58
hadir untuk “berjudi Klutuhuk”, di sekitar arena pertunjukan. Tidak ada sekat perbedaan di antara warga masyarakat, yang ada hanyalah adanya sebuah
pertunjukan bagi dirinya.
42
Sesuai dengan teori Turner 1988:74-75 sebenarnya pertunjukan ritual memiliki fungsi hiburan bagi audiensnya. Hiburan bisa hadir
dalam bentuk apapun, tidak hanya dalam pentas wayang itu saja, namun juga hiburan lain yang hadir di situ. Bahkan ada kebutuhan interaktif antarwarga
masyarakat sebagai kebutuhan sosial dapat terpenuhi. Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru
menjadi sebuah tradisi yang mencoba untuk terus dipertahankan, tidak hanya berhenti sebagai hiburan dalam kebutuhan sosial, namun juga seni
spiritual sebagai manusia Jawa. Ziarah kubur ke makam
pepunden
atau leluhur mereka, serta pertunjukan wayang kulit merupakan usaha warga Desa Banyubiru
untuk menunjukan atau mempertahankan identitasnya sebagai manusia Jawa.
3. Tradisi Ziarah kubur di Desa Banyubiru
Orang Jawa seperti halnya orang-orang dari kebudayaan lain membedakan alam kehidupan sebelum dan sesudah mati secara tegas Lehman
dan Myers, 1985: 284-287; Zoetmoelder 1991:207; Subagya 2005-87. Alam kehidupan sebelum mati disebut alam
wadag
, tempat manusia dilahirkan dan menjalani hidup hingga masa kematiannya. Sedangkan alam sesudah mati
disebut akhirat atau alam kelanggengan. Alam
wadag
dihuni manusia dalam ujud fisiknya yang nyata dan dipandang sebagai dunia kasar yang penuh nafsu
dan dosa. Sementara alam kelanggengan merupakan alam halus tempat para roh yang suci.
42
Idem
59
Bagi orang Jawa peristiwa kematian menjadi suatu peristiwa berpindahnya alam
wadag
menjadi alam kelanggengan atau kekal. Karena itu bagi orang jawa peristiwa kematian itu tidak musnah, yang musnah hanyalah
raganya namun jiwa atau sukmanya masih hidup. Ini sesuai dengan pandangan mereka bahwa setelah meninggal tiga hari masih di dalam rumah, tujuh hari di
sekitar lingkungan, empat puluh hari sudah jalan di desanya, dan seratus hari sudah menjauh.
43
Selepas seratus hari ada ritual seribu hari atau
ngentek
, biasanya selain mengadakan
genduren
atau selametan, keluarga yang sering disebut ahli waris membangun nisan atau
ngijing
, kemudian mereka sering melakukan ziarah kubur atau yang sering disebut tilik kubur atau
nyekar.
Bagi orang Jawa yang berhak atau bisa
ngijing
untuk leluhurnya adalah keturunan yang sudah mengawinkan atau pernah melakukan hajat pernikahan anaknya. Tidak ada
alasan yang logis mengapa ini bisa terjadi, namun ini didasarkan atas wacana dan juga fenomena yang terjadi. Apabila melanggar biasanya terjadi musibah
bagi dirinya atau keluarganya, seperti apa yang diungkapkan oleh bapak FX. Hartanto berikut
44
: “
Miturut cerita mbah-mbahe dewe
menurut leluhur kita, yang boleh
ngijing
atau membangun nisan untuk keluarga yang sudah meninggal adalah yang sudah pernah menikahkan anaknya, saya
tidak tau alasannya, ini sudah menjadi cerita bahkan keyakinan secara umum. Banyak kejadian yang terjadi ketika melanggar ini
biasane
mati rejekine
hilang rejekinya, atau mungkin mati badannya.”
