Pengaruh ASEAN Charter (Piagam ASEAN) terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya

(1)

PENGARUH ASEAN

CHARTER

(PIAGAM ASEAN) TERHADAP

YURISDIKSI NEGARA ANGGOTANYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

TARULINA DEBORA SARAGIH

060200016

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGARUH ASEAN CHARTER (PIAGAM ASEAN) TERHADAP YURISDIKSI NEGARA ANGGOTANYA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

TARULINA DEBORA SARAGIH 060200016

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL DISETUJUI OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

(Sutiarnoto. MS, SH, M.Hum) NIP. 195610101986031003

PEMBIMBING I : PEMBIMBING II :

(Sutiarnoto. MS, SH, M.Hum) (Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, SH, M.LI) NIP. 195610101986031003 NIP.196201171989032002

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Sang Kepala Gerakan atas berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi ini.

Sesuai dengan yang tercantum pada halaman depan skripsi ini, maka judul yang dipilih penulis adalah : “Pengaruh ASEAN Charter (Piagam ASEAN) terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya”.

Pemilihan judul diatas oleh penulis, didasari karena penulis melihat dan mengamati bahwa ASEAN sebagai suatu organisasi internasional yang selama ini berdiri berdasarkan sebuah deklarasi, pada akhirnya telah memberlakukan Piagam ASEAN sebagai suatu landasan yang mengikat bagi setiap anggotanya. Pemberlakuan Piagam ASEAN ini tentu saja berpengaruh kepada yurisdiksi setiap negara anggota ASEAN.

Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kesalahan dan kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, penulis memohon kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi acuan bagi penulis dalam karya penulisan berikutnya.

Pada kesempatan ini, tak lupa penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada setiap pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuannya dalam proses penyelesaian skripsi ini, yakni :


(4)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU.

2. Bapak Sutiarnoto, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU, sekaligus Dosen Pembimbing I penulis.

3. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan memberikan pemikirannya dalam membimbing penulis.

4. Bapak Sunarto Ady Wibowo, S.H., M.Hum selaku dosen wali penulis selama di bangku perkuliahan.

5. Dosen-dosen di Departemen Hukum Internasional : Bapak Arif, Bapak Edi Zulham (buat semuanya, pak!! Tengkyuu so much..!!), Bapak Deny Purba, Bapak Suhaidi, Bapak Jelly Leviza, Bu Roshmi.

6. Seluruh staf dosen di Fakultas Hukum USU atas jasa-jasanya. 7. Seluruh staf administrasi dan pendidikan di Fakultas Hukum USU. 8. Keluargaku tersayang : Bapak dan Mama (makasii buat smuanya bapak

dan mamaku, kalian yang terbaik!! Sayang kaliaaannn!!!), Abang dan Eda (sayang kaliannn juga!!). Keluarga besar Ompung M.F. Saragih/S. Br. Tondang dan Keluarga Besar Ompung S. Sipayung/D. Purba.

9. The besssttt : Adi, Imek, Jenong (i do miss you, girls!!), rentha n melly (as my „one package‟!!), Cipie, Novengaak, n Ayuuuk (ga pernah lengkap!!! Highschool is GREAT because of you!!). I‟ll remember you


(5)

all girls, even we can‟t be together, i‟ll keep our friendship!! Thanks for colouring my life..

10.Teman-teman seperjuangan di Berdikari 106 : Kak Eni, Kak Nini, Henny, Lina, Lidya, Dewi, Vera, Ana, Lensi, Rohana.

11.Semua teman-teman penulis selama di bangku perkuliahan : anggota Grup A stb.2006, teman2 klinis, teman kelompok, n teman2 ILSA. (makasii membuat hari-hari kuliahku penuh warna, dan ga smua warnanya indah, tapi tetap bermakna :D).

12.Semua senior dan junior di kampus yang ga bisa disebutkan satu-persatu. Thank you!!

13.Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan seluruh civitasnya yang telah memberikan banyak pelajaran berharga bagi penulis. Ut Omnes Unum Sint!!

Medan, Maret 2010

Hormat Penulis

Tarulina D. Saragih


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ` ... iv

Abstraksi ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 11

F. Metode Penulisan ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG YURISDIKSI NEGARA A. Pengertian Yurisdiksi ... 17

B. Jenis-jenis Yurisdiksi ... 19

C. Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional ... 22

D. Pembatasan Yurisdiksi Negara berdasarkan Piagam Organisasi Internasional ... 36

BAB III PIAGAM ASEAN SEBAGAI ANGGARAN DASAR DALAM KERANGKA KERJASAMA ASEAN A. Sejarah ASEAN ... 39


(7)

C. Anggaran Dasar sebagai Salah Satu Syarat Sebuah

Organisasi Internasional ... 51 D. Perkembangan ASEAN ... 59 E. Piagam ASEAN sebagai Anggaran Dasar ASEAN ... 67 BAB IV Pemberlakuan Piagam ASEAN dan Pengaruhnya terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya

A. Proses Ratifikasi Piagam ASEAN ... 78 B. Pemberlakuan Piagam ASEAN terhadap Negara

Anggotanya ... 82 C. Analisa Pengaruh Pemberlakuan Piagam ASEAN terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya ... 88 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 93 B. Saran ... 95 DAFTAR PUSTAKA ... 97 LAMPIRAN


(8)

ABSTRAKSI

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, terjadi perkembangan kerjasama regional yang sangat pesat. Termasuk di dalamnya adalah pembentukan ASEAN pada tahun 1968. Pada saat itu, ASEAN yang merupakan perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara berdiri atas dasar rasa „senasib sepenanggungan‟ karena semua negara di Asia Tenggara (kecuali Thailand) merupakan daerah bekas jajahan.

Dalam suatu organisasi internasional, pembentukannya haruslah dilandasi oleh suatu Anggaran Dasar yang berfungsi sebagai landasan konstitusional dan merupakan dasar bagi organisasi internasional dalam melakukan kegiatan dan aktivitasnya dengan subyek hukum internasional lainnya. Anggaran Dasar ini yang kemudian memberikan status hukum, sehingga organisasi internasional tersebut dapat disebut sebagai subyek hukum internasional. Berdasarkan Anggaran Dasar ini, sebuah organisasi internasional memiliki sifat mengikat, baik kepada organisasi itu sendiri, kepada anggotanya, dan kepada badan lain yang berhubungan dengannya.

Namun, tidak demikian yang terjadi pada saat pembentukan ASEAN. Pada awalnya, ASEAN dibentuk hanya berdasarkan suatu deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Bangkok. Deklarasi bangkok bukan merupakan suatu anggaran dasar bagi ASEAN, melainkan sebagai sebuah pernyataan bersama antara 5 (lima) negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Philipina untuk membentuk sebuah organisasi yaitu Association of Southeast Asian Nations. Selama kurang lebih 40 tahun, ASEAN hanya memiliki Deklarasi Bangkok sebagai pernyataan komitmen, yang kemudian memiliki daya ikat yang sangat lemah terhadap anggotanya. Saat in keanggotaan ASEAN terdiri atas 10 negara, yatu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Pada Desember 2008 merupakan titik balik ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional. Pada saat itu, diberlakukanlah Piagam ASEAN sebagai suatu Anggaran Dasar ASEAN yang mengikat kepada setiap anggotanya. Dengan diberlakukannya Piagam ini, ASEAN telah memiliki status hukumnya, dan menjadi subyek hukum internasional. Dengan kebersediaan ke-10 negara anggotanya dalam merumuskan, menandatangani, meratifikasi, dan menyerahkan dokumen ratifikasi, berarti ke-10 negara anggotanya telah bersepakat dan rela untuk memberikan sedikit dari kewenangannya kepada ASEAN. Pemberlakuan Piagam ini akan berpengaruh kepada yurisdiksi negara anggotanya. Piagam ASEAN memberikan kewajiban-kewajiban tertentu kepada anggotanya. Seperti misalnya kewajiban negara anggota untuk segera meratifikasi Piagam, pembentukan sekretariat nasional ASEAN di masing-masing negara, dan kekebalan serta hak-hak istimewa lainnya.

Setelah adanya Piagam ASEAN ini, negara-negara anggota ASEAN diharapkan lebih terikat dan fokus untuk mencapai ASEAN Community 2015. Semua ini hanya bisa terwujud dengan itikad baik dan kepatuhan dari negara-negara anggota terhadap segala ketentuan yang telah ditetapkan dalam Piagam.


(9)

ABSTRAKSI

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, terjadi perkembangan kerjasama regional yang sangat pesat. Termasuk di dalamnya adalah pembentukan ASEAN pada tahun 1968. Pada saat itu, ASEAN yang merupakan perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara berdiri atas dasar rasa „senasib sepenanggungan‟ karena semua negara di Asia Tenggara (kecuali Thailand) merupakan daerah bekas jajahan.

Dalam suatu organisasi internasional, pembentukannya haruslah dilandasi oleh suatu Anggaran Dasar yang berfungsi sebagai landasan konstitusional dan merupakan dasar bagi organisasi internasional dalam melakukan kegiatan dan aktivitasnya dengan subyek hukum internasional lainnya. Anggaran Dasar ini yang kemudian memberikan status hukum, sehingga organisasi internasional tersebut dapat disebut sebagai subyek hukum internasional. Berdasarkan Anggaran Dasar ini, sebuah organisasi internasional memiliki sifat mengikat, baik kepada organisasi itu sendiri, kepada anggotanya, dan kepada badan lain yang berhubungan dengannya.

