Struktur Fisik Puisi TINJAUAN PUSTAKA

e. Citra penciuman Citra penciuman adalah citraan yang dapat ditimbulkan dengan menggunakan pengalaman indera penciuman. Pengalaman yang merupakan hasil penginderaan indera penciuman, berkaitan dengan bau, dengan berbagai jenis sumber bau dan kualitas bau juga merupakan penanda hadirnya citra penciuman. Citra penciuman biasanya ditandai dengan penggunaan kata-kata yang berkaitan dengan indera penciuman misalnya bau, amis, bacin, harum, wangi, busuk, basi, sedap dan sebagainya. f. Citra pencecapan Citra pencecapan adalah citraan yang dapat dimunculkan dengan menggunakan pengalaman indera pencecapan. Pengalaman sensoris yang berkaiatan dengan rasa lidah menjadi sumber citraan pencecapan. Citra pencecapan biasanya ditandai dengan kata-kata antara lain: manis, asin, masam, pahit, tazuar, gurih dan sebagainya. g. Citra Suhu Citra suhu adalah citra yang dapat dibangkitkan melalui pengalaman sensoris yang berkaitan dengan suhu. Pengalaman sensoris akan suhu suatu objek atau suhu lingkungan, sebenarnya merupakan hasil tanggapan indera peraba atau kulit. Citraan suhu dalam suatu wacana biasanya ditandai dengan kata-kata berikut ini: dingin, beku, hangat, suam, papas. Selain kata-kata tersebut, kehadiran citraan suhu juga ditandai dengan adanya diksi konkret yang menunjuk pada sesuatu yang memiliki kualitas suhu tertentu, misalnya bara, api, salju, dan juga oleh diksi konkret yang menunjuk pada sesuatu yang dapat menghasilkan efek suhu tertentu, misalnya selimut dan perdiangan. 4. Kata Konkret Untuk membangkitkan imaji daya bayang pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret ini juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisinya. 10 Misalnya, untuk memperkonkret perasaan penasaran karena belum berhasil menemukan rahasia Tuhan, Sutardji Calzoum Bachri menggunakan kata-kata: kapak, hamuk, diancuk dan ungkapan-ungkapan : 11 Semua orang membawa kapak semua orang begerak pergi menuju langitsemua orang bersiap-siap nekadkalau tak sampai langit mengapa tak ditebang saja kapak-kapak mereka pukimak aku tak bisa tidur mimpi tertakik dan ranjang belah. 5. Bahasa Figuratif Majas Bahasa kiasan sering dipandang sebagai ciri khas bagi jenis sastra yang disebut puisi. Sekalipun ada puisi yang hampir tidak menampilkan kiasan-kiasan, tetapi dalam banyak sajak kiasan itu penting bagi susunan makna. Oleh karena itu pola tersebut dibicarakan di sini, walaupun juga dalam teks-teks naratif dan drama, bahkan dalam bahasa sehari-hari pun, kita jumpai kiasan. 12 Gaya bahasa Majas adalah cara menggunakan bahasa agar daya ungkap atau daya tarik atau sekaligus kedua-duanya bertambah. Ungkapan seperti “Gadis itu sangat cantik”, di samping tidak jelas, juga tidak menarik; lagi pula ungkapan seperti itu sudah terlalu sering kita dengar. Namun, isi ungkapan itu akan menjadi lebih jelas 10 Herman J. Waluyo. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. 1987. h.81. 11 Ibid., h.82. 12 Jan van Luxemburg, dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. dari Inleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia. 1984. h. 187. serta menarik seandainya diucapkan seperti ini: “Gadis itu cantik seperti bunga mawar”. 13 Berikut ini beberapa jenis majas berikut contohnya: a. Gaya Bahasa Percakapan Sejalan dengan kata-kata percakapan, terdapat juga gaya bahasa percakapan. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Kalau dibandingkan dengan gaya bahasa resmi dan gaya bahasa tak resmi, maka gaya bahasa percakapan ini dapat diumpamakan sebagai bahasa dalam pakaian sport. Itu berarti bahasanya masih lengkap untuk suatu kesempatan, dan masih dibentuk menurut kebiasaan-kebiasaan, tetapi kebiasaan ini agak longgar bila dibandingkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tak resmi. Berikut ini dikemukakan sebuah contoh dari suatu diskusi yang direkam dengan alat perekam dalam Seminar Bahasa Indonesia tahun 1966 di Jakarta: 14 Pertanyaan yang pertama, di sini memang sengaja saya tidak membedakan antara istilah jenis kata atau word classes atau parts of speech. Jadi ketiganya saya artikan sama di sini. Maksud saya ialah kelas-kelas kata, jadi penggolongan kata, dan hal itu tergantung kepada dari mana kita melihat dan dasar apa yang kita pakai untuk menggolongkan… Bahasa kutipan di atas adalah bahasa standar, tetapi berbeda dengan kutipan sebelumnya mengenai gaya bahasa resmi dan tak resmi. Dalam bahasa percakapan terdapat banyak konstruksi yang dipergunakan oleh orang-orang terpelajar, tetapi tidak pernah digunakan bila ia harus menulis sesuatu. Kalimat-kalimatnya singkat dan bersifat fragmenter; sering kalimat-kalimat yang singkat itu terdengar seolah-olah tidak dipisahkan oleh perhentian-perhentian final, seakan-akan disambung terus- menerus. 