Situasional Analisis Makrostruktur Sociocultural Practice

34

4.1.1 Situasional

Level Situasional mengarah pada waktu atau suasana mikro konteks peristiwa saat teks dibuat, dalam artian teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas unik sehingga suatu teks berbeda dengan teks lainnya. Film ini diproduksi pada suasana era globalisasi, dimana teknologi dan komunikasi memiliki banyak pengaruh bagi manusia. Dalam menjelaskan globalisasi, James Petras memiliki tiga argumen dasar yang selalu dirujuk ketika para pakar menjelaskan perkembangan pesat globalisasi. Ketiga argumen itu adalah kemajuan teknologi atau revolusi informasi, permintaan pasar dunia, dan logika kapitalisme. 1 Hal diatas mengantarkan penulis pada kecenderungan media sekarang ini yang mengacu pada rating. Hal ini didasari pada konteks televisi sebagai industri institusi ekonomi memasuki medan kompetisi yang ketat sehingga tidak sempat berfikir kualitas konten sebuah program. 2 Hal ini memungkinkan media untuk melakukan apa saja untuk mendapatkan rating yang tinggi, hal ini pula yang memacu maraknya praktik kapitalisme. Dengan kuasa orang-orang dibalik media, industri ini pun bergerak dominan dalam menciptakan budaya massa. Industrialisasi, ekonomisasi dan lengkap dengan peran kapitalisme di dalamnya terdapat proses “pe-massa-an” atau komodifikasi segala sesuatu agar sebuah industri dapat terus berlangsung Junaedi, 2005, p. 3. Hal tersebut syarat dengan praktik kapitalisme dalam media, yakni sebagai media massa yang didalamnya banyak mengekspoitasi dan mengkomodifikasi kehidupan masyarakat. Ini merupakan bentuk praktik kapitalis yang dalam penerapannya dapat disadari maupun tidak disadari, 1 Globalisasi adalah Kapitalisme http:sosbud.kompasiana.com20100125globalisasi-adalah- kapitalisme-60805.html diakses pada 2492013 pukul 5:48 2 Jurnal ASPIKOM berjudul “Post Media Literacy : Menyaksikan Kuasa Media Bersama Michel Foucault” oleh Iswandi Syahputra, hal.2. 35 dikarenakan kemasannya sering dibuat menyenangkan, contohnya kadang keadaan miskin menjadi normal karena sudah terbiasa dan dianggap bukan suatu ancaman. Hal ini membuat para kapitalis terus menerus berjaya serta semakin mengeksploitasi segalanya dan mengorbankan masyarakat, oleh karenanya muncul komentar ―Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya‖. Memasuki tahun 2000-an, fenomena yang terjadi di media massa, khusunya televisi yaitu reality show yakni maraknya program reality show menandakan bahwa media memang sangat jeli melihat fenomena-fenomena sosial yang muncul di masyarakat. Tidak terkecuali dengan masalah privat dan keluarga. Media mengolahnya sedemikian rupa dan menampilkannya dengan kemasan baru yang lebih segar, menarik, up to date Junaedi, 2005, p. 83. Hal ini tentunya tidak lepas dari industri media sebagai institusi ekonomi yaitu meraih keuntungan. Maraknya Reality Show di Amerika pada tahun 2000-an berjasa dalam menyumbang pertambahan jumlah pemirsa ketika pasar lesu, jaringan televisi berhasil mendapatkan pemasukan yang cukup banyak dari iklan Michael, 2006, pp. 33-34. Masayarakat Amerika saat itu terbawa dalam euforia Reality Show , banyak dari mereka yang juga melibatkan diri dalam ajang kompetisi yang di cover dalam bentuk Reality Show, seperti American Idol dan Big Brother. Kebanyakan acara reality show akan mengkarantina pesertanya dalam sebuah rumah selama beberapa pekan dan tidak diperbolehkan bersentuhan dengan „dunia luar‟, seperti keluarga dan teman-temannya bahkan tidak dipebolehkan memegang alat komunikasi. Berbeda dengan ajang pencarian bakat American Idol, reality show Big Brother lebih mengutamakan strategi bagimana caranya dapat menyingkirkan peserta lain, sehingga tidak jarang terlihat emosi peserta yang meluap-luap disertai dengan tangisan bahkan pertengkaran. 