Proses resiliensi waria terhadap penolakan lingkungan.

(1)

PROSES RESILIENSI PADA WARIA TERHADAP PENOLAKAN LINGKUNGAN

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Mariana Aprilia Ina Abon Sogen

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses resiliensi yang dialami oleh kaum waria. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh penolakan oleh masyarakat umum, bahkan dari pihak keluarga kepada para waria.Kaum waria juga berhak memperoleh perlakuan yang lebih positif sebagaimana manusia pada umumnya.Fokus dari penelitian ini adalah melihat bagaimana para waria bereaksi dan memandang perlakuan negatif yang diterimanya dari masyarakat hingga memperoleh kenyamanan hidup seperti sekarang.Penelitian ini menggunakan jenis penelitian metode kualitatif naratif yang merujuk pada alur pengalaman masing-masing partisipan kemudian dianalisis dan dipahami.Partisipan dalam penelitian ini adalah tiga orang waria yang dianggap sudah memiliki ciri-ciri resiliensi oleh komunitas waria di Jogjakarta.Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur dengan validitas hasil penelitian yang menggunakan metode member checking.Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan diri sejak fase awal membuat proses resiliensi partisipan menjadi lebih cepat.Dari tiga partisipan terdapat 2 partisipan yang mengalami hal ini, yakni partisipan 2 dan 3.Berbeda dengan individu yang menolak keadaan diri yang justru merasa tidak nyaman, yang dialami oleh partisipan 1.Setelah menerima diri, barulah partisipan nyaman untuk menampilkan diri sebagai waria dan cenderung dapat mempersiapkan diri terhadap reaksi lingkungan. Pada akhirnya, partisipan akan merasa semakin nyaman, dapat menerima dan berdamai dengan diri serta lebih siap terhadap pandangan lingkungan.


(2)

THE TRANSGENDER RESILIENCE PROCESS ON SOCIAL REJECTION Sanata Dharma University

Mariana Aprilia Ina Abon Sogen

Abstract

This study aims to know transgenders resilience process. This research is motivated by social rejection, even by their family members, to transgenders. The transgender people deserve to treat as human as well. The focus on this research is to see how transgender reacted and thought about negative way other people treat them until they achieved resilience. This study uses narrative qualitative method that refers to participants experiences plot then the data has been analyzed and understood. The participants of this study were three transgenders that other transgenders in Jogjakarta are thought have resilience characteristics. Data were collected by semi structured interview and the result validity is carried out by member checking method. The research showed that self-acceptance made transgender faster in resilience process. Two of the partisipants experience it, i.e the second and third one. Besides, people that refuse made them not comfortable with their self, like partisipant 1. After accepted their self, participants being comfortable to show their self as a transgender and ready with people reaction. Finally, participants will be comfortable, can accepted and make piece with their self as well as ready to how people react to them. Keywords: resilience, social rejection, transgender


(3)

PROSES RESILIENSI WARIA TERHADAP PENOLAKAN LINGKUNGAN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

LOGO

Disusun Oleh:

Mariana Aprilia Ina Abon Sogen

119114062

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA


(4)

(5)

(6)

HALAMAN MOTTO

All people had bad experiences,

But what will we choose


(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas segala berkat dan perlindungan-Nya di dalam proses hidupku

Bapa, Mama, Kak Riko dan Rizki yang selalu mendukung dengan sepenuh hati dalam suka dan duka


(8)

(9)

PROSES RESILIENSI PADA WARIA TERHADAP PENOLAKAN LINGKUNGAN

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Mariana Aprilia Ina Abon Sogen

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses resiliensi yang dialami oleh kaum waria. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh penolakan oleh masyarakat umum, bahkan dari pihak keluarga kepada para waria. Kaum waria juga berhak memperoleh perlakuan yang lebih positif sebagaimana manusia pada umumnya. Fokus dari penelitian ini adalah melihat bagaimana para waria bereaksi dan memandang perlakuan negatif yang diterimanya dari masyarakat hingga memperoleh kenyamanan hidup seperti sekarang. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian metode kualitatif naratif yang merujuk pada alur pengalaman masing-masing partisipan kemudian dianalisis dan dipahami. Partisipan dalam penelitian ini adalah tiga orang waria yang dianggap sudah memiliki ciri-ciri resiliensi oleh komunitas waria di Jogjakarta. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur dengan validitas hasil penelitian yang menggunakan metode member checking. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan diri sejak fase awal membuat proses resiliensi partisipan menjadi lebih cepat.Dari tiga partisipan terdapat 2 partisipan yang mengalami hal ini, yakni partisipan 2 dan 3. Berbeda dengan individu yang menolak keadaan diri yang justru merasa tidak nyaman, yang dialami oleh partisipan 1. Setelah menerima diri, barulah partisipan nyaman untuk menampilkan diri sebagai waria dan cenderung dapat mempersiapkan diri terhadap reaksi lingkungan. Pada akhirnya, partisipan akan merasa semakin nyaman, dapat menerima dan berdamai dengan diri serta lebih siap terhadap pandangan lingkungan.


(10)

THE TRANSGENDER RESILIENCE PROCESS ON SOCIAL REJECTION Sanata Dharma University

Mariana Aprilia Ina Abon Sogen

Abstract

This study aims to know transgenders resilience process. This research is motivated by social rejection, even by their family members, to transgenders. The transgender people deserve to treat as human as well. The focus on this research is to see how transgender reacted and thought about negative way other people treat them until they achieved resilience. This study uses narrative qualitative method that refers to participants experiences plot then the data has been analyzed and understood. The participants of this study were three transgenders that other transgenders in Jogjakarta are thought have resilience characteristics. Data were collected by semi structured interview and the result validity is carried out by member checking method. The research showed that self-acceptance made transgender faster in resilience process. Two of the partisipants experience it, i.e the second and third one. Besides, people that refuse made them not comfortable with their self, like partisipant 1. After accepted their self, participants being comfortable to show their self as a transgender and ready with people reaction. Finally, participants will be comfortable, can accepted and make piece with their self as well as ready to how people react to them.


(11)

(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria dan Bapa di Surga karena atas penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian dengan judul Proses Resiliensi Pada Waria Terhadap Penolakan Lingkungan ini disusun untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi (S.Psi) dari Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam proses pengerjaan penelitian ini, penulis didukung oleh banyak pihak. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi 2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si selaku Kaprodi Fakultas Psikologi

3. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi selaku dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dari awal pengerjaan penelitian ini. Terima kasih atas dukungan dan pengarahannya yang sangat membantu penulis.

4. Jajaran dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang sudah membantu setiap proses yang dijalani penulis dalam kegiatan belajar mengajar. Terima kasih atas ilmu dan bimbingan selama penulis menajdi mahasiswa.

5. Staf dan karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang sangat suportif dalam membantu serta melayani penulis.


(13)

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….. …i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……… ..ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO……….. iv HALAMAN PERSEMBAHAN……….……….. v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. ..vi ABSTRAK………... vii

ABSTRACT……… viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………..... ix

KATA PENGANTAR……….. x

DAFTAR ISI……… xii DAFTAR TABEL………. xvii

DAFTAR SKEMA………... xviii

BAB I. PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Rumusan Masalah………... 8


(15)

D. Manfaat Penelitian………. .8

1. Manfaat Teoritis……… 8

2. Manfaat Praktis………. 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……… . 9

A. Waria………. ..9

1. Pengertian Waria ……….. 9

2. Penyebab Waria……… ..10

a. Biologis………. 10

b. Lingkungan………... 11 3. Ciri-ciri Waria………. 11

B. Penolakan Lingkungan Pada Waria……….. 12

1. Pengertian Penolakan Lingkungan………. 12 2. Penyebab Penolakan Lingkungan……….. .13

a. Nilai Budaya Masyarakat Indonesia………. 13 b. Prasangka……….. 13

3. Bentuk Tindakan Penolakan Lingkungan Pada Waria……… 14 4. Reaksi Waria Terhadap Penolakan Lingkungan………. 15 5. Akibat Penolakan Lingkungan pada Waria………. 15 a. Distress……….. 15

b. Sakit Fisik sebagai Reaksi Psikologis………16 c. Numbness (Mati Rasa)……….. 16 d. Ruang Gerak Sosial Menjadi Terbatas………. 16


(16)

1. Pengertian Resiliensi………... 17

2. Sumber Resiliensi……… 18

a. I am……… 18

b. I have………. 19

c. I can……….. .19

3. Ciri Orang Resilien………. 19

a. Penerimaan Diri……… 20

b. Personal Growth………... 20

c. Memiliki Tujuan Hidup……… .20

d. Environment Mastery……… 21

e. Otonomi……… 21

f. Relasi Positif dengan Orang lain………... 22

4. Proses Resiliensi pada Waria Terhadap Penolakan Lingkungan…… 23

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……… 27

A. Jenis Penelitian………...27

B. Fokus Penelitian……….28

C. Partisipan Penelitian……….. 28

1. Teknik Pemilihan Partisipan………28

2. Karakteristik Partisipan………29

D. Prosedur Penelitian……….29

E. Metode Pengumpulan Data………30

F. Metode Analisis Data………32


(17)

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….. 36

A. Proses Pengambilan Data……….. 36

1. Proses Penelitian………. 36

2. Proses Pengambilan Data……… 37

3. Identitas Partisipan……….. 38

B. Hasil Analisis Data Penelitian ………. 40

1. Partisipan 1………. 40

a. Kategorisasi Data……….. 40

b. Analisis Naratif………. 45 2. Partisipan 2………...50

a. Kategorisasi Data……….. 50

b. Analisis Naratif………. 54

3. Partisipan 3………. .59

a. Kategorisasi Data………...59

b. Analisis Naratif………. 64

4. Proses member checking data partisipan... 68

5. Analisis Naratif Ketiga Partisipan……….. 68

6. Kesimpulan Hasil Proses Resiliensi pada Waria……… 74

7. Pembahasan ……… 74 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………..82

A. Kesimpulan………82


(18)

1. Bagi Waria…….………. 83

2. Bagi Keluarga………. 83

3. Bagi Masyarakat………. 83

4. Bagi Peneliti Lain……… 84

DAFTAR PUSTAKA……….. 85


(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Pedoman Wawancara………. .31

Tabel 2 : Keterangan Koding……… .33

Tabel 3 : Jadwal Pengambilan Data………... 37


(20)

DAFTAR SKEMA

Skema 1 : Kerangka Pikir...……… 26

Skema 2 : Proses Resiliensi Pada Partisipan 1………. 49

Skema 3 : Proses Resiliensi Pada Partisipan 2………. 58

Skema 4 : Proses Resiliensi Pada Partisipan 3………. 67


(21)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum, individu memiliki identitas gender sebagai laki-laki dan perempuan. Individu laki akan mengembangkan kepribadian sebagai laki-laki begitu pula perempuan. Di Indonesia, individu laki-laki-laki-laki yang mengembangkan kepribadian sebagai perempuan umunya dikenal dengan sebutan waria. Dalam psikologi, hal ini disebut dengan transgender atau transseksual. Para transseksual memiliki pemikiran bahwa jiwa mereka terperangkap dalam tubuh yang salah sehingga mengubah penampilan dan perilaku mereka sesuai dengan yang mereka inginkan (Durand & Barlow, 2006).

