Dalam kamus psikologi Reber Reber, 2010, transseksual dicirikan sebagai berikut:
a. Rasa tidak nyaman dengan anatomi tubuh yang dimiliki
b. Hasrat mendalam untuk terus-menerus menjadi anggota kelompok
jenis kelamin yang berbeda c.
Keinginan untuk mengubah jenis kelamin d.
Tidak terdapat gangguan-gangguan psikologis atau abnormalitas anatomis genetis
B. Penolakan Lingkungan Pada Waria
1.
Pengertian Penolakan Lingkungan
Dalam kamus psikologi Kartono Gulo, 1987, penolakan diartikan sebagai proses mengeluarkan seseorang atau sesuatu dari
perhatian kasih sayang seorang lainnya atau pun keadaan yang timbul dari proses tersebut; menganggap seseorang atau sesuatu tidak memiliki
arti. Dalam kamus Psikologi Reber Reber, 2010, penolakan diartikan sebagai kegagalan atau ketidakmampuan untuk berasimilasi atau
menerima. Terdapat sebuah sistem atau struktur yang menyangkal atau gagal memadukan suatu hal. Sama halnya dengan yang dialami oleh waria
dengan penolakan yang ditunjukkan oleh lingkungan sekitarnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diartikan bahwa penolakan
adalah ketidakmampuan menerima seseorang atau suatu kelompok sehingga dianggap tidak memiliki arti dan disangkal oleh lingkungan
sekitarnya.
2. Penyebab Penolakan Lingkungan
a. Nilai Budaya Masyarakat Indonesia
Faktor yang menyebabkan terjadinya penolakan terhadap waria dalam masyarakat adalah nilai budaya yang dianut masyarakat Indonesia
bahwa jenis kelamin manusia hanyalah laki-laki dan perempuan, dengan identitas gender maskulin dan feminin. Sehingga waria yang
memiliki jenis kelamin laki-laki namun memiliki identitas gender feminin dianggap tidak normal oleh masyarakat. Waria dianggap
menyimpang dari nilai agama dan budaya masyarakat umum karena penampilan fisiknya sehingga keberadaannya tidak diakui oleh
lingkungannya Yuliani, 2006. b.
Prasangka Prasangka diartikan sebagai sikap atau pandangan terhadap individu
atau kelompok individu yang terlibat dalam suatu kelompok tertentu. Pada umumnya, prasangka mengarahkan pada tindakan diskriminasi
Baron Birne, 2004. Waria sering dihubungkan dengan prostitusi, seks bebas, penyakit seksual, sampah masyarakat, dan kurang
berpendidikan. Masyarakat cenderung menganggap kaum waria sebagai momok sehingga cenderung mengucilkan dan menunjukkan
sikap diskriminatif. Adapula yang menganggap bahwa kecenderungan sebagai waria dapat menular sehingga masyarakat cenderung menarik
diri dan takut berdekatan dengan waria Santoso, 2007; Yuliani, 2006. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Bentuk Tindakan Penolakan Lingkungan Pada Waria
Masyarakat luas menganggap waria sebagai lelucon, rendah dan sering dikaitkan dengan prostitusi. Hal ini memunculkan berbagai
tindakan yang mewakili rasa penolakan terhadap waria diantaranya cemoohan, pengucilan, pengucilan hingga kekerasan secara fisik maupun
verbal Isniani, 2010; Herdiyansyah, 2007. Waria juga pada umumnya diperlakukan diskriminatif dan tidak
memperoleh kesetaraan secara hukum dalam hak-hak sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Waria dianggap menyimpang secara budayadan
agama karena berperilaku feminine, memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis sehingga dianggap sebagai cacat sosial yang patut
dikucilkan dan disingkirkan. Waria juga sering dilecehkan di tempat umum, disingkirkan dari aktivitas sosial, tidak diberi akses untuk
mendapatkan fasilitas publik, tidak diakui identitasnya dan menjadi korban tindak kekerasan aparat Yuliani, 2006. Bahkan waria juga sulit diterima
