HAMBATAN ATAU MASALAH DALAM PERLINDUNGAN

BAB IV HAMBATAN ATAU MASALAH DALAM PERLINDUNGAN

PENGUNGKAP FAKTA WHISTLEBLOWER MENURUT UNDANG- UNDANG RI NO. 13 TAHUN 2006 1. Hambatan atau Masalah Perlindungan Pengungkap Fakta Whistleblower Keberadaan suatu perundang-undangan dalam suatu sistem hokum merupakan faktor yang sangat menentukan bagi tercapainya suatu tertib hokum karena untuk itulah salh satu tujuan dibentuknya undang-undang. Terlebih lagi undang-undang merupakan sumber hokum yang utama, yang mana kaidah-kaidah hokum yang banyak itu memang berasal dari pengundang-undang legislasi, yang menuliskan hukum dalam berbagai undang-undang dan membukukannya dalam kitab undang- undang. Undang-undang yang dibuat dan diundangkan oleh legislasi pusat, sering sekali menimbulkan polemik bagi pengguna atau penegak undang-undang. Pasal yang dibuat yang memberikan pengertian sesuatu masalah namun pada hakekatnya berbeda dalam kenyataannya kemudian ketika dicari penjelasan dalam pasal tersebut hanya disebutkan cukup jelas. M.Solly Lubis 101 menyebutkan ada tiga dasar atau landasan dalam pembuatan segala peraturan, pada tiap jenis dan tingkat yaitu : 1. Landasan filosofis 2. Landasan yuridis 101 M.Solly Lubis, Landasan Teknik Perundang-undangan, Bandung :Mandar Maju, 1995, hal 7 144 Universitas Sumatera Utara 3. Landasan politis Ad. 1. Landasan filosofis Landasan filosofis adalah dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan pemerintahan ke dalam suatu rencana atau draft peraturan negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila artinya Pancasila menjadi dasar filsafat perundang-undangan dan pada prinsipnya tidak dibuat suatu peraturan yang bertentangan dengan dasar filsafat ini. Ad. 2. Landasan yuridis Landasan yuridis adalah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum rechtsgrond bagi pembuatan suatu peraturan. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki UUD 1945, yang menjadi landasan yuridis bagi pembuatan undang-undang organik. Landasan yuridis dibagi atas dua bagian yaitu landasan yuridis dari segi formil yakni dasar kewenangan bevoegdheid bagi instansi untuk membuat peraturan tertentu dan landasan yuridis dari segi materil yakni untuk segi isi materi dalam mengatur hal-hal tertentu. Ad. 3. Landasan politis Landasan politis adalah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan negara. Universitas Sumatera Utara Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 jika dicermati lebih dalam, isinya juga mengandung kelemahan yang dapat menjadi hambatan dalam pelaksanaannya. Pasal 2 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 mengatur perlindungan hanya untuk saksi, korban, keluarga serta harta bendanya. Mencermati pengertian saksi dalam pasal I angka 1 dalam ketentuan umum yang dimaksud dengan saksi. adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan atau ia alami sendiri. Definisi saksi tersebut tidak berbeda dengan yang tercantum dalam KUHAP sehingga dengan demikian definisi saksi dalam Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tidak termasuk didalamnya pelapor. Sementara pelapor dapat saja padanya memperoleh dokumen atau data penting tentang suatu peristiwa pidana meskipun ia tidak melihat langsung atau mengalami langsung terjadinya suatu peristiwa pidana. Emerson Juntho 102 Koordinator bidang Monitoring Peradilan ICW mengatakan dengan tidak masuknya pelapor dalam definisi sebagai saksi maka pelapor tidak memiliki hak-hak sebagai saksi seperti yang diatur dalam pasal 5 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 seperti hak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya. Patut kiranya dilakukan interpretasi yang lebih luas perihal definisi saksi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dalam 102 Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, Jakarta : Harvarindo, 2007, hal vi\ Universitas Sumatera Utara peraturan pelaksanaannya sehingga pengertian saksi dalam pasal 1 angka 1 juga termasuk di dalamnya adalah pelapor. Pasal 5 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 menyebutkan saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, ancaman, ikut menentukan bentuk perlindungan dan memberikan keterangan tanpa tekanan dan lain-lain. Selanjutnya pada ayat 2 pasal 5 bahwa hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan kepada saksi danatau korban tindak pidana dalam kasuskasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Pembentukan LPSK merupakan jiwa atau roh dalam Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 sebagai lembaga independen yang