Kristen “Jawa” dan “ Sejarah Kristenisasi di Jawa : Berawal dari kolonialisme

73 orang-orang Eropa di samping orang-orang pribumi yang masuk Kristen. Minimnya hasil Kristenisasi di jawa dapat diterangkan dengan berbagai alasan. Berbeda dengan Portugis yang mencantumkan propaganda agama sebagai salah satu ekspansi mereka. Orang-orang Belanda terutama VOC mempunyai tujuan yang lebih bersifat duniawi. Jawa bagi VOC bukanlah penghasil rempah-rempah, sehingga tidak begitu penting dibanding daerah- daerah lain. Selain itu kesulitan yang dihadapi para pendeta adalah kondisi yang sulit dan bahkan kadang-kadang sangat buruk, tidak berdaya mengatasi suasana ketamakan dan keinginan hidup gampang di tempat itu Guillot, 1985:4. Meskipun demikian usaha Kristenisasi terus dilakukan dengan mengirim misionaris baik dari Belanda ataupun asli orang Jawa. Ada banyak misonaris yang hadir di Jawa, namun hanya beberapa tokoh yang banyak berperan yang akan dijelaskan di bagian berikutnya.

1.1. Kristen “Jawa” dan “

La nda” Gereja Kristen Jawa berkembang pertama kali di Jawa Timur. Para penginjil awam seperti Coenard Laurens Coolen lahir tahun 1773, Yohanes Emde lahir tahun 1774, dan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung 1885 melakukan pekabaran Injil di Jawa Timur. Pada awal mulanya terjadi ketegangan antara Kristen “Jawa” dan juga Kristen “ L anda” Soekotjo, 2009: 100. 74 Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh penginjil atau misionaris yang membawa ajaran tersebut. Pada tahun 1827 Coenraad Laurens Coolen 62 adalah penginjil yang mendapat izin dari pemerintah kolonial 63 untuk membuka lahan hutan Ngoro di kawasan Wirosobo seluas 2000 bau sebagai persil. Bersama keluarganya Coolen melakukan pekbaran Injil di daerah tersebut dengan merubah daerah tersebut yang awalnya banyak pencuri, perampok, penyamun, pembunuh menjadi daerah penuh ketenangan. Coolen menyebut ajarannya sebagai Kristen “Jawa” bukan Kristen “Landa”. Dalam ajaran ini Kekristenannya sangat kental dengan kejawaan, tembang, wayang, dan rapal, bahkan dengan yang berbau Islam seperti dzikir. Kekristenan tidak membuang unsur-unsur Jawa dari para pengikutnya, oleh sebab itu sakramen yang dianggap menjadi unsur Kristen Landa tidak diberikan kepada pengikutnya supaya jemaatnya tidak terhanyut menyamakan diri dengan orang Belanda dan meninggalkan cara hidup kejawaannya sendiri. Prinsipnya, sebagai orang Kristen, orang Jawa itu harus tetap Jawa. Di daerah tersebut kebudayaan Jawa-Hindu masih banyak tersisa. Terdapat gunung keramat, seperti Kawi dan Kelud di selatan. Peninggalan arkeologi banyak dijumpai, karena di daerah ini terletak di dekat ibu kota 62 C. L. Coelen lahir di ungaran pada tahun 1773 dari ayah seorang Rusia dengan ibu putri keturunan Pangeran Kajoran. C.L. Coolen berpendidikan ELS, masuk dinas militer, dan dipercaya membuat peta Jawa. Terakhir ditugaskan dibagian artileri di Surabaya dan menikah dengan seorang perempuan Indo, memproleh lima orang anak. Dari Surabaya ia pindah pekerjaan sebagai Bos Opzichter sinder blandong di Wirosobo Mojoagung. Di sini dia menikah lagi dengan Sadiyah, pelayannya, dan mendapat tiga orang anak. 63 Coolen beberapa waktu bersekolah di Semarang, beberapa tahun