43
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Joko Nur Pelaku spiritual jawa atau kejawen tanggal 16 Februari 2013
44
Berdasarkan hasil wawancara Bapak FX. Hartanto ketua Panitia Sedekah Bumi 2012 2013 tanggal 27 Februari 201
60
Wacana merupakan sekelompok pernyataan yang menyediakan bahasa untuk membuat pernyataan. Wacana dilihat sebagai produksi pengetahuan
melalui bahasa, dan bahasa lebih dalam kaitannya dengan praksis sosial. Karena praksis sosial memerlukan makna dan makna mempertajam serta mempengaruhi
apa yang kita lakukan, maka semua praktik sosial mengandung dimensi wacana Haryatmoko, 2010:10. Warga masyarakat di Banyubiru menjadikan cerita
tentang larangan membangun nisan bagi yang belum menikah menjadi sebuah wacana yang hadir melalui bahasa. Wacana larangan ini menjadi praktik dalam
kehidupan Orang Jawa. Berbagai keyakinan hadir dalam masyarakat Jawa selain membangun
nisan pada makam leluhurnya, mereka yakin dengan mengirim doa dan menabur bunga, hidupnya senantiasa akan beroleh keselamatan. Orang yang sudah
meninggal dikenang sebagai leluhur yang memiliki Alam kelanggengan dan memiliki status lebih tinggi dibanding alam wadag, seperti yang diungkapkan
Cahyo berikut:
45
“Saya sebagai orang Jawa sudah menjadi kewajiban kalau harus
nyekar
ziarah kubur yaitu dengan berdoa di depan makam dan menabur bunga, apalagi ketika menghadapi kesulitan hidup, saya
pasti
nyekar
supaya diberi kelancaran. Tradisi ini sudah tertanam sejak orangtua saya, untuk selalu diajarkan hormat pada leluhur.
Ada suatu keyakinan kalau kita melupakan leluhur kita tidak
nyekar
bisa
kualat
atau sering sial, tetapi sebaliknya kalau kita sering
nyekar
akan selalu
mendapat keselamatan
dan keberuntungan”
45
Berdasarkan hasil wawancara dengan Cahyo Warga Banyubiru tanggal 15 April 2013
61
Keselamatan dan keberuntungan mengacu pada usaha mengatasi kesulitan hidup sehari-hari seperti agar lancar dalam perolehan rejeki, sukses
menempuh ujian, mendapatkan jodoh, mohon restu sebelum menikah, dan sebagainya. Mereka menaruh hormat saat
nyekar
, yaitu dengan membersihkan makam dan memanjatkan doa, bahkan ketika doa itu dalam bahasa Jawa
diucapkan dengan bahasa Jawa krama. Tradisi ziarah kubur tidak hanya berziarah pada makam leluhur mereka
masing-masing, namun juga pada makam
pepunden
. Orang-orang yang menjalankan ziarah kubur tidak hanya mendoakan leluhur mereka yang
dimakamkan disitu namun juga menyelipkan harapan bahwa kesulitan hidupnya sehari-hari dapat terbantu oleh rahmat atau berkah
pangestu
yang memberi kekuatan dan menjanjikan kesejahteraan serta keselamatan dari segalanya
Subagyo, 2004: 146. Demikian pula yang terjadi pada orang-orang di Desa Banyubiru. Mereka melakukan ziarah pada makam
pepunden
mereka yaitu Kyai Joyoproyo, Kebo Ijo ataupun Ki Sora Dipoyono dan juga leluhur mereka
masing-masing. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Martoyo berikut
46
“Orang berziarah ke Mbah Joyoproyo dari berbagai tempat, tidak hanya warga Banyubiru saja, biasanya mereka
ngoyak barokah
,
sing dagang gen laris, ono sing nggayuh mulya
mencari berkah, yang dagang supaya laku, ada yang mencari kesuksesan”
Makam Kyai Joyoproyo atau Pangeran Tejokusuma menjadi tempat ziarah ataupun menjadi tempat untuk tirakat bagi beberapa orang. Peziarah yang
hadir tidak hanya dari daerah Banyubiru dan sekitarnya, namun juga dari luar
46
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo tanggal 15 Februari 2014
62
kota misalnya Solo, Demak, Kudus, Surabaya, dll. Para Peziarah ini biasanya bertirakat sampai dua atau tiga hari, mereka yang berziarah di tempat itu adalah
para pedagang, pengusaha, atau wiraswasta. Berziarah dimakam Kyai Joyoproyo dilakukan karena sebagai ucapan syukur atau mohon kelancaran dalam
usahanya.