mengatur tata cara pemberian perlindungan kepada saksi dan korban. Hanya yang menjadi permasalahan bahwa hingga batas waktu selama 1satu setelah diundangkannya Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 sebagaimana batas waktu paling lambat pembentukan LPSK pada kenyataannya belum terbentuk. Hal ini menjadi masalah dalam penentuan kasuskasus tertentu yang bagaimana diberikan perlindungan saksi dan korban dan saksikorban belum dapat melaporkan dalam hal membutuhkan perlindungan. LPSK sebagai kordinator atau yang menjadi super visi untuk memberikan rekomendasi kepada penegak hukum dalam hal saksi dan korban suatu kasus tertentu wajib dilindungi berupa perlindungan hukum maupun perlindungan khusus. Keputusan mutlak absolut untuk memberikan rekomendasi saksi dan korban mendapat perlindungan terletak sepenuhnya pada LPSK sementara pelaksana teknisnya terletak kepada penegak hukum polisi, jaksa dan hakim. Universitas Sumatera Utara Pasal 6 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 memberikan pembatasan dalam hal pemberian bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial yang hanya dapat diberikan kepada korban pelanggaran HAM berat. Pertanyaan yang timbul disini, bagaimana dengan korban -korban kejahatan lainnya yang mengalami luka fisik tindak pidana dengan kekerasan, pengancaman, perampokan, kejahatan terhadap wanita dan anak, penganiayaan berat, perkosaan dan masih banyak korban-korban kejahatan lainnya yang sangat dimungkinkan juga membutuhkan bantuan medis yang bersifat darurat dan korban yang menderita gangguan psikologis akibat efek traumatis yang ditimbulkan dari peristiwa kejahatan yang dialaminya serta terancamdalam memberikan keterangannya dalam proses penyidikan ? Bagaimana pula dengan korban akibat viktimisasi struktural yang berdampak Was dan korban akibat penyalahgunaan wewenang abuse of power sub-sub sistem dalam criminal justice system yang mengalami rangkaian viktimisasi pasca kejahatan ? Berdasarkan undang- undang ini, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tidak dapat memutuskan untuk memberikan bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial terhadap korban kejahatan lainnya selain kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat. 103 Pasa16 ini bersifat disparitas pengkotak-kotakan sebab pemberian bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial hanya kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat sehingga tidak sejalan dengan asas tidak diskriminatif sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006. Saksi atau korban dalam 103 Dony Setiawan, Kolom : Diskriminatif Perlindungan Saksi dan Korban Forum Keadilan No. 42, 5 Maret 2007, Ha160 Universitas Sumatera Utara tindak pidana umum lainnya seperti kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan dan lain sebagainya tidak sedikit mengalami traumatis dan tekanan-tekanan yang bersifat psikologis akibat dari suatu tindak pidana. Saksi yang menjadi korban ini tentunya juga membutuhkan pertolongan medis berupa fisioterapi untuk menyembuhkan hal-hal yang bersifat traumatis. Pasal 7 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang kewajiban bagi negara memberi kompensasi atau memberi restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat. Di dalam undang-undang ini tidak terdapat ketentuan yang mengatur sanksi jika negara tidak memberi kompensasi atau pelaku tidak memberi restitusi bagi korban pelanggaran HAM berat. Kondisi ini akan memunculkan kejahatan lain yaitu pembiaran atau kelalaian yang disengaja. Masalah lain yang timbul bahwa keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan yang selanjurnya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Standar atau tolak ukur besar - kecilnya pemberian kompensasi dan restitusi belum jelas acuannya dan hingga saat ini belum ada peraturan atau ketentuan menjadi acuan pemberian kompensasi dan restitusi. Penerbitan Peraturan Pemerintah untuk mengatur pemberian kompensasi dan restitusi ini perlu untuk dilakukan. Pasal 8 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 perihal perlindungan yang baru dilakukan saat penyelidikan dimulai. Ketentuan ini memberi peluang pelapor masih akan mendapat ancaman sebab teror dan kriminalisasi umumnya sudah terjadi sejak pelaporan. Seyogyanya perlindungan dilakukan sejak pada saat pelaporan Universitas Sumatera Utara sehingga dengan demikian terdapat waktu yang kosong antara pelaporan dan penyelidikan. Sebagaimana disebutkan dalam uraian sebelumnya pemberian perlindungan kepada pengungkap fakta whistleblower hambatan normatif dalam undang-undang ini yakni dalam penentuan pada saat mana pengungkap fakta whistleblower mendapat perlindungan hukum dan perlindungan khusus atau pada saat bagaimana pelapor whistleblower mendapat perlindungan hukum dan perlindungan khusus. Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 memberlakukan prinsip immunitas bagi pelapor atas laporan atau kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya. Pemberian perlindungan hukum dan perlindungan khusus ini hanya ditujukan pada saksi, korban dan pelapor yang memberikan keterangan dengan itikad baik. Artinya kepada saksi, korban dan pelapor harus mengetahui hak dan kewaj ibannya setelah memberikanmengungkapkan suatu fakta kepada penyidik dan atau LPSK untuk memperoleh perlindungan hukum. Pengungkap fakta whistleblower wajib memiliki etika hukum yakni setelah menyampaikan laporan atau mengungkap fakta kepada penyidik dan atau LPSK. Whistleblower tersebut tidak boleh mengungkapkan dugaan suatu kejahatan yang dilakukan seseorang kepada publik sehingga masyarakat publik mengetahuinya sementara dugaan kejahatan tersebut belum tentu benar atau terbukti di persidangan. Prinsip immunitas sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 merupakan penyimpangan dari prinsip hukum umum yakni asas praduga tidak bersalah Universitas Sumatera Utara presumption or innocence. Saksi atau Pelapor disini dapat langsung melaporkan seseorang berdasarkan fakta yang dimiliki tanpa perlu mempertimbangkan apakah laporan tersebut benar atau tidak, terbukti atau tidak di pengadilan. Penting untuk ditegaskan bahwa perlindungan hukum dan perlindungan khusus hanya ditujukan kepada pengungkap fakta whistleblower yang memiliki etika hukum. Prinsip kehati-hatian dalam pemberlakuan prinsip immunitas sebagaimana terdapat dalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 sangat penting dipertimbangkan dalam pemberian perlindungan hukum bagi para pengungkap fakta whistleblower; pelapor agar tiada menimbulkan masalah hukum baru yakni pencideraan nama baik orang lain yang dilaporkan. Demikian juga halnya penerapan konsep protection of cooperating person pada pasal 10 ayat 2, agar dilakukan dengan hati-hati dan selektif. Tujuannya agar tidak terjadi disparitas hukuman yang terlalu mencolok bagi pelaku-pelaku yang melakukan tindak pidana yang hampir sama sekaligus memberikan efek jera di masyarakat. Tolak ukur atau kriteria harus jelas sehingga untuk menilai seorang pelaku yang juga sebagai saksi saksi mahkota dianggap bersifat kooperatif dengan aparat penegak hukum harus dilakukan dengan penilaian yang sangat selektif. Pasal 11 Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 perihal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK merupakan lembaga mandiri yang dibentuk di setiap ibukota propinsi dan kabupaten yang dianggap perlu oleh LPSK. Seyogyanya LPSK ini adalah lembaga yang mandiri seperti US Marshall di Amerika Universitas Sumatera Utara serikat, sehingga lembaga ini punya tenaga pengamanan tersendiri dan polisi membantu di level tertentu dan dengan demikian sifat kerahasiaan whistleblower lebih terjamin. 2 . Upaya Perlindungan Saksi sebagai Arah Pembaharuan Konsep Pemidanaan Kompleksitas permasalahan dalam pemberian perlindungan bagi pengungkap fakta sebagaimana disebut di atas, solusi yang ditawarkan antara lain adalah dalam Peraturan Pemerintah PP, permasalahan yang berkaitan dengan masalah-masalah teknis perlindungan saksi dan atau korban tersebut segera dilakukan dan diatur secara terperinci. Disamping itu keseriusan pemerintah political will pemerintah terhadap paska berlakunya Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 dalam penyediaan anggaran negara untuk pembangunan sarana dan prasarana dan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Efektif tidaknyanya suatu undang-undang ditentukan antara lain pembentukan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaannya dan hal-hal yang bersifat teknis diatur lebih terperinci. Dalam Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 misalnya segera dibentuk LPSK untuk menentukan syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan atau korban harus diatur lebih terperinci, Peraturan LPSK mengenai tata cara pemilihan pimpinan LPSK, Peraturan Pemerintah tentang tata cara pemberian kompensasi dan restitusi dan lain sebagainya. Universitas Sumatera Utara Upaya yang lain berupa perubahan konsep dan tujuan pemidanaan. Penjelasan umum Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 disebutkan bahwa KUHAP pada pasal 50 sampai dengan pasal 68 hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka dan terdakwa terhadap kemungkinan adanya pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum equality before the law dalam penjelasan umum itu saksi maupun korban dalam proses peradilan pidana harus diberikan jaminan perlindungan hukum. Perlindungan kepada korban saksi korbanpelapor adalah sejalan dengan konsep keadilan yang ingin dicapai dalam hukum pidana Indonesia yakni keadilan restoratif restoratif justice 104 Menurut 104 Mudzakkir, Disertasi : Posisi hukum korban kejahatan dalm system peradilan pidana, Program Pasca sarjana Fakultas Hukum UI, hal 25, Ada dua konsep keadilan dalam hokum pidana yang mempegaruhi perubahan fundamental dalam system hokum pidana dan relevan dengan pengkajian status saksi dan atau korban saksi korban yaitu Keadilan retributive retributive justice dan keadilan restorative restorative justice. Kedua konsep ini memiliki sejumlah perbedaan dalam melihat beberapa hal tentang konsep-konsep dasar dalam hokum dalam hokum pidana formil dan materil dan penyelenggaraan peradilan pidana, khususnya posisi korban kejahatan. Perbedaan itu diawali dari konsep kejahatan atau pelanggaran hokum pidana. Perbedaan konsep ini membawa implikasi pada pengaturan hak-hak korban saksi korban linnya karena menjadi dasar pengaturan hak siapakah sesungguhnya yang dilanggar dalam pelanggaran hukum pidana. Menurut perspektif keadilan retributive, kejahatan adalah pelanggaran terhadap tertib publik public order atau suatu perbuatan melawan masyarakat, melawan badan kolektif dari warga Negara, menentangserangkaian standar oleh institusi-institusi demokratik masyarakat. Oleh sebab itu, administrasi peradilan menekankan pada pertanggungjawaban secara eksklusif oleh Negara memonopoli penuntut dan penegakannya. Perspektif keadilan restorative memandang kejahatan, meskipun kejahatan dilakukan juga melanggar hokum pidana adalah konflik antar individu yang menimbulkan kerugian kepada korban , masyarakat dan pelanggar sendiri. Diantara ketiga kelompok tersebut, kepentingan korban kejahatan sebagai bagian yang utama karena kejahatan itu menurut Andrew Ashworth, “primarily an offence against the victim and only secondarily an offence against the wider community or state . Perubahan konseptual ini memiliki konsekuensi yang juh. Ketik kejahatan dipandang sebagai gangguan tertib public, secara alamiah bahwa Negara, wakil dari sebagian masyarakat- sebagai pihak yang dirugikan adalah dasar pandangan polisi untuk menindak pelanggar undang- undang dan selanjutnya konsep tersebut dijadikan basis untuk merumuskn tujuan dan jenis pemidanaan. Ketika kejahatan dipandang sebagai suatu perbuatan permusuhan oleh stu anggota masyarakt kepada anggota masyarakat kepada anggota masyarakat yang lain, korban kejahatan menjadi bagian yang penting dalam proses pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana. Universitas Sumatera Utara Daniel W Van Ness 105 bahwa keadilan restoratif hendak mencapai beberapa nilai melalui penyelenggaraan peradilan pidana yaitu : pertama, penyelesaian konflik conflik solution yang mengandung muatan pemberian ganti kerugian recompense dan pemulihan nama baik findication dan kedua rasa aman safety yang mengandung muatan perdamaian peace dan ketertiban order. Sejarah pembentukan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 adalah dilatarbelakangi desakan dari aktivis antikorupsi dan aktifis hak asasi manusia sehingga jiwa dan pendekatan yang dilakukan dalam pemberian perlindungan saksi difokuskan kepada tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM extra ordinary crime. Namun perlu disadari bahwa tindak pidana yang tetjadi di masyarakat atau yang menjadi korban kejahatan dalam masyarakat adalah meliputi juga kejahatan- Korban berkepentingan dalam setiap pengambilan keputusan oleh otoritas sistem peradilan pidana. Posisi hukum korban saksi korban kejahatan, sebagai pihak yang dirugikan menjadi sentral dalam penyelesaian perkara dan restitusi yang dibayarkan oleh pelaku kepada korban kejahatan menjadi bagian dari hukum pidana dan pemidanaan, tidak lagi menjadi bagian dari hokum perdata civil law yang digabungkan dengan hokum pidana. Perubahan perspektif dari keadilan restributif kepada keadilan restoratif adalah perubahan pada level filsafah keadilan yang mendasari peraturan perundang-undangan hukum positif--- sebagai asas hukum materil --- di bidang hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Pertama, keadilan dalam hukum pidana berorientasi pada kepentingan atau penderitaan korban dan terdakwa bertanggungjawab terhadap akibat perbuatannya. Kedua, kejahatan adalah pelanggaran antar perseorangan maka ketiga yang menjadi korban adalah orang yang dirugikan karena kejahatan pelanggaran hokum pidana yaitu : korban, masyarakat, negara dan sesungguhnya juga pelanggar itu sendiri. Keempat, penyelenggaraan peradilan pidana sebagai sarana penyelesaian konflik dan kelima, pidana dan jenis pidana yang hendak dijatuhkan kepada pelanggar adalah bagian dari penyelesaian konflik dan tanggungjawab pelanggar terhadap akibat perbuatannya. Keenam, korban, masyarakat, negara dan pelanggar dalam proses peradilan pidana bersifat aktif. 