Namun, tidak demikian yang terjadi pada saat pembentukan ASEAN. Pada awalnya, ASEAN dibentuk hanya berdasarkan suatu deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Bangkok. Deklarasi bangkok bukan merupakan suatu anggaran dasar bagi ASEAN, melainkan sebagai sebuah pernyataan bersama antara 5 (lima) negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Philipina untuk membentuk sebuah organisasi yaitu Association of Southeast Asian Nations. Selama kurang lebih 40 tahun, ASEAN hanya memiliki Deklarasi Bangkok sebagai pernyataan komitmen, yang kemudian memiliki daya ikat yang sangat lemah terhadap anggotanya. Saat in keanggotaan ASEAN terdiri atas 10 negara, yatu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Pada Desember 2008 merupakan titik balik ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional. Pada saat itu, diberlakukanlah Piagam ASEAN sebagai suatu Anggaran Dasar ASEAN yang mengikat kepada setiap anggotanya. Dengan diberlakukannya Piagam ini, ASEAN telah memiliki status hukumnya, dan menjadi subyek hukum internasional. Dengan kebersediaan ke-10 negara anggotanya dalam merumuskan, menandatangani, meratifikasi, dan menyerahkan dokumen ratifikasi, berarti ke-10 negara anggotanya telah bersepakat dan rela untuk memberikan sedikit dari kewenangannya kepada ASEAN. Pemberlakuan Piagam ini akan berpengaruh kepada yurisdiksi negara anggotanya. Piagam ASEAN memberikan kewajiban-kewajiban tertentu kepada anggotanya. Seperti misalnya kewajiban negara anggota untuk segera meratifikasi Piagam, pembentukan sekretariat nasional ASEAN di masing-masing negara, dan kekebalan serta hak-hak istimewa lainnya.

Setelah adanya Piagam ASEAN ini, negara-negara anggota ASEAN diharapkan lebih terikat dan fokus untuk mencapai ASEAN Community 2015. Semua ini hanya bisa terwujud dengan itikad baik dan kepatuhan dari negara-negara anggota terhadap segala ketentuan yang telah ditetapkan dalam Piagam.


(10)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Negara merupakan subyek utama hukum internasional. Mengenai istilah “negara” itu sendiri tidak terdapat defenisi yang tepat, tetapi dengan melihat kondisi-kondisi modern saat ini, dapat ditentukan karakteristik-karakteristik pokok dari suatu negara. Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Negara (yang ditanda-tangani oleh Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Latin) mengemukakan karakteristik-karakteristik berikut ini:

“Negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki syarat-syarat berikut : (a) penduduk tetap; (b) wilayah yang tertentu; (c) pemerintah; (d) kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain”.1

Unsur wilayah adalah merupakan unsur negara dengan syarat bahwa kekuasaan negara yang bersangkutan harus secara efektif diseluruh wilayah negara yang bersangkutan. Hal ini berarti didalam wilayah tersebut tidak boleh ada kekuasaan lain selain kekusaan negara yang bersangkutan. Batas wilayah suatu negara ditentukan melalui perjanjian dengan negara-negara tetangga. Dalam traktat yang diadakan pada tahun 1919 di Paris ditetapkan bahwa udara diatas tanah suatu negara termasuk wilayah negara itu.2

Unsur pemerintah dirumuskan berdaulat keluar dan ke dalam. Berdaulat ke luar artinya mempunyai kedudukan yang sederajat dengan negara-negara lain.

1 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, (Jakarta : Sinar Grafika,

2003), hal.127.

2


(11)

Berdaulat ke dalam artinya merupakan pemerintah/penguasa yang berwibawa. Pemerintah merupakan badan pimpinan dan badan pengurus dari suatu negara. Dalam arti luas, Pemerintah adalah : keseluruhan dari badan pengurus negara dengan segala organisasi, segala bagiannya, dan segala pejabatnya yang menjalankan tugas negara dari pusat ke pelosok-pelosok daerah.3

Pengakuan adalah pernyataan dari suatu negara yang mengakui suatu negara lain sebagai subjek hukum internasional. Pengakuan berarti bahwa selanjutnya antara negara yang mengakui dan negara yang diakui terdapat hubungan sederajat dan dapat mengadakan segala macam hubungan kerja sama satu sama lain untuk mencapai tujuan nasional masing-masing yang diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum internasional. Pengakuan juga berarti menerima suatu negara baru ke dalam masyarakat internasional.4

Suatu negara tidak dapat ada sebagai subyek hukum tanpa adanya pengakuan. Pengakuan ini memungkinkan negara baru untuk mengadakan hubungan-hubungan resmi dengan negara-negara lain, dan dengan subyek hukum internasional lainnya.5

Selama masih tetap berlangsungnya hubungan-hubungan antar bangsa-bangsa atau negara-negara di dunia ini, selama itu pula masih akan tetap muncul perjanjian-perjanjian internasional. Pasang-surutnya perjanjian-perjanjian

3

Ibid, hal.21.

4 Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global, edisi kedua, (Bandung : Penerbit P.T Alumni, 2005), hal.65.

5 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, (Jakarta : PT.


(12)

internasional itu tergantung pula pada pasang-surutnya hubungan-hubungan antar bangsa atau negara.6

Suatu organisasi internasional dibentuk dan didirikan melalui suatu konferensi internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang merupakan anggaran dasarnya yang biasa juga disebut piagam, covenant, statuta, atau dengan istilah yang lebih umum disebut juga dengan konstitusi dari sebuah organisasi internasional. Atas dasar piagam atau konstitusinya itu ditentukan asas-asas dan tujuan dari organisasi internasional maupun organ-organ serta mekanisme bekerjanya.7

Organisasi-organisasi regional tertentu juga diberi wewenang untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum. Perjanjian-perjanjian yang dihasilkan dalam kerangka organisasi internasional ini dibuat oleh wakil-wakil negara yang duduk dalam organ-organ organisasi tersebut.8

Pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian dalam hal ini menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith. Prinsip ini merupakan dasar pokok hukum perjanjian dan telah diakui secara universal dan yang merupakan bagian dari prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law).9

Salah satu segi yang menonjol dalam perkembangan hubungan antar negara sejak perang dunia II adalah pesatnya pertumbuhan kerjasama regional.

6

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, (Bandung : Penerbit Mandar Maju, 2002), hal.1.

7 Ibid, hal.22.

8 Boer Mauna, Op. Cit., hal.115. 9


(13)

Perkembangan tersebut sifatnya merata dan tidak terbatas pada negara-negara tertentu, tetapi dapat disaksikan di seluruh kawasan dunia, baik di negara-negara maju, maupun di negara-negara yang sedang berkembang, di negara-negara barat, maupun di negara-negara Timur. Hubungan yang makin rapat dan kehidupan bangsa-bangsa yang bergantung satu sama lain itu menuntut adanya kerjasama antar bangsa dalam suatu sistem kerjasama regional. Dengan mengadakan pengelompokkan, negara-negara kecil akan lebih memperkuat posisi tukar dalam menghadapi raksasa-raksasa ekonomi dunia. Atas nama satu kelompok, suara mereka akan merupakan suatu suara yang lebih berat dan tidak dapat begitu saja diabaikan. Lewat kerjasama regional mereka dapat memperjuangkan kepentingan masing-masing dengan harapan mencapai hasil yang diinginkan.

ASEAN memiliki sejarah yang menarik. ASEAN lahir, tumbuh, dan berkembang seirama dengan tuntutan sejarah. Kehadirannya sangat penting bagi bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara, bahkan di dunia.

Seluruh rakyat dan bangsa-bangsa di Asia Tenggara (kecuali Thailand) selama sekitar setengah abad mengalami penderitaan yang sama sebagai anak jajahan bangsa barat. Imperialisme Inggris menguasai Malaysia (1814), Singapura (1849), Burma (1894), dan Kalimantan Utara (1880). Imperialisme Prancis menguasai Indocina sejak tahun 1896, Spanyol menguasai Philipina sampai tahun 1898, dan dijajah lagi oleh Amerika Serikat. Indonesia dikuasai sepenuhnya oleh


(14)

pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1908, dan dilanjutkan dengan penjajahan Jepang sampai pada tahun 1945.10

Perasaan senasib ini yang kemudian menimbulkan perasaan setia kawan yang kuat di kalangan bangsa-bangsa Asia Tenggara. Perasaan setia kawan inilah yang merupakan salah satu pendorong lahirnya ASEAN. Di samping itu, ada pula persamaan kepentingan. Semua negara di kawasan ini saling membutuhkan satu sama lain. Mereka hidup pada perairan laut yang sama, yaitu Selat Malaka dan Selat Sunda. Perairan ini merupakan urat nadi lalu lintas pelayaran dan perdagangan dunia. Di samping itu, perairan Laut Cina Selatan adalah daerah perairan pokok yang dikelilingi oleh negara-negara Asia Tenggara.11

ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) atau yang lebih kita kenal dengan Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara, sebagai kerjasama regional dalam kenyataannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Asia Tenggara sebelumnya, terutama dalam hubungan kerjasama ASA (Association of Southeast Asia) dan MAPHILINDO. ASA yang dibentuk pada tahun 1961, beranggotakan Malaya, Thailand, dan Filipina. Sedangkan MAPHILINDO dibentuk pada tahun 1963, beranggotakan Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Perbedaan kedua kerjasama ini adalah bahwa ASA berdasarkan ekonomi dan kebudayaan, sedangkan MAPHILINDO berlandaskan pertimbangan politik dan ras.12

Kedua kerjasama regional tersebut mempunyai pengaruh terhadap pembentukan ASEAN, karena kedua kerjasama regional itulah yang merupakan

10

Hasnil Basri Siregar, Hukum Organisasi Internasional, (Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1994), hal.143.