Identitas gender sebagai waria dapat terbentuk karena faktor biologis maupun lingkungan. Faktor biologis karena adanya hormon testosteron yang tinggi, sedangkan faktor lingkungan karena berlebihnya interaksi dengan figur ibu maupun kurangnya interaksi dengan figur pria pada masa kanak-kanak (Durand & Barlow, 2006).

Waria sering dianggap momok bagi masyarakat karena dianggap tidak berperilaku seperti seharusnya. Waria sering dikucilkan, dihina maupun ditolak dalam lingkungan masyarakat (Santoso, 2007). Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, laki-laki seharusnya mengembangkan peran


(22)

gender maskulin sedangkan perempuan mengembangkan peran gender feminin. Berbeda dengan waria yang memiliki fisik asli laki-laki namun berpenampilan dan berperilaku seperti perempuan. Peran gender inilah yang dianggap akan mempengaruhi bagaimana penilaian dan sikap lingkungan terhadapnya (Helgeson, 2012). Dalam hal ini tentu mempengaruhi interaksi sosial waria dengan masyarakat umum. Kehidupan sosial waria menjadi sangat terbatas karena adanya penolakan seperti dikucilkan dan dilecehkan oleh orang yang dikenal maupun tidak (Putri, 2009; Herdiansyah, 2007; Stotzer, 2009 (dalam Helgeson, 2012)).

Seperti diungkapkan dalam salah satu artikel mengenai kehidupan waria di Indonesia yang selalu dikucilkan oleh masyarakat umum (Setiawan, 2015). Salah satu contoh yang pernah terjadi adalah kasus kekerasan kepada salah satu PSK waria hingga tewas dan bukan satu-satunya kasus yang pernah terjadi (Kurniawan, 2011). Selain itu, terdapat pula gagasan bahwa waria di Indonesia sulit mendapat pekerjaan karena orientasi gender yang mereka pilih belum dapat diterima oleh masyarakat luas (Oetomo, 2015).

Hidup menjadi waria berdampak pada masalah penerimaan sosial, seperti tidak diterimanya waria oleh lingkungan mengingat nilai-nilai agama dan sosial di Indonesia tidak mengizinkan perilaku transeksual. Hal ini dapat mengakibatkan kehidupan sosial para waria menjadi sangat terbatas hingga peluang kerja menjadi sempit (Putri & Sutarmanto, 2007). Waria juga sering dianggap sebagai sampah masyarakat, penjaja seks, dan kurang berpendidikan


(23)

sehingga menimbulkan kurangnya percaya diri waria dalam bermasyarakat (Santoso, 2007).

Di samping itu, waria juga memiliki kesulitan dalam penerimaan diri dan kebingungan identitas. Kebingungan yang umum dialami oleh waria yakni menyangkut dengan keputusan menjadi diri sendiri atau mematuhi norma-norma yang melarang menjadi waria (Putri & Sutarmanto, 2007). Hal ini dapat mendorong terjadinya kecemasan, perasaan tertekan dan ketidakbahagiaan karena adanya inkongruensi antara diri dengan diri ideal ketika menyadari hal tersebut (Feist & Feist, 2010). Namun demikian, ketika menyadari realita bahwadirinya memiliki kecenderungan perempuan, penerimaan diri untuk mengembangkan kepribadian feminin dapat membantu untuk menuju kongruensi.

Para waria mengalami masalah dan tekanan berupa penolakan dari lingkungan sekitar bahkan tak jarang dari pihak keluarga. Di satu sisi, mereka ingin menjalani hidup sesuai dengan keinginannya, yaitu berperilaku seperti wanita. Akan tetapi di sisi lain, mereka juga mengalami konflik dengan tuntutan lingkungan yang menginginkan mereka berperilaku dan berpenampilan seperti laki-laki pada umumnya (Putri & Sutarmanto, 2007). Tindakan masyarakat umum pada keberadaan waria didorong oleh adanya prasangka yang selanjutnya diwujudkan dalam sikap diskriminasi. Prasangka biasanya muncul kepada individu atau kelompok individu karena keanggotaannya terhadap kelompok tertentu (Baron & Birne, 2003; Brown, 2005). Prasangka biasanya melibatkan emosi, keyakinan dan harapan terhadap


(24)

sikap yang dimiliki anggota kelompok tertentu. Pada umumnya, individu atau kelompok individu akan memilih mengikuti pandangan atau norma sosial yang dimiliki sebagian besar masyarakat. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk memiliki pandangannya sendiri dan memilih mengikutinya (Baron & Birne, 2003). Sama halnya dengan waria yang ingin mempertahankan identitas pribadinya tanpa terpengaruh oleh pandangan masyarakat. Mereka merasa kesulitan untuk mengikuti norma sosial karena akan menyebabkan mereka kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri.

Penolakan yang dialami waria dalam masyarakat juga dianggap sebagai suatu pelanggaan HAM terhadap identitas seksual waria. Selain itu, media di Indonesia juga dirasa oleh waria memberikan citra yang salah terhadap kehidupan dan diri mereka. Lebih banyak hal buruk dan pandangan mengenai ‘penyimpangan’ ketika hidup sebagai waria lah yang ditampilkan sehingga mempengaruhi penilaian dan perilaku masyarakat terhadap waria (Ida, 2010). Selain itu, waria juga cenderung enggan bergabung dengan masyarakat umum karena pandangan dan sikap masyarakat terhadapnya yang cenderung negatif (Sofiyana, 2013). Hal ini terbukti dengan waria yang cenderung mengalami kekerasan verbal, fisik dan psikis baik dari pihak keluarga maupun lingkungan (Arfanda & Sakaria, 2015).

Sikap-sikap yang diterima waria inilah yang membuat mereka cenderung membentuk komunitas dan membangun relasi yang baik dengan sesama waria. Perasaan diterima lebih muncul di dalam komnitas dibandingkan dengan masyarakat yang bersikap diskriminatif karena


(25)

menganggap waria menyimpang dan abnormal. Stigma, prasangka dan diskriminasi yang diarahkan pada kaum LGBT cenderung menimbulkan stres karena adanya minoritas seksual, yang dikenal dengan minority stress (Glassgold, J. et al, 2009). Akibatnya, tak jarang mereka mengalami kecemasan, depresi, rendah diri, dan menarik diri dari lingkungan bahkan melakukan bunuh diri (Yuliani, 2006). Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terdapat 800 ribu kematian di dunia setiap tahunnya yang disebabkan bunuh diri. Salah satu kelompok yang paling berpotensi melakukan bunuh diri adalah para Lesbian Gay Bisexual dan Transgender (LGBT) karena adanya tekanan psikis berupa stigma masyarakat. (Imamsyah, 2014).

Penolakan serta gangguan psikologis yang dialami oleh waria menjadi keprihatinan tersendiri karena mereka juga merupakan manusia yang memiliki hak setara untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan. Ditambah lagi kurang adanya norma tertulis maupun tidak tertulis mengenai hak dan kewajiban waria. Waria juga merupakan individu yang memiliki hak asasi setara dengan individu lain sehingga berhak untuk menerima perlakuan yang adil dalam bernegara dan bermasyarakat (Yuliani, 2006).Pandangan lingkungan sosial terhadap waria merupakan hal yang sulit untuk diubah namun kemampuan adaptasi waria lebih dimungkinkan untuk dikaji. Waria membutuhkan kemampuan adaptasi untuk mencapai kebahagiaannya karena setiap individu memiliki keinginan dasar untuk membangun relasi dengan lingkungan sosialnya (Batara, 2014).


(26)

Penolakan yang dialami waria di lingkungan, tak jarang menyebabkan waria mengalami keterhambatan kesejahteraan hidupnya. Hal ini membuat mereka perlu untuk melakukan adaptasi sehingga membutuhkan kemampuan resiliensi. Resiliensi merupakan salah satu kemampuan yang perlu dimiliki oleh individu, terutama dalam menghadapi suatu masalah. Newman (2005) (dalam Rosyani, 2012) menyatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan adaptasi individu saat menghadapi tragedi, trauma, kesulitan, serta stressor dalam kehidupan yang bersifat signifikan.

Resiliensi sering dikaitkan dengan menjaga hubungan baik dengan orang lain, memiliki pandangan yang lebih positif terhadap kehidupan serta memiliki tujuan hidup dan berusaha untuk mencapainya. Resiliensi pada dasarnya ada dalam diri setiap individu hanya saja waktu yang diperlukan untuk melewati hal tersebut bersifat individual (Poetry, 2013). Semakin terlibat individu dalam satu masalah atau tekanan, maka akan semakin terlihat kemampuan resiliensinya.

Individu yang memiliki resiliensi yang baik, cenderung berpikir positif dan menganggap akan ada hal baik yang terjadi selanjutnya sehingga cenderung menyelesaikan masalah yang dialaminya. Artinya, individu yang memiliki resiliensi yang baik akan berhasil menyesuaikan dirinya dengan kondisi lingkungan yang kurang menyenangkan serta tekanan yang dialaminya di dalam kehidupannya dengan lingkungan (Desmita, 2005).

Waria dianggap perlu memiliki resiliensi untuk melihat bagaimana mereka menyesuaikan diri terhadap ‘kewariaannya’ di tengah banyaknya


(27)

penolakan yang diterima dari lingkungan. Resiliensi diperlukan oleh waria agar waria dapat lebih melihat hal yang positif dari dirinya sendiri dan lingkungan sehingga dapat mengembangkan kemampuan tersebut lewat perilaku yang juga positif.

Upaya menyesuaikan diri dengan tekanan dan masalah yang dialami dengan kemampuan resiliensi memiliki beberapa sumber penting. Berdasarkan Gortberg(1994), kemampuan resiliensi memiliki tiga sumber, yaitu I Am, I

Have dan I Can. Ketiga hal ini menjadi penting karena berkaitan dengan

kemampuan intrapersonal, interpersonal dan kemampuan sosial yang dibutuhkan individu dalam hidupnya.