13 Jakob Sumardjo dan Saini K.M. Apresiasi Kesustraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1991. h.127. 14 Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008. h.120-121. b. Repetisi Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam bagian ini, hanya akan dibicarakan repetisi yang berbentuk kata atau frasa atau klausa. Karena nilainya dianggap tinggi, maka dalam oratori timbullah bermacam- macam variasi repetisi. 15 Banyaknya jenis atau variasi perulangan yang digunakan oleh penyair dalam karya mereka menunjukkan bahwa gaya perulangan ini sangat personal pula sifatnya, sebagaimana dengan gaya pengungkapan yang lain. Oleh sebab itu tidak ada ketentuan yang mengikatnya. Perulangan yang dilakukan Ajip Rosidi KENANGAN. 16 Yang paling indah adalah kenangan Yang paling mengesan adalah kenangan Yang paling menikam adalah kenangan Yang paling terkenang adalah yang fana Yang paling rapuh dalam hidup ini Pada contoh di atas jelas bahwa repetisi mempunyai peranan yang penting dalam membuat intensitas makna dan menghasilkan musikalitas dan daya magis. c. Persamaan atau Simile Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang lain. 17 Gaya bahasa ini digunakan untuk membandingkan dua hal atau benda yang tidak sama esensinya. 18 Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misalnya, kikirnya seperti 15 Ibid., h.127. 16 M. Atar Semi. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya Padang. 1988. h.129-132. 17 Gorys Keraf. loc.cit., h.138. 18 Mayang Hamdani, dkk. Kesastraan. Jakarta: Karunika Universitas Terbuka. 1987. h. 1.22. kepiting batu. Kadang-kadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan obyek pertama yang mau dibandingkan. Contohnya, seperti menating minyak penuh. 19 6. Versifikasi Rima dan Ritma a. Rima Pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu, puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang bunyi ini, penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana bunyi. 20 Selanjutnya, kita mengenal beberapa jenis rima; antara lain: 21 1 Rima berangkai; dengan susunan rumus: aa, bb, cc, dd … Dimata air, didasar kolam a Kucari jawab teka-teki alam a Di kawan awan kian kemari b Disitu juga jawabnya kucari b Diwarnai bunga yang kembang c Kubawa jawab, penghalang bimbang c Kepada gunung penjaga waktu d Kutanya jawab kebenaran tentu d 2 Rima berselang, dengan rumus : abab, cdcd Duduk dipantai waktu senja, a Naik dirakit buaian ombak, b Sambil bercermin diair-kaca, a Lagi diayunkan lagu ombak b Lautan besar bagai bermimpi c Tiada gerak, tetap berbaring … d Tapi pandang karang ditepi c Disana ombak memecag nyaring … d 19 Gorys Keraf. loc.cit., 20 Herman J. Waluyo. op.cit., h. 90. 21 Henry Guntur Tarigan. op.cit., h.36-37. b. Ritma Irama Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma juga dapat dibayangkan seperti mocopat dalam tembang Jawa. Dalam tembang tersebut irama berupa pemotongan baris-baris puisi secara berulang-ulang setiap 4 suku kata pada baris-baris puisi sehingga menimbulkan gelombang yang teratur. Dalam situasi semacam ini irama disebut periodisitet yang berkorespondensi, yakni pemotongan frasa-frasa berulang. Berikut ini contoh ritma dalam puisi lama : 22 Dari mana punai melayang Dari sawah turun ke kali Dari mana kasih saying Dari mata turun ke hati. Pengaruh irama dalam puisi sangatlah besar, ia menyebabkan terjadinya rasa keindahan, timbulnya imajinasi, munculnya daya pukau, dan lebih dari itu ia dapat memperkuat pengertian. Pengaruh besar semacam itu akan muncul tentunya bila irama itu terjalin secara padu dengan unsur-unsur lain. Untuk mengetahui irama suatu puisi tidak terlepas pula dari pengenalan akan nada dan suasana puisi tersebut, karena suasana dan nada puisi mempunyai kaitan yang amat padu dengan irama puisi tersebut. Sebuah puisi biasa mempunyai nada dan suasana sendiri dan sekaligus memiliki irama sendiri. Dengan mengetahui irama, pembaca puisi dengan mudah terbantu menentukan tekanan dan jeda. Dengan demikian akan member bantuan yang besar terhadap penikmatan dan pemahaman puisi yang bersangkutan. 23