11 Ibid, hal.144.

12 M. Sabir, ASEAN Harapan dan Kenyataan, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1992),


(15)

kerjasama regional pertama di Asia Tenggara yang dibentuk oleh negara-negara Asia Tenggara sendiri, tanpa ikut sertanya negara lain di luar kawasan.13

Kerjasama ASA tidak bertahan lama, dan keberhasilannyapun tidak banyak dan pula kurang mengesankan. Namun jika dibandingkan dengan dua minggu umur MAPHILINDO, maka dengan masa enam tahun sejak dibentuknya tahun 1961 dan sampai secara resmi dibubarkannya tahun 1966, ASA dapat membanggakan diri, karena pengalaman-pengalaman yang diperolehnya selama itu ternyata berguna bagi kerjsama ASEAN. 14

Pembentukan ASEAN dimulai dengan diadakannya pertemuan 5 menteri-menteri luar negeri dari negara-negara Asia Tenggara di Bangkok selama 3 hari dari tanggal 5-8 Agustus 1967. Mereka adalah Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul Rajak (Malaysia), Thanat Khoman (Thailand), Rajaratnam (Singapura, dan Narciso Ramos (Philipina). Pada tanggal 8 Agustus 1967 mereka mencapai persetujuan untuk membentuk suatu organisasi kerjasama negara-negara Asia Tenggara. Organisasi ini dinamakan ASEAN (Association of South East Asian Nations). Persetujuan yang ditanda-tangani oleh kelima menteri luar negeri itu kemudian dikenal sebagai Deklarasi Bangkok dan menjadi dasar pembentukan ASEAN.15

Tujuan dari ASEAN seperti tercantum dalam Deklarasi Bangkok adalah “Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan perkembangan kebudayaan di kawasan melalui usaha bersama”. Namun dalam menguraikan tujuan/sasaran, Deklarasi bangkok menyatakan : “Untuk memelihara perdamaian

13 Ibid, hal.29 14 Ibid, hal.30. 15


(16)

dan stabilitas regional dengan menaati keadilan, tata hukum dalam hubungan antara bangsa-bangsa Asia Tenggara serta berpegang teguh pada asas-asas Piagam PBB”.16

ASEAN adalah salah satu dari sedikit organisasi internasional yang bersifat “anomali” karena selama lebih dari 40 tahun tidak memiliki landasan hukum (konstitusi). Dengan ketiadaan anggaran dasar dan anggran runah tangga, ASEAN tidak diakui sebagai subyek hukum internasional. Landasan kerjasamanya sebatas komitmen politis non-binding, berupa deklarasi, statement, dan keputusan para menteri dan KTT.17

Tidak sebagaimana organisasi internasional atau regional lainnya, yang dalam pembentukannya berdasarkan suatu instrumen pokok 18 , dalam pembentukan ASEAN walaupun tidak dengan persetujuan, para wakil dari lima negara yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand telah mengadakan pertemuan dan memutuskan untuk membentuk apa yang disebut Persekutuan Negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) tanpa perjanjian atau persetujuan yang akan diratifikasi oleh para anggotanya melainkan hanya dengan suatu Deklarasi yang ditandatangani oleh kelima Menteri Luar Negeri.19

Dalam perjalanannya hingga empat dekade ASEAN belum memiliki suatu landasan formal yang berkekuatan hukum, mengingat selama ini kerjasama ASEAN cenderung bersifat informal dengan pendekatan musyawarah mufakat.

16 M. Sabir, Op. Cit., hal.44. 17

http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=9645&coid=1&caid=27, 28 Desember 2009.

18 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta : Penerbit

Alumni, 1997), hal.92.

19


(17)

Oleh karena itu, disusunlah ASEAN Charter yang akan menjadi pedoman.

Setelah melalui proses panjang, pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-13 di Singapura tahun 2007, negara-negara anggota ASEAN telah menandatangani Piagam ASEAN.

Wadah kerjasama negara-negara Asia Tenggara yang berdiri sejak 8 Agustus 1967 itu kini memiliki jati diri baru yaitu sebagai subyek hukum. ASEAN juga menjadi institusi yang memiliki akuntabilitas dan sistem kepatuhan tertentu, dan sebagai komunitas bersama di wilayah ekonomi, politik, keamanan, dan juga sosial kebudayaan.

ASEAN, sebagai wadah negara-negara atau organisasi regional kawasan Asia Tenggara telah memiliki dasar hukum bersama, yaitu melalui Piagam ASEAN yang diberlakukan mulai dari bulan Desember 2009, ini dijadikan sebuah tanggung jawab ASEAN untuk mematuhi peraturan dan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati pada KTT ASEAN.

Adanya Piagam ASEAN secara organisatoris akan membuat negara anggota ASEAN relatif akan lebih terikat kepada berbagai kesepakatan yang telah dibuat ASEAN. Secara teoretis, piagam itu akan semakin mempermudah kerja sama yang dibuat ASEAN dengan mitra-mitra dialognya. Jika pada masa lalu mitra ASEAN terkadang mengeluh bahwa kesepakatan yang telah dibuat dengan ASEAN ternyata hanya dilaksanakan dan dipatuhi oleh beberapa negara anggota ASEAN, kini kekhawatiran itu bisa dikurangi.20

20


(18)

B.Perumusan Masalah

Dengan mengacu pada hal-hal yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan di atas, maka selanjutnya akan dirumuskan beberapa hal yang dijadikan sebagai permasalahan. Adapun hal-hal tersebut adalah :

1. Bagaimanakah kedudukan dan fungsi Piagam ASEAN dalam kerangka kerjasama ASEAN?

2. Bagaimanakah pengaruh berlakunya Piagam ASEAN terhadap yurisdiksi negara-negara anggotanya?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi Piagam ASEAN dalam kerangka kerjasama ASEAN.

2. Untuk mengetahui pengaruh berlakunya Piagam ASEAN terhadap yurisdiksi negara-negara anggotanya.

Sedangkan yang menjadi manfaat teoritis dari penulisan skripsi ini, antara lain adalah:

1. Untuk mengetahui arti pentingnya Piagam ASEAN sebagai suatu anggaran dasar dalam kerangka kerjasama ASEAN demi keberlangsungan organisasi ASEAN tersebut.


(19)

2. Untuk mengetahui dan memberikan gambaran dari pemberlakuan Piagam ASEAN tersebut terhadap yurisdiksi dari negara-negara anggota ASEAN. 3. Untuk menambah pengetahuan dalam hukum internasional khususnya hukum

organisasi internasional dan hukum perjanjian internasional. Manfaat praktis dari penulisan ini adalah:

1. Dapat membantu untuk menjadi suatu bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara secara khusus dan pembaca pada umumnya.

2. Dapat dijadikan menjadi kajian bagi para pihak akademisi dalam menambah pengetahuan terutama di bidang Hukum Internasional.

D.Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi mengenai Pengaruh ASEAN Charter (Piagam ASEAN) terhadap Yurisdiksi Negara Anggotanya menurut sumber dari jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada yang mengangkat dan mambahasnya, karena pemberlakuan Piagam ASEAN itu sendiri baru terjadi pada Desember 2008.

Sejauh ini yang penulis ketahui, penulisan skripsi tentang ASEAN telah banyak yang membahasnya, namun mengenai pengaruh piagam ASEAN ini belum ada yang membahasnya.


(20)

E.Tinjauan Pustaka

Organisasi internasional adalah suatu proses, organisasi internasional juga menyangkut aspek-aspek perwakilan dari tingkat proses tersebut yang telah dicapai pada waktu tertentu. Organisasi internasional diperlukan dalam rangka kerjasama, menyesuaikan dan mencari kompromi untuk meningkatkan kesejahteraan serta memecahkan persoalan bersama, serta mengurangi pertikaian yang timbul.21

Dari aspek hukumnya organisasi internasional lebih menitikberatkan pada masalah konstitusional prosedural, antara lain seperti wewenang, dan pembatasan-pembatasan (restrictions) baik terhadap organisasi internasional itu sendiri maupun anggotanya sebagaimana termuat di dalam ketentuan instrumen dasarnya.22

Ketika ASEAN (Association of Southeast Asian Nation) dibentuk, dokumen pembentukannya hanyalah sebuah deklarasi politik yang kedudukannya dalam hukum internasional dianggap tidak mengikat. ASEAN menjadi organisasi regional yang relatif lemah. Sebagian besar perjanjian-perjanjian yang dihasilkan ASEAN, meskipun berlaku mengikat kepada anggota-anggotanya, pemenuhannya masih tergantung pada kesukarelaan masing-masing anggota.

Tahun 2007 bisa dikatakan bersejarah bagi ASEAN. Kawasan ini memiliki tampilan baru. Ada harapan ASEAN akan terstruktur dan tersistematis. Semua itu ditandai dengan ditandatanginya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) sebagai kerangka “konstitusi bersama” ASEAN. Keberadaan sebuah piagam agar bisa

21 Hasnil Basri Siregar, Op. Cit.,, hal.9. 22


(21)

lebih mengikat negara-negara anggota sebenarnya sudah cukup lama dikumandangkan di kalangan pemikir ASEAN. Akan tetapi, baru pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN tahun 2003 di Bali, keinginan ASEAN untuk memiliki sebuah piagam bersama itu mulai dikonkretkan.

Piagam ini merupakan kemajuan besar bagi ASEAN dan diharapkan mampu membangun kerjasama berbagai bidang antar negara anggota ASEAN. Konsekuensi meratifikasi piagam ini adalah terjadi penyerahan kedaulatan negara (dalam batas-batas tertentu) dalam rangka pelaksanaan kegiatan-kegiatan rezim/organisasi supaya lebih terpusat khususnya mengenai diseminasi informasi, pengurangan beban negara dalam bargaining, dan peningkatan enforcement.23

Peninjauan terhadap sumber-sumber hukum organisasi internasional, dapat dibagi dalam empat24, yaitu :

1. Sebagai kenyataan historis tertentu, kebiasaan yang sudah lama dilakukan, persetujuan atau perjanjian resmi dapat membentuk hukum organisasi internasional;

2. Instrumen pokok yang dimiliki oleh organisasi internasional dan memerlukan ratifikasi dari semua anggotanya;

3. Ketentuan-ketentuan lain mengenai tata cara organisasi internasional beserta badan-badan yang berada di bawah naungannya, termasuk cara kerja mekanisme yang ada pada organisasi tersebut;

4. Hasil-hasil yang ditetapkan atau diputuskan oleh organisasi internasional yang wajib atau harus dilaksanakan oleh para anggotaya maupun badan-badan yang

23 http://suryama.multiply.com/journal/item/164/, 15 Januari 2010.

24 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta : Penerbit Universitas


(22)

ada di bawah naungannya. Hasil-hasil itu bisa berbentuk resolusi, keputusan, deklarasi, atau rekomendasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, defenisi pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang.25 Defenisi Yurisdiksi adalah lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab dalam suatu wilayah atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum. Negara-negara anggotanya maksudnya adalh negara-negara yang telah terdaftar dan memiliki keanggotaan dalam ASEAN.

Secara konkrit, kepustakaan yang menjadi sumber acuan dan bacaan terdiri dari buku-buku, artikel-artikel, peraturan-peraturan baik berupa piagam, deklarasi, dan lain-lain, serta berupa kliping-kliping yang dikutip dari media cetak maupun media internet.

F. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian

Adapun jenis dari penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Penelitian Hukum Normatif (legal research), yakni dengan mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah hukum internasional yang terdapat dalam berbagai sumber dan perangkat hukum internasional yang terkait dengan pemberlakuan Piagam ASEAN sebagai anggaran dasar dalam kerangka kerjasma ASEAN. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bermaksud

25


(23)

mengadakan pemeriksaan terhadap gejala tertentu, dimana terdapat penggunaan landasan teori.

2. Data Penelitian

Mengenai data penelitian yang digunakan, diuraikan kedalam bagian-bagian, mulai dari yang terutama hingga yang bersifat sebagai penyokong. Bahan hukum primer dalam penulisan ini adalah Piagam ASEAN sebagai suatu ketentuan yang memuat peraturan mengenai ASEAN, dan yang menjadi bahan hukum sekunder adalah buku-buku dan pendapat dari para sarjana, artikel-artikel, jurnal-jurnal, ratifikasi, serta dari media cetak dan media internet, dan bahan-bahan lainnya yang memuat penjelasan-penjelasan yang berhubungan denagn penulisan ini, dan yang menjadi bahan hukum tersier adalah bahan penunjang terhadap penulisan ini yang berupa kamus Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, ataupun kamus-kamus istilah hukum, serta pedoman untuk penulisan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), baik untuk memperoleh bahan hukum primer maupun sekunder, dan tersier.

4. Analisis Data

Analisis data dalam penulisan ini adalah analisis kualitatif, dimana data-data yang telah dikumpulkan kemudian dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban dari masalah penelitian.


(24)

G.Sitematika Penulisan

Di dalam menguraikan permasalahan dan pembahasan dari penulisan ini, berikut dipaparkan garis besar atau sistematika penulisan dari karya tulis ini, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN

Di dalam bab ini terdapat latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode pengumpulan data serta sistematika penulisan skripsi.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG YURISDIKSI NEGARA Dalam bab ini di bahas mengenai pengetian yurisdiksi, jenis-jenis yurisdiksi, yurisdiksi negara dalam hukum internasional, serta pembatasan yurisdiksi negara berdasarkan piagam organisasi internasional.

BAB III PIAGAM ASEAN SEBAGAI ANGGARAN DASAR DALAM KERANGKA KERJASAMA ASEAN.

Dalam bab ini di bahas mengenai sejarah ASEAN, keanggotaan ASEAN, anggaran dasar sebagai salah satu syarat sebuah organisasi internasional, perkembangan ASEAN, dan Piagam ASEAN sebagai anggaran dasar ASEAN.


(25)

BAB IV PEMBERLAKUAN PIAGAM ASEAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP YURISDIKSI NEGARA ANGGOTANYA.

Dalam bab ini di bahas mengenai proses ratifikasi Piagam ASEAN, pemberlakuan Piagam ASEAN, dan analisa pengaruh pemberlakuan Piagam ASEAN terhadap yurisdiksi negara anggotanya.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.

Bab ini merupakan bab terakhir, dimana pada bagian kesimpulan akan dipaparkan jawaban-jawaban dari semua permasalahan di dalam penulisan ini. Pada bagian saran, penulis akan memaparkan gagasan yang dimilki oleh penulis berdasarkan dari fakta-fakta yang telah dikemukakan oleh penulis pada bab-bab yang sebelumnya.


(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG YURISDIKSI NEGARA A.Pengertian Yurisdiksi

Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi,26 persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (equal states don’t have jurisdiction over each other)27, dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum „par in parem non habet imperium”.28

Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet imperium” ini memiliki beberapa pengertian. Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi melalui pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut. Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.29

26

Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori da n Praktek, (Bandung : Penerbit Nusamedia, 2007), hal.56.

27 Ibid, hal.57.

28 Huala Adolf, Op Cit, hal.183. 29


(27)

Kata “yurisdiksi” sendiri dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris “Jurisdiction”. “Jurisdiction” sendiri berasal dari bahasa Latin “Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat disimpulkan yurisdiksi berarti :

a. Kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum. b. Hak menurut hukum.

c. Kekuasaan menurut hukum. d. Kewenanagan menurut hukum.

Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”. Di dalamnya tercakup “hak”, “kekuasaan”, dan “kewenangan”. Yang paling penting adalah hak, kekuasaan, dan kewenangan tersebut didasarkan atas hukum, bukan atas paksaan, apalagi berdasarkan kekuasaan.

Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in International Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara dengan menyatakan sebagai berikut : “Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam


(28)

negeri”.30

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, yang termasuk dalam unsur-unsur yurisdiksi negara adalah :

a. Hak, kekuasaan, dan kewenangan.

b. Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

c. Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, dan benda).

d. Tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of domestic concern).

e. Hukum internasional (sebagai dasar/landasannya).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu31 :

1. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;

2. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum.

Menurut Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum).32 Yurisdiksi menyebabkan suatu negara mempunyai hak terhadap seseorang, benda, peristiwa hukum yang ada dalam suatu negara ataupun yang ada di luar negara tersebut.

B.Jenis-jenis Yurisdiksi

Yurisdiksi berkaitan erat dengan masalah hukum, khususnya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan lainnya yang

30

Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law, (The Hague, 1971), hal.45.

31 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia , edisi ketiga, (Jakarta

: Balai Pustaka, 2005), hal.1278.

32


(29)

berdasarkan atas hukum yang berlaku. Di dalamnya terdapat pula batas-batas ruang lingkup kekuasaan itu untuk membuat, melaksanakan, dan menerapkan hukum kepada pihak-pihak yang tidak menaatinya. Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar negeri. Disamping itu, ada beberapa orang (subyek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi wilayah suatu negara meskipun mereka berada di dalam negara tersebut.

Menurut Rebecca M.M Wallace, yurisdiksi merupakan atribut kedaulatan suatu negara. Yurisdiksi suatu negara menunjuk pada kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan dengan hukum nasionalnya. Kompetensi ini mencakup yurisdiksi untuk menentukan (dan melarang), untuk mengadili dan melaksanakan undang-undang.33

Yurisdiksi dapat dibedakan atas : 1. Yurisdiksi Perdata.

Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang bersifat nasional, maupun internasional (yaitu bila para pihak atau obyek perkaranya terhadap unsur hukum asing).

33


(30)

2. Yurisdiksi Pidana.

Yurisdiksi pidana adalah kewenangan (hukum) pengadilan terhadap perkara-perkara yang bersifat kepidanaan, baik yang tersangkut di dalamnya unsur asing maupun tidak.34

Berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi atau tergambarkan oleh kekuasaan atau kewenangan sebagai berikut35 :

1. Yurisdiksi Legislatif.

Yaitu kekuasaan membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum orang atau peristiwa-peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga acapkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau preskriptif (legislative jurisdiction atau prescriptive jurisdivtion).

2. Yurisdiksi Eksekutif.

Yaitu kekuasaan negara untuk memaksakan atau menegakkan (enforce) agar subyek hukum menaati hukum. Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutif negara yang umumnya tampak pada bidang-bidang ekonomi, misalnya kekuasaan untuk menolak atau memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain-lain. Yurisdiksi ini disebut sebagai yurisdiksi eksekutif (executive jurisdiction). Ada pula sarjana yang menyebutnya dengan enforcement jurisdiction (yurisdiksi pengadilan).

34 Huala Adolf, Op. Cit., hal.186. 35


(31)

3. Yurisdiksi Yudikatif.

Yaitu kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang (subyek hukum) yang melanggar peraturan atau perundang-undangan disebut pula sebagai Judicial jurisdiction.

C.Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional.

Setiap negara berdaulat yang telah diakui pasti memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan kewibawaannya pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional. Diakui secara universal baik setiap negara memiliki kewenangan untuk mengatur tindakan-tindakan dalam teritorinya sendiri dan tindakan lainnya yang dapat merugikan kepentingan yang harus dilindunginya.

Dalam kaitannya dengan prinsip dasar kedaulatan negara, suatu negara yang berdaulat menjalankan yurisdiksi/kewenangannnya dalam wilayah negara itu.36 Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan, atau kewenangan negara untuk mengatur masalah intern dan ekstern. Dengan kata lain dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan, atau dengan yurisdiksi tersebut suatu negara mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan negara itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi menurut hukum internasional.37

Adakalanya yurisdiksi itu harus tunduk kepada pembatasan tertentu yang ditetapkan oleh hukum internasional. Dalam hal ini yang dimaksud adalah “hak

36 Ibid, hal.70. 37


(32)

hak istimewa ekstrateritorial”, yakni suatu istilah yang dipakai untuk melukiskan suatu keadaan dimana status seseorang atau benda yang secara fisik terdapat di dalam suatu wilayah negara, tetapi seluruhnya atau sebagian dikeluarkan dari yurisdiksi negara tersebut oleh ketentuan hukum internasional.

Yurisdiksi dapat digolongkan ke dalam prinsip-prinsip jurisdiksi berikut :

1. Yurisdiksi teritorial.

Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mapan dan penting dalam hukum internasional. Menurut Hakim Lord Macmillan suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut berdaulat. Pernyataan beliau berbunyi demikian :

“It is essebtial attribute ofthe sovereignity, of this realm, as of all sovereign independent states, that it should posses jurisdiction over all persons and things within its territorial limits and in all causes and criminal arisingwithin these limits.”38

Ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini.39

Prinsip teritorial ini terbadi atas dua : suatu tindak pidana yang dimulai di suatu negara dan berakhir di negara lain. Misalnya seorang yang menembak di

38 Ibid, hal.186. 39


(33)

daerah perbatasan negara A melukai seorang lainnya di wilayah negara B. Dalam keadaan ini, kedua negara memiliki yurisdiksi. Negara, dimana perbuatan itu dimulai (A), memiliki yurisdiksi menurut prinsip teritorial subyektif(subjective territorial principle). Negara dimana tindakan tersebut diselesaikan (B), memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip teritorial obyektif (objective territorial principle).40

Dari uraian di atas tampak terdapat hubungan yang sangat erat antara wilayah suatu negara dengan kewenangan yurisdiksinya. Menurut Glanville Williams, hubungan yang erat tersebut dapat dijelaskan karena adanya faktor-faktor berikut:

1. Negara dimana suatu perbuatan tindak pidana kejahatan dilakukan biasanya mempunyai kepentingan yang paling kuat untuk menghukumnya.