kemudian bekerja sebagai pelukis yang diperbantukan pada kantor pemerintahan. Kemudian Coolen masuk tentara dan bertugas sebagai pengawas hutan di daerah terpencil. Sehingg dia perlu ijin untuk membuka sebidang persil Guillot,1985:31 75 bekas kerajaan Majapahit. Tidak mengherankan jika masyarakat di daerah tersebut masih kental dengan budaya Jawa. Sebagai misionaris awal, tentu Coolen berupaya untuk mengembangkan ajarannya dengan tetap memasukkan ajaran sebelumnya, supaya ajaran Kristen bisa di terima. Dari sebidang lahan perizinan tersebut tidak ditanami nila, tebu, kopi, dan tanaman lain jenis ekspor sebagaimana dianjurkan pemerintah Belanda. Coolen justru menanam padi seperti yang dilakukan orang Jawa. Inilah salah satu alasan juga Coolen masuk sebagai golongan orang Jawa. Bahkan pada paruh terakhir usianya, dia memutuskan untuk memilih suatu kebudayaan: hidup seperti orang Jawa, di antara orang Jawa tanpa melupakan status Belanda-nya yang merupakan pertanda kehebatannya. Coolen menjadi kepala desa di daerah tersebut, dan terpanggil untuk mengkristenkan orang-orang di daerahnya. Diajarkannyalah agama Kristen dengan mengambil contoh-contoh yang terdapat dalam wayang atau legenda setempat. Dia membangun Gereja, di sana dia memimpin kebaktian, membaca dan menjelaskan kitab suci. Pada masyarakat kecil yang teokratis ini, Coolen mengeluarkan larangan untuk bekerja hari minggu dan mempunyai beberapa istri. Setiap orang beragama Krsiten atau Islam, di desa tersebut harus mematuhi aturan. Coolen juga menghormati kebebasan beragama. Secara pribadi dia pun mengawasi supaya kaum muslimin di desa tersebut menjalankan kewajiban ibadat agama Islam. Coolen boleh dikatakan dikelilingi oleh pemuka Islam dan Kristen bagaikan raja Majapahit yang di 76 dampingi oleh pemuka Hindu dan Budha. Jellesma 64 menggambarkan Coolen sebagai “raja tanpa mahkota” Guillot, 1985: 33 Puncak dari pengarahan ini Coolen mengadakan kebaktian Minggu. Di situ Coolen bercerita tentang Tuhan Yesus serta isi Kitab Suci, dan mengajak berdoa bersama. Bahkan Coolen juga membuka pedebatan, sehingga ketika tidak seorang pun mampu mengalahkan argumentasi Coolen, maka ngelmu bab Gusti Yesus akhirnya diakui sebagai ngelmu tertinggi yang patut mereka ikuti, meskipun masih diperbolehkan untuk melakukan tradisi Jawa seperti wayangan, tetembangan, dan rapal Soekotjo, 2009: 101 Percampuan antara Kristen, Islam dan Jawa dalam rapal dan juga tembang tampak dalam beberapa ajarannya. Salah satunya ajaran syahadat Kristen: La ilah illa Allah, Yesus Kristus yo Roh Allah Tiada Tuhan selain Allah, Yesus itu Roh Allah. Teknik dakwah ini memperlihatkan bagaimana Coolen mencoba memasukan ajaran yang sudah ada sebelumnya, baik itu Islam maupun Jawa. Selain itu Coolen juga mengajarkan beberapa tembang, yang di dapat dari kalimat-kalimat injil, seperti tembang berikut ini. O, Gunung Semeru, Kau tertinggi di tanah Jawa, kepada engkau ditujukan lagu pujaan ini. Berkatilah hasil karya tangan kami ini. Berkatilah mata bajak yang menggemburkan tanah yang patut disebari benih dan menyebarlah benih. Berkatilah garu penghalus tanah ini. Di tanah inilah Dewi Sri akan bersuka hati, dewi padi yang memberi kami kemakmuran. Dan di atas segalanya, kami mendambakan kasih dan kekuatan dari Yesus yang maha kuasa. 