Kemampuan resiliensi ini juga diharapkan dapat membantu mengatasi depresi, kecemasan, rendah diri, dan penarikan diri dari lingkungan yang dialami oleh waria. Di Indonesia, waria-waria yang dianggap telah resilien antara lain salah satu artis Indonesia, yakni Dorce yang berani mengakui dirinya dan tetap berkarya. Terlepas dari statusnya sebagai waria, Dorce tetap memiliki kenyamanan akan dirinya sendiri, dapat mengekspresikan diri dan mampu berkarya dalam berbagai bidang yang melibatkan masyarakat umum. Contoh lain adalah dengan didirikannya Pesantren Waria Senin- Kamis di salah satu daerah di Yogyakarta. Pesantren ini oleh pendirinya, Alm. Maryani, selain untuk tujuan keagamaan, juga agar santrinya dapat memiliki kemampuan adaptasi terhadap segala lapisan masyarakat. Ada pula komunitas waria di Yogyakarta, yakni Kebaya yang berfokus pada kesehatan seksual


(28)

waria. Pendirinya, Mami Vin, sudah diterima oleh masyarakat karena pembawaannya yang mudah bergaul dengan masyarakat sekitar.

Dari uraian di atas, yang menjadi perhatian peneliti adalah dinamika proses resiliensi yang dimiliki oleh waria, terutama berkaitan dengan penolakan yang dialaminya di masyarakat. Proses resiliensi terutama dilihat pada waria yang dianggap telah nyaman dengan hidupnya sebagai waria, meskipun mendapat penolakan atau perlakuan negatif dari lingkungan. Menjadi hal yang penting untuk melihat gambaran proses pada waria yang telah memiliki kemampuan resiliensi seperti contoh di atas. Hal ini dianggap mampu memberikan bagaimana mereka berproses sehingga waria lain dapat belajar memiliki kemampuan resiliensi. Belum adanya penelitian yang membahas mengenai resiliensi pada waria juga menjadi hal yang menarik bagi peneliti untuk mengkajinya.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana proses resiliensi pada waria terhadap penolakan dari masyarakat? C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses resiliensi dalam diri waria ketika mengalami penolakan dari lingkungannya.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan, pengetahuan serta dapat menjadi bahan bacaan dan kajian referensi bagi khalayak yang


(29)

meminati studi psikologi sosial khususnya mengenai dinamika proses resiliensi yang dialami oleh waria.

2. Manfaat Praktis

a. Memberi tambahan pengetahuan bagi para waria mengenai cara mengatasi perasaan diskrimasi di lingkungan.

b. Membuat waria untuk lebih mengenal kemampuan diri yang lebih positif sehingga dapat mengembangkan kemampuan resiliensinya.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Waria

1. Pengertian waria

Helgeson (2012) menyatakan bahwa identitas gender yang dimiliki dirasa tidak sesuai dengan jenis kelamin sehingga mengembangkan kepribadian yang berbeda disebut sebagai transgender atau transseksual. Transgender hanya berpenampilan dan berperilaku sesuai dengan identitas gender yang diyakininya. Namun, transseksual menjalani treatment hormonal atau operasi untuk mengganti kelaminnya agar sesuai dengan identitas gendernya. Dalam DSM – V, transgender diartikan sebagai individu yang untuk sementara atau menetap mengidentifikasi diri sebagai gender yang berbeda dengan jenis kelaminnya. Sedangkan transseksual menunjukkan individu yang sedang atau telah menjalani transisi sosial dari laki-laki ke perempuan atau sebaliknya, yang biasanya, namun tidak semua, melibatkan perubahan somatik berupa treatment hormon dan operasi kelamin. Dalam DSM – V, hal ini digolongkan sebagai gender

dysphoria, yang dianggap lebih dapat mewakili daripada gender identity disorder pada DSM – IV.

Dalam Kamus Psikologi (Kartono & Gulo, 1987), transeksual dijelaskan sebagai individu yang percaya bahwa dia adalah lawan jenis kelamin dan sifat biologis yang dimiliki, yang selanjutnya melakukan pembenahan jenis kelamin. Sama halnya dengan yang diungkapkan


(31)

Supratiknya (1995), transseksual adalah gangguan kelainan yang penderitanya merasa bahwa dirinya terperangkap di dalam tubuh lawan jenis. Terdapat dua kategori transseksual yakni, male-to-female

transsexual dan female-to-male-transsexual. Male-to-female transsexual

adalah individu laki-laki yang merasa bahwa dirinya adalah seorang perempuan yang terperangkap dalam tubuh laki-laki sedangkan

female-to-male-transsexual yakni sebaliknya, merupakan individu perempuan yang

merasa bahwa identitas seksualnya adalah seorang laki-laki (Seligman, Walker & Rosenhan, 2001).

Di Indonesia, jika laki-laki mengembangkan kepribadian feminim, umumnya disebut sebagai waria. Jadi, dapat dikatakan bahwa waria adalah transgender atau transseksual, yang pada dasarnya memiliki jenis kelamin laki-laki namun mengembangkan kepribadian feminin dan berpenampilan layaknya perempuan. Pada umumnya, waria di Indonesia melakukan perubahan fisik berupa suntik hormon namun tidak semua waria melakukan operasi untuk mengubah jenis kelamin mereka.

2. Penyebab Waria

Penelitian menyebutkan bahwa terdapat dua penyebab seseorang menjadi transseksual (Durand & Barlow, 2006):

a. Biologis

Berkaitan dengan identitas seksual, kelebihan hormon testosteron atau estrogen pada masa perkembangan dapat menyebabkan kepribadian maskulin pada perempuan dan feminim pada laki-laki. Hal ini dapat


(32)

terjadi secara natural maupun karena obat-obatan yang dikonsumsi oleh ibu saat hamil.

b. Lingkungan

Faktor lain yang dapat membuat seseorang menjadi transseksual adalah perhatian dan kontak fisik yang berlebih dari ibu, kurang atau tidaknya figur laki-laki sebagai model, serta kurangnya sosialisasi dengan laki-laki pada awal masa perkembangan. Hal lain yang juga mempengaruhi adalah adanya penguatan untuk melakukan

crossdressing. Namun demikian, tidak semua waria menggambarkan

figur ayah sebagai sosok yang pasif, meskipun mereka memiliki perhatian yang berlebih dari ibu mereka(Sue, Sue, Sue, 1986).

3. Ciri- ciri waria

DSM – V menggambarkan individu yang mengalami perbedaan antara identitas gender dengan jenis kelaminnya dengan istilah gender dysphoria, yang dicirikan dengan:

a. Ketidaksesuaian antara identitas gender dengan jenis kelamin

b. Keinginan yang kuat untuk menyingkirkan karakter jenis kelamin awal karena merasa tidak kongruen dengan identitas gender

c. Keinginan kuat terhadap karakteristik identitas gender yang berbeda d. Keinginan yang kuat untuk menjadi identitas gendernya

e. Keinginan kuat untuk diperlakukan sebagai identitas gendernya

f. Pendirian yang kuat bahwa ia memiliki perasaan dan reaksi yang sama dengan identitas gendernya


(33)

Dalam kamus psikologi (Reber & Reber, 2010), transseksual dicirikan sebagai berikut:

a. Rasa tidak nyaman dengan anatomi tubuh yang dimiliki

b. Hasrat mendalam untuk terus-menerus menjadi anggota kelompok jenis kelamin yang berbeda

c. Keinginan untuk mengubah jenis kelamin

d. Tidak terdapat gangguan-gangguan psikologis atau abnormalitas anatomis genetis

B. Penolakan Lingkungan Pada Waria 1. Pengertian Penolakan Lingkungan

Dalam kamus psikologi (Kartono & Gulo, 1987), penolakan diartikan sebagai proses mengeluarkan seseorang atau sesuatu dari perhatian (kasih sayang) seorang lainnya atau pun keadaan yang timbul dari proses tersebut; menganggap seseorang atau sesuatu tidak memiliki arti. Dalam kamus Psikologi (Reber & Reber, 2010), penolakan diartikan sebagai kegagalan atau ketidakmampuan untuk berasimilasi atau menerima. Terdapat sebuah sistem atau struktur yang menyangkal atau gagal memadukan suatu hal. Sama halnya dengan yang dialami oleh waria dengan penolakan yang ditunjukkan oleh lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diartikan bahwa penolakan adalah ketidakmampuan menerima seseorang atau suatu kelompok sehingga dianggap tidak memiliki arti dan disangkal oleh lingkungan sekitarnya.


(34)

2. Penyebab Penolakan Lingkungan a. Nilai Budaya Masyarakat Indonesia

Faktor yang menyebabkan terjadinya penolakan terhadap waria dalam masyarakat adalah nilai budaya yang dianut masyarakat Indonesia bahwa jenis kelamin manusia hanyalah laki-laki dan perempuan, dengan identitas gender maskulin dan feminin. Sehingga waria yang memiliki jenis kelamin laki-laki namun memiliki identitas gender feminin dianggap tidak normal oleh masyarakat. Waria dianggap menyimpang dari nilai agama dan budaya masyarakat umum karena penampilan fisiknya sehingga keberadaannya tidak diakui oleh lingkungannya (Yuliani, 2006).

b. Prasangka

Prasangka diartikan sebagai sikap atau pandangan terhadap individu atau kelompok individu yang terlibat dalam suatu kelompok tertentu. Pada umumnya, prasangka mengarahkan pada tindakan diskriminasi (Baron & Birne, 2004). Waria sering dihubungkan dengan prostitusi, seks bebas, penyakit seksual, sampah masyarakat, dan kurang berpendidikan. Masyarakat cenderung menganggap kaum waria sebagai momok sehingga cenderung mengucilkan dan menunjukkan sikap diskriminatif. Adapula yang menganggap bahwa kecenderungan sebagai waria dapat menular sehingga masyarakat cenderung menarik diri dan takut berdekatan dengan waria (Santoso, 2007; Yuliani, 2006).


(35)

3. Bentuk Tindakan Penolakan Lingkungan Pada Waria

Masyarakat luas menganggap waria sebagai lelucon, rendah dan sering dikaitkan dengan prostitusi. Hal ini memunculkan berbagai tindakan yang mewakili rasa penolakan terhadap waria diantaranya cemoohan, pengucilan, pengucilan hingga kekerasan secara fisik maupun verbal (Isniani, 2010; Herdiyansyah, 2007).

Waria juga pada umumnya diperlakukan diskriminatif dan tidak memperoleh kesetaraan secara hukum dalam hak-hak sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Waria dianggap menyimpang secara budayadan agama karena berperilaku feminine, memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis sehingga dianggap sebagai cacat sosial yang patut dikucilkan dan disingkirkan. Waria juga sering dilecehkan di tempat umum, disingkirkan dari aktivitas sosial, tidak diberi akses untuk mendapatkan fasilitas publik, tidak diakui identitasnya dan menjadi korban tindak kekerasan aparat (Yuliani, 2006). Bahkan waria juga sulit diterima dalam pekerjaan umum karena statusnya sebagai waria sehingga kesempatan kerja baginya sangat terbatas. (Putri & Sutarmanto, 2007; Yuliani, 2006).