2. Biasanya si pelaku kejahatan ditemukan di negara tempat ia melakukan tindak pidana.41

3. Biasanya, pengadilan setempat (local forum) dimana tindak pidana terjadi adalah yang paling tepat, karena saksi-saksi (dan mungkin barang buktinya) dapat ditemukan di negara tersebut.

4. Adanya fakta bahwa dengan tersangkutnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda, maka akan janggal bila seseorang tunduk pada dua sistem hukum.42

Menurut hasil penelitian Universitas Harvard, pertimbangan lain dalam menerapkan yurisdiksi teritorial ini adalah bahwa negara dimana si pelaku tindak

40 Ibid, hal.187. 41 Ibid, hal.187. 42


(34)

pidana itu berada memiliki kepentingan, fasilitas, dan pejabat yang paling berkompeten untuk menangani tindak pidana baik yang dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh warga negara asing.43

Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar negeri. Disamping itu, ada beberapa orang (subyek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi wilayah suatu negara meskipun mereka berada di dalam negara tersebut.44

Hubungan antara yurisdiksi dengan wilayah dalam kaitannya dengan suatu tindak pidana (kejahatan) tampak dalam sengketa terkenal the Lotus Case.dalam sengketa ini, kapal uap Prancis, the Lotus, bertabrakan dengan kapal Turki the Boz-Kourt di laut lepas. Kapal Turki tenggelam dan menewaskan 8 pelaut dan penumpangnya. Menghadapi insiden ini, pejabat Turki menahan awak kapal the Lotus ketika kapal ini merapat di pelabuhan Turki. Mereka dituduh telah melakukan pembunuhan (pembantaian) terhadap para awak Turki. Pihak Prancis memprotes keras atas tindakan pemerintah Turki tidak memilih yurisdiksi untuk mengadili perkara tersebut. Sengketa ini lalu diserahkan ke Mahkamah Internasional Permanen untuk mengadili apakah ada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang melarang Turki melaksanakan yurisdiksinya. Dari hasil penyelidikan, mahkamah berpendapat bahwa suatu negara tidak dapat

43 JG Starke, Introduction to International Law, (London : Butterworth, 9th ed, 1984),

hal.201.

44


(35)

melaksanakan kekuasaan di luar wilayahnya.45 Pernyataan Mahkamah berbunyi sebagai berikut :

“the first and foremost restriction imposed by international law upon a state is that-failing the existence of a permissive rule to the contrary-it may not exercise its power in any form in the territory of another state.” 46

Mahkamah menolak argumentasi Prancis bahwa negara benderalah yang memiliki yurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas. Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada ketentuan tentang hal ini dalam hukum internasional dan menyatakan pula bahwa kerusakan terhadap kapal Turki sama saja dengan kerusakan terhadap wilayah Turki. Hal ini memungkinkan Turki melaksanakan yurisdiksinya berdasarkan prinsip teritorial obyektif. Namun, lanjut pengadilan, hal tersebut tidak berarti bahwa hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan yurisdiksi di dalam wilayahnya sehubungan dengan setiap perkara (sengketa) yang terjadi di luar negeri.47

Dari sengketa ini dapat disimpulkan bahwa prinsip yurisdiksi teritorial dapat pula berlaku terhadap kejahatan yang dilakukan tidak hanya di wilayah negara yang bersangkutan, tapi juga dalam atau di luar laut teritorial, yakni terhadap sengketa-sengketa tertentu yang terjadi di jalur tambahan atau di laut lepas yaitu manakala negara tersebut adalah negara bendera kapal.48

45 Ibid, hal.188

46 Ibid, hal.189. 47 Ibid.

48


(36)

Prinsip teritorial ini berlaku pada hal-hal berikut ini :

a. Hak Lintas Damai di Laut teritorial.

Prinsip yurisdiksi teritorial yang dimiliki oleh suatu negara (pantai) telah diakui sejak lama. Pengakuan dan pengaturan yurisdiksi negara pantai tampak dalam hasil Konferensi Kodifikasi Hukum laut Den Haag 1930,49 dimana diakui adanya dua macam yurisdiksi negara pantai atas kapal laut yang berlayar di laut teritorialnya, yaitu yurisdiksi pidana dan yurisdiksi perdata. Hasil konferensi ini dipertegas kembali oleh Konvensi Hukum laut Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan. Dalam Konvensi Hukum laut 1982, pengakuan dan pengaturan terhadap yurisdiksi (kriminal dan perdata) negara pantai terdapat dalam pasal 27 dan 28.50

b. Kapal Berbendera Asing di Laut teritorial.

Kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial hanya tunduk kepada yurisdiksi legislatif (legislative jurisdiction) negara pantai. Artinya, kapal-kapal itu pun tunduk kepada kewajiban untuk menghormati perundang-undangan negara pantai dan hukum kebiasaan internasional.51

Sepanjang menyangkut kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial, terdapat teori mengenai kapal-kapal ini, yakni :

49 Huala Adolf, Op cit, hal.189. 50 Ibid, hal.190.

51


(37)

1. Teori „Pulau Terapung‟ (the Floating Island Theory). Menurut teori ini, kapal-kapal tersebut harus diperlakukan oleh negara lain sebagai bagian dari wilayah negara. Menurut teori ini, yurisdiksi pengadilan tidak berlaku terhadap setiap tindakan yang dilakukan diatas kapal atau menahan seseorang yang melakukan kejahatan di atas kapal tersebut. 2. Teori yang menyatakan bahwa pengadilan negara pantai memberikan

kekebalan (imunitas) tertentu kepada kapal asing beserta wakilnya. Pemberian ini bukan berdasarkan pada teori obyektif yang menyatakan bahwa kapal perang/negara itu adalah wilayah negara asing, tapi didasarkan pada pembebasan atau pengecualian yang diberikan oleh undang-undang negara pantai. Pengecualian ini sifatnya bersyarat dan karenanya dapat ditarik kembali oleh negara pantai tersebut.52

c. Pelabuhan.

Pelabuhan adalah salah satu bagian dari perairan pedalaman. Karena di perairan pedalaman ini suatu negara berdaulat penuh, maka kedaulatan penuh ini berlaku di pelabuhan-pelabuhannya. Suatu kapal asing yang memasuki pelabuhan suatu negara, maka kapal tersebut berada dalam kedaulatan teritorial suatu negara pantai. Karena itu pula negara pantai berhak untuk menegakkan hukumnya terhadap kapal dan awaknya. Di pelabuhan, negara pantai memiliki yurisdiksi terhadap setiap tindak pidana yang mengganggu perdamaian dan ketertiban negara pantai.53 Negara pantai dapat pula menerapkan yurisdiksi

52 Ibid, hal.192.

53


(38)

teritorial apabila diminta atau dikehendaki oleh kapten atau konsul dari negara bendera kapal.54

d. Orang asing.

Yurisdiksi teritorial suatu negara terhadap orang asing sama halnya yurisdiksi teritorial negara terhadap warga negaranya. Tidak ada perlakuan khusus yang diberikan kepada orang asing. Namun demikian, seorang warga negara asing dapat meminta pembebasan dari yurisdiksi teritorial suatu negara dalam hal berikut :

1. Dengan adanya imunitas tertentu, orang asing itu menjadi tidak tunduk kepada hukum nasional negara pantai; atau

2. Bahwa hukum nasional negara tersebut tidak sejalan dengan hukum internasional.55

2. Yurisdiksi Personal.

Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Sebaliknya, adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan ini telah diterima secara universal.56

Menurut praktek internasional dewasa ini, yurisdiksi terhadap individu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip berikut57 :

54 Ibid, hal.193.

55 J.G Starke, Op Cit, hal.200. 56 Ibid, hal.211.

57


(39)

a. Prinsip nasionalitas aktif.

Menurut prinsip ini negara dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap warga negaranya. Semua prinsip lain yang berkaitan dengan hal ini adalah negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang telah melakukan suatu tindak pidana ke luar negeri.

b. Prinsip nasionalitas pasif.

Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita kerugian. Dasar pembenaran prinsip nasionalitas ini adalah bahwa setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri , dan apabila negara teritorial di mana tindak pidana itu terjadi tidak menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut, maka negara asal korban berwenang menghukum tindak pidana itu, apabila orang itu berada di wilayahnya.

3. Yurisdiksi menurut Prinsip Perlindungan

Berdasarkan prinsip yurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga-warga asing yang melakukan58 kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara. Penerapan prinsip ini dibenarkan sebagai dasar untuk penerapan yurisdiksi suatu negara. Latar belakang pembenaran ini adalah perundang-undangan nasional pada umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan di dalam suatu negara yang dapat

58


(40)

mengancam atau mengganggu keamanan, integritas, dan kemerdekaan orang lain.59

4. Prinsip Yurisdiksi Universal.

Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan. Lahirnya prinsip yurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang dilakukan orang-perorang (individu).60

Kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan yang tunduk pada prinsip yurisdiksi universal adalah pembajakan di laut (perompakan) dan kejahatan perang. Yurisdiksi universal terhadap perompak telah diterima cukup lama oleh hukum internasional. Setiap negara dapat menahan dan menghukum setiap tindakan pembajakan di laut.

