Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum, individu memiliki identitas gender sebagai laki-laki dan perempuan. Individu laki-laki akan mengembangkan kepribadian sebagai laki- laki begitu pula perempuan. Di Indonesia, individu laki-laki yang mengembangkan kepribadian sebagai perempuan umunya dikenal dengan sebutan waria. Dalam psikologi, hal ini disebut dengan transgender atau transseksual. Para transseksual memiliki pemikiran bahwa jiwa mereka terperangkap dalam tubuh yang salah sehingga mengubah penampilan dan perilaku mereka sesuai dengan yang mereka inginkan Durand Barlow, 2006. Identitas gender sebagai waria dapat terbentuk karena faktor biologis maupun lingkungan. Faktor biologis karena adanya hormon testosteron yang tinggi, sedangkan faktor lingkungan karena berlebihnya interaksi dengan figur ibu maupun kurangnya interaksi dengan figur pria pada masa kanak-kanak Durand Barlow, 2006. Waria sering dianggap momok bagi masyarakat karena dianggap tidak berperilaku seperti seharusnya. Waria sering dikucilkan, dihina maupun ditolak dalam lingkungan masyarakat Santoso, 2007. Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, laki-laki seharusnya mengembangkan peran gender maskulin sedangkan perempuan mengembangkan peran gender feminin. Berbeda dengan waria yang memiliki fisik asli laki-laki namun berpenampilan dan berperilaku seperti perempuan. Peran gender inilah yang dianggap akan mempengaruhi bagaimana penilaian dan sikap lingkungan terhadapnya Helgeson, 2012. Dalam hal ini tentu mempengaruhi interaksi sosial waria dengan masyarakat umum. Kehidupan sosial waria menjadi sangat terbatas karena adanya penolakan seperti dikucilkan dan dilecehkan oleh orang yang dikenal maupun tidak Putri, 2009; Herdiansyah, 2007; Stotzer, 2009 dalam Helgeson, 2012. Seperti diungkapkan dalam salah satu artikel mengenai kehidupan waria di Indonesia yang selalu dikucilkan oleh masyarakat umum Setiawan, 2015. Salah satu contoh yang pernah terjadi adalah kasus kekerasan kepada salah satu PSK waria hingga tewas dan bukan satu-satunya kasus yang pernah terjadi Kurniawan, 2011. Selain itu, terdapat pula gagasan bahwa waria di Indonesia sulit mendapat pekerjaan karena orientasi gender yang mereka pilih belum dapat diterima oleh masyarakat luas Oetomo, 2015. Hidup menjadi waria berdampak pada masalah penerimaan sosial, seperti tidak diterimanya waria oleh lingkungan mengingat nilai-nilai agama dan sosial di Indonesia tidak mengizinkan perilaku transeksual. Hal ini dapat mengakibatkan kehidupan sosial para waria menjadi sangat terbatas hingga peluang kerja menjadi sempit Putri Sutarmanto, 2007. Waria juga sering dianggap sebagai sampah masyarakat, penjaja seks, dan kurang berpendidikan sehingga menimbulkan kurangnya percaya diri waria dalam bermasyarakat Santoso, 2007. Di samping itu, waria juga memiliki kesulitan dalam penerimaan diri dan kebingungan identitas. Kebingungan yang umum dialami oleh waria yakni menyangkut dengan keputusan menjadi diri sendiri atau mematuhi norma- norma yang melarang menjadi waria Putri Sutarmanto, 2007. Hal ini dapat mendorong terjadinya kecemasan, perasaan tertekan dan ketidakbahagiaan karena adanya inkongruensi antara diri dengan diri ideal ketika menyadari hal tersebut Feist Feist, 2010. Namun demikian, ketika menyadari realita bahwadirinya memiliki kecenderungan perempuan, penerimaan diri untuk mengembangkan kepribadian feminin dapat membantu untuk menuju kongruensi. Para waria mengalami masalah dan tekanan berupa penolakan dari lingkungan sekitar bahkan tak jarang dari pihak keluarga. Di satu sisi, mereka ingin menjalani hidup sesuai dengan keinginannya, yaitu berperilaku seperti wanita. Akan tetapi di sisi lain, mereka juga mengalami konflik dengan tuntutan lingkungan yang menginginkan mereka berperilaku dan berpenampilan seperti