36 Banyaknya penggemar, membuat acara ini terus berlangsung hingga sekarang, tahun 2013, telah sampai pada season ke-16. Walaupun berasal dari Belanda 1997 lalu franchise-nya merembet ke negara-negara di Eropa, Amerika dan Asia, namun Big Brother memiliki versi yang berbeda-beda di masing-masing negara. Dalam penayangan perdananya tahun 2000 menyedot perhatian lebih dari 22 juta penduduk Amerika. 3 Pada beberapa season yang telah ditayangkan, acara reality show ini cukup melibatkan kehidupan pribadi para kontestan, seperti kontestan yang berpacaran, tetangga, musuh dan saudara yang tidak pernah bertemu karena orangtua-nya bercerai. Hal ini bukan hanya menjadi rahasia antar kontestan, namun sudah menjadi rahasia umum karena aktivitas mereka direkam oleh kamera pengawas dan dijadikan konsumsi massa. Menurut Habermas, terjadi perubahan fungsi ruang publik, dari ruang lingkup diskusi rasional, debat, dan konsensus menjadi wilayah konsumsi massa, dijajah oleh korporasi-korporasi dan kaum elit dominan. Campur tangan kepentingan ekonomi para kapitalis menciptakan sebuah produk industri budaya, mengubah segala aspek dalam kehidupan masyarakat sebagai sebuah komoditas yang lalu diperdagangkan. 4 Dalam konteks konsumsi reality show oleh massa, bagi masyarakat yang pasif maka yang terjadi adalah penerimaan secara sukarela, bahkan terjadi peleburan yang mana yang asli dan palsu, normal dan abnormal serta yang privat dan publik. Dalam kapitalisme global apapun dapat dijadikan komoditi: mulai dari kepribadian, kebugaran, penampilan, tubuh, wajah, kaki, tenaga dalam, jin, ramalan, skandal gosip, isu hingga bencana, perang bahkan kematian Piliang, 2011, p. 119. Ketika kekuatan pasar dan pemilik modal sudah mampu menyentuh dan membaur di ruang publik maka maka terjadilah apa yang dikatakan Gramsci 3 Big Brother : True Man Show :http:www.ew.comewarticle0,,20400144_83053,00.html diakses pada tanggal 11112013 pukul 13.44 4 Jurnal berjudul “Mengintepretasi Eksploitasi Ruang Privasi dalam Reality Show : Kasus pada tayangan Masihkah Kau Mencintaiku- RCTI”. http:eprints.undip.ac.id223851INTANMAYASTRI_D2C005173.pdf diakses pada 2492013 pukul 15.17 37 sebagai Hegemoni, ia akan dengan mudah menyentuh setiap sisi ruang kehidupan manusia yang dapat mempengaruhi nilai-nilai budaya masyarakat. Berbagai bentuk komodifikasi dan eksploitasi oleh kaum kapitalis pada reality show dan berita dirasakan oleh Suzzane Collins. Collins mengungkapkan bahwa ide cerita The Hunger Games diperoleh saat ia sedang memilah-milah saluran televisi dan melihat di salah satu saluran menayangkan orang-orang yang berkompetisi dalam sebuah reality show. Lalu, di saluran lainnya menanyangkan perang di Irak. Dalam pemikirannya, kedua tayangan itu melebur menjadi satu dan terbentuklah ide awal The Hunger Games. Novelnya sudah diterbitkan sejak tahun 2008, novel tersebut diadaptasi dalam film dan ditayangkan perdana pada bulan Maret tahun 2012. Dari beberapa sumber mengatakan bahwa film ini memiliki pengaruh serta pesan yang besar mengenai praktik kuasa oleh kapitalis, dikarenakan kisahnya yang memperhatikan kepada kita mengenai potret kehidupan yang dalam hal ini lebih banyak pada „sisi kelam kehidupan manusia‟. Dalam Majalah Cinemax edisi Film The Hunger Games, bulan April 2012, hal 27 menuliskan : Kita hidup dalam masyarakat yang terobsesi dengan reality show dan tidak jarang menggunakan tragedi seseorang sebagai hiburan. Sejarah memang terus berulang dengan sendirinya. Salah satu contohnya adalah para gladiator di jaman Romawi yang diharuskan untuk saling membunuh satu sama lain sebagai sebuah bentuk hiburan bagi masyarakat yang hidup di masa lalu. Di beberapa negara pemerintah memisahkan orang-orang serta membiarkan mereka kelaparan sehingga tidak bisa melawan balik. Dalam hal ini, film The