“All states shall co-operate to the fullest possible extent in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any state”61

Kejahatan perang juga telah diterima universal sebagai kejahatan yang tunduk kepada yurisdiksi setiap negara meskipun jenis kejahatan ini sangat

59 Ibid, hal.213.

60 Ibid, hal.218. 61


(41)

sensitif dan lebih berat bobot politiknya.62 Komisi Kejahatan perang PBB (the United Nations War Crimes Commision) menyatakan bahwa hak untuk menghukum kejahatan tidak terbatas pada negara yang warga negaranya menderita atau kepala negara yang wilayahnya dipakai sebagai tempat dilaksanakannya kejahatan.63 Namun hak tersebut dimiliki oleh setiap negara yang merdeka.64

Pembatasan tertentu yang diterapkan oleh hukum internasional yaitu terhadap kepala negara, wakil diplomatik, kapal perang, dan angkatan bersenjata asing yang ada di wilayah suatu negara. Dalam hal-hal tertentu, yurisdiksi teritorial kebal (tidak berlaku) terhadap :

1. Negara dan Kepala Negara Asing;

Suatu negara bebas berbuat apapun di dalam negerinya, sepanjang perbuatan tersebut tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban negara lain atau tidak melanggar hukum internasional. Atau dengan kata lain, suatu negara adalah imun terhadap yurisdiksi pengadilan negara lainnya. Begitu juga dengan kepala negara, yang diidentikkan sebagai negara itu sendiri. Kepala negara memiliki imunitas (kekebalan) penuh (doctrine of absolute immunity).65

Imunitas suatu negara asing atau kepala negara dari yurisdiksi tidak mutlak dalam segala hal, tergantung kepada sifat hakikat dari pemulihan yang diupayakan. Hal-hal berikut merupakan proses perkara kekecualian dari kaidah imunitas :

62 M. N. Shaw, Op. Cit., hal.360. 63 Huala Adolf, Op. Cit., hal.218. 64 Ibid, hal.219.

65


(42)

a. Perkara-perkara yang berkenaan dengan alas hak terhadap tanah di dalam yurisdiksi teritorial, yang bukan tanah dimana bangunan-bangunan kedutaan didirikan.

b. Suatu dana di pengadilan (dana perwalian) yang diuruskan yang mana menyangkut kepentingan negara asing atau pemegang kedaulatan asing, tetapi tidak demikian apabila pihak yang diuruskan perwalian dananya itu juga merupakan pemerintah negara asing yang berdaulat.66

c. Tindakan-tindakan perwakilan, seperti tindakan pemegang surat utang, apabila negara asing atau pemegang kedaulatan asing itu adalah pemegang surat utang.

d. Berakhirnya suatu perusahaan yang dalam aset-asetnya negara asing atau pemegang kedaulatan asing mengklaim suatu kepentingan.67

2. Perwakilan Diplomatik dan Konsuler;

Imunitas yuridiksional terhadap agen-agen diplomatik ditetapkan dalam pasal 31-32 Konvensi Wina tentang Hubungan-hubungan Diplomatik 1961. Mereka menikmati imunitas absolut dari yurisdiksi kriminal negara tuan rumah dan imunitas dari yurisdiksi sipil dan administratif kecuali dalam tiga hal khusus yang dinyatakan dalam pasal 31, yaitu :

a. Tindakan-tindakan untuk medapatkan kembali harta benda tidak bergerak yang semata-mata pribadi;

b. Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan suksesi dimana mereka terlibat dalam kapasitas yang benar-benar pribadi.

66 J.G. Starke, Op. Cit., hal.281. 67


(43)

c. Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan suatu aktivitas profesi atau komersial pribadi yang dilakukan oleh mereka.68

3. Kapal Pemerintah Negara Asing;

Kapal pemerintah yang statusnya berasal dari kedaulatan negaranya tidak tunduk pada yurisdiksi suatu negara, baik waktu kapal berada di laut lepas, laut teritorial, atau perairan pedalaman negara pantai. Meski kapal-kapal pemerintah menikmati kekebalan, namun mereka diharapkan untuk menaati peraturan perundang-undangan negara pantai.69 Setiap pelanggaran terhadapnya, negara pantai dapat mengusir kapal-kapal pemerintah itu dan mengajukan protes diplomatik.70

4. Angkatan Bersenjata Negara Asing;

Angkatan bersenjata yang diterima di wilayah negara asing menikmati suatu imunitas terbatas, tetapi bukan sutau imunitas absolut, dari yurisdiksi teritorial negara tersebut.71 Besarnya imunitas tersebut tergantung pada keadaan-keadaan di mana angkatan bersenjata tersebut diterima oleh pemegang kedaulatan teritorial, dan khususnya pada ada atau tidaknya suatu perjanjian tegas antara negara tuan rumah dan negara pengirim yang mengatur syarat-syarat mengenai masuknya angkatan bersenjata tersebut di wilayah itu.72

5. Organisasi Internasional.

Dalam suatu negara, organisasi internasional memiliki kekebalan tertentu terhadap yurisdiksi negara setempat. Kekebalan ini dipandang perlu untuk

68

Ibid, hal.288.

69 Huala Adolf, Op. Cit., hal. 208. 70 Ibid, hal.209.

71 J.G. Starke, Op. Cit., hal.298. 72


(44)

melaksanakan tujuan-tujuan dari organisasi internasional. Namun sampai sejauh mana oraganisasi internasional itu menikmati kekebalan menurut hukum (kebiasaan) internasional masih belum ada kejelasan. Dalam praktek, kekebalan ini biasanya diatur oleh suatu perjanjian internasional.73

Juga adakalanya suatu negara dapat menjalankan yurisdiksinya atas suatu peristiwa hukum yang terjadi di luar wilayahnya dengan beberapa ketentuan. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa kadangkala dua negara atau lebih dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap suatu peristiwa. Hukum internasional sendiri tidak ada mengatur secara jelas mengenai kompetensi ini. Rebecca M.M Wallace berpendapat bahwa : dasar-dasar yurisdiksi tidak diurutkan dalam hierarki apapun. Tidak ada negara yang dapat menuntut hak yang lebih tinggi semata-mata berdasarkan atas asas melaksanakan yurisdiksi. Suatu negara dapat secara sah memiliki yurisdiksi bersamaan dengan negara lain, negara yang akan melaksanakan yurisdiksi akan ditentukan oleh faktor-faktor lain, misalnya kehadiran fisik dari pelanggar yang bersangkutan. Apa yang dituntut hukum internasional kini adalah eksistensi hubungan nyata antara pelanggar yang bersangkutan dan negara yang melaksanakan yurisdiksinya.74

Menurut hukum internasional, setiap negara baik berpantai (coastal state) maupun tidak berpantai (land locked state) mempunyai hak untuk melayarkan kapalnya di bawah benseranya di laut lepas (pasal 90 UNCLOS 1982).75 Pelaksanaan yurisdiksi suatu negara di laut lepas ini sesuai dengan prinsip

73 Huala Adolf, Op. Cit., hal.210.

74 H. Bachtiar Hamzah, Op. Cit., hal.174-175. 75


(45)

universal, yaitu setiap negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu (yang terjadi atau dilakukan di laut lepas).

Pada prinsipnya wilayah udara yang terdapat di atas wilayah darat, perairan pedalaman, dan laut wilayah termasuk kedalam yurisdiksi suatu negara. Hal ini terlihat dari pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional : “Kedaulatan negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity)”. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara.76

D.Pembatasan Yurisdiksi Negara berdasarkan Piagam Organisasi Internasional.

Keterikatan suatu negara pada suatu perjanjian internasional bukan berarti bahwa kekuasaan tertinggi negara tersebut menjadi hilang atau tergerogoti. Setiap perjanjian yang membatasi yurisdiksi atau kewenangan suatu negara demi untuk tujuan bersama dengan subjek hukum internasional lainnya berarti membatasi pelaksanaan kedaulatannya. Namun disini, negara tetap berdaulat. Hanya tindakan-tindakan tertentunya saja yang terkait dengan kesepakatan yang diberikan, negara tersebut terikat untuk melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan kesepakatannya.

Pelaksanaan yurisdiksi oleh suatu negara tidak dibatasi oleh hukum internasional, kecuali telah dibuktikan dengan suatu asas hukum internasional.

76


(46)

Hanya ada satu pembatasan praktis terhadap yurisdiksi yang terlalu luas oleh suatu negara, yaitu negara-negara tidak akan menjalankan yurisdiksinya atas orang atau benda yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara tersebut.77

Bagi organisasi internasional berlaku prinsip bahwa setiap fungsi yang tidak berada dalam rumusan konstitusinya berada di luar kekuasaannya. Oleh karena itu, setiap organisasi internasional secara hukum tidak dapat melangkahi kekuasaan-kekuasaan konstitusionalnya.78

Sebagai contoh pembatasan yurisdiksi negara dalam suatu organisasi internasional regional adalah dalam Masyarakat Ekonomi Eropa. Mahkamah Masyarakat Eropa merupakan mahkamah dari Uni eropa. Kewenangan Mahkamah Eropa ditetapkan dalam anggaran dasar European Economic Community Pasal 164. Mahkamah ini memiliki kewenangan yang lebih besar dari mahkamah pengadilan internasional lainnya. Mahkamah ini dapat mengadili sengketa antar negara anggota dan alat perlengkapan dari Masyarakat Eropa yang dapat menentukan keabsahan dari tindakan keabsahan dari tinakan masyarakat. Mahkamah juga melakukan pengawasan atas penerapan hukum masyarakat eropa di dalam sistem hukum nasional negara anggota.79 Berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Masyarakat Eropa ini bahwa mahkamah memiliki kewenangan yang hampir tidak ada batasnya terhadap negara anggota Masyarakat Ekonomi Eropa.

77 J.G. Starke, Op. Cit., hal.184. 78 Hasnil Basri Siregar, Op. Cit., hal.38.

79 Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta :


(47)

Sebagai contoh lain dari pembatasan yurisdiksi ddalam suatu organisasi internasional adalah dalam Uni Afrika. Dalam Pasal 4 dari UU konstitutif Uni Afrika meletakkan bawah prinsip-prinsip pembatsan yurisdiksi negara anggotanya sebagai berikut80 :

1. damai penyelesaian konflik di antara negara-negara anggota dari Uni melalui sarana yang tepat seperti sebagaimana dapat memutuskan atas oleh Majelis; 2. Hak Union untuk campur tangan dalam Negara Anggota sesuai mengambil

keputusan Majelis sehubungan dengan kuburan keadaan, yaitu kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan;

3. Hak Negara-negara Anggota untuk meminta intervensi dari Serikat dalam rangka untuk memulihkan perdamaian dan keamanan;

Dari ketiga prinsip tersebut terlihat jelas besarnya kewenangan dari Uni Afrika terhadap negara anggotanya. Bahwa dalam hal penyelesaian konflik secara damai melalui sarana yang telah ditetapkan oleh Majelis. Dan pada prinsip beriktnya disebutkan juga secara jelas bahwa uni Afrika berhak untuk campur tangan terhadap permasalahan kejahatan perang, genosida, dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi di wilayah negara anggotanya. Bahkan dalam rangka untuk memulihkan perdamaian dan keamanan Uni Afrika dapat melakukan intervensi atas dasar permintaan negara anggotanya.