Dalam keluarga, waria umumnya ditolak dengan kemarahan dan kesedihan dari orang tuanya karena anaknya dianggap tidak normal. Orang tua cenderung memukul, mengusir dari rumah, atau justru mengabaikan anaknya yang memilih hidup sebagai waria (Atmojo, 1986).


(36)

4. Reaksi Waria Terhadap Penolakan Lingkungan

Dengan adanya penolakan terhadap kehadirannya, waria cenderung mengisolasi diri dan membentuk komunitas sendiri. Hal ini mereka lakukan karena pada saat itulah mereka merasa bahagia dan diakui. Berkaitan dengan penolakan yang dialaminya di keluarga, waria cenderung melarikan diri dari rumah menuju kota-kota besar untuk bergabung dengan rekan senasib (Atmojo, 1986). Waria juga mengalami rasa rendah diri, kecemasan, menarik diri, dan depresi (Yuliani, 2006; Herdiansyah, 2007). Dalam bidang pekerjaan, waria cenderung memilih untuk mempertahankan penampilan fisiknya sebagai waria daripada mengorbankan identitasnya untuk memperoleh pekerjaan formal. Waria memiliki identitas gender yang kuat bahwa dirinya memiliki kepribadian feminin sehingga sulit diubah meskipun dipaksa oleh lingkungannya (Yuliani, 2006).

5. Akibat Penolakan Lingkungan pada Waria a. Distress

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kross, dkk (2011), orang yang ditolak mengalami distress yang kuat terutama jika ditolak oleh orang dengan relasi yang lebih dekat. Waria mengalami berbagai distress berupa kecemasan, depresi, bahkan rendah diri yang mengarahkan pada psikopatologi bahkan keinginan untuk bunuh diri terutama berkaitan dengan penolakan yang diterimanya dari lingkungan.


(37)

b. Sakit fisik sebagai reaksi Psikologis

Individu yang mengalami penolakan dari lingkungan merasakan sakit yang setara dengan sakit secara fisik. Hal ini dikarenakan penolakan dan rasa sakit secara fisik memiliki sistem somatosensori yang sama di area otak sehingga dapat mengarahkan individu memiliki physical pain

disorder (Kross, Berman, Mischel, Smith & Wager, 2011).

c. Numbness (mati rasa)

Dalam hasil penelitian DeWall dan Baumeister (2006), penolakan sosial menyebabkan perubahan yang signifikan dalam pengukuran rasa sakit, yang menyebabkan mati rasa secara emosional pada orang yang ditolak. Individu yang ditolak, mengalami ‘kemacetan’ emosional, yang mengurangi empati mereka terhadap orang lain (Baumeister, DeWall & Vohs, 2009).

d. Ruang gerak sosial menjadi terbatas

Penolakan dalam lingkungan yang dialami oleh wariamerupakan sikap antipati dari masyarakat yang mempengaruhi ruang gerak pergaulan sehari-hari. Tak jarang hal ini membuat lapangan kerja bagi waria menjadi lebih sempit karena pandangan masyarakat umum terhadap waria. (Atmojo, 1986). Selain itu, dengan ditolaknya konstruksi gender waria, mereka dihadapkan pada rumitnya legalitas norma yang berkaitan dengan hak dan kewajibannya. Kesempatan kerja bagi waria pun menjadi sangat terbatas karena sulit ditemukan pekerjaan formal yang mau mempekerjakan waria tanpa memaksanya berpenampilan


(38)

sebagai laki-laki. Bidang kerja yang identik dengan waria adalah bekerja atau membuka salom kecantikan atau menjadi PSK (Putri & Sutarmanto, 2007; Yuliani, 2006).

C. Resiliensi Pada Waria 1. Pengertian Resiliensi

Resiliensi dapat dilihat dalam beberapa perspektif, yaitu perkembangan dan klinis. Dalam perspektif perkembangan, Ann Masten (2001) menyatakan bahwa resiliensi merupakan sekelompok fenomena yang memberikan hasil yang baik meskipun terdapat ancaman dalam adaptasi dan berkembang. Ryff dan Singer (2003) mendefinisikan resiliensi sebagai bentuk pemeliharaan, penyembuhan atau peningkatan dalam kesehatan mental dan fisik dalam menghadapi tantangan. Dalam pandangan klinis, Bonano (2004) menyatakan bahwa resiliensi sebagai kemampuan individu membalikkan keadaan yang dianggap tidak menyenangkan, seperti kematian, kekerasan atau situasi yang mengancam dalam hidup menjadi relatif stabil untuk mempertahankan kesehatan secara psikis maupun psikologis (Baumgardner & Crothers, 2009).

Newman (2005) menyatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan adaptasi individu saat menghadapi tragedi, trauma, kesulitan, serta stressor dalam kehidupan yang bersifat signifikan (dalam Rosyani, 2012). Sama halnya dengan pengertian yang terdapat dalam Oxford

Handbook of Positive Psychology, resiliensi dianggap sebagai adaptasi


(39)

proses dan hasil dari hidup yang sukses selama atau setelah terdapat pengalaman yang dapat mengubah hidup individu. Pendapat lain yang juga mendukung adalah pengertian menurut Masten, Cutuli, Herbers dan Reed (2009), yang menyatakan bahwa resiliensi merupakan sekelompok fenomena yang memiliki pola adaptasi positif dalam keadaan yang malang/sengsara atau beresiko dalm hidupnya (Snyder, Lopez & Pedrotti, 2011). Resiliensi juga dikatakan sebagai kemampuan individu, kelompok atau komunitas untuk mencegah, meminimalkan atau mengatasi efek negatif dari suatu pengalaman negatif (Gortberg, 1996).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk beradaptasi secara positif terhadap suatu pengalaman atau keadaan yang dianggap tidak menyenangkan (traumatis dan sulit) sehingga membantu mempertahankan kesehatan psikis individu. 2. Sumber Resiliensi

Menurut Gortberg (1996) terdapat tiga sumber pembentukan resiliensi, yaitu:

a. I am

Di dalam I am, terdapat beberapa kualitas pribadi yang berasal dari diri sendiri, yakni:

1. Merada disayang dan disukai banyak orang 2. Senang membantu dan peduliterhadap orang lain 3. Bangga pada dirinya sendiri dan orang lain 4. Bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri


(40)

5. Percaya diri, optimis dan penuh harap b. I have

Kualitas pribadi yang dalam kategori ini diperoleh dari luar diri individu, diantaranya:

1. Hubungan yang dilandasi kepercayaan dan cinta secara utuh 2. Terdapat struktur dan peraturan

3. Model untuk mengetahui cara melakukan sesuatu dengan benar 4. Dorongan untuk mandiri dan melakukan sesuatu sendiri

5. Akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan

c. I can

Kategori ini memiliki beberapa kualitas dalam membentuk resiliensi dalam diri individu terutama berkaitan dengan kompetensi sosial dan interpersonalnya, yakni:

1. Berkomunikasi bahkan mengenai masalah yang mengganggu 2. Memecahkan masalah yang dihadapi

3. Mengontrol diri terhadap dorongan yang salah atau berbahaya 4. Mengukur temperamen sendiri dan orang lain

5. Memiliki relasi dengan orang yang dapat membantu ketika dibutuhkan

3. Ciri orang Resilien

Penelitian menunjukkan bahwa terdapat enam dimensi yang dapat dijadikan acuan mengenai respon yang resilien ketika individu mengalami


(41)

kesusahan dan mempertahankan kesehatan mental. (Baumgardner & Crothers, 2009; Schultz, 1991).

Enam dimensi tersebut adalah: a. Penerimaan diri

Penerimaan diri adalah sikap positif terhadap diri sendiri dan menerima diri sebagaimana dirinya sendiri dalam segala hal, baik kekuatan maupun kelemahannya. Orang yang dapat menerima diri, tidak merasa malu atau bersalah terhadap kelemahan yang dimilikinya namun menerima kodrat mereka sebagaimana adanya. Mereka tidak mengubah, memalsukan atau bersembunyi untuk sesuai dengan peranan-peranan sosial.

b. Personal growth

Personal growth merujuk pada perasaan individu terhadap

perkembangan, dan keterbukaan terhadap pengalaman dan tantangan. Dengan terbuka terhadap pengalaman, individu dapat memiliki kepribadian yang fleksibel karena mau membuka diri terhadap persepsi dan ungkapan baru. Hal ini ditunjukkan dengan individu yang bahagia terhadap hidupnya dan belajar hal-hal baru.

c. Memiliki tujuan hidup

Hal ini berkaitan dengan tujuan dan keinginan yang ingin dicapai dalam hidup dan yang mengarahkan hidup individu terhadap masa depannya. Tujuan hidup juga mengarahkan individu terhadap kebahagiaan dan pertumbuhan. Hidup akan lebih bermakna dan


(42)

memiliki tujuan karena dengan begitu, individu merasa bahwa ia memberi perubahan positif terhadap dunia dan hidupnya lebih bermakna secara personal. Tujuan hidup juga berakar dari nilai-nilai yang dianutnya dengan cukup kuat sehingga mengarahkan kehidupan individu kepada tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. d. Environmental mastery

Hal ini merujuk pada kompetensi dan kemampuan untuk mengatur lingkungan untuk membuat dirinya nyaman dengan lingkungan yang dihadapinya hari ini. Individu dapat memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang diperolehnya dari lingkungan secara efektif. Ia juga dapat memilih konteks dalam lingkungan yang sesuai dengan nilai dan kebutuhannya. Dengan kata lain, individu yang memiliki

environmental mastery dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan,

tanpa kehilangan identitas dan nilai yang dianutnya. e. Otonomi

Otonomi mengarah pada individu yang memiliki inisiatif,

self-direction, dan mandiri. Mereka memiliki aturan dalam dirinya yang

mengarahkan hidupnya dari dampak negatif yang ada di lingkungan. Dengan kata lain, mereka menjadi dirinya sendiri dan mengikuti nilai yang dianutnya. Orang yang memiliki kemampuan otonomi, tidak menganggap ‘tanpa orang lain’ sebagai malapetaka atau sesuatu yang mengancam. Mereka tetap dapat berfungsi dengan baik terhadap lingkungan secara independen.


(43)

f. Relasi positif dengan orang lain

Orang yang memiliki relasi yang positif dengan orang lain, memiliki interaksi yang baik, hangat, dan percaya terhadap orang lain serta mampu untuk berempati dan menjalin relasi yang intim. Mereka cenderung memiliki sikap persaudaraan terhadap individu lain. Mereka juga dapat membangun relasi yang lebih intim namun dengan jumlah yang relatif sedikit karena cenderung membangun persahabatan dan cinta yang lebih dalam.

