BAB I PENDAHULUAN
2.1. Latar Belakang Penelitian
Bisnis ritel merupakan keseluruhan aktivitas penjualan barang atau jasa secara langsung kepada konsumen yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengelolaan bisnis
ritel tidak sekedar hanya membuka toko dan mempersiapkan barang-barang yang lengkap tetapi harus melihat dan mengikuti perkembangan teknologi agar dapat berhasil dan mempunyai
keunggulan bersaing Thoyib,1998;1. Keunggulan yang dimiliki masing-masing pengusaha ritel ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggannya
Secara garis besar, ritel terbagi dua yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Pengertian pasar tradisional adalah ritel yang sederhana, tempatnya tidak begitu luas, barang yang dijual
tidak begitu banyak jenisnya, sistem manajemen masih sederhana, tidak menawarkan kenyamanan berbelanja dan masih ada proses tawar menawar harga dengan pedagang seperti
pasar tradisional dan warung tradisional. Sedangkan pasar modern adalah sebaliknya, menawarkan tempat yang luas, barang yang dijual banyak jenisnya, sistem manajemen terkelola
dengan baik menawarkan kenyamanan berbelanja, harga sudah tetap
fixed
dan adanya sistem swalayan seperti pasar modern misalnya mall, plaza, ITC, dll dan gerai tersendiri, misalnya
mini market, supermarket, dan hypermarket. Kehadiran pasar modern yang memberikan banyak kenyamanan membuat sebagian orang
enggan untuk berbelanja ke pasar tradisional. Hal ini terjadi dengan kondisi pasar yang becek dan bau, tidak menyukai kegiatan tawar menawar, faktor keamanan yang tidak aman seperti
adanya copet, resiko pengurangan timbangan yang dilakukan pedagang pada barang yang dibeli, keadaan pasar penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya. Padahal pasar tradisional juga masih
memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki pasar modern. Diantaranya adalah masih adanya kontak sosial saat tawar menawar antara pedagang dan pembeli. Tidak seperti pasar
modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok. Pada tingkat pertumbuhannya, Pasar tradisional menguasai 79,8 persen omzet ritel
nasional 2008, menyusut dibandingkan 2002 yang mencapai 82,9 persen. Omzet total ritel nasional 2008 sebesar Rp 95,3 triliun atau bertumbuh sekitar 21,1 persen. Untuk mengatasi hal
tersebut, pemerintah harus secara tegas mengatur penempatan pasar tradisional dan pasar modern. Misalnya tentang berapa jumlah
hypermarket
yang boleh ada untuk setiap wilayah di satu kota. Lalu berapa jarak yang diperbolehkan dari pasar tradisional jika pengusaha ingin
membangun
supermarket
. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman kebangkrutan pada pasar tradisional akibat kepungan pasar modern yang tidak terkendali, dan
memberikan wahana persaingan yang sehat antara keduanya Sapu Jagat, 2010 Selain itu adanya pembenahan pasar rakyat tersebut. Revitalisasi dilakukan dengan harga
yang yang terjangkau oleh para pedagang. Hal ini harus dilakukan karena pasar tradisional mempunyai keunggulan yakni produk-produk segar. Selain itu, tidak selamanya produk yang
dijual di ritel modern lebih murah karena di pasar tradisional pembeli berkesempatan untuk menawar harga yang lebih murah
Salah satu bentuk pasar tradisional yang telah direvitalisasi adalah Pasar Ash-Shofia Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung. Penataan yang diatur oleh swasta membuat orang berbondong
bondong datang ke pasar tersebut.
Hal ini dilandasi karena bergesernya kebiasaan masyarakat
yang menyukai barang-barang pabrikan membuat arus peredaran uang di sektor jual beli menjadi lebih besar.
Hal ini menimbulkan terjadinya persaingan antar pedagang terutama berkaitan dengan lokasi yang dipilih Moore 2002 dan Krider 2004. Berdasarkan wawancara dengan para
pedagang merasa lokasi yang tidak strategis merugikan mereka karena tidak banyak konsumen pembeli datang untuk membeli barang yang ditawarkan. Sehingga hal ini lama
kelamaan menyebabkan kebangkrutan bagi pedagang. Selain daripada itu timbulnya pesaing seperti Pasar Baru dan
Trade Centre
menyebabkan pendapatan mereka berkurang. Akibat Persaingan tersebut menyebabkan semakin memanasnya iklim persaingan di
antara pengusaha yang bergerak dalam bisnis eceran, seperti harga yang kian murah, pelayanan barang, pelayanan yang paling baik, lokasi yang strategis. Persaingan yang semakin ketat ini
sempat menimbulkan kekhawatiran di kalangan peritel apabila jika persaingan itu mencapai suatu kondisi yang tidak diinginkan yaitu saling mematikan dengan cara memainkan harga.
