Kekristenan sebagai Cara Pandang

95 tersebut kaum muda merasa memiliki semangat untuk hidup dalam komunitas GKJ “Kegiatan anjangsana selain untuk meningkatkan iman, bagi saya juga menjadi suatu wadah atau tempat bertemunya kaum muda, bisa bertambah teman atau mungkin ketemu pasangan hidup.” 78 Kegiatan kaum muda ini memperlihatkan bagaimana mempertahankan identitas Kekristenannya. Jemaat muda merasa nyaman dan bangga menjadi orang Kristen, dan juga memiliki harapan yang besar untuk kelangsungan masa depannya. Seperti harapan memiliki banyak teman dan juga menemukan pasangan hidup. Cara penyebaran ajaran Kristen di sini bukan hanya berkaitan dengan perkembangan atau sejarah penyebaran GKJ, namun lebih pada ajaran akan kekristenan sendiri yang membuat jemaat semakin menghayati keberadaan dirinya sebagai orang Kristen maupun komunitas Kristen.

2. Kekristenan sebagai Cara Pandang

Peran misionaris dengan misinya mengantar pada pembentukan identitas Kekristenan. Hal ini karena pengetahuan dan pemahaman yang mereka peroleh. Dengan demikian Kekristenan akhirnya menjadi cara pandang mereka dalam memandang segala sesuatu yang berkaitan dengan kehiupan para jemaat. Jemaat GKJ di Banyubiru tidak lagi menjadi dirinya secara pribadi, namun sudah dipengaruhi oleh ajaran Kristen yang mereka terima. 78 Berdasarkan wawancara dengan Daniel Kaum Muda GKJ Banyubiru tanggal 1 Juni 2013 96 Pembentukan cara pandang ini tidak bisa terlepas dari peran Gereja, baik peran misionaris atau kegiatan dalam Gereja tersebut. Pembentukan diri ini menjadi kekuatan bagi komunitas Gereja Kristen Jawa, karena adanya keyakinan dan ajaran yang menyatu menjadi tindakan. Keyakinan dan ajaran yang telah diterima melalui ajaran seorang misionaris ataupun penafsiran Alkitab merupakan sebuah wacana yang tentu mempunyai klaim kebenaran. Keyakinan dan ajaran ini menjadi kekuasaan yang selalu berimplikasi pada pengetahuan. Begitupun sebaliknya, tidak ada pengetahuan yang tidak berkorelasi dengan kekuasaan Foucault, 1995: 27. Foucault ingin menegaskan bahwa penguasaan kekuasaan menciptakan objek-objek baru pengetahuan dan sistem informasi. Pengetahuan ketika digunakan sebagai suatu kebenaran yang akhirnya membatasi, mengatur, dan bahkan mendisiplinkan, maka secara tidak langsung akan menjadi cara pandang seseorang. Seperti salah satu cara pandang jemaat GKJ demikian: “ Nek wis yakin ki yo kudu diugemi kalau sudah yakin ya dipercaya. Saya yakin kalau ajaran Alkitab menjadi kebenaran bagi jalan hidup saya, karena bagi saya Alkitab tidak hanya sekedar tulisan, melainkan lebih menjadi sabda yang hidup. Makanya ya menjadi panutan dalam hidup saya atau boleh dikata dadi sarana uripku menjadi sarana hidup.” 79 Di sini terlihat bagaimana fungsi ideologis agama berperan sebagai pembenaran hidupnya, baik hidup dalam keluarga maupun bermasyarakat. Mayarakat yang terdiri dari berbagai keyakinan dan pandangan yang 79 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suratno Jemaat GKJ Banyubiru tanggal 20 Mei 2013 97 berbeda menjadikan jemaat GKJ memiliki cara pandang hidup yang berbeda, dalam meyakini peristiwa kematian dalam tradisi Jawa 98

BAB IV TARIK ULUR IDENTITAS:

KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR Keterbatasan cara pandang menganjurkan kita untuk tidak hanya percaya pada hal-hal yang terlihat, tetapi kita biasanya juga hanya melihat apa yang sudah kita percayai. 80 Desa Banyubiru sebagai wilayah perjumpaan antara Kejawaan dan Kekristenan menyajikan sebuah fenomena tarik ulur akan identitas. Kehidupan masyarakat Desa Banyubiru yang penuh kebersamaan, baik dengan sesama manusia maupun dengan alam, ini menjadi sebuah gambaran yang kuat berkaitan dengan tradisi Jawa. Berbagai tradisi masih dijalankan, misalnya sedekah bumi, pertunjukan wayang kulit, dan juga ziarah kubur. Ziarah kubur dan sedekah bumi perdikan tetap berkembang di tengah masyarakat Banyubiru, karena adanya keterkaitan fungsi dan makna dalam suatu sistem sosial budaya. Hal demikian terlihat dari kesinambungan antar warga satu dengan yang lainnya. Kesinambungan ini secara sosial merupakan forum interaktif antarwarga masyarakat yang pada gilirannya akan membangun solidaritas sosial. Hal demikian meneguhkan pendapat Radcliffe Brown 1979: 157 bahwa ritual dan adat istiadat dapat berlangsung terus menerus karena memiliki fungsi sosial. Ritual merupakan pernyataan simbolik yang teratur. 80 Donald W. Thomas, Semiotics, Communication, Codes Culture Lexington Massachusetts: Ginn Custom, 1982, hlm 179