4. Proses Resiliensi pada Waria terhadap Penolakan Lingkungan

Sebagaimana individu pada umumnya, waria memiliki keinginan untuk dapat diakui keberadaannya oleh masyarakat umum. Namun demikian, yang sering diterima oleh waria adalah penolakan berupa cemoohan, pengucilan bahkan tak jarang kekerasan verbal maupun fisik. Penolakan yang dialami oleh para waria ini tentunya akan mempengaruhi kondisi psikologis waria yang umumnya berupa distress. Dalam menghadapi bentuk penolakan dari lingkungan, waria umumnya mengalami kecemasan, penarikan diri, rendah diri, depresi bahkan keinginan untuk bunuh diri. Tidak hanya secara psikologis, penolakan yang dialami waria membuat komunikasi sosialnya menjadi terbatas (Yuliani, 2006; Herdiansyah, 2007).

Selama mengalami penolakan dari masyarakat, waria membutuhkan kemampuan adaptasi dengan lingkungannya. Dalam hal ini, kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan resiliensi. Resiliensi


(44)

merupakan kemampuan individu untuk beradaptasi secara positif terhadap suatu pengalaman atau keadaan yang dianggap tidak menyenangkan (traumatis dan sulit). Dalam diri waria, masalah yang sering dihadapi adalah penolakan dalam masyarakat. Kemampuan ini dibutuhkan agar waria dapat melihat hal-hal positif dalam dirinya sendiri, terlepas dari penilaian negatif yang diberikan lingkungan terhadapnya.

Dalam prosesnya mengembangkan kemampuan resiliensi, waria dapat melakukannya dengan melihat kualitas pribadi yang positif, baik yang bersumber dari dalam dirinya sendiri maupun yang diperolehnya dari lingkungan. Kualitas pribadi positif yang bersumber dari diri sendiri terutama berkaitan dengan penilaian yang positif terhadap diri sendiri. Perasaan tersebut antara lain rasa bangga, perasaan dicintai dan mencintai, bertanggung jawab, percaya diri dan peduli terhadap orang lain. Ketika dapat menyadari kemampuan-kemampuan tersebut, individu cenderung akan merasa bahwa dirinya berarti dan tidak lagi memandang rendah dirinya. Kualitas lain dalam proses waria mengembangkan kemampuan resilien dapat pula bersumber dari orang lain, yakni adanya hubungan yang dilandasi kepercayaan, terdapat struktur dan aturan yang mengontrol tindakannya, serta dorongan untuk mandiri. Ada pula kualitas yang berkaitan dengan kompetensi sosial dan interpersonal, yakni kemampuan berkomunikasi, memecahkan masalah, mengelola dan mengukur perasaan serta temperamen diri dan orang lain, serta menjalin hubungan dengan orang yang dipercaya dapat membantunya ketika dibutuhkan. Kualitas


(45)

yang baik dalam suatu relasi juga membuat waria cenderunf mau membaur dengan masyarakat umum karena memiliki landasan rasa aman dalam dirinya.

Dalam prosesnya memperoleh kemampuan resiliensi, tidak menutup kemungkinan bahwa waria memiliki lingkungan yang suportif sehingga membantunya mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya, ketika ditolak oleh keluarga, waria cenderung bergabung dengan komunitas waria sehingga merasa keberadaannya diakui. Semakin memiliki lingkungan yang suportif, waria dapat lebih mengembangkan kemampuan positif dalam diri. Dukungan sosial dirasa sebagai salah satu factor yang dapat membantu waria untuk lebih percaya diri dalam lingkungan sosialnya.

Individu dengan kemampuan resiliensi yang baik, pada umumnya memiliki penerimaan diri, personal growth, memiliki tujuan hidup, otonomi, kemampuan untuk membuat dirinya merasa nyaman dengan lingkungan, serta relasi yang positif dengan orang lain. Dengan memiliki kemampuan resiliensi, waria dapat mengembangkan sikap yang lebih positif terhadap dirinya maupun orang lain.

Kemampuan-kemampuan yang ada pada orang resilien tersebut diperoleh dalam proses hidupnya ketika mendapat pengalaman buruk atau traumatin. Dalam hal ini, waria dengan oengalaman mendapat penolakan dari lingkungan. Ketika dapat menerima diri, waria cenderung nyaman untuk berbaur dengan lingkungan sekitar. Hal ini juga dapat mendorong


(46)

waria untuk dapat membangun relasi yang positif. Berbeda dengan waria yang menolak kondisi diri yang cenderung akan bersembunyi karena takut akan pandangan dan penilaian masyarakat umum. Waria yang resilien cenderung dapat menerima pengalaman-pengalaman, yang buruk sekalipun, karena dianggap sebagai resiko terhadap pilihan-pilihan hidupnya. Selain itu, waria yang resilien juga mandiri dan memiliki tujuan yang positif dan berakar pada nilai-nilai hidupnya dan mengarah pada kebahagiaan. Hal ini tentunya dapat dikatakan menjadi pegangan untuk para waria dalam mencapai resiliensi dan tetap memperoleh kenyamanan dalam hidupnya meskipun terdapat penolakan dari lingkungan.

Penelitian ini menggunakan metode naratif dengan tujuan agar dapat memberikan keteraturan dari pengalaman-pengalaman yang dituturkan oleh partisipan sehingga dapat memperoleh makna dari cerita partisipan tersebut (Smith, 2008). Selain itu, menurut Ricoeur (1984) (dalam Smith, 2008), menegaskan bahwa penelitian naratif dapat membantu membuat koneksi antara awal hingga akhir, dengan membuat keteraturan (order), partisipan tidak dapat langsung menuju pada akhir cerita.


(47)

Skema 1. Kerangka Pikir Proses Resiliensi pada Waria Terhadap Penolakan Lingkungan

WARIA

Penolakan dan diskriminasi dari lingkungan karena dianggap abnormal

Mengalami rendah diri, penarikan diri, kecemasan, depresi bahkan bunuh diri. Relasi dan komunikasi sosial menjadi terbatas

Mengatasi dengan kualitas pribadi yang positif, yakni: - Menerima diri

- Personal growth

- Memiliki tujuan hidup - Otonomi

- Nyaman dengan lingkungan - Relasi positif dengan orang lain


(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai metode penelitian yang hasilnya tidak ditemukan dengan prosedur statistik. Menurut Flick (2002), penelitian kualitatif adalah keterkaitan spesifik pada studi hubungan sosial yang berhubungan dengan fakta dari pluralisasi dunia kehidupan dengan partisipan dan objek penelitian tampil secara apa adanya. Di samping itu, Creswell (2005) menjelaskan bahwa pendekatan ini bersifat perpektif konstruktif, yaitu membangun pernyataan mengenai makna yang bersumber dari pengalaman dan nilai –nilai individu. Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif didefinisikan sebagai suatu proses untuk memahami masalah-masalah individu maupun sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari partisipan dan dilakukan dalam seting alamiah (dalam Creswell, 2014).

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian naratif. Dalam penelitian naratif selalu dimulai dengan pengalaman yang diekspresikan dalam cerita yang disampaikan oleh partisipan, lalu dianalisis dan dipahami oleh peneliti. Czarniawska (2004) mendeskripsikan penelitian naratif sebagai tipe desain kualitatif yang spesifik yang narasinya dipahami sebagai teks yang dituturkan atau dituliskan dengan menceritakan tentang peristiwa atau rangkaian


(49)

peristiwa yang terhubung secara kronologis. Prosedur dalam pelaksanaan jenis penelitian ini adalah menfokuskan pengkajian terhadap satu atau dua individu, pengumpulan data melalui cerita, pelaporan pengalaman individual, dan penyusunan kronologis atas makna dari pengalaman tersebut (dalam Creswell, 2014). Penelitian naratif yang diungkapkan oleh Murray (1999) dan Sarbin (1986), dianggap sebagai interpretasi terorganisir dalam rangkaian kejadian dan memiliki peran sebab akibat. Dalam penelitian naratif, komponen umum yang dimiliki, yaitu awal, tengah dan akhir. Mc Adams (1985) mengatakan bahwa terdapat 3 bentuk naratif, yakni imagery, theme dan ideology (dalam Smith, 2008). Penelitan ini digunakan agak dapat mengkaji suatu pengalaman partisipan secara kronologis dan menemukan makna dari pengalaman tersebut. B. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada penggambaran proses resiliensi pada waria terhadap penolakan lingkungan. Untuk mengetahui hal tersebut, peneliti menguraikan menjadi dua bagian, yaitu resiliensi pada waria dan penolakan lingkungan yang dialaminya.

C. Partisipan Penelitian

1. Teknik Pemilihan Partisipan

Pemilihan partisipan dilakukan dengan menggunakan Purposive Sampling

Technic. Purposive Sampling Technic dipilih dengan asumsi bahwa

peneliti ingin memperoleh dan memahami data yang diperoleh dari sampel yang paling dapat dipelajari. Menurut LeCompte dan Preissle (1993),


(50)

Purposive Sampling ditentukan berdasarkan kriteria tertentu yang esensial

dalam menentukan partisipan penelitian (Merriam, 2009). 2. Karakteristik Partisipan

Dalam penelitian ini, yang menjadi partisipan penelitian adalah waria. Kategori waria yang menjadi partisipan adalah waria yang dianggap telah memiliki kemampuan resiliensi berkaitan dengan pengalamannya ditolak oleh lingkungan.Partisipan penelitian dipilih berdasarkan penilaian dari komunitas mengenai waria yang dianggap paling memiliki ciri-ciri resiliensi.

D. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti dalam pelaksanaan penelitian ini. Tahapan tersebut antara lain:

1. Mengumpulkan kajian literatur yang berkaitan dengan data penelitian, yakni waria, penolakan lingkungan dan resiliensi. Data yang dikumpulkan diperoleh dari buku, jurnal, artikel serta infomasi lain yang berkaitan dari internet.

2. Peneliti menentukan karakteristik partisipan dan menentukan sampel yang akan menjadi partisipan.

3. Peneliti bertemu dan membangun rapport dengan partisipan. Selain itu, juga ditanyakan mengenai kesediaan menjadi partisipan dalam penelitian ini.

4. Menyusun pertanyaan yang akan dijadikan sebagai panduan untuk melakukan wawancara.


(51)

5. Sebelum melakukan wawancara, peneliti juga terlebih dahulu meminta kesediaan menjadi partisipan penelitian dengan menandatangani inform

consent yang berisi proses pengambilan data, serta akibat dan hak-hak

yang diperoleh partisipan ketika melakukan proses wawancara.

6. Menghubungi partisipan untuk membuat kesepakatan mengenai waktu dan tempat wawancara.

7. Setelah proses wawancara, hasil wawancara dibuat menjadi data verbatim oleh peneliti yang diperoleh dengan bantuan sound recorder. Hasil verbatim juga diberikan keterangan kode-kode.

8. Melakukan analisis sesuai dengan metode yang sudah ditentukan. Tahap ini juga diawasi dan dikoreksi oleh dosen pembimbing sehingga tercapai maksud dan tujuan penelitian.

9. Hasil data yang sudah dikonsultasikan kemudian ditarik kesimpulannya sehingga diperoleh saran bagi waria, masyarakat dan peneliti lain.

E. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara. Menutur Kerlinger (1986), wawancara merupakan situasi antarpribadi berhadapan muka ketika seseorang mengajukan pertanyaan yang dirancang kepada seseorang yang diwawancarai untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian. Hal ini juga didukung dengan pernyataan Banister, dkk dalam Poerwandari, (1998), yang menyatakan bahwa wawancara merupakan percakapan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yakni pengetahuan mengenai


(52)

makna-makna cerita dari partisipan penelitian. Lincoln dan Guba (1985) menyatakan bahwa wawancara merupakan aktivitas untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan dan kepedulian individu dengan memperoleh dan memverifikasi informasi dari orang lain melalui sebuah percakapan (Moleong, 2009).

Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara ini bersifat lebih bebas dan fleksibel tetapi tidak menyimpang dari tujuan wawancara yang telah ditetapkan. Meskipun muatan, runtutan dan rumusan pernyataan terserah pada pewawancara namun pertanyaan yang diajukan didasarkan pada tujuan penelitian. Menurut Robinson (2000), wawancara semi berstruktur dengan suatu tujuan, biasanya mengutamakan perekaman dan data verbatim, dan penggunaan pedoman wawancara yang tidak kaku (Gunawan, 2013). Dalam pelaksanaan wawancara, juga digunakan alat bantu, yakni alat perekam, filling note dan pedoman pertanyaan untuk wawancara.

Tabel 1. Pedoman wawancara

Pertanyaan - Pengalaman penolakan lingkungan

 Bagaimana pengalaman penolakan yang pernah dialami?

 Bagaimana reaksi terhadap penolakan tersebut?

 Bagaimana perasaan ketika menghadapi penolakan tersebut? - Pandangan terhadap diri waria


(53)

 Bagaimana proses mencapai kenyamanan terhadap diri?

F. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan suatu kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokan, memberi kode atau tanda, dan mengategorikan sehingga diperoleh temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab sehingga data dapat dipahami. Dalam penelitian kualitatif, analisis yang digunakan adalah model analisis tematik. Analisis ini mencoba mengumpulkan tema, fokus budaya, nilai dan simbol-simbol budaya yang ada pada suatu cakupan penelitian. Rahardjo (2010) juga menjelaskan bahwa analisis ini berusaha menemukan hubungan-hubungan yang terdapat dalam cakupan penelitian sehingga membentuk satu kesatuan sehingga menampilkan tema yang dominan dan yang kurang dominan (Gunawan, 2013).

Terdapat langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data (Creswell, 2014), yakni:

1. Mengolah dan mempersiapkan data

Data yang akan dianalisis berupa membuat transkip wawancara dan mengetik data lapangan. Data tersebut dipilah dan disusun menjadi jenis-jenis yang berbeda, tergantung pada sumber informasinya.

2. Membaca keseluruhan data

Langkah yang dilakukan adalah melihat makna umum yang terdapat dalam data yang telah ditemukan. Peneliti juga dapat membuat catatan-catatan khusus atau gagasan umum mengenai data yang diperoleh.


(54)

3. Menganalisis lebih detail dengan mengkoding data

Menurut Rossman dan Rallis (1998), koding merupakan proses mengolah data menjadi bagian-bagian tulisan sebelum memaknainya. Data yang ada dikumpulkan hingga selanjutnya dikategorikan menggunakan istilah-istilah khusus yang sering kali berasal dari bahasa yang digunakan oleh partisipan.

Tabel 2. Keterangan Koding

Kode Keterangan A

- A1

- A2

- A3

Penerimaan diri

- Menerima kelebihan dan kelemahan diri - Menerima kodratnya

- Tidak mengubah atau bersembunyi untuk sesuai dengan peranan social

B - B1

- B2

Personal Growth

- Terbuka terhadap pengalaman - Mau belajar hal-hal baru C

- C1

- C2

- C3

Tujuan hidup

- Memiliki tujuan yang ingin dicapai - Tujuan mengarah pada kebahagiaan - Tujuan hidup berakar dari nilai diri D

- D1

- D2

Environmental mastery

- Nyaman terhadap lingkungan


(55)

E - E1

- E2

Otonomi - Mandiri - Inisiatif F

- F1

- F2

- F3

Relasi positif dengan orang lain

- Interaksi yang hangat dan baik dengan orang lain - Mampu percaya dengan orang lain

- Mampu berempati dan menjalin relasi 4. Mendeskripsikan data dengan proses koding

Dalam proses deskripsi, perlu disampaikan informasi secara detail mengenai orang, lokasi, atau peristiwa dalam seting tertentu. Kode dapat dibuat dalam mendeskripsikan semua informasi, lalu dilakukan analisis. Selanjutnya membuat beberapa tema atau kategori dengan menggunakan proses koding. Tema-tema yang dihasilkan ini akan menjadi hasil utama dalam penelitian kualitatif dan dapat pula digunakan sebagai judul dalam bagian hasil penelitian. Untuk memperkuat hasil, tema-tema ini dapat didukung dengan kutipan dengan tujuan menampilkan perpektif terbuka untuk dikaji ulang.

5. Menyajikan kembali deskripsi dan tema-tema dalam narasi/laporan kualitatif

Analisis dengan pendekatan naratif biasanya meliputi pembahasan mengenai kronologi peristiwa, tema-tema tertentu, atau tentang hubungan antar tema. Penyajian pembahasan juga dapat dilakukan dengan visual, gambar atau tabel.


(56)

6. Menginterpretasi atau memaknai data

Peneliti dapat mengambil makna dari data yang telah diperoleh dengan berpegangan pada kebudayaan, sejarah dan pengalamannya. Interpretasi makna juga dapat berasal dari perbandingan antara hasil penelitian dengan informasi yang berasal dari literatur atau teori. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah hasil penelitian membenarkan, menyangkal informasi sebelumnya atau bahkan memunculkan pertanyaan baru berdasarkan data dan analisis.

G. Keabsahan Data

Keabsahan data dilihat dengan menggunakan member checking method. Metode ini dilakukan untuk melihat kesesuaian analisis data yang dilakukan peneliti dengan maksud dari partisipan dalam wawancara. Data yang diberikan kepada partisipan bukanlah data mentah, melainkan data hasil yang telah dianalisis, seperti tema dan hasil deskriptif. Dalam prosedurnya jug adapat dilaksanakan wawancara follow up maupun memberikan kesempatan bagi partisipan untuk memberikan komentar mengenai hasil temuan (Creswell, 2014).


(57)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Proses Pengambilan Data 1. Proses Penelitian

Dalam penelitian ini, partisipan yang terlibat adalah tiga orang waria yang telah dianggap resilien terhadap penolakan lingkungan. Sebelum melakukan proses pengambilan data, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian ini. Peneliti juga menanyakan mengenai kesediaan menjadi partisipan dengan memberikan lembar persetujuan (inform consent) secara tertulis yang disetujui oleh partisipan. Setelah para partisipan menyatakan kesediaannya untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini, maka peneliti membuat janji untuk selanjutnya melakukan wawancara. Hasil wawancara direkam dengan menggunakan voice recorder melalui handphone peneliti, setelah sebelumnya telah memperoleh persetujuan dari partisipan.

Hasil wawancara didengar kembali oleh peneliti untuk selanjutnya dibuat dalam bentuk verbatim. Hal ini bertujuan agar data yang diperoleh tidak berubah dan dapat di cross-check sesuai dengan maksud partisipan.

Peneliti kemudian mencari makna dari tabel hasil verbatim sesuai dengan ciri orang resilien dari partisipan. Makna tersebut kemudian


(58)

dibahas dan disimpulkan oleh peneliti sehingga memperoleh hasil proses resiliensi pada diri para partisipan.

2. Proses Pengambilan Data

Proses pengambilan data dilakukan secara individual dengan waktu dan tempat yang telah disepakati oleh peneliti dan partisipan. Hal ini menyebabkan waktu dan tempat pengambilan data berbeda sesuai dengan masing-masing partisipan. Sebelum melakukan wawancara, peneliti menjelaskan kembali mengenai kesediaan partisipan melakukan wawancara dan penggunaan alat perekam selama proses wawancara. Setelah partisipan menyetujui hal tersebut, proses wawancara pun dimulai.

Tabel 4. Jadwal Pengambilan Data

No Partisipan Hari, tanggal, jam Tempat 1 Bu Shinta Ratri Senin, 7 Desember

2015, 15.12 – 15.48 WIB

Pondok Pesantren Waria

2 Mami Vinolia Wakijo

Rabu, 9 Desember 2015, 15.05 – 15.52 WIB

Yayasan Kebaya

3 Mami Rully Mallay

Jumat, 11 Desember 2015, 18.15 – 19.23 WIB


(59)

3. Identitas Partisipan

a. Data Demografis Partisipan

Tabel 4. Identitas Partisipan

Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3 Nama Bu Shinta Ratri Mami Vinolia

Wakijo

Mami Rully Mallay

Tanggal lahir

Bantul, 15 Oktober 1962

Yogyakarta, 9 Mei 1958

Bala Sampori, 24 Maret 1961

Usia 53 57 54

Pendidikan terakhir

S1 SMA S1

Pekerjaan Wirausaha / Ketua PonPes Waria Al Fatah

Swasta /

Direktur LSM Kebaya

Pengamen / Staf Yayasan

Kebaya

b. Latar Belakang Partisipan

Partisipan 1 merupakan waria berusia 53 tahun. Partisipan menyatakan diri sebagai waria sejak usia 13 tahun, ketika duduk di bangku SMP. Partisipan menyadari ketika menyukai untuk berpakaian dan berpenampilan seperti perempuan sejak kecil. Selain itu, partisipan juga mulai memiliki ketertarikan seksual terhadap laki-laki. Partisipan juga melakukan intervensi fisik berupa terapi hormon dan implan payudara saat usianya menginjak


(60)

sekitar 20 tahun. Partisipan terbuka menampilkan diri namun sempat mengalami penolakan dari orang tua tentang jati dirinya. Hal ini dibuktikan dengan sikap orang tua partisipan yang menyuruh partisipan untuk berperilaku layaknya laki-laki pada umumnya. Berbeda dengan keluarga, lingkungan sekitar tempat tinggalnyamemberi pandangan yang lebih baik. Partisipan juga merupakan pemimpin Pondok Pesantren Waria Al Fatah di Yogyakarta.

