikerjakan, menyelesaikan satu tahap pendidikan, membesarkan anak menjadi seseorang yang berhasil, mendekatkan diri kepada tuhan, atau memberikan kontribusi yang berarti selama masih hidup.

Kelompok individu yang kedua adalah Camper atau orang-orang yang berkemah.

Mereka pergi tidak seberapa jauh, lalu berkata, “ ejauh ini sajalah saya mampu mendaki (atau ingin mendaki)”. Karena bosan, mereka mengakhiri pendakiannya

dan mencari tempat datar dan nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Mereka memilih untuk menghabiskan sisa-sisa hidup mereka dengan duduk di situ. Berbeda dengan Quitter, Camper sekurang-kurangnya telah melakukan pendakian mencapai tingkat tertentu. Untuk mencapai tingkat pada tempat perkemahan tersebut mungkin mereka telah mengorbankan banyak hal dalam pendakian yang tidak selesai itu dianggap sebagai kesuksesan.


(54)

Ini merupakan pandangan keliru yang sudah lazim bagi mereka yang menganggap kesuksesan sebagai tujuan yang harus dicapai, jika dibandingkan dengan perjalananya.

Kelompok individu yang ketiga, adalah Climber atau pendaki, yaitu orang-orang yang seumur hidupnya membangkitkan dirinya pada pendakian tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Climber adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental atau hambatan lainya menghalangi pendakiannya.

Menurut Stoltz (2000: 104) kecerdasan dalam menghadapi rintangan individu memiliki empat dimensi, yaitu CO2RE (Control, Origin Ownership, Reach, Endurance).

a. Control (C). Dimensi ini berfokus pada kendali yang dirasakan individu terhadap peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Nilai tinggi pada dimensi control mengindikasikan bahwa individu mampu mengendalikan peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, menemukan cara untuk menghadapi kesulitan, pantang menyerah, dan cepat tanggap dalam mencari penyelesaian.

b. Origin dan ownership (O2)

1) Origin. Dimensi ini berfokus pada penyebab kesulitan. Origin berkaitan dengan rasa bersalah. Nilai tinggi pada dimensi origin mengindikasikan bahwa setiap individu mengalami masa-masa sulit, menganggap kesulitan berasal dari pihak luar dan belajar dari kesalahan yang telah dilakukan.


(55)

2) Ownership. Dimensi ini berfokus pada pengakuan terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan dan mau bertanggung jawab. Nilai tinggi pada dimensi ownership mengindikasikan bahwa individu bersedia bertanggung jawab dan mengakui akibat dari tindakan yang dilakukan.

c. Reach (R). Dimensi ini berfokus pada sejauh mana kesulitan akan mempengaruhi sisi lain dari kehidupan individu. Nilai tinggi pada dimensi reach mengindikasikan bahwa kesulitan yang dihadapi tidak akan mempengaruhi sisi lain kehidupan, merespon peristiwa buruk sebagai hal khusus dan terbatas.

d. Endurance (E). Dimensi ini berfokus pada berapa lama kesulitan dan penyebab kesulitan tersebut akan berlangsung serta kemampuan individu bertahan saat menghadapi kesulitan. Nilai tinggi pada dimensi endurance mengindikasikan bahwa individu optimis, menganggap kesulitan dan penyebab kesulitan sebagai hal yang bersifat sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinan akan terjadi lagi serta memandang kesuksesan sebagai hal yang berlangsung terus menerus atau bahkan permanen.


(56)

B. Penelitian yang Relevan

Tabel 3. Hasil penelitian yang relevan

No Penulis Judul Kesimpulan

1 Dedeh Winarti (2005) Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT sebagai Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Matematika Siswa (Studi pada Siswa Kelas VII Semester Genap SLTP Alkautsar Bandarlampung Tahun Pelanjaran 2003/2004)

Hasil penelitian yang dilakukan menujukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa dari siklus ke siklus yang diikuti dengan peningkatan hasil belajar Matematika siswa siswa setelah menggunakan

pembelajaranran kooperatif tipe TGT. Ini dapat dilihat dari rata-rata aktivitas pada siklus I, II, dan III yaitu sebesar 5,5%. Kemudian rata-rata siswa yang mendapat nilai 6,5 ke atas pada siklus I, II, dan III sebanyak 55%, 70%, dan 74%. Rata-rata peningkatan ketuntasan siswa setiap siklusnya sebesar 9,5%

2 Rifqia Apriyanti (2011) Pengaruh metode penemuan dengan menggunakan teknik Scaffolding terhadap hasil belajar Matematika siswa

Rata-rata hasil belajar matematika siswa yang menggunakan metode penemuan dengan teknik

scaffolding lebih tinggi daripada rata-rata hasil belajar matematika siswa yang menggunakan metode ekspositori dengan teknik

bertanya, dan diperoleh thitung > ttabel (4,43 > 1,67), maka H0 ditolak dan H1 diterima. 3 Royani Bahtiar

(2010) Hubungan Antara Kecerdasan Adversitas dan Sikap Siswa Terhadap Mata Pelajaran Ekonomi dengan Prestasi Belajar Ekonomi Siswa Kelas X SMA Negeri 15 Bandar Lampung.

Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan adversitas dengan prestasi belajar ekonomi siswa kelas X SMA Negeri 15 Bandar Lampung tahun pelajaran 2009/2010 Berdasakan hasil hitung menunjukan koefisien r hitung antara variabel X1 (Kecerdasan

Adversitas) dengan variabel Y (Prestasi Belajar) mencapai 0,549 dan r table sebesar 0,193, atau r hitung > r tabel


(57)

0,549 > 0,193 hal ini menunjukkan adanya

hubungan yang positif antara kecerdasan adversitas dengan prestasi belajar, artinya semakin tinggi kecerdasan adversitas siswa maka akan semakin tinggi prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran ekonomi.

C. Kerangka Pikir

Penerapan model pembelajaran yang tepat pada materi pelajaran membantu siswa dalam menunjang keberhasilan. Guru-guru di sekolah masih banyak yang

menggunakan metode langsung sehingga guru dituntut untuk menguasai materi pelajaran (teacher centered) sehingga siswa menjadi pasif dan kreativitasnya terbatas. Namun, adanya model-model pembelajaran kooperatif yang mulai digunakan, membuat kreativitas dan keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran menjadi motivasi siswa dalam mencapai keberhasilan. Guru hanya sebagai fasilitator bagi siswa. Terdapat banyak model pembelajaran kooperatif, tetapi penelitian ini hanya membandingkan model pembelajaran kooperatif tipe Scaffolding dan TGT.

Variabel bebas (Independent) dalam penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Scaffolding dan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Variable terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah hasil belajar ekonomi siswa melalui penerapan model pembelajaran tersebut. Variabel

moderator dalam penelitian ini adalah kecerdasan adversitas. Untuk merumuskan hipotesis, maka perlu dilakukan argumentasi sebagai berikut.


(58)

a. Perbedaan Hasil Belajar Ekonomi Antara Penggunaan Model Pembelajaran Koperatif Tipe Scaffolding dan TGT

Model pembelajaran kooperatif memiliki bermacam tipe, dua diantaranya adalah model pembelajaran kooperatif tipe Scaffolding dan TGT. Kedua model pembelajaran ini memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing namun juga memiliki kesamaan yaitu menuntut keaktifan siswa dalam belajar di kelas, sehingga guru dalam model pembelajaran ini hanya bersifat sebagai moderator. Model pembelajaran tipe Scaffolding adalah salah satu tipe model pembelajaran kooperatif, dimana dalam pelaksanaannya setelah guru selesai menerangkan materi yang disajikan maka guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang heterogen lalu menginstruksikan agar masing-masing siswa meyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Siswa yang mempunyai kemampuan lebih dalam memahami materi tersebut, mengajarkan kepada siswa yang kurang memahami. Lalu setelah selesai berdiskusi, guru membuat pertanyaan tentang materi tersebut. Dapat berupa ujian atau sesi tanya jawab. Model pembelajaran tipe Teams games turnament (TGT) adalah model

pembelajara yang menitikberatkan pada turnament. Setiap siswa membuat kelompok heterogen, dan diberi materi yang sebelumnya sudah diterangkan oleh guru untuk didiskusikan. Lalu guru memberikan pertanyaan kepada setiap kelompok. Dan bagi siswa yang bisa menjawab dengan benar, mendapatkan nilai yang akan disamaratakan dengan teman kelompoknya.

Kedua model pembelajaran tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing, kelemahan dari model pembelajaran scaffolding adalah apabila siswa yang memilki hasil belajar yang rendah akan sulit bersaing dengan siswa


(59)

yang mempunyai hasil beljar tinggi dalam menjawab pertanyaa. Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe ini adalah siswa yang memiliki hasil belajar tinggi akan dapat membantu teman yang mendapatkan hasil belajar rendah karena dalam model ini mereka akan saling berinteraksi dalam tiap kelompok untuk berdiskusi tentang materi yang diberikan.