64 Jellema adalah misionaris perintis, tugasnya boleh dikatakan memelihara dan mempertebal akidah orang-orang Kristen daripada mengkristenkan orang. Dia menjadi misionaris di daerah sidokare dan wiung selatan Surabaya dan Mojowarno. 77 Tidak hanya berhenti pada tembang atau lagu saja, Coolen juga melukis. Semua lukisannya mempunyai satu tema: Coolen membawa kebajikan bagi orang Jawa. Salah satu lukisannya itu menggambarkan dia di belakang bajak yang ditarik oleh dua ekor kerbau. Dia memakai topi jerami, pantalon tetapi tanpa sepatu. Tangannya yang satu memegang ujung bajak dan lain menunjuk kelangit. Pada kiri kanan kerbau berdiri para petani Guillot, 1985: 34. Baik dalam soal persil maupun dalam masalah agama Coolen terlihat memainkan peran ganda, sebagai orang Belanda dan orang Jawa. Cara-cara Coolen baik berdakwah maupun mengajarkan ajaran Kristen dapat diterima dengan baik oleh jemaatnya. Jemaat tanpa sakramen ini akhirnya harus menghadapi kenyataan yang lain ketika bertemu dengan kelompok jemaat Johannes Emde, mereka harus mau menerima baptisan. Akibatnya, beberapa orang pengikut Coolen seperti Singotaruno, Tosari, Kunto, dan Anip mencari dan mendapatkan sakramen baptis. Kejadian ini memicu kemarahan Coolen, yang berhujung pengusiran terhadap para pengikutnya. Pengusiran ini justru membuat ajaran Kristen berkembang ke beberapa daerah, seperti Kyai Jakobus Singotaruna dan Paulus Tosari tinggal di Sidokare dekat Sidoarjo. Abisai Ditotaruna membuka pemukiman di Mojowarno dan menjadi lurahnya. Johanes Emde lahir tahun 1774 di Jerman dari keluarga petani. Pada saat pemerintahan Daendels dia masuk tentara, ketika Raffles memerintah dia mengundurkan diri dari dinas militer. Sejak saat itu dia tinggal di Surabaya 78 dan menikah dengan gadis Jawa dari kalangan ningrat, yang berasal dari kraton Solo. Mulai saat itu, bersama keluarganya Emde menyebarkan ajaran Kristen dengan menyebarkan brosur. Dalam kalimat awal bertuliskan “wiwitaning Injile Yesus Kristus Putrane Allah...” permulaan Injil Yesus Kristus, Putra Allah... Beberapa orang menerima brosur bertanya-tanya bagaimana Tuhan bisa punya anak. Salah satunya seorang Modin yang bernama Pak Dasimah. Pada tahun 1838 Pak Dasimah berdasarkan informasi yang dia peroleh bersama dengan sembilan orang lainnya justru menemui Coolen. Dari Coolen dia mendapatkan dasar-dasar agama Kristen seperti Syahadat, Bapa Kami, dan Sepuluh Firman Tuhan Guillot, 1985: 23. Akhirnya beberapa tahun kemudian Dasimah memperoleh kesempatan bertemu dengan Emde. Darisitulah Emde tahu bahwa ternyata sudah ada Jemaat Kristen di daerah Ngoro. Akhirnya Emde mengunjungi desa tersebut pada tahun 1842. Orang-orang pengikut Coolen mengerti bahwa agama yang diajarkan Emde berbeda dengan yang diterangkan Coolen. Lebih berbau barat, tidak bercampur Dewi Sri dan Semeru dengan Yesus. Akhirnya melalui Emde, mengetahui bahwa Coolen seolah-olah telah mengelabuhi mereka dengan tidak mengatakan bahwa perlu dipermandikan untuk menjadi pemeluk Kristen sepenuhnya seperti orang-orang Belanda. Pada tanggal 12 Desember 1843 di Gereja Belanda Surabaya terdiri dari 35 orang, 18 lelaki, 5 perempuan, dan 5 anak- anak. Lahirlah