47
Masyarakat di Desa Banyubiru meyakini bahwa Kyai Joyoproyo menjadi
pepunden
bagi daerah mereka. Sehingga ketika merti desa, mereka berkumpul dan melakukan
selametan
ditempat itu. Tidak ada perbedaan satatus sosial mapun keyakinan pada waktu mengadakan
selametan.
Mereka berkumpul bersama dalam sebuah upacara yang dipimpin oleh seorang modin. Sebagaimana
dekripsi Andrew Beatty tentang masalah
sla metan
di Banyuwangi, Beatty menemukan sebuah realitas yang di dalamnya terdapat berbagai latar belakang
golongan sosio-kultural dan ideologi yang berbeda. Mereka ternyata dapat bersatu di dalam satu tradisi yang disebut
selametan
Beatty, 2001: 43
.
Kyai Joyoproyo diyakini menjadi
lantaran
bagi doa-doa mereka karena diyakini sebagai orang yang memiliki kelebihan atau
linuwih
dalam hal kebaikan selama hidupnya.
48
Mereka memiliki harapan bahwa daerahnya bisa makmur
gemah ripah loh jinawi
. Selain memiliki harapan-harapan warga di Desa Banyubiru berziarah di tempat itu sebagai wujud hormat atau bakti mereka,
47
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Bina Warga di sekitar makam Kyai Joyoproyo tanggal 14 Februari 2013
48
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi sesepuh Desa Banyubiru Pelaku kebatinan Jawa tanggal 14 Februari 2013
63
karena diyakini Kyai Joyoproyo ketika masa hidupnya banyak berjasa bagi kehidupan sekitar.
49
Wujud Hormat dan Bakti pada Kyai Joyoproyo hadir dalam cara pandang mereka. Warga di sekitar Makam Kyai Joyoproyo tidak berani untuk
membangun rumah susun atau bertingkat. Mereka meyakini akan mendapatkan musibah atau bahkan
pagebluk
.
50
Cara pandang ini semakin nyata bagi mereka, ketika ada orang yang membangun rumah susun seketika terjadi malapetaka
yaitu usahanya bangkrut dan juga terkena musibah kecelakaan hingga meninggal dunia. Selain itu ada peristiwa lain ketika membangun rumah susun menderita
lumpuh dan juga warga sekitar mengalami gagal panen.
51
Sulit membuktikan apakah kejadian ini akibat dari rumah susun yang di bangun di sekitar makam
Kyai Joyoproyo, namun ini semakin menguatkan cara pandang warga masyarakat sekitar. Sehingga sampai saat ini tidak dijumpai rumah susun di
sekitar makam Kyai Joyoproyo. Rumah susun dianggap tidak menghormati karena posisinya lebih tinggi.
Selain makam Kyai Joyoproyo, makam pepunden yang ada di Banyubiru adalah makam Suro Dipoyono. Namun yang berziarah dimakam ini tidak begitu
ramai karena hanya beberapa orang saja yang meyakini keberadaan makam
49
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo tanggal 15 Februari 2014
50
Pagebluk adalah bencana disaster dalam skala luas dan serius, tingkatan terberat yang dikenal masyarakat desa. Pagebluk bisa menjungkirkan suatu peradaban ke titik nol.
51
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo tanggal 15 Februari 2013
64
tersebut. Beberapa orang meyakini bahwa makam Surodipoyono berada di gumuk Bolodewo.