Hunger Games dapat golongkan mengeksploitasi kekerasan sebagai sebuah bentuk hiburan. Kekerasan yang dieksploitasi cenderung pada bentuk kekerasan yang bersifat tradisional dimana banyak terdapat adegan fisik seperti memukul, membunuh dan 38 menyakiti orang lain. Perlakuan ini adalah cara untuk menunjukan kekuasaan Capitol kepada mereka yang lemah. Namun selain kekerasan fisik, terdapat pula kekerasan yang sifatnya struktural bahkan bentuk kekerasan yang tanpa disadari oleh pesertanya karena telah dikomodifikasi dalam bentuk kenikmatan yang juga diberikan oleh Capitol. Dalam buku Komodifikasi Budaya dalam Media Massa dijelaskan bahwa hal-hal berbau seksualitas, erotisme dan komodifikasi tubuh adalah sesuatu yang mudah dicerna oleh setiap orang karena mudah menarik perhatian, sehingga dijadikan ikon-ikon dalam budaya massa. Namun seiring laju perkembangannya, kapitalisme lanjut bukan hanya seksualitas yang menjadi ikon budaya massa yang dikomodifikasi, namun juga kriminalitas, kekerasan, mistik, budaya lokal bahkan lebih ironis lagi adalah agama. Junaedi, 2005, p. 2 Pemunculan film The Hunger Games di tahun 2008 syarat juga dengan perkembangan teknologi di dunia khususnya di Amerika yang dikenal sebagai kiblat perkembangan iptek ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Hal ini tentu saja berpengaruh pada industri media, khususnya perfilman. Konten dalam film tidak hanya digambarkan melalui teks dan kemampuan artis bermain seni peran tapi juga di-support oleh kecanggihan teknologi yang menampilkan efek-efek tampak real pada layar kaca. Kecanggihan teknologi merupakan salah satu cara menggambarkan kebudayaan Amerika serta kehidupan masyarakatnya memasuki era globalisasi. Hal tersebut dikuatkan oleh gagasan Koentjaraningrat dalam tujuh unsur kebudayaan, yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem ilmu pengetahuan, dan sistem teknologi Koetjaraningrat, 1979, pp. 203-204. Penggunaan teknologi oleh pihak kapitalis digunakan sebagai alat untuk mengontrol masyarakat, kaitannya dalam film ini yaitu memperlihatkan sebuah potret kehidupan masyarakat yang sepenuhnya dikontrol oleh pihak penguasa. Tanpa menggurangi pesan yang ingin disampaikan, di dalam film 39 The Hunger Games banyak mempertontonkan efek teknologi, seperti pada adegan cara pihak media di Capitol memonitor para tributes dengan kamera pengawas yang invisible dan properti yang digunakan di Capitol. Tidak hanya itu, dengan segala bentuk imaginasinya film ini meng-create sebuah bentuk teknologi baru yang bahkan di dunia nyata sendiri belum diciptakan, seperti pada adegan penciptaan hewan buas virtual dalam komputer yang bisa di transmisikan ke arena Hunger Games dan menciptakan sebuah dunia baru yang seolah-oleh real, yaitu Arena Hunger Games itu sendiri, seperti yang terlihat pada gambar 4.1 dan 4.2. Gambar 4.1 Alat yang digunakan untuk mengontrol tributes Gambar 4.2 Gambaran hewan buas yang diciptakan oleh para pekerja media sebagai tantangan untuk para tributes Hal yang telah dijelaskan diatas menandai sebuah budaya postmodern 5 , terkhusus postmodern sebagai film Audifax, 2006, p. 22, yaitu 5 Postmodern merupakan hal penting dalam memahami budaya Amerika. Hal ini termanifestasikan di billboard dan televise, bisa juga di nada radio dan percakapan sehari-hari bahkan bisa dirasakan dari bagaimana kita menjalani hidup. Dalam “Postmodern Hollywood : What‟s New in Film and Why It Makes Us Feel So Strange. 