jemaat “betul-betul” Kristen yang pertama. Diberitahukan pula bahwa kemudian, beberapa santri di daerah itu 79 juga masuk Kristen, tetapi ada juga orang Islam yang mengejek orang-orang Kristen itu dengan sebutan “Belanda tanpa sepatu” atau “Belanda minus Topi” Guillot, 1985: 24 Johannes Emde sebagai penginjil sangat mempengaruhi ajaran Kristen di Jawa. Berbeda dengan Coolen yang tidak bersedia membuang budaya Jawa dari kekristenan pengikutnya, Johannes Emde justru sebaliknya. Mereka patut disebut jemaat “Kristen Landa ” karena perilaku budaya mereka diatur menurut budaya orang Belanda. Mereka diharuskan berambut pendek, dilarang memakai ikat kepala saat ke Gereja, jangan mendengarkan gamelan, jangan menonton wayang, jangan melakukan khitanan, jangan menyelenggarakan selamatan, jangan menyanyikan tembang Jawa, jangan merawat pekuburan, dan dilarang menabur bunga di makam. Oleh sebab itu, sangat sesuai jika mereka dijuluki sebagai “Kristen Landa”. Terbentuknya sebuah praktik dengan demikian sangat dipengaruhi oleh kekuasaan. Berbagai wacana hadir dalam pembentukan identitas, baik Kristen Jawa maupun Kristen Landa. Semua kembali bagaimana dogma tentang larangan maupun keharusan yang hadir sebagai sebuah wacana itu menjadi cara pandang mereka. Hal ini sesuai dengan pandangan Foucault pada gagasan antara kekuasaan-pengetahuan, suatu pasangan yang secara dramatis mengekspresikan terikatnya wacana secara erat pada relasi antara kekuatan dan kekuasaan, maupun mengekspresikan kapasitas produktif kekuasaan untuk menciptakan wacana Beilharz, 2005. 80 Ajaran Kristen Jawa maupun Kristen Landa , tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan misionaris dan agenda tujuan yang dibawanya. Kristen Jawa yang dibawa oleh Coolen yang mencoba memadukan budaya Jawa dengan tujuan supaya manusia Jawa tidak hilang kejawaannya, maupun ajaran Kristen Landa yang dibawa oleh Emde yang mencoba melepaskan budaya Jawa, kesemuanya menjadi sebuah cara pendang mereka yang terbentuk secara produktif. Coolen memanfaatkan kepercayaan Jawa yang di belokan ke agama Kristen. Cara ini bukan untuk menghilangkan tetapi malah sesuai dengan mentalitas petani yang dipengaruhi oleh kehidupan berhubungan dengan alam. Meskipun orang Belanda namun melarang jemaatnya untuk dibaptis dengan alasan supaya tidak menjadi orang Belanda. Muncul kontradiksi adanya kekuatan dua pengaruh ini. Saat itu orang-orang memilih meninggalkan Ngoro serta ajaran Coolen dan bergabung dengan Emde. Mereka ingin meninggalkan dunia tradisional untuk masuk ke sistem baru yang dikelola orang Belanda. Coolen ingin bersikap seperti orang Jawa tatkala orang Jawa sendiri ingin menjadi “orang Belanda”. Tanpa disadari identitas ini terbentuk karena wacana yang saat itu berkembang. Ajaran Coolen dianggap tradisional dan perlu ditinggalkan. Justru sebaliknya identitas asing dianggap lebih kuat,ini karena tidak terlepas dari kedudukan Belanda yang lebih tinggi dibanding penduduk pribumi. Awal kontradiksi ini justru melahirkan banyak penyebar ajaran Kristen. Mereka merasa terpanggil menjadi penginjil dan penyebar ajaran 81 Kristen. Inilah nantinya yang memunculkan perkembangan Agama Kristen kususnya di Jawa.

1.2. Usaha Kristenisasi di Jawa Tengah