laki-laki pada umumnya Putri Sutarmanto, 2007. Tindakan masyarakat umum pada keberadaan waria didorong oleh adanya prasangka yang selanjutnya diwujudkan dalam sikap diskriminasi. Prasangka biasanya muncul kepada individu atau kelompok individu karena keanggotaannya terhadap kelompok tertentu Baron Birne, 2003; Brown, 2005. Prasangka biasanya melibatkan emosi, keyakinan dan harapan terhadap PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sikap yang dimiliki anggota kelompok tertentu. Pada umumnya, individu atau kelompok individu akan memilih mengikuti pandangan atau norma sosial yang dimiliki sebagian besar masyarakat. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk memiliki pandangannya sendiri dan memilih mengikutinya Baron Birne, 2003. Sama halnya dengan waria yang ingin mempertahankan identitas pribadinya tanpa terpengaruh oleh pandangan masyarakat. Mereka merasa kesulitan untuk mengikuti norma sosial karena akan menyebabkan mereka kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri. Penolakan yang dialami waria dalam masyarakat juga dianggap sebagai suatu pelanggaan HAM terhadap identitas seksual waria. Selain itu, media di Indonesia juga dirasa oleh waria memberikan citra yang salah terhadap kehidupan dan diri mereka. Lebih banyak hal buruk dan pandangan mengenai ‘penyimpangan’ ketika hidup sebagai waria lah yang ditampilkan sehingga mempengaruhi penilaian dan perilaku masyarakat terhadap waria Ida, 2010. Selain itu, waria juga cenderung enggan bergabung dengan masyarakat umum karena pandangan dan sikap masyarakat terhadapnya yang cenderung negatif Sofiyana, 2013. Hal ini terbukti dengan waria yang cenderung mengalami kekerasan verbal, fisik dan psikis baik dari pihak keluarga maupun lingkungan Arfanda Sakaria, 2015. Sikap-sikap yang diterima waria inilah yang membuat mereka cenderung membentuk komunitas dan membangun relasi yang baik dengan sesama waria. Perasaan diterima lebih muncul di dalam komnitas dibandingkan dengan masyarakat yang bersikap diskriminatif karena PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menganggap waria menyimpang dan abnormal. Stigma, prasangka dan diskriminasi yang diarahkan pada kaum LGBT cenderung menimbulkan stres karena adanya minoritas seksual, yang dikenal dengan minority stress Glassgold, J. et al, 2009. Akibatnya, tak jarang mereka mengalami kecemasan, depresi, rendah diri, dan menarik diri dari lingkungan bahkan melakukan bunuh diri Yuliani, 2006. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia WHO terdapat 800 ribu kematian di dunia setiap tahunnya yang disebabkan bunuh diri. Salah satu kelompok yang paling berpotensi melakukan bunuh diri adalah para Lesbian Gay Bisexual dan Transgender LGBT karena adanya tekanan psikis berupa stigma masyarakat. Imamsyah, 2014. Penolakan serta gangguan psikologis yang dialami oleh waria menjadi keprihatinan tersendiri karena mereka juga merupakan manusia yang memiliki hak setara untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan. Ditambah lagi kurang adanya norma tertulis maupun tidak tertulis mengenai hak dan kewajiban waria. Waria juga merupakan individu yang memiliki hak asasi setara dengan individu lain sehingga berhak untuk menerima perlakuan yang adil dalam bernegara dan bermasyarakat Yuliani, 2006.Pandangan lingkungan sosial terhadap waria merupakan hal yang sulit untuk diubah namun kemampuan adaptasi waria lebih dimungkinkan untuk dikaji. Waria membutuhkan kemampuan adaptasi untuk mencapai kebahagiaannya karena setiap individu memiliki keinginan dasar untuk membangun relasi dengan lingkungan sosialnya Batara, 2014. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Penolakan yang dialami waria di lingkungan, tak jarang menyebabkan waria mengalami keterhambatan kesejahteraan hidupnya. Hal ini membuat mereka perlu untuk melakukan adaptasi sehingga membutuhkan kemampuan resiliensi. Resiliensi merupakan salah satu kemampuan yang perlu dimiliki oleh individu, terutama dalam menghadapi suatu masalah. Newman 2005 dalam Rosyani, 2012 menyatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan adaptasi individu saat menghadapi tragedi, trauma, kesulitan, serta stressor dalam kehidupan yang bersifat signifikan. Resiliensi sering dikaitkan dengan menjaga hubungan baik dengan orang lain, memiliki pandangan yang lebih positif terhadap kehidupan serta memiliki tujuan hidup dan berusaha untuk mencapainya. Resiliensi pada dasarnya ada dalam diri setiap individu hanya saja waktu yang diperlukan untuk melewati hal tersebut bersifat individual Poetry, 2013. Semakin terlibat individu dalam satu masalah atau tekanan, maka akan semakin terlihat kemampuan resiliensinya. Individu yang memiliki resiliensi yang baik, cenderung berpikir positif dan menganggap akan ada hal baik yang terjadi selanjutnya sehingga cenderung menyelesaikan masalah yang dialaminya. Artinya, individu yang memiliki resiliensi yang baik akan berhasil menyesuaikan dirinya dengan kondisi lingkungan yang kurang menyenangkan serta tekanan yang dialaminya di dalam kehidupannya dengan lingkungan Desmita, 2005. Waria dianggap perlu memiliki resiliensi untuk melihat bagaimana mereka menyesuaikan diri terhadap ‘kewariaannya’ di tengah banyaknya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI penolakan yang diterima dari lingkungan. Resiliensi diperlukan oleh waria agar waria dapat lebih melihat hal yang positif dari dirinya sendiri dan lingkungan sehingga dapat mengembangkan kemampuan tersebut lewat perilaku yang juga positif. Upaya menyesuaikan diri dengan tekanan dan masalah yang dialami dengan kemampuan resiliensi memiliki beberapa sumber penting. Berdasarkan Gortberg1994, kemampuan resiliensi memiliki tiga sumber, yaitu I Am, I Have dan I Can. Ketiga hal ini menjadi penting karena berkaitan dengan kemampuan intrapersonal, interpersonal dan kemampuan sosial yang dibutuhkan individu dalam hidupnya. Kemampuan resiliensi ini juga diharapkan dapat membantu mengatasi depresi, kecemasan, rendah diri, dan penarikan diri dari lingkungan yang dialami oleh waria. Di Indonesia, waria-waria yang dianggap telah resilien antara lain salah satu artis Indonesia, yakni Dorce yang berani mengakui dirinya dan tetap berkarya. Terlepas dari statusnya sebagai waria, Dorce tetap memiliki kenyamanan akan dirinya sendiri, dapat mengekspresikan diri dan mampu berkarya dalam berbagai bidang yang melibatkan masyarakat umum. Contoh lain adalah dengan didirikannya Pesantren Waria Senin- Kamis di salah satu daerah di Yogyakarta. Pesantren ini oleh pendirinya, Alm. Maryani, selain untuk tujuan keagamaan, juga agar santrinya dapat memiliki kemampuan adaptasi terhadap segala lapisan masyarakat. Ada pula komunitas waria di Yogyakarta, yakni Kebaya yang berfokus pada kesehatan seksual waria. Pendirinya, Mami Vin, sudah diterima oleh masyarakat karena pembawaannya yang mudah bergaul dengan masyarakat sekitar. Dari uraian di atas, yang menjadi perhatian peneliti adalah dinamika proses resiliensi yang dimiliki oleh waria, terutama berkaitan dengan penolakan yang dialaminya di masyarakat. Proses resiliensi terutama dilihat pada waria yang dianggap telah nyaman dengan hidupnya sebagai waria, meskipun mendapat penolakan atau perlakuan negatif dari lingkungan. Menjadi hal yang penting untuk melihat gambaran proses pada waria yang telah memiliki kemampuan resiliensi seperti contoh di atas. Hal ini dianggap mampu memberikan bagaimana mereka berproses sehingga waria lain dapat belajar memiliki kemampuan resiliensi. Belum adanya penelitian yang membahas mengenai resiliensi pada waria juga menjadi hal yang menarik bagi peneliti untuk mengkajinya.

B. Rumusan Masalah