40 sebuah hiperealitas, sebuah dunia simulacrum. Dengan kecanggihan teknologi, para artis mampu menghasilkan simulasi yang begitu real dari ide- ide yang sifatnya fantasi. Film postmodern juga dicirikan oleh sifatnya yang mengkaburkan, bahkan mencampurbaurkan batas antara realitas dan imaginasi, fakta dan fiksi, produksi dan reproduksi serta masa lalu, masa kini dan masa depan. Film postmodern juga saling menyangkutkan berbagai hal seperti moralitas, seni, teknologi, spesial efek, fantasi, kekerasan, pornografi, nilai agama, impian, misteri pembunuhan, komedi dan surealisme 6 dalam satu ruang yang sama. Dominic Strinati menjelaskan film-film posmodern juga ditandai oleh keinginannya untuk mengeksploitasi berbagai tanda dan ikon budaya pop. Tidak ada yang salah dengan kemajuan teknologi dan informasi yang ditujukan pada masyarakat, bahkan semua orang di belahan dunia telah menikmatinya dan ingin menikmati seolah-olah hal tersebut menandakan majunya peradaban manusia. Hidup di era sekarangpun tidak lepas dari informasi dan teknologi, walaupun dibaliknya terdapat invisible hand yang memiliki kepentingan sendiri dan senantiasa mengontrol serta terus memantau masyarakat. Menurut Foucault praktik kekuasaan sudah berkembang dalam metode-metode baru. Kekuasaan tidak dijamin oleh hak, tetapi oleh teknik. Kekuasaan tidak dijamin oleh undang-undang, tetapi melalui normalisasi sehingga jauh lebih mudah mengabaikannya ketimbang melawannya. 7 Foucault sendiri meragukan bahwa manusia memiliki kebenaran mutlak, jika kebenaran tersebut disingkirkan maka pengetahuan hanyalah apa yang dikumpulkan dan diputuskan benar oleh sekelompok orang melalui konvensi sosial-budaya atau oleh kesepakatan ilmiah. 8 http:books.google.co.idbooksaboutPosmodern_Hollywood.html?id=QluEtNUBblUCredir_esc=y diakses pada 2492013 pukul 21:34 6 Surealisme adalah aliran dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manusia dan nonrasional dl citraan di atas atau di luar realitas atau kenyataan 7 Jurnal ASPIKOM berjudul “Post Media Literacy : Menyaksikan Kuasa Media Bersama Michel Foucault” oleh Iswandi Syahputra, hal.6. 8 Ibid, hal 4 41 Namun tidak semua orang merasakan efek dari kemajuan teknologi, lemahnya ekonomi seringkali menjadi alasan utama. Hal ini yang dirasakan dari efek kapitalisme, seolah-olah kapitalisme membagi kehidupan menjadi 2 golongan yaitu si kaya dan si miskin, menciptakan kesenjangan sosial yang bisa dilihat di kehidupan sekarang, pemandangan kontras seperti yang terlihat dalam gambar 4.3 ini sekaligus menjadi salah satu sorotan yang diangkat dalam The Hunger Games yakni kehidupan di Capitol dan distrik-distrik. Gambar 4.3 Penampilan merupakan satu dari banyaknya hal yang membedakan penduduk Capitol dengan penduduk distrik.

4.1.2 Institusional

Dokumen yang terkait

Representatif kapitalisme dalam film the hunger games :(analisis semiotika John Fiske mengenai kapitalisme dalam film The Hunger Games)

7 50 103

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Kapitalisme Dalam Film The Hunger Games (Analisis Wacana Kritis) T1 362009073 BAB I

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Kapitalisme Dalam Film The Hunger Games (Analisis Wacana Kritis) T1 362009073 BAB II

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Kapitalisme Dalam Film The Hunger Games (Analisis Wacana Kritis) T1 362009073 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Kapitalisme Dalam Film The Hunger Games (Analisis Wacana Kritis)

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis Patriotisme dalam Lirik Lagu "Maluku dan Pattimura Muda" T1 362008094 BAB IV

0 0 71

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis dalam Pagelaran Wayang Kulit Lakon “Petruk Dadi Ratu” T1 362009091 BAB IV

0 0 13

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis Video Dokumenter Kompas TV “Sianida di Kopi Mirna” T1 BAB IV

0 1 9

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Stereotip Etnis Ambon dalam Film Red Cobex T1 BAB IV

0 1 19

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Kritik Sosial pada Film Warkop DKI Reborn: Menggunakan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough T1 BAB IV

0 9 48