52
Para pelaku spiritualitas Jawa atau
kejawen
di sekitar Banyubiru meyakini bahwa selain dua makam tersebut ada makam pepunden lain yaitu
Kebo Ijo. Mereka meyakini bahwa Kebo Ijo adalah Kebo Kenanga, yaitu pangeran Hadayaningrat seorang adipati pengging atau ayah dari Jaka Tingkir.
53
Berdasarkan catatan sejarah Kebo Kenanga adalah penganut agama Hindu. Ada benarnya jika makam itu adalah makam Kebo Kenanga karena makam yang ada
di situ bercorak Hindu. Masyarakat yang bertirakat atau berziarah di situ tidak banyak, karena
tempatnya yang berada di dataran tinggi sehingga untuk menjangkau tempat itu harus berjalan kaki. Tidak mengherankan jika yang berziarah di situ adalah
mereka yang memiliki niat untuk laku prihatin secara sungguh-sungguh. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Supridaryono berikut
54
: “Yang saya rasakan pada waktu berziarah di Kebo Ijo secara
batinah lebih
tentrem
. Biasanya yang ke sana tergantung dari tingkatan yang berziarah. Pada tataran awal memekakan rasa
batiniah, tataran selanjutnya ada yang mempunyai keyakinan mengambil pusaka, mereka memiliki harapan yang berbeda-
beda.” Orang Jawa
nyekar
atau berziarah kubur tentu memiliki harapan-harapan tersendiri pada orang yang dimakamkan atau
sumare
dimakam tersebut. Harapan tersbut tentu berbeda, tergantung pada siapa yang dimakamkan disitu.
52
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi sesepuh Desa Banyubiru Pelaku kebatinan Jawa tanggal 20 Februari 2013
53
Idem
54
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Supri Daryono Pamong Desa Banyubiru tanggal 15 Februari 2013
65
Masyarakat Banyubiru juga meyakini hal tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Supridaryono berikut
55
: “Kalau ingin usaha dagang atau rejeki lancar ya
nyekar
di makam Mbah Joyoproyo, kalau ingin
drajat pangkat
kedudukan jabatan ya ke makam Kebo Ijo. Tapi kalu ingin keselamatan hidup menurut
saya ya kemakam leluhur kita masing- masing”
Selain harapan-harapan tersebut, ziarah kubur bagi orang Jawa mengingatkan akan peristiwa kematian itu sendiri, dengan kata lain selalu ingat
dengan sang maha kuasa atau
Eling Sangkan Paraning Dumadi.
56
Secara harafiah
Eling Sangkan Paraning Dumadi
bisa diartikan untuk ingat terhadap sesuatu yang menyebabkan semua ini terjadi, sebuah kearifan bagi manusia
untuk selalu ingat Tuhan, sang pencipta manusia ini. Kearifan ini juga membawa pada logika berpikir bahwa semua hal berawal dari Tuhan dan semua juga akan
berakhir kepada Tuhan. Amrih, 2008: 50 Dalam filosofi permenungan kejawen, manusia Jawa tidak pernah melupakan leluhurnya. Sehingga setiap
doa biasanya mengucapkan
dumateng Gusti Ingkang Murbehing Dumadi nyuwun berkah pangestu lantaran
kemudian menyebut leluhur orang yang
berdoa atau didoakan. Dalam tradisi ziarah kubur, orang Jawa melakukan beberapa ritual. Mulai
dari menabur bunga, membakar kemenyan, dan juga memberikan air. Bunga yang ditabur saat berziarah kubur bagi orang Jawa dimaknai sebagai lambang
sesuatu yang baik. Sehingga bunga yang digunakan adalah bunga yang beraroma
55
idem
56
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi sesepuh Desa Banyubiru Pelaku kebatinan Jawa tanggal 14 Februari 2013
66
harum seperti mawar, kenanga, kantil, dll. Hal ini merupakan simbol bahwa mereka menghormati orang yang dimakamkan di situ.