dalam pekerjaan umum karena statusnya sebagai waria sehingga kesempatan kerja baginya sangat terbatas. Putri Sutarmanto, 2007;
Yuliani, 2006. Dalam keluarga, waria umumnya ditolak dengan kemarahan dan
kesedihan dari orang tuanya karena anaknya dianggap tidak normal. Orang tua cenderung memukul, mengusir dari rumah, atau justru mengabaikan
anaknya yang memilih hidup sebagai waria Atmojo, 1986. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4. Reaksi Waria Terhadap Penolakan Lingkungan
Dengan adanya penolakan terhadap kehadirannya, waria cenderung mengisolasi diri dan membentuk komunitas sendiri. Hal ini mereka
lakukan karena pada saat itulah mereka merasa bahagia dan diakui. Berkaitan dengan penolakan yang dialaminya di keluarga, waria
cenderung melarikan diri dari rumah menuju kota-kota besar untuk bergabung dengan rekan senasib Atmojo, 1986. Waria juga mengalami
rasa rendah diri, kecemasan, menarik diri, dan depresi Yuliani, 2006; Herdiansyah, 2007. Dalam bidang pekerjaan, waria cenderung memilih
untuk mempertahankan penampilan fisiknya sebagai waria daripada mengorbankan identitasnya untuk memperoleh pekerjaan formal. Waria
memiliki identitas gender yang kuat bahwa dirinya memiliki kepribadian feminin sehingga sulit diubah meskipun dipaksa oleh lingkungannya
Yuliani, 2006. 5.
Akibat Penolakan Lingkungan pada Waria a.
Distress Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kross, dkk 2011, orang yang
ditolak mengalami distress yang kuat terutama jika ditolak oleh orang dengan relasi yang lebih dekat. Waria mengalami berbagai distress
berupa kecemasan, depresi, bahkan rendah diri yang mengarahkan pada psikopatologi bahkan keinginan untuk bunuh diri terutama
berkaitan dengan penolakan yang diterimanya dari lingkungan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
b. Sakit fisik sebagai reaksi Psikologis
Individu yang mengalami penolakan dari lingkungan merasakan sakit yang setara dengan sakit secara fisik. Hal ini dikarenakan penolakan
dan rasa sakit secara fisik memiliki sistem somatosensori yang sama di area otak sehingga dapat mengarahkan individu memiliki physical pain
disorder Kross, Berman, Mischel, Smith Wager, 2011. c.
Numbness mati rasa Dalam hasil penelitian DeWall dan Baumeister 2006, penolakan
sosial menyebabkan perubahan yang signifikan dalam pengukuran rasa sakit, yang menyebabkan mati rasa secara emosional pada orang yang
ditolak. Individu yang ditolak, mengalami ‘kemacetan’ emosional,
yang mengurangi empati mereka terhadap orang lain Baumeister, DeWall Vohs, 2009.
d. Ruang gerak sosial menjadi terbatas
Penolakan dalam lingkungan yang dialami oleh wariamerupakan sikap antipati dari masyarakat yang mempengaruhi ruang gerak pergaulan
sehari-hari. Tak jarang hal ini membuat lapangan kerja bagi waria menjadi lebih sempit karena pandangan masyarakat umum terhadap
waria. Atmojo, 1986. Selain itu, dengan ditolaknya konstruksi gender waria, mereka dihadapkan pada rumitnya legalitas norma yang
berkaitan dengan hak dan kewajibannya. Kesempatan kerja bagi waria pun menjadi sangat terbatas karena sulit ditemukan pekerjaan formal
yang mau mempekerjakan waria tanpa memaksanya berpenampilan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai laki-laki. Bidang kerja yang identik dengan waria adalah bekerja atau membuka salom kecantikan atau menjadi PSK Putri
Sutarmanto, 2007; Yuliani, 2006.
C. Resiliensi Pada Waria