B. Struktur Batin Puisi

I.A. Richards di dalam buku Wahyudi Siswanto berpendapat bahwa struktur batin puisi terdiri atas empat unsur: 1 tema; makna sense, 2 rasa feeling, 3 nada tone, dan 4 amanat; tujuan; maksud intention. 24 22 Herman J. Waluyo. op.cit., h.94. 23 M. Atar Semi. op.cit., h.121. 24 Wahyudi Siswanto. op.cit., h.124. 1. Tema Tema adalah ide dasar dari suatu puisi. Tema menjadi inti dari keseluruhan makna yang disampaikan oleh penyair. 25 Dalam menyampaikan tema, penyair menggunakan diksi, imaji dan gaya bahasa yang telah dipilihnya secara cermat dan kritis yang disusun menjadi bentuk yang sesuai dan efektif. Tema menjelmakan pemahaman penyair mengenai dirinya dan dunianya dan merupakan suatu pengamatan terhadap aspek kehidupan atau pengalaman manusia. 26 Misalnya, dalam puisi “Padamu Jua” Amir Hamzah dan “Doa” Chairil Anwar. Meskipun bahasa yang digunakan berbeda tapi tema yang digunakan sama, yakni kembali ke Tuhan. 27 2. Rasa Rasa adalah sikap penyair terhadap pokok pikiran yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa berkaitan erat dengan latar belakang sosial dan psikologis penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, serta pengetahuan. Toto Sudarto Bachtiar dala m “Gadis Peminta-minta”, menyikapi pengemis kecil dengan netral, tidak membenci dan tidak pula dengan rasa belas kasihan yang berlebihan. Dia dapat merasakan kegembiran pengemis kecil dalam dunianya sendiri, bukan merupakan dunia yang penuh penderitaan seperti yang disangka orang. 28 3. Nada Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca sehubungan dengan pokok pikiran yang disampaikannya dalam puisinya. 29 Jika nada merupakan sikap penyair terhadap pembaca, maka suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu atau 25 Kisyani Laksono, dkk. Membaca 2. Jakarta: Universitas Terbuka. 2008. h. 8.20. 26 Mayang Hamdani, dkk. op.cit., h. 1.34. 27 Wahyudi Siswanto. loc.cit., 28 Ibid., h. 125. 29 Kisyani Laksono, dkk. op. cit. h. 8.19. akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada duka yang diciptakan penyair dapat menimbulkan suasana penuh pergolakan batin bagi pembaca. Nada religus dapat menimbulkan suasana khusyuk. Begitu seterusnya. 30 Dalam puisi “Jalan Segara”, sikap Taufiq Ismail terhadap penguasa sinis. Dalam puisi “Nyanyian Angsa”, Rendra seakan mengajak pembaca untuk melihat perlakuan masyarakat, dokter, dan pastor terhadap pelacur. 31 4. Amanat Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar di dalam karyanya. Amanat dapat disampaikan secara langsung, tersurat, dapat juga secara tidak langsung atau tersirat. Melalui puisi tersebut Abdul Hadi W.M. menyampaikan amanat pesan bahwa kendati gaib dan tak terdeteksi alat indra kita, Tuhan itu sebetulnya dekat sekali dengan hambanya. Tak ada jarak. Kalau ada yang berpendapat bahwa Tuhan itu jauh, sebenarnya karena orang itu tidak pernah mau mendekat kepada-Nya. Tuhan Mana Tahu, mendengar, dan merespons apa pun yang disampaikan hamba-Nya. 32