57
Batas-batas sosial rupanya dihadirkan pula di suatu pemakaman. Hal itu terlihat dari berbagai tanda kubur yang ada di pemakaman Banyubiru. Perbedaan
nisan tidak hanya menunjukan perbedaan agama, seperti Islam menggunakan
maejan,
sedangkan Katolik dan Kristen ditandai dengan salib. Namun lebih dari itu, muncul pembedaan dari segi bahan untuk membuatnya. Ada yang terbuat
dari kayu, porselin, semen, dan bahkan ada yang terbuat dari marmer. Pembedaan ini berdasarkan dari status sosial ekonomi semasa hidupnya,
seperti yang diungkapkan juru kunci pemakaman umum di Banyubiru berikut
58
“Bentuk makam itu berdasarkan
sugih lan orane uwong kuwi
kaya dan tidaknya orang itu.
Nek sing sugih
kuburane terbuat dari keramik atau marmer,
tapi nek uwong ora duwe
tidak punya ya hanya diberi
maejan
nisan biasa dari kayu. Bahkan kalau orang itu terpandang, biasanya dibuatkan
cungkup
yaitu bangunan yang ada atapnnya, kalau disini ya seperti makamnya Kyai Bachrodin.”
Kuburan-kuburan yang terawat cenderung bertahan lebih lama. Masyarakat tidak berani menggusur kuburan tersebut karena dirasa masih ada
ahli waris yang melakukan penghormatan terhadap orang yang dimakamkan di situ, apalagi pemakaman yang ada cungkupnya seperti yang diungkapkan oleh
juru kunci makam tersebut. Berbeda dengan kuburan yang sudah tidak terawat, masyarakat melihat
bahwa kuburan ini sudah tidak pernah dikunjungi oleh keluarganya atau bahkan
57
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Joko Nur Pelaku spiritual jawa atau kejawen tanggal 16 Februari 2013
58
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo tanggal 15 Februari 2014
67
sudah terlupakan. Kuburan yang tidak terawat biasanya digantikan dengan kuburan yang baru, karena luas pemakaman tidak bertambah namun jumlah
yang dimakamkan semakin bertambah. Hal ini memperlihatkan bahwa implementasi ziarah kubur tidak hanya berhubungan dengan arwah leluhur atau
pepunden
, namun juga secara sosial. Masyarakat Banyubiru memandang bahwa dirinya sebagai orang Jawa
memiliki kewajiban melakukan penghormatan pada leluhur, tidak hanya ketika masih hidup tetapi juga ketika sudah meninggal. Maka, ketika ada ahli waris
yang tidak merawat makam leluhurnya atau saudaranya yang sudah meninggal dia dianggap bukanlah orang Jawa, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Cahyo
berikut
59
“Kalau ada orang yang tidak pernah merawat kuburan leluhur atau saudaranya, baik itu bersih-bersih makam ataupun mendoakan
berarti dia bukan orang Jawa. Bagi saya orang Jawa itu mempunyai keyakinan bahwa orang meninggal yang meninggal hanya raganya
sedangkan sukmanya masih ada, maka ya tetap perlu dihormati dengan cara mendoakan dan juga bersih-
bersih makamnya.” Identitas Kejawaan tergambar dalam tradisi ziarah kubur atau
nyekar
, bahkan muncul pembedaan antara yang Jawa dan juga
“orang Jawa kehilangan Kejawaannya” ketika tidak berziarah kubur. Ketika lebih mendalam mengetahui
bagaimana pemahaman ini terbentuk, mereka mengungkapkan pengetahuan ini berdasar atas keyakinan nenek moyang mereka, seperti yang diungkapkan oleh
Bapak Cahyo berikut : “Pemahaman tentang kematian dan juga
nyekar
tersebut saya dapat ya dari
mbah-mbahku mbiyen
Nenek moyangku, Masalah
59
Berdasarkan hasil wawancara dengan Cahyo Warga Banyubiru tanggal 15 April 2013
68
kebenarannya ya saya yakin, karena semuanya ke arah yang lebih baik. Bagi saya ya seperti itulah orang Jawa memandang sebuah
misteri kematian, yaitu seperti tadi tidak musnah setelah mati jadi kita masih perlu menghormati, kalau orang sudah tidak
nyekar
berarti
uwong jawa sing ilang jawane
orang Jawa yang hilang Jawanya.”