105 Ibid, hal 27 Universitas Sumatera Utara kejahatan tindak pidana umum lainnya seperti : kekerasan dalam rumah tangga, perampokan, penganiayaan dan lain-lain. Viktimologi memberikan perhatian besar terhadap pemulihan hak-hak dari korban sebagai akibat dari suatu kejahatan dan perlindungan saksi yang dilakukan adalah dalam rangka upaya pengungkapan suatu kejahatan kepada publik dan keberpihakan hukum kepada korban. Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini tidak banyak berpihak kepada korban kejahatan. 106 Sistem pemidanaan yang kini berlaku di dunia, terutama di Indonesia belum memberikan tempat terhadap korban pelanggaran hukum. Masyarakat menganggap pemenjaraan pelanggaran hukum sudah cukup. Pandangan tradisional, perkara pidana dianggap perkara antara negara melawan pelaku seolah-olah tidak ada urusannya dengan korban. Dalam sistem restorarif justice, pandangan ini akan diubah bahwa perkara itu tidak hanya berkepentingan dengan ketertiban tetapi kepentingan korban seperti pemulihan korban. Prakteknya. restoratif justice Iebih mengedepankan proses mediasi antara korban dan pelaku. tidak mementingkan penghukuman pemenjaraan serta lebih mengedepankan pembangunanrasa tanggungjawab terhadap korban dan lingkungan masyarakat. Indriyanto Seno Adji, 107 menyatakan penjara bukanlah tempat terbaik - pembinaan para pelaku kejahatan dan penjara justru sering disebut sekolah tinggi kejahatan. Penerapan restoratif justice menurut beliau harus dibarengi dengan beberapa persyaratan, misalnya hanya berlaku untuk jenis tindak pidana tertentu 106 Perlindungan saksi, Kompas, 21 Mei 2008, Hal 4 107 Ibid Universitas Sumatera Utara terutama yang ancamannya tidak terlalu berat dan dengan persetujuan korban. Restoratif justice juga dapat diberlakukan untuk tindak pidana korupsi terutama untuk pelaku yang perannya tidak terlampau penting dan bersedia bekerjasama dengan penegak hukum guna membongkar kasus korupsi tersebut. Di bawah filsafat keadilan restoratif, kejahatan tidak selalu dibatasi sebagai serangan pada negara tetapi suatu pelanggaran oleh seseorang terhadap yang lain akan tetapi ini bukan berarti mengambil kembali wewenang balas dendam dari negara kepada korban kejahatan. 108 Keadilan restoratif berpijak pada hubungan yang manusiawi antara korban dengn pelanggar dan fokusnya pada dampak vang ditimbulkan oleh kejahatan pada semua pihak bukan hanya pada korban tetapi juga pada masyarakat dan pelanggar sendiri. Oleh sebab itu, dalam pemidanaan yang bersendikan pada persfektif keadilan restoratif, empat unsur yang memainkan peranan yaitu : korban kejahatan, masyarakat, negara dan pelanggar. Elemen-elemen keadilan restoratif dalam pemidanaan adalah kompensasi. mediasi, rekonsiliasi, penyembuhan dan pemamfaatan. Elemen-elemen tersebut berbeda dengan elemen keadilan retributif yaitu : pembalasan, pemidanaan, isolasi, stigmatisasi dan penjeraan. 109 108 Disertasi Mudzakkir, op. cit, hal 201 109 Ibid, hal 203 Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen yang terkait

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAPOR TINDAK PIDANA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 15 26

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 7 35

PENDAHULUAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 2 12

PENUTUP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 3 8

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

0 0 2

UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 0 14

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

0 0 14

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLE BLOWER) DALAM PERKARA PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN | ISMAIL | Legal Opinion 5960 19841 1 PB

0 0 9

TESIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 JO UU RI NO. 31 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 0 18

JURNAL PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 0 15