C. Sastra Lisan

Istilah sastra lisan tidak asing bagi orang Indonesia. Apapun makna dan referensi yang diberikan kepada kata itu, secara umum ada makna yang kira-kira sama, kegiatan lisan yang bukan percakapan sehari-hari, seperti puisi-puisi rakyat, cerita lisan yang hidup di tengah masyarakat, mantera, juga pertunjukkan lisan. Artinya, ada pengetahuan sastra lisan dalam kesadaran kolektif kita. Sastra lisan penting dikaji karena beberapa alasan. Alasan pertama, ia ada dan terus hidup di tengah masyarakat, tidak saja dalam masyarakat Indonesia tetapi juga 30 Herman J. Waluyo. op. cit. h. 125. 31 Wahyudi Siswanto. op. cit. h.125. 32 Bustanul Arifin, dkk. Menyimak. Jakarta: Universitas Terbuka. 2008. h. 6.8. di banyak negara lain di dunia. Sastra lisan itu hidup pada masyarakat pertamanya, yaitu masyarakat yang melahirkan dan menghidupkannya, di daerah kelahiran, di kampung asal. Secara umum, suatu genre sastra lisan itu hidup di daerah asalnya saja. Bila diambil contoh nyata, dalam budaya Minangkabau di Sumatra Barat terdapat beberapa genre, antara lain rabab Pasisia, rabab Pariaman, dendang Pauah. Yang kedua, sastra lisan menyimpan kearifan lokal kecendekiaan tradisional, pesan-pesan moral, dan nilai sosial dan budaya. Semua tumbuh, berkembang, dan diwariskan dalam masyarakat sastra itu secara lisan. Ketika berbicara tentang pembangunan karakter bangsa, mestinya sastra lisan menjadi salah satu sumber karakter bangsa karena karakter bangsa yang disimpan di dalam sastra lisan itu sesuai dengan konteks sosial, agama, dan lingkungan. 33 Kesenian dalam bentuk suara atau tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Betawi mempunyai beberapa karakter yang berbeda dengan kesenian dari wilayah kebudayaan seperti Bali, Jawa, ataupun Melayu. Selain perbedaan bahasa, hal yang membedakan kesenian Betawi dengan kesenian dari daerah lain adalah bentuk penyajiannya. Sedyawati dalam buku Ragam Seni Budaya Betawi menguraikan bahwa tradisi lisan terdapat empat bentuk penyajian, yaitu penyajian yang hanya menggunakan unsur suara atau tuturan murni, menggabungkan tuturan dengan musik, menggabungkan tuturan, musik, dan gerakan, serta tuturan yang disertai dengan gerakan, musik, dialog. Jika diterapkan dalam tradisi lisan masyarakat Betawi, pengelompokkannya dapat dikategorikan sebagai berikut. 34 a Pertunjukan dalam bentuk tuturan murni, contohnya sahibul hikayat dan pembacaan ratib. b Tuturan yang disertai dengan instrumen musik, seperti yang terlihat pada buleng dan pembacaan Maulid. c Tuturan yang disertai dengan gerakan, contohnya rancag. 33 Adriyetti Amir. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: ANDI. 2013. h. 18-21. 34 Tim Peneliti Kebudayaan Betawi FIB UI. Ragam Seni Budaya Betawi. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. 2012. h. 35-37. d Pertunjukan tuturan yang memadukan adegan-adegan, dialog, menari, dan sering pula diiringi dengan musik, seperti pada lenong dan permainan tradisional anak Betawi. Dalam berbagai jenisnya, sejarah terbentuknya tradisi lisan dapat ditelusuri seiring dengan perkembangan kebudayaan masyarakat Betawi. Setiap kesenian mempunyai sejarah pembentuka dan dan masyarakat pendukung yang berbeda. Setiap bentuk tradisi lisan di Betawi mempunyai karakteristik yang berbeda sebagai akibat dari perjalanan historis dan wilayah geografis kesenian tersebut. Dalam konteks tradisi lisan di Betawi, beberapa jenis kesenian juga mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Ada yang bertahan dan berkembang sampai saat ini, tetapi ada pula bentk seni yang sudah tidak dipentaskan lagi karena sudah tidak ada yang dapat memainkannya. Selanjutnya, secara ringkas dalam paparan berikutnya akan digambarkan peran bahasa Betawi dalam kesenian Betawi yang membedakannya dengan jenis kesenian dari daerah lain di Indonesia serta uraian mengenai jenis-jenis tradisi lisan yang terdapat dalam masyarakat Betawi, khususnya pantun dalam acara buka palang pintu.

D. Pengertian pantun

Kata pantun mengandung arti sebagai, seperti, ibarat, umpama, atau laksana. Sebagai contoh kita sering mendengar ucapan- ucapan “Sepantun labah-labah, meramu dalam badan sendiri”. Kata sepantun dalam susunan kalimat diatas mengandung arti sama dengan semua yang diungkapkan di depan. 35 Seperti halnya bidal, bentuk pantun ini pun merupakan kesusastraan hasil karya bangsa Indonesia sendiri. Pantun telah lama tersebar dan mendarah daging dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak sebelum masuknya kebudayaan Hindu. Bentuk yang sama dengan pantun dalam kesusastraan Indonesia terdapat pula dalam bahasa- 35 Nursisto. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2000. h.11.