Partisipan 2 adalah seorang waria yang menjabat sebagai direktur LSM Kebaya. Partisipan mulai menyadari diri sebagai waria sejak kecil karena lebih suka bermain permainan perempuan dan bergaul dengan teman perempuan. Partisipan juga memiliki ketertarikan pada laki-laki pada masa remaja. Meskipun terdapat beberapa orang yang mengejek dan melecehkan, partisipan tetap mempertahankan identitas seksualnya sebagai waria. Penolakan yang paling besar terlihat dari perlakuan saudara partisipan yang kasar sehingga partisipan memilih untuk tinggal di jalan dan menjadi pekerja seks waria. Hingga akhirnya partisipan memiliki kepedulian terhadap komunitas waria, terutama berkaitan dengan potensi tersebarnya HIV di kaum waria. Partisipan pun akhirnya belajar dan membentuk LSM Kebaya.

Partisipan ke tiga merupakan waria 54 tahun yang menyatakan diri sebagai waria sejak kecil (TK). Partisipan merasa


(61)

menerima penguatan dari orang tua karena ibu partisipan justru memberi penjelasan bahwa dirinya berbeda. Partisipan berperilaku seperti perempuan, namun mulai berpenampilan layaknya perempuan sejak menjadi guru Sekolah Dasar. Partisipan tidak melakukan intervensi fisik apapun untuk terlihat seperti perempuan, namun berpakaian dan berpenampilan seperti perempuan. Sebelumnya partisipan beberapa kali berpindah pekerjaan hingga akhirnya merasa lebih nyaman untuk mengamen dan bergabung dengan komunitas waria.

B. Hasil Analisis Data Penelitian 1. Partisipan 1

a. Kategorisasi Data

a.1 Awalnya menyadari diri sebagai waria No. Baris Kata Kunci

6 – 12 Lebih banyak berperilaku dan mulai berpenampilan seperti perempuan

Awal partisipan menyadari diri sebagai waria ketika dirinya lebih banyak berperilaku seperti perempuan dibandingkan dengan kondisi fisiknya, yakni laki-laki.

a.2 Perasaan terhadap diri sendiri No. Baris Kata Kunci


(62)

26 – 27 Tidak bisa menjadi laki-laki meskipun dipaksa

Partisipan meyakini bahwa dirinya sebagai waria merupakan kodratnya sehingga tidak merasa nyaman ketika menjadi laki-laki.

a.3 Reaksi terhadap diri sendiri No. Baris Kata Kunci

59 – 62 65 – 67

68 – 71

Ingin menolak keadaan sebagai waria

Mempertimbangkan norma di masyarakat bahwa jenis kelamin yang ada hanyalah laki-laki dan perempuan Ingin mengikuti norma dengan belajar menjadi seperti laki-laki pada umumnya

Pada awalnya partisipan memandang untuk hidup sesuai norma dan berperilaku sesuai dengan jenis kelaminnya, yaitu laki-laki

a.4 Reaksi yang diterima dari lingkungan di masa awal No. Baris Kata Kunci

10 – 13

13 – 17

31 – 36

Penolakan dari orang tua, terutama ketika berpenampilan seperti perempuan

Mendapatkan penerimaan dari masyarakat di lingkungan tempat tinggal

Melarang penampilan seperti perempuan dan orang tua menyuruh untuk berpenampilan dan berperilaku seperti laki-laki


(63)

Partisipan memperoleh reaksi yang berbeda-beda, yakni ditolak oleh keluarga namun diterima oleh lingkungan sekitar tempat tinggal.

a.5 Tanggapan terhadap reaksi lingkungan No. Baris Kata Kunci

20 – 28

37 – 41

41 – 42

Mencoba menjelaskan kepada orang tua bahwa hidup sebagai waria sudah merupakan kodratnya sehingga tidak bisa dipaksa menjadi laki-laki

Mengikuti larangan orang tua untuk membuktikan bahwa dirinya tidak mengada-ngada

Tidak berlangsung lama karena bukan dirinya sendiri Partisipan menanggapi reaksi keluarga dengan mencoba menjelaskan keadaan diri dan mengikuti larangan, namun merasa tidak nyaman

a.6 Cara menampilkan diri kepada lingkungan ketika dewasa No. Baris Kata Kunci

98 – 106 109 – 115

Berpenampilan seperti perempuan sepulang sekolah Merasa bebas mengekspresikan diri sebagai waria setelah bebas dari seragam dan berpenampilan utuh sebagai waria


(64)

Partisipan menampilkan diri sebagai waria dengan mulai berpenampilan dan berperilaku seperti perempuan

a.7 Reaksi yang diterima dari lingkungan No. Baris Kata Kunci

117 – 123

129 – 131 136 – 139 140 – 142

Memperoleh pengertian dari keluarga tentang dirinya sebagai waria

Memperoleh penerimaan dari lingkungan sekitar Tidak ada penolakan di ruang publik

Mendapatkan reaksi yang kurang menyenangkan dari lingkungan kampus

Partisipan mulai memperoleh pengertian dari keluarga dan lingkungan, namun terdapat penolakan dari lingkungan kampus

a.8 Tanggapan terhadap reaksi lingkungan No. Baris Kata Kunci

145 – 148

156 – 163

Mempersiapkan diri menghadapi reaksi lingkungan di kampus

Biasa saja menghadapinya karena telah mempersiapkan diri

Partisipan menanggapi reaksi lingkungan dengan biasa saja karena telah mempersiapkan diri


(65)

a.9 Reaksi yang diterima di lingkungan sekarang No. Baris Kata Kunci

212 – 219

231 – 234 244 – 246

Masih ada konotasi negatif terhadap komunitas waria sehingga ingin memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa waria juga identitas seksual

Penerimaan dari keluarga dan lingkungan sekitar Komunitas waria juga sudah mulai diterima di pemerintahan

Saat ini, lebih banyak memperoleh penerimaan dari keluarga, lingkungan dan pemerintah, namun konotasi negatif terhadap komunitas waria terus ada

a.10 Pandangan terhadap diri sendiri sekarang No. Baris Kata Kunci

226 - 227 236 – 237 242 – 243

Hidup sebagai waria bukanlah dosa

Hidup sebagai waria sudah merupakan kodratnya Harus dijalani karena merupakan bagian dari diri Partisipan memandang diri bahwa hidup sebagai waria sudah merupakan kodratnya dan bukanlah dosa sehingga harus dijalani

a.11 Perasaan terhadap diri sendiri No. Baris Kata Kunci


(66)

Saat ini, partisipan merasa lebih nyaman dan tentram dengan dirinya

a.12 Proses mencapai kenyamanan diri No. Baris Kata Kunci

257 – 258 264 – 282

Berdamai dengan diri sendiri dan kewariaan

Menjalani hidup sebagai waria karena sudah bagian dari dalam diri

Tidak berdosa secara agama, ketika hidup sebagai waria sehingga merasa dikuatkan dan lebih tentram Kenyamanan dalam diri, partisipan peroleh ketika telah menerima diri dan menjalani hidupnya tanpa beban

b. Analisis Naratif i. Awal

Proses resiliensi partisipan dalam menjalani hidup sebagai waria dimulai dengan partisipan yang menyadari diri bahwa dirinya merupakan seorang waria ketika menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama. Partisipan mulai berperilaku dan berpenampilan layaknya perempuan. Dalam prosesnya, partisipan memperoleh penolakan, terutama dari lingkungan keluarga yang ingin partisipan berperilaku layaknya laki-laki pada umumnya. Awalnya partisipan mengikuti saran tersebut


(67)

karena merasa dapat memperbaiki keadaan dirinya dengan dapat berperilaku seperti laki-laki. Pada saat itupun partisipan memiliki keinginan untuk menolak keadaa dirinya karena merasa tidak sesuai dengan norma umum yang berlaku di masyarakat. Namun hal ini justru membuat partisipan tidak dapat menjadi diri sendiri dan memperoleh kasadaran bahwa hidup sebagai waria merupakan kodratnya. Partisipan kemudian memberikan penjelasan kepada lingkungan agar lebih diterima karena merasa bahwa dirinya tidak bisa menjadi laki-laki. Partisipan tetap menampilkan dan menerima diri seperti apa adanya dan seperti yang diyakininya, yakni sebagai seorang waria. Partisipan mempertahankan nilai dan identitas diri terlepas dari pandangan sosial sehingga merasa nyaman dengan diri sendiri.

ii. Tengah

Partisipan pun menampilkan diri sebagai waria dan bebas mengekspresikan diri sehingga memperoleh penerimaan dari orang tua dan lingkungan sekitar. Dalam menghadapi lingkungan baru, partisipan selalu mempersiapkan diri terhadap reaksi yang akan diterimanya. Partisipan tetap mencoba beradaptasi karena penerimaan tidak dapat diperoleh dengan serta merta. Ketika ada reaksi negatif lain yang partisipan terima, hal itu dianggap biasa saja oleh partisipan karena telah


(68)

adanya penerimaan terhadap diri sendiri, penerimaan dari lingkungan serta partisipanyang telah mempersiapkan diri. iii. Akhir

Perasaan penerimaan diri dapat partisipan pertahankan hingga sekarang dan ada keinginan untuk berbagi dengan komunitas waria. Berbagi dalam artian bahwa partisipan dapat mengajar komunitas waria untuk bermasyarakat dan mengikuti kegiatan bermasyarakat dan keagamaan. Perlu adanya pandangan bahwa waria juga sama seperti identitas seksual lainnya (laki-laki dan perempuan) yang dianggap umum yang ada di masyarakat. Hal ini membuat munculnya perasaaan nyaman karena merasa hidup sebagai waria sudah merupakan kodratnya. Hal ini juga didukung dengan pandangan agama bahwa hidup sebagai waria tidaklah berdosa. Penerimaan diri juga berkaitan dengan berdamai dengan diri sendiri serta kewariaan yang ada di dalam diri tersebut. Hal ini membantu karena merasa bahwa itulah hidup yang harus dijalani dan tidak berusaha menolaknya lagi. Penerimaan terhadap diri apa adanya juga membuat pandangan tentang diri tidak mudah tergoyahkan oleh pandangan yang diterima dari lingkungan sehingga mampu bersosialisasi dan meraih penerimaan dari lingkungan sosial. Mempertahankan identitas seksual sebagai waria dirasa semakin mantap dan tentram ketika memperoleh penguatan dari sisi agama bahwa


(69)

hidup sebagai waria bukanlah dosa. Partisipan juga merasa ingin berguna bagi komunitas waria dan masyarakat sehingga masyarakat memperoleh pemahaman lebih tentang waria. Hal ini tentunya dapat membantu waria lain agar dapat nyaman bergabung dengan masyarakat dan di ruang publik. Perasaan nyaman yang partisipan miliki juga ingin partisipan bagikan dengan komunitas sehingga waria yang lain juga memperoleh perasaan yang sama dan tidak lagi menganggap dirinya berdosa.