60
Pemahaman tentang misteri kematian dan tradisi ziarah kubur menjadi sebuah pengetahuan akan kebenaran yang dibentuk melalui wacana. Menurut
Foucault “wacana merupakan kekuasaan dan pengetahuan yang bergabung
bersama ” Foucault, 1978:100 . Dalam hal ini pemaknaan dan pengetahuan
berkaitan dengan berbagai simbol, mulai dari
nyekar
atau ziarah kubur, sedekah bumi,
selametan,
dan juga pertunjukan wayang kulit tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan yang mengelilinginya yaitu cerita leluhur atau nenek moyang mereka.
Identitas Kejawaan terbentuk dari konstruksi wacana dalam masyarakat. Kehidupan sosial dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan oleh sebuah
wacana. Wacana tentang berbagai macam pemaknaan misteri kematian dan berbagai tradisi yang menyertainya. Wacana dilihat sebagai produksi
pengetahuan melalui bahasa, dan bahasa lebih dalam kaitannya dengan praksis sosial. Karena praksis sosial memerlukan makna dan makna mempertajam serta
mempengaruhi apa yang kita lakukan, maka semua praktik sosial mengandung dimensi wacana Haryatmoko, 2010:10.
Kekuasaan yang ada di sekitar masyarakat Desa Banyubiru, baik itu leluhur
,
cerita-cerita, dan juga tradisi mengantar pada pembentukan identitas Kejawaan. Muncul rasa bangga akan identitasnya yang menumbuhkan suatu
60
Berdasarkan hasil wawancara dengan Cahyo Warga Banyubiru tanggal 15 April 2013
69
kekuatan, pemicu pembangunan suatu komunitas, meneguhkan atau sebaliknya mencerai beraikan.
70
BAB III KEKRISTENAN DI JAWA:
WACANA AJARAN KRISTEN SEBAGAI KEKUATAN AGAMA DALAM MEMBENTUK IDENTITAS
Ada tiga
jalan menuju
ke kepercayaan akan Tuhan: akal,
kebiasaan, dan wahyu.
Blaise Pascal
61
Pada bab sebelumnya telah diperlihatkan bagaimana identitas Kejawaan terbentuk dalam sebuah masyarakat. Wilayah Banyubiru sebagai masyarakat Jawa
masih meletakkan tradisi Jawa ziarah kubur, sedekah bumi perdikan, dan pertunjukan wayang kulit sebagai suatu kebenaran yang terkonstruksi secara turun
menurun. Keyakinan akan tradisi jawa tradisi ziarah kubur berdampak pada cara hidup mayarakat, baik secara pribadi mapun komunal. Bab ini lebih menjelaskan
tentang Kekristenan di Jawa: Bagaimana Kristen hadir sebagai kekuatan dalam membentuk identitas. Muncul berbagai “kekuasaan” yang menyelimuti setiap
pengikutnya. Kekuasaan yang tidak hanya bersifat konkret: raja dan rakyat atau pendeta dan jemaat, namun lebih kekuasaan yang produktif, baik berupa
pengetahuan atau praktik-praktik lain. Kekuasaan ini memunculkan tarik ulur akan identitasnya sebagai manusia Kristen atau Jawa.
Bagian pertama akan menjelaskan sejarah Kristenisasi di Jawa, bagaimana proses muncul atau hadirnya ajaran Kristen yang tidak bisa dilepaskan dari
61
Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius, hlm 47