Nurudin Abdullah, Bisnis Indonesia, 2003 Akibat lain dari persaingan lokasi menyebabkan keberadaan pengecer besar secara
sosial mampu memberikan dampak positif, terutama dalam menyerap tenaga kerja, dan laju pertumbuhan ekonomi, pada sisi persaingan usaha memberikan dampak negatif bagi pengecer
kecil. Hal ini kemudian mendorong perubahan dimensi persaingan bisnis antara grosir dengan pedagang eceran telah terjadi overlapping. Akibatnya, pengecer tidak hanya bersaing antar
pengecer, tapi bersaing dengan grosir yang juga bertindak sebagai pengecer. Dengan kata lain
terdapat persaingan pengecer dengan grosir atau pabrik yang bertindak sebagai penjual eceran. Ian Clarke 2000 Moore 2002 dan Nilsson dkk 2004.
Keadaan tersebut mendorong suatu perusahaan dalam hal ini pedagang eceran untuk dapat mengembangkan atau menciptakan strategi bauran penjualan eceran yang dapat
memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang akan dilakukan perusahaan dengan menggunakan peluang yang ada, sekaligus dalam menghadapi ancaman serta kemampuan
mengarahkan perusahaan dalam menggunakan sumber daya yang tersedia serta memberikan kepuasan yang diharapkan secara lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan para pesaing.
Dengan kata lain untuk menarik dan mempertahankan pelanggan Kotler, Keller, 2009: 56 Hal ini disebabkan adanya kelebihan pasokan barang, menjamurnya pusat-pusat pembelanjaan, tidak
adanya kenyamanan dalam berbelanja di
trade centre
, kurangnya pengunjung yang datang ke
trade centre
karena pengunjung lebih suka ke tempat yang lebih nyaman seperti mal. Mesti Sinaga dkk, Kontan, 2003
Pernyataan di atas didukung dengan survai yang dilakukan peneliti di beberapa pedagang di pasar secara umum pedagang belum mengoptimalkan strategi bauran penjualan ecerannya
dilihat dari : pertama, faktor lokasi yang kurang strategis. Pedagang eceran beranggapan lokasi yang sepi tidak akan menguntungkan dagangan yang di jualnya dibandingkan lokasi yang ramai
atau yang dekat jalan masuk ke toko yang bersangkutan. Kedua, kenyamanan yang tidak terjamin seperti ruang untuk menjual barang kurang luas. Ketiga, Kualitas barang yang kadang-
kadang tidak menjamin seperti menawarkan barang yang kemarin tidak laku terjual. Keempat,
Adanya perbedaan harga yang ditawarkan kepada konsumen yang membeli satuan dengan konsumen yang membeli dalam partai besar.
Kelima, para pedagang merasa tidak perlu mengadakan promosi karena mereka beranggapan pasar sudah cukup dikenal orang sehingga para konsumen akan datang tanpa
promosi kepada para pembeli. Keenam, pramuniaga yang kadang-kadang tidak begitu ramah dalam melayani pembeli dan kadang kurang komunikatif. Ketujuh, adanya perbedaan
pembayaran antara pembelian dalam jumlah besar dan kecil. Dari pengamatan dan pra survai yang dilakukan penulis, maka pedagang di pasar telah
berusaha mengembangkan strategi pemasarannya. Namun demikian banyaknya perubahan yang terjadi karena adanya persaingan, tuntutan pelanggan dan tuntutan pedagang itu sendiri serta
mengingat belum dikembangkannya strategi bauran penjualan eceran secara profesional, perlu dilakukan suatu penelitian mengenai unsur-unsur strategi bauran penjualan eceran yang harus
dikembangkan atau dikelola oleh pihak pedagang dalam mempengaruhi Hasil Penjualan Pakaian Jadi
Pasar Ash-Shofia Kecamatan Dayeuhkolot Kabupaten Bandung.
1.2. Rumusan Masalah