80http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/2E%20Makalah%2


(48)

BAB III

PIAGAM ASEAN SEBAGAI ANGGARAN DASAR DALAM KERANGKA KERJASAMA ASEAN

A. Sejarah ASEAN

Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan suatu organisasi regional yang tertutup (closed regional organization) karena keanggotaannya yang tidak terbuka untuk kelompok negara-negara lainnya. Organisasi jenis tersebut juga terdapat di kawasan Pasifik Selatan seperti South Pacific Forum (SPF), South Asian Association of Regional Cooperation (SAARC), Gulf Cooperation Council (GCC), Arab Maghreb Union (AMU) yang keanggotaannya terbatas pada negara-negra Arab di Afrika Utara, dan lain-lainnya.81

ASEAN memiliki sejarah yang menarik. ASEAN lahir, tumbuh dan berkembang seirama dengan tuntutan sejarah. Kehadirannya sangat penting bagi bangsa-bangsa di kawasan ini, bahkan juga di dunia.

Sejak zaman prasejarah yaitu tahun 2000 sebelum masehi, seluruh kawasan di Asia Tenggara merupakan daerah penyebaran rumpun budaya maupun bahasa Melayu Austronesia yang berasal dari pusatnya sekitar teluk Tonkin dan lembah sungai Mekong. Kebudayaan dan bahasa Austronesia ini merupakan dasar tata kehidupan dan pergaulan antar bangsa-bangsa di wilayah Asia Tenggara ini. Baru sejak abad pertengahan masehi sebagian bangsa Asia Tenggara mendapat pengaruh dari luar. Unsur-unsur peradaban dan kebudayaan India, Hindu, dan

81 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, (Bandung :


(49)

Budha mulai masuk. Sedangkan wilayah Vietnam, Laos, dan Kamboja banyak dipengaruhi oleh peradaban dan kebudayaan Cina.82

Berbagai kerajaan, besar dan kecil, telah lahir, bangun, dan berkembang di kawasan ini. Yang terbesar diantaranya Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kedua kerajaan ini silih berganti mempengaruhi Asia Tenggara. Mula-mula Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Sesudah itu muncullah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia dan Malaysia. Kedatangan Islam memperkaya tata hidup dan budaya Asia Tenggara. Di samping Hindu dan Budha, Islam turut berperan dalam membentuk peradaban dan kebudayaan Asia Tenggara.83

Mulai abad ke-16 bangsa-bangsa barat mulai datang dan berebut pengaruh di kawasan ini. Mula-mula mereka datang sebagai pedagang, tetapi kemudian menjadi penjajah. Hal ini dilatarbelakangi karena, letak kawasan Asia Tenggara yang sangat strategis untuk pelayaran dan perniagaan, kekayaan alam yang melimpah ruah, dan juga karena wilayah ini memiliki penduduk yang cukup banyak sebagai calon pembeli barang-barang industri dunia barat. Selama hampir setengah abad seluruh rakyat dan bangsa-bangsa di Asia Tenggara mengalami penderitaan yang sama sebagai anak jajahan bangsa barat. Persamaan nasib ini kemudian menimbulkan perasaan setia kawan yang kuat di kalangan bangsa-bangsa Asia Tenggara. Perasaan setia kawan ini pulalah yang merupakan salah satu pendorong lahirnya ASEAN. Di samping itu ada pula persamaan kepentingan. Semua negara di kawasan ini saling membutuhkan satu sama lain.84

82 Hasnil Basri Siregar, Op. Cit.,hal.143. 83 Ibid, hal.154-155.

84


(50)

ASEAN sebagai kerjasama regional dalam kenyataannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Asia Tenggara sebelumnya, terutama dalam hubungan dua kerjasama : ASA dan MAPHILINDO.85 ASA (Association of Southeast Asia) merupakan suatu perhimpunan antara Filipina, Malaysia, dan Thailan yang terbentuk pada tahun 1961.86 MAPHILINDO sendiri merupakan perhimpunan antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang didirikan pada tahun 1963. Kedua organisasi ini mempunyai pengaruh terhadap pembentukan ASEAN karena merupakan kerjasama regional pertama Asia Tenggara yang dibentuk oleh negara-negara Asia Tenggara sendiri, tanpa ikut sertanya negara lain di luar kawasan.87

Perbedaan antara kedua kerjasama ini adalah bahwa ASA berdasarkan ekonomi dan kebudayaan, sedangkan MAPHILINDO berdasarkan pertimbangan politik dan ras. ASA tidak dapat bertahan lama karena masalah Sabah, dan MAPHILINDO ternyata lebih singkat usianya dari pada ASA. Dikatakan bahwa MAPHILINDO sudah gulung tikar sebelum kering tinta penandatangannya. Hal itu disebabkan karena MAPHILINDO sebenarnya diwujudkan untuk mencegah lahirnya Malaysia. 88 Meskipun demikian, pengalaman-pengalaman yang diperolehnya selama itu ternyata berguna dan terbukti hal-hal seperti lembaga dan proyek ASA hampir semuanya “dioper” oleh kerjasama ASEAN. Bersamaan dengan hal itu, kerjasama MAPHILINDO yang menyusul kemudian sempat pula

85

M. Sabir, Op. Cit., hal.29.

86 www.bing.com/reference/semhtml/ASEAN?fwd=1+src=abop&qpvt=asean+q=asean, 15

Januari 2010.

87 M. Sabir, Loc. Cit. 88


(51)

membuat heboh dan meninggalkan kesan yang masih tercermin dalam Deklarasi Bangkok.89

Pembentukan ASEAN dimulai dengan diadakannya pertemuan 5 menteri-menteri luar negeri negara-negara Asia Tenggara di Bangkok selama 5 hari dari tanggal 5 hingga 8 Agustus 1967. Mereka itu adalah Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul Rajak (Malaysia), Thanat Khoman (Thailand), Rajaratnam (Singapura), dan Narcico Ramos (Filipina).90

Dalam pertemuan itu, masalah pangkalan asing kembali diperdebatkan. Seperti diketahui bahwa dalam rancangan Indonesia yang dikenal dengan gagasan SEAARC terantum kalimat seperti berikut : “mempercayai bahwa pangkalan asing adalah bersifat sementara dan tidak boleh digunakan langsung atau tidak langsung untuk menumbangkan kemerdekaan nasional negara-negara dan bahwa pengaturan pertahanan kolektif seyogyanya jangan dipakai untuk melayani kepentingan khusus negara besar”. Kalimat tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Manila 1963 yang menjadi dasar kerjasama MAPHILINDO. Filipina mendesak agar kalimat itu dicoret dan ditiadakan saja. Filipina berkeberatan karena hal itu akan menyulitkan hubungannya dnegan Amerika Serikat yang mempunyai security arrangement dengan Filipina.91

Akhirnya dengan beberapa perubahan redaksional dicapailah suatu kompromi mengenai pangkalan asing tersebut. Pada tanggal 8 Agustus 1967 para menteri luar negeri tersebut mencapai suatu persetujuan untuk membentuk suatu organisasi kerjasama negara-negara Asia Tenggara. Organisasi ini dinamakan

89 Ibid, hal.29.

90 Hasnil Basri Siregar, Loc. Cit. 91


(52)

ASEAN (Association of South East Asian Nations). Persetujuan yang ditanda tangani oleh kelima menteri luar negeri itu kemudian dikenal sebagai Deklarasi Bangkok dan menjadi dasar pembentukan ASEAN.92

Tujuan pembentukan ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi Bangkok, yaitu93 :

1. Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ini melalui usaha-usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai. 2. Untuk meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan

menghormati keadilan dan tata tertib hukum di dalam hubungan antara negara-negara di kawasan ini serta mematuhi prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa.

3. Untuk meningkatkan kerjasama yang aktif serta saling membantu sama lain di dlaam maslaah kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan, teknik, ilmu pengetahuan, dan administrasi.

4. Untuk saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana latihan dan penelitian di dalam bidang-bidang pendidikan, profesional, teknik, dan administrasi.

5. Untuk kerjasama lebih efektif dalam meningkatkan penggunaan pertanian serta industri mereka, perluasan perdagangan komoditi internasional,

92Hasnil Basri Siregar , Loc. cit. 93


(53)

perbaikan sarana-sarana pengangkutan dan komunikasi serta peningkatan akan taraf hidup rakyat-rakyat mereka.

6. Untuk memelihara kerjasama yang erat dan berguna dengan organisasi-organisasi internasional dan regional yang ada dan untuk menjajaki segala kemungkinan untuk saling bekerjasama secara lebih erat diantara mereka sendiri.