Model pembelajaran TGT akan membantu bagi siswa yang mempunyai hasil belajar rendah, karena apabila dalam 1 kelompok ada satu siswa yang berhasil menjawab pertanyaan maka nilai akan di bagi sama rata kepada 1 kelompok tersebut.

b. Perbedaan hasil belajar Ekonomi dengan menggunakan model pembelajaran Scaffolding lebih rendah daripada TGT ditinjau dari kecerdasan adversitas rendah.

Model pembelajaran tipe TGT adalah model pembelajaran kooperatif yang diterapkan dengan cara masing-masing kelompok yang heterogen mendiskusikan kembali materi yang telah disampaikan oleh guru. Kemudiaan guru melontarkan pertanyaan dalam bentuk games atau turnament. Dimana bagi siswa dalam kelompok yang bisa menjawab, maka nilai akan sama dengan siswa lain dalam kelompok tersebut. Siswa dengan kecerdasan adversitas rendah akan terbantu dengan model pembelajaran ini, karena siswa yang memiliki kecerdasan adversitas rendah akan sama nilainya dengan siswa yang mempunyai kecerdasan adversitas tinggi dalam kelompoknya. Berbeda dengan model pembelajaran tipe scaffolding dimana setelah melakukan diskusi dengan kelompoknya, maka guru memberikan pertanyaan-pertanyan kepada masing-masing siswa atau individu bukan kepada kelompok. Ciri-ciri siswa yang


(1)

menggunakan model pembelajaran TGT bagi yang memiliki kecerdasan adversitassedang (camper).

5. Ada interaksi antara model pembelajaran tipe Scaffolding dan tipe TGT dengan kecerdasan adversitas pada mata pembelajaran Ekonomi. Interaksi adalah pengaruh yang saling berkaitan antara model pembelajaran dengan kecerdasan adversitas terhadap hasil belajar ekonomi siswa.

B. Saran

Berdasarkan penelitian tentang hasil belajarakuntansi melalui model pembelajaran kooperatif tipe Scaffoldingdan Teams Games Turnament (TGT)dengan memperhatikan kecerdasan adversitas siswa, maka penulis menyarankan:

1. Keberhasilan siswa dalam belajar ditentukan oleh banyak faktor. Salah satu faktor tersebut adalah penggunaan model pembelajaran. Untuk itu, hendaknya guru dapat memilih dan menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan disampaikan agar tujuan khusus

pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Sebagai alternatif dalam pembelajaran guru dapat menerapkan model pembelajaran Scaffolding danTGT pada mata pelajaran ekonomi, agar siswa dapat terlibat dengan baik dalam proses pembelajaran.

2. Sebaiknya, jika siswa dalam kelas memiliki kecerdasan adversitas tinggi dalam pembelajaran bisa menerapkan model pembelajaran Scaffolding. Karena dapat menggali potensi peserta didik.


(2)

122

pembelajaran dapat menerapkan model pembelajaran Scaffolding, karena siswa yang belum mengerti bisa berdiskusi dengan kelompoknya.

4. Sebaiknya, jika siswa memiliki kecerdasan adversitas rendah dalam pembelajaran dapat menerapkan model pembelajaran TGT, karena siswa bisa bekerja sama.

5. Pihak sekolah seyogyanya memberikan dukungan sepenuhnya pada penerapan model pembelajaran Scaffolding danTGTsehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono Dr. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. 2001. PT Rineka Cipta: Jakarta

Aisyah, Nyimas. 2000. Mengembangkan Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Melalui Pembelajaran Kooperatif. Forum Kependidikan. FKIP Unsri. Palembang.

A.M. Sardiman 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar mengajar. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Arikunto, Suharsimi. 2004. Manajemen Penelitian. Bumi Aksara. Jakarta.

Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi. Bumi Aksara. Jakarta.

Cahya Aviandri.2012.Jenis-Jenis Pembelajaran kooperatif at

http://kuliahpgsd.blogspot.com/2012/01/jenis-jenis-pembelajaran-kooperatif-html?m=1 (Diunduh tanggal 10 Desember 2013)

Dalyono, M. 2009. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta

Dimyati Dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta Djamarah dan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta

Firman. 2008. ImplementasiModel Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Games Tournament) dalam Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Ekonomi Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Airnaningan. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(4)

Gasong, Dina. Model Pembelajaran Konstruktivistik sebagai Alternative Mengatasi Masalah Pembelajaran. 13 November 2013.

www.gerejatoraja.com/download.

Hamalik. Oemar. 2005. Kurikulum dan Pembelajaran. Bumi Aksara. Jakarta Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hamalik, Oemar. 2010. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bumi Aksara. Jakarta.

http://networkedblogs.com/gbjyX

Ibrahim, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press

Irawaty, Rini. 2006. Studi Perbandingan Prestasi Belajar Ekonomi Siswa melalui Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Team Games Tournament ) dengan Pembelajaran Langsung pa

da Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Natar Lampung Selatan. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Isjoni. (2009). Cooperative Learning (Mengembangkan Kemampuan Belajar Kelompok). Bandung: Alfabeta

Johnson, David W. and Roger T. Johnson. 1984. Cooperation in the Classroom. Edina,Minnesota: A publication Interaction Book Company.

Kurniasari, Ani. 2006. Komparasi Hasil Belajar Antara Siswa Yang Diberi. Metode TGT (Teams Games Tournaments) Dengan STAD (Student Team Achievement Division). Erlangga. Jakarta

Lange, V. L. (2002). Instructional scaffolding. Retrieved on November 25, 2012 from http://condor.admin- .ccny.cuny.edu/~group4/Cano/Cano%20 Paper.doc.

Latuheru. 2002. Media Pembelajaran (Dalam Proses Belajar Mengajar Masa Kini). Ujung Pandang: Badan Penerbit UNM

Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning. Gramedia Widia Sarana Indonesia. Jakarta


(5)

Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: UM Press

Sadu, I Nyoman. 2010. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT Berbasis Assessment Projek terhadap Hasil Belajar IPA dari Penalaran Formal. Tesis. Singaraja. Program Pascasarnaja Universitas Pendidikan Ganesha.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani

Slameto, Drs. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Memepengaruhi. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Boston Allyn and Bacon. USA

Slavin, Robert. 2008. Cooperative Learning Theory, Research and Practise. Allyn and Bacon Publisher. Boston.

Stoltz, G.Paul. 2000. Adversity Quotient. Grasindo. Jakarta.

Sucahyo, Bagyo. 2004. Model Belajar Kooperatif dan Sikap Penerimaan Siswa Kepada Guru Implikasinya Terhadap Prestasi Belajar Siswa Sekolah Menengah Kejuruan dan teknologi. Jurnal. Universitas Negeri Padang. Padang

Sudjana. 2005. Metode Statistika. Rineka Cipta. Jakarta

Sudjarwo, dkk. 2009. Manajemen Penelitian Sosial. Bandung: CV. Mandar Maju Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D). Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D). Bandung: Alfabeta


(6)

Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Rusman. 2010. Model – Model Pembelajaran Pengembangan Profesionalisme Guru. Bandung : PT Mulia Mandiri Pers.

Taba, Hilda. 1962. Curriculum Development Theory and Practice

Vygotsky, L.S. (1962). Thought and language. Cambridge, MA: MIT Press. (Original work published 1934)

W.J.S. Poerwadarminta, 1983, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Widyantini. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kooperatif. Yogyakarta: Depdikna


Dokumen yang terkait

Upaya Peningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa Melalui Model Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT) Pada Konsep Sistem Koloid

0 7 280

Peningkatan hasil belajar kimia siswa dengan mengoptimalkan gaya belajar melalui model pembelajaran TGT (Teams Games Tournament) penelitian tindakan kelas di MAN 11 Jakarta

0 27 232

Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams-Games Tournament) terhadap pemahaman konsep matematika siswa

1 8 185

Pengaruh kombinasi model pembelajaran kooperatif tipe Teams-Games-Tournament (TGT) dengan make a match terhadap hasil belajar biologi siswa

2 8 199

Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqih di MTs Islamiyah Ciputat

1 40 0

Pengaruh kombinasi model pembelajaran kooperatif tipe teams-games-tournament (tgt) dengan make a match terhadap hasil belajar biologi siswa (kuasi eksperimen pada Kelas XI IPA Madrasah Aliyah Negeri Jonggol)

0 5 199

STUDI KOMPARATIF HASIL BELAJAR EKONOMI DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE EXAMPLE NON EXAMPLES DAN TALKING STICK DENGAN MEMPERHATIKAN KECERDASAN ADVERSITAS SISWA KELAS X SMA GAJAH MADA BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

1 21 217

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR EKONOMI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE SCAFFOLDING DAN TEAMS GAMES TURNAMENT ( TGT ) DENGAN MEMPERHATIKAN KECERDASAN ADVERSITAS TERHADAP SISWA KELAS XI MAN 2 METRO TAHUN PELAJARAN 2013-2014

0 7 94

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR EKONOMI ANTARA SISWA YANG PEMBELAJARANNYA MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI) DAN TIPE TEAM GAMES TOURNAMENT (TGT) DENGAN MEMPERHATIKAN KECERDASAN ADVERSITAS PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 12 B

0 6 103

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT dengan Games Digital Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Alat-Alat Optik

3 35 205