(70)

Skema 2. Proses Resiliensi Pada Partisipan 1

Ingin menolak diri karena merasa tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat

Belum diterima secara utuh mengenai keadaan diri oleh keluarga

Mempersiapkan diri terhadap reaksi lingkungan dan beradaptasi dengan lingkungan baru dan masyarakat umum

Masih ada konotasi negatif yang diterima sebagai waria

Mempertahankan pandangan dan tampilan diri sebagai waria Paksaan dari keluarga

untuk berperilaku seperti laki-laki pada umumnya

Ingin mencoba menjadi laki-laki karena merasa dapat memperbaiki diri dan adanya tuntutan lingkungan

1. Memperoleh penerimaan dari lingkungan dan keluarga

2. Berdamai dengan diri sendiri dan kewariaan: memunculkan perasaan yang tidak mudah goyah, terlepas dari pandangan lingkungan

3. Penguatan dari segi agama bahwa hidup sebagai waria tidaklah berdosa karena sama dengan identitas seksual lainya (laki-laki dan perempuan)

Nyaman dan tentram terhadap diri Menyadari kecenderungan

identifikasi sebagai perempuan

Mencoba menjelaskan kepada keluarga bahwa dirinya tidak bisa menjadi laki-laki, kodratnya adalah hidup sebagai waria

Merasa tidak nyaman karena bukan dirinya


(71)

2. Partisipan 2

a. Kategorisasi Data

a.1 Awalnya menyadari diri sebagai waria No. Baris Kata Kunci

6, 9 – 11

35 – 36

Lebih menyukai permainan perempuan dari pada permainan laki-laki

Muncul ketertarikan seksual terhadap laki-laki

Partisipan menyadari diri bahwa dirinya memiliki kecenderungan perilaku seperti perempuan dan ketertarikan secara seksual terhadap laki-laki

a.2 Perasaan terhadap diri sendiri No. Baris Kata Kunci

26 Menyukai diri yang demikian

Saat menyadari diri sebagai waria dan menerima keadaan dirinya

a.3 Reaksi terhadap diri sendiri No. Baris Kata Kunci

10 – 11 Suka menjadi diri sendiri sehingga tetap dijalani Partisipan tetap menjalani perannya sebagai perempuan dan nyaman terhadap keadaan dirinya yang demikian


(72)

a.4 Reaksi yang diterima dari lingkungan di masa awal No. Baris Kata Kunci

6 – 13

14 – 21 22 – 24 36 – 63

Diingatkan oleh orang tua untuk bermain layaknya anak laki-laki tetapi tidak dilarang

Disukai lingkungan sekitar tempat tinggal dan guru Diejek di lingkungan sebaya

Digoda oleh laki-laki yang lebih tua hingga diajak melakukan hubungan seks

Partisipan memperoleh reaksi yang saling bertentangan, yakni orang tua yang menghendaki dirinya berperilaku seperti jenis kelaminnya, laki-laki, sementara teman laki-laki mengejek dan melecehkan karena partisipan berperilaku seperti perempuan, namun diterima oleh guru dan lingkungan sekitar tempat tinggal.

a.5 Tanggapan terhadap reaksi lingkungan No. Baris Kata Kunci

23 53 73 – 75

Tidak marah terhadap ejekan lingkungan Santai menjalani hidup

Menyukai pengalaman seksual dengan laki-laki karena merasa diperlakukan seperti perempuan

Partisipan cenderung santai, tidak marah dan menyukai reaksi lingkungan yang diterima karena merasa diperlakukan layaknya seorang perempuan


(73)

a.6 Cara menampilkan diri kepada lingkungan ketika dewasa No. Baris Kata Kunci

63 – 65 Menyadari diri sehingga terhadap keinginan yang semakin kuat untuk berpenampilan seperti perempuan Partisipan semakin ingin menampilkan dirinya seperti perempuan setelah menyadari dirinya sebagai waria

a.7 Reaksi yang diterima dari lingkungan No. Baris Kata Kunci

83 – 84, 104 – 105 128 – 129

Memperoleh penolakan dari saudara karena hidup sebagai waria

Diperlakukan kasar saat menjadi pekerja seks

Subjek memperoleh perlakuan kasar dari saudara dan lingkungan ketika berpenampilan dan hidup sebagai waria

a.8 Tanggapan terhadap reaksi lingkungan No. Baris Kata Kunci

83, 91 - 94

85 – 91

126 – 130

Keluar dari rumah dan hidup sebagai pekerja seks waria di jalan

Tetap berpenampilan sebagai waria karena merasa sudah merupakan kodrat dan pemberian Tuhan

Tetap menjalani dan menikmati hidup sebagai pekerja seks dan kekerasan dianggap sebagai resiko pekerjaan


(74)

Partisipan tetap mempertahankan diri sebagai waria dan menikmati hidup yang dijalaninya karena merasa hal ini merupakan kodratnya sehingga bersedia menanggung konsekuensi dari pilihannya

a.9 Reaksi yang diterima di lingkungan sekarang No. Baris Kata Kunci

185 – 187 188 – 190 190 – 192

Pandangan masyarakat yang sudah mulai berbeda Memperoleh penerimaan dari lingkungan sekitar Diterima dalam kegiatan masyarakat

Reaksi masyarakat yang diterima sekarang cenderung lebih positif

a.10 Pandangan terhadap diri sendiri sekarang No. Baris Kata Kunci

171 – 172 204 – 205 209 – 212 223 – 225

226 – 231

Peduli dan bertanggung jawab terhadap waria Menikmati hidup yang dijalani

Tidak ingin mengecewakan komunitas waria

Memperoleh nilai lebih ketika dapat membantu banyak orang

Menerima keadaan dan reaksi dari orang lain tanpa sakit hati

Subjek menikmati hidupnya dengan merasa peduli, bertanggung jawab dan tidak ingin mengecewakan komunitas waria karena memperoleh nilai lebih ketika dapat menolong orang lain.


(75)

a.11 Perasaan terhadap diri sendiri No. Baris Kata Kunci

234 235 – 237

244 – 246

Nyaman terhadap diri

Memperoleh kedamaian karena dapat membantu komunitas

Hidup haruslah dinikmati

Partisipan merasa bahwa hidupnya sekarang menemukan kenyamanan dengan membantu orang lain, merasa damai dan dapat menikmati hidup

a.12 Proses mencapai kenyamanan diri No. Baris Kata Kunci

251 – 258

259 – 267

Nyaman setelah mengambil keputusan untuk mengubah profesi dan dibutuhkan banyak orang Adanya keinginan untuk melakukan terobosan

Kenyamanan diri diperoleh partisipan setelah berani mengambil keputusan untuk mengubah profesi dari PSK dan berani menanggung resiko terhadap keputusan tersebut

b. Analisis Naratif i. Awal

Awal partisipan menyadari diri sebagai waria adalah karena adanya kecenderungan perilaku seperti perempuan dalam


(1)

380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 397 398

lebih nyaman dan apa ya, jabatan itu baru saya rasa sebagai beban ya. Saya tidak bisa membayangkan kalo waktu saya menjadi direktur OSK training centre itu. Dari jam 5 pagi saya harus berdiri sampe semua orang-orang sudah, memastikan peserta training itu sudah kembali ke kamar masing-masing. Dan beban dan tanggung jawab itu saya pikul selama 15 tahun. Lama sekali. Dan saya pikir, setelah saya tidak menjadi apa-apa, kok saya tenang. Sama kalo saya menjadi guru pun begitu banyak tanggung jawab yang saya rasa, waduh, lelah, sangat lelah. Waktu menjadi anggota dewan apa lagi. Segala sesuatunya nyaris dirampas habis untuk kepentingan orang lain gitu.Setelah saya berjuang di komunitas, walaupun saya hanya berperan sebagai peer educator, pendidik sebaya, saya bangga luar biasa terhadap diri saya.Saya merasa nyaman dan inilah posisi saya yang pas gitu. Ya walaupun dari sisi ekonomi, saya berjalan anti kemapanan. Biasanya dari kebutuhan ekonomi yang selalu tercukupi, menjadi tiba-tiba terbanting gitu. Tapi ga apa-apa, buat saya ini dinamika yang membanggakan. Semuanya dalam konteks ibadah saya, saya bilang, untuk tetap survive.

komunitas

Merasa punya banyak beban dan tanggung jawab dari pekerjaan sebelumnya

Bangga setelah bergabung dengan komunitas dan merasa menemukan posisi yang nyaman dan pas

Menganggap yang terjadi sebagai ibadah untuk bertahan


(2)

399 400 401 402 403 404 405 406 407 408 409 410 411 412 413 415 416 417 418

Lalu perasaan mami terhadap diri sendiri gimana, mi, sekarang?

Saya merasa semakin ee, nyaman, semakin fine dengan diri saya, penerimaan saya semakin baik. Ee, saya juga semakin bijak dalam menghadapi tantangan dari luar, intervensi dari luar. Jadi saya semakin nyaman, komunikasi saya dengan pencipta juga sangat menyenangkan, begitu. Mandamaikan. Komunikasi saya dengan ee, apa, teman-teman saya juga menyenangkan.

Tadi mami bilang, sekarang lebih Bijak dalam menanggapi lingkungan, bijaknya seperti apa, mi?

Bijak dalam artian, ya, saya lebih bisa ‘nrimo dan melihat segala sesuatu dari hal yang lebih positif baik dalam menyikapi kondisi internal waria, mapun menyikapi ee, kondisi masyarakat yang memang sensitif terhadap waria. Kalo dulu kan saya masih sering memberontak dengan keadaan yang tidak bisa menerima saya sampe bisa juga melawan secara fisik. Tapi kan sudah tidak lagi.

Oke, mi. Lalu menurut mami proses mencapai kenyamanan diri itu tadi gimana, mi?

Ya, proses mencapai kenyamanan diri itu tidak mudah. Tapi

hidup

Nyaman dan menerima diri dengan lebih baik

Semakin bijak menghadapi reaksi dan pandangan dari lingkungan

Komunikasi yang baik dengan Tuhan dan sesama

Lebih bisa menerima diri dan pandangan negatif dari masyarakat

3A1, 3A2

3A3


(3)

419 420 421 422 423 424 425 426 427

berdamai dengan diri sendiri, menerima diri apa adanya. Kita menerima apa adanya. Menerima konteks hidup itu adalah pasrah dan ibadah kepada yang maha kuasa. Komunikasi kita dengan Allah, menyeimbangkan komunikasi kita dengan manusia. Makanya sampai saat ini, saya juga tetap menjadi santri di pondok pesantren. Walaupun saya waria, walaupun saya beda, begitu, tapi tidak mengikis nilai-nilai spiritualitas saya. Saya tetap sholat walaupun saya waria, saya tetap mengeluarkan dzakat, tetap berpuasa. Ya kayak gitu aja.

Berdamai dengan diri dan menerima diri apa adanya

Hidup dengan berpasrah dan ibadah kepada Tuhan

Komunikasi dengan Tuhan membuat komunikasi dengan manusia menjadi lebih baik Tetap menjalani kewajiban keagamaan dengan diri tetap sebagai waria

3F1

3A1, 3A2


(4)

(5)

(6)