Secara garis besar, tujuan dari terbentuknya ASEAN tercermin dalam Preambule Deklarasi Bangkok : Mempertimbangkan “bahwa negara Asia Tenggara ikut memikul secara bersma tanggungjawab utama untuk memperkuat stabilitas ekonomi dan sosial kawasan...dan bahwa bertekad untuk menjamin kestabilan dan keamanan mereka dari campur tangan luar dalam bentuk manifestasi apapun...”94

Pada bulan Agustus 2002 dalam usianya yang ke-35, ASEAN menegaskan kembali visinya dalam suatu kalimat yang tersusun baik, nyaman di telinga, tenteram dalam perasaan, tetapi sekaligus merupakan utopia yang selalu menjadi patamorgana yang hanya ada dalam dunia imaginer. Visi tersebut adalah “terwujudnya ASEAN sebagai wadah kerjasama bangsa-bangsa Asia Tenggara, yang hidup dalam perdamaian dan kemakmuran, menyatu dalam kemitraan yang dinamis dan komunitas yang saling peduli serta terintegrasi dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia.”95 Berdasarkan data pada tahun 2006 kawasan ASEAN

94 Isi Deklarasi Bangkok, Bangkok, 08 August, 1967.

95 Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi regional dalam


(54)

memiliki populasi sekitar 560 juta dengan luas wilayah 4,5 juta kilometer persegi.96

B.Keanggotaan ASEAN

Masalah keanggotaan merupakan masalah yang penting dalam suatu organisasi internasional. Setiap konstitusi organisasi internasional akan memuat masalah keanggotaan. Maslaah keanggotaan merupakan masalah hukum yang penting bagi suatu organisasi internasional.97

Mengenai keanggotaan ASEAN telah menganut apa yang disebut prinsip kedekatan wilayah (principle of geographic proximity) di dalam wilayah atau kawasan Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Deklarasi Bangkok :

“..the association is open for participation to all states in the South-east Asian Region...”98

Ketika ASEAN dibentuk pada tahun 1967 anggotanya hanya terdiri dari bekas anggota MAPHILINDO dan ASA ditambah dengan Singapura.99 Dengan kata lain keanggotaan ASEAN pada awal terbentuknya hanya terdiri dari 5 (lima) negara, yaitu : Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura, yang juga merupakan negara-negara penandatangan Deklarasi Bangkok. Kemudian pada

96 www.deplu.go.id/pages/Asean.aspx?IDP=6&I=id, 10 Januari 2010. 97 Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hal.39.

98Isi Deklarasi Bangkok, Bangkok, 8 Agustus, 1967. 99


(55)

tahun 1984 Brunei Darussalam telah diterima sebagai anggota baru, sehingga dengan demikian keanggotaan ASEAN menjadi 6 negara.100

Mengenai keanggotaan Vietnam dalam ASEAN secara resmi telah diajukan pada tanggal 17 Oktober 1994 dan pemerintah Vietnam menyatakan akan memenuhi kewajiban-kewajibannya antara lain melakukan aksesi terhadap Deklarasi ASEAN 1967, deklarasi mengenai ZOPFAN tahun 1971, Deklarasi ASEAN Concord 1976, dan persetujuan Pembentukan Sekretariat ASEAN tahun 1976.101 Akhirnya dalam Sidang Menteri ASEAN yang diadakan di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, pada tanggal 28 Juli 1995 telah memutuskan untuk menerima Vietnam sebagai negara anggota ASEAN yang ke-7.102

Mengenai keanggotaan ketiga negara lainnya yaitu Kamboja, Laos, dan Myanmar, ASEAN telah mengadakan sidang khusus Menteri ASEAN di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997 untuk membahas laporan Sekjen ASEAN mengenai kesiapan ketiga negara tersebut untuk menjadi negara anggota ASEAN. Sidang khusus tersebut setelah memperhatikan bahwa ketiga negara telah memenuhi persyaratan-persyaratan secara teknis dan melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka sebagai anggota untuk melakukan aksesi berbagai persetujuan-persetujuan ASEAN, maka menteri-menteri ASEAN telah menyetujui bahwa ketiga negara tersebut akan diterima dalam bulan Juli 1997.103

Namun menjelang diterimanya ketiga negara tersebut, telah terjadi pertentangan politik di Kamboja yang mengakibatkan gejolak politik di negara

100 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., hal.85. 101 Ibid, hal.86.

102 Ibid, hal.87. 103


(1)

sehingga eksistensi ASEAN menjadi lebih kuat. Segala yang sudah dilakukan ASEAN selama empat puluh tahun menjadikan Piagam Asean merupakan pengemasan dalam instrumen hukum yang lebih kuat dan praktis. Pemilikan piagam tersebut bertujuan mengakhiri permasalahan-permasalahan hukum, maupun konstitusional yang berkaitan dengan kelembagaan ASEAN.

2. Piagam ASEAN setelah proses pemberlakuannya kepada negara anggotanya membawa beberapa pengaruh yang mempengaruhi yurisdiksi dari negara anggotanya tersebut. Pengaruh tersebut dapat terlihat misalnya dari kewajiban dari masing-masing negara anggota untuk membentuk sekretariat asean nasional di negaranya masing-masing. Sekretariat ini walaupun berada di negara-negara anggota tetapi memiliki kekebalan sesuai dengan kesepakatan atau perjanjian yang telah dibuat antara ASEAN dan negara tersebut. Selain itu, pengaruh Piagam ASEAN juga terlihat dengan pembentukan badan HAM ASEAN yang diberi nama Komite Hak Asasi Manusia ASEAN. Komite ini bertujuan untuk memajukan perlindungan hak asasi di kawasan regional ASEAN. Dengan adanya badan ini, maka badan ini dapat melakukan penanganan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di kawasan negara-negara ASEAN. Selain itu juga, untuk melakukan proses integrasi ASEAN menuju komunitas ASEAN 2015, sejumlah upaya telah dilakukan utnuk meningkatkan kontak antara masyarakat negara-negara ASEAN, alain dengan pembebasan biaya visa untuk masuk ke negara-negara ASEAN. Selain itu juga, dilakukan upaya untuk semakin meningkatkan perdagangan antara negara-negara


(2)

ASEAN, agar masyarakat ASEAN semakin terbiasa dengan produk-produk dari negara ASEAN lainnya.

B.Saran

1. Adanya suatu amandemen dikemudian hari terhadap Piagam ASEAN. Amandemen piagam ASEAN dapat berupa penambahan dalam hal pemberian sanksi dan mekanisme penyelesaian sengketa. Dalam Piagam ASEAN tidak ditemukan hal pemberian sanksi bagi pelanggaran terhadap piagam ASEAN, di piagam hanya dikatakan, jika terjadi pelanggaran serius dalam hal ketidakpatuhan bisa dibawa ke tingkat Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN. Amandemen nya dapat dilakukan dengan pemberian sanksi tegas, misalnya berupa pemecatan sebagai anggota dari ASEAN apabila terbukti melakukan pelanggaran serius terhadap piagam. Amandemen terhadap mekanisme penyelesaian sengketa dapat dilakukan misalnya dengan menyebutkan secara jelas dan gamblang mengenai penyelesaian sengketa apakah melalui pembentukan suatu badan tertentu yang khusus untuk menyelesaikan sengketa antara negara-negara anggota ASEAN ataupun antara ASEAN dengan negara anggotanya.

2. Adanya suatu itikad baik dari segenap pemerintah dari anggota ASEAN untuk bersama-sama menaati dan tunduk pada setiap kesepaktan dan perjanjian yang telah dibuat bersama. ASEAN perlu meningkatkan kapasitas masyarakatnya untuk mengembangkan keterikatan nasionalnya ke arah tingkat regional. Pemerintahan di ASEAN masih sering sekadar berkomitmen dan tidak


(3)

bertindak nyata. Kehadiran Piagam ASEAN, yang di dalamnya mengharuskan para anggota mematuhi keputusan bersama oleh ASEAN, akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi beberapa pihak. Piagam ASEAN memang telah didesain sedemikian rupa sehingga tidak terlalu keras terhadap para anggotanya yang belum bisa menaati kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat. Walaupun begitu, hendaklah ada komitmen bersama dari tiap-tiap negara untuk mematuhi setiap kesepaktan dan perjanjian agarcita-cita bersama ASEAN dalam membentuk Komunitas ASEAN 2015 tidak sekedar menjadi cita-cita, tetapi dapat direalisasikan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-buku :

Adolf, Huala, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Edisi Revisi, Jakarta : P.T Raja Grafindo Persada, 2002.

Aust, Anthony, Handbook of International Law, Cambridge : Cambridge University Press, 2005.

Buana, Mirza Satria, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Bandung : Nusamedia, 2007.

Csabafi, Anthony, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law,

The Hague, 1971.

Hamzah, H. Bachtiar, Hukum Internasional II, Medan : USU Press, 1997.

Mauna, Boer, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung : P.T Alumni, 2005.

Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional, Bandung : Mandar Maju, 2002.

Sabir, M., ASEAN Harapan dan Kenyataan, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1992.

Sabon, Max Boli, Ilmu Negara, Jakarta : Gramedia, 1994.

Shaw, Malcolm N., International Law, Fifth Edition, Cambridge : Cambridge University Press, 2003.

Siregar, Hasnil Basri, Hukum Organisasi Internasional, Medan : Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1998.

Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Jakarta : Sinar Grafika 2003.

Starke, J.G., Introduction to International Law, 9th Edition, London : Butterworth, 1984.

Suherman, Ade Maman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003.


(5)

Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Organisasi Internasional, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1990.

Suryokusumo, Sumaryo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Bandung : P.T. Alumni, 1997.

Suryokusumo, Sumaryo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Edisi Kedua,Bandung : P.T. Alumni, 1997.

Suwardi, Sri Setianingsih, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2004.

2. Kamus :

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2005.

3. Internet :

http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=9645&coid=1&coid=27. http://www.deplu.go.id/pages/asean.aspx?IDP=6&1=id.

http://www.id.indonesia.NI/content/view/432/76.

http://lovetya.wordpress.com/1008/12/15/hkm_0_1_ttg_asean_chartered. http://suryama.multiply.com/journal/item/164/

http://www.akademik.unsri.ae.id/download/jurnal/files/pudresources. http://www.bing.com/reference/semhtml/ASEAN.

http://id.wikipedia.org/wiki/ASEAN.

http://senandikahukum.wordpress.com/2009/06/06/quo-vadis-piagam-asean. http://www.sripoku.com/view/7402/piagam-asean-untuk-rakyat-asean. http://www.gadjahmada.pdu/index.php?page=rilis&artikel-1342. http://www.news.id.flaroll.com/news.


(6)

http://www.majalahmedium.com/index2.php?option=com_content&do.pdf=1&id =31.

http://www.ASEANCharter.indonesianembassy.it/home/ASEAN%20charter/Resu me.

http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=9645&coid=1 http://journal.bl.ac.id/wp.content/uploads/2007/01/trans

http://www.id.voi.co.id/berita_internasional/asia_pasifik.

4. Instrumen Internasional :

United Nations Charter (Piagam PBB).

United Nations Convention on The Law of The Sea. Deklarasi Bangkok.

ASEAN Charter (Piagam ASEAN).

Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional.