xix Secara ringkas bahwa tujuan pembangunan perumahan adalah
mewujudkan tersedianya rumah dalam jumlah yang memadai, di dalam lingkungan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, kuat dalam jangkauan daya
beli rakyat banyak.
3. Kedudukan Konsumen Pada Perjanjian Jual Beli Rumah
Untuk kepraktisan dari segi hubungan hukum antara pengembang dengan konsumen, pada umumnya pengembang sebagai pihak yang kedudukannya lebih
kuat, menciptakan formulir-formulir standar yang mengikat standard form contracts.
Dalam praktek perlindungan konsumen, formulir-formulir itu disebut sebagai kontrak standar. Penggunaan istilah kontrak dalam hal ini bukanlah istilah
“kontrak rumah” sehari-hari yang digunakan masyarakat awam, yang membedakannya dengan “sewa rumah”. Kontrak disini dirumuskan sebagai
berikut : “Suatu kontrak dibuat dimana para pihak memberikan persetujuannya, atau dimana mereka diminta persetujuannya dan hukum mengakui hak dan
kewajiban yang timbul dari perjanjian”. Sedangkan standar disini memiliki pengertian baku. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kontrak standar adalah
perjanjian atau persetujuan yang dibuat para pihak mengenai suatu hal yang telah ditentukan secara baku standar serta dituangkan secara tertulis.
Kontrak standar yang diciptakan pihak pengembang sering memuat klausula-klausula pengecualian exemption clause, misalnya : meniadakan
xx tanggungjawab pengembang dalam hal terlambat menyerahkan bangunan,
membebaskan pengembang dari tuntutan atas kondisikualitas bangunan yang melampaui batas waktu seratus hari sejak serah terima bangunan fisik rumah atau
satuan rumah susun, sebaliknya bila konsumen terlambat membayar angsuran dikenakan penalti atau denda.
Hondius menyebut pembuat kontrak standar itu sebagai “pembuat undang- undang swasta” atau “hakim swasta”. Lebih lanjut dikatakannya adanya
penyalahgunaan keadaan misbruik van omstandigheiden, karena pihak lain berada keseluruhannya di bawah kemurahan hati pengusaha yang muncul sebagai
“hakim swasta”.
2
Oleh karena kontrak, yang biasanya disebut juga dengan PPJB dibuat oleh pengembang, subjektifitas pengembang sangat mempengaruhi dalam
memasukkan kepentingan-kepentingannya didalam PPJB, sebaliknya sulit bagi konsumen untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan didalam PPJB itu
walaupun sudah ada UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, namun kepentingan konsumen tidak terlindungi.
Pada umumnya kontrak standar atau PPJB dibuat dan dipersiapkan oleh pengembang sehingga secara leluasa ia dapat memasukkan kepentingan-
kepentingannya dan sebaliknya pengembang dapat menganulir kepentingan- kepentingan konsumen, misalnya dalam hubungan antara nasabah dengan pihak
bank kontraknya sudah dibuat secara standar. Demikian pula dalam hubungan antara pengembang dengan konsumen, PPJB sudah dipersiapkan secara baku dan
sepihak oleh pengembang atau kuasa hukumnya, sedangkan konsumen tinggal
xxi menandatanganinya jika setuju silahkan pilih, jika tidak setuju silahkan cari
pengembag lain, padahal pengembang lain pun melakukan hal yang sama. Sejumlah ketidakadilanpun dijumlah dalam klausula-klausula PPJB.
Pertama akibat keterlambatan pembayaran yang dialami konsumen. Klausula- klausula dalam PPJB menentukan bahwa konsumen harus membayar denda yang
tinggi, bahkan menghadapi pembatalan perjanjian dengan tanpa pengembalian sebagian atau keseluruhan uang muka yang sudah dibayarkan. Dalam hubungan
ini, bila pengembang yang terlambat menyelesaikan atau menyerahkan bangunan, akibat yang dialaminya hanya sebatas denda atau bahkan akibat yang dialami
pengembang tidak diatur sama sekali dalam PPJB dan kerugian-kerugian akibat keterlambatan itu juga tidak diperhitungkan.
Kedua, pembatasan tanggungjawab pengembang akas klaim atau tuntutan konsumen. Dalam praktek, penerapannya dilakukan dengan mencantumkan
klausula-klausula dalam PPJB yang pada intinya menetapkan suatu tengang waktu untuk mengajukan klaim atau kondisimutu bangunan atau hal-hal lain yang
dijanjikan pengembang. Biasanya dalam PPJB dicantumkan klausula bahwa konsumen dapat mengajukan klaim kepada pengembang dalam waktu 90 hari atau
100 hari setelah serah terima bangunan, termasuk dalam hal ini masalah cacat tersembunyi. Lewat dari waktu yang ditentukan secara sepihak itu, klaim atas
apapun tidak dilayani. Pembatasan ini tidak adil bagi konsumen karena waktu 90 hari atau 100 hari hanya cukup untuk meneliti kondisi atau kualitas bangunan
yang terlihat kasat mata sedangkan untuk mengetahui cacat-cacat tersembunyi pada bangunan, seperti konstruksi bangunan, penggunaan semen yang tidak sesuai
2
E.H. Hondius, Syarat-syarat Baku dalam Hukum Kontrak, Dalam Kompendium Hukum Belanda, Yayasan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia – Negeri Belanda di S-Gravenhage, Leiden,
xxii dengan perbandingan dan sebagainya tidak cukup dalam waktu itu. Klaim
konsumen tentang hal itu tidak dilayani pengembang setelah melampaui jangka waktu tersebut. Ini sama saja mengabaikan hak konsumen untuk mendapatkan
barangjasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya. Dalam keadaan ini pihak pengembang menggunakan kedudukannya itu untuk membebankan kewajiban
yang berat kepada pihak yang lainnya konsumen, sedangkan ia sedapat mungkin membatasi atau mengesampingkan tanggungjawabnya, termasuk dalam hal-hal
adanya cacat tersembunyi pada obyek perjanjian. Pasal 1493 KUH Perdata memang memungkinkan untuk mengurangi
kewajiban salah satu atau kedua belah pihak dengan menentukan sebagai berikut : “Kedua belah pihak diperbolehkan, dengan persetujuan-persetujuan istimewa,
memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini, bahkan mereka itu diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak
akan diwajibkan menanggung suatu apapun”. Ketentuan ini sering digunakan untuk memojokkan konsumen secara
hukum, padahal pasal berikutnya pasal 1494 KUH Perdata menegaskan bahwa : “meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung suatu
apapun, namun ia tetap bertanggungjawab tentang apa yang berupa akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan olehnya, segala persetujuan yang bertentangan
dengan hal ini adalah batal”. Dengan melihat ketentuan ini bahwa sebenarnya pengembang dalam
menciptakan kontrak standar tidak akan sewenang-wenang dalam memasukkan
1978, hal. 139-158.
xxiii kepentingan-kepentingannya, sebaliknya dengan merujuk pada asas kebebasan
berkontrak dan meminta perbaikan atau perubahan klausula-klausula dalam PPJB.
4. Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Perumahan Apabila telah diperoleh izin lokasi untuk yang dimohonkan maka sudah
dapat dimulai kegiatan perolehan tanahnya. Kemudian bila telah diperoleh tanahnya, maka pemohon harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak
atas tanah tersebut, yang dalam hal ini adalah Hak Guna Bangunan. Kemudian setelah menerima permohonan Hak Guna Bangunan secara
lengkap, maka panitia pemeriksa tanah yang telah ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pertanahan yang dalam hal ini disebut Panitia A memeriksa dan membuat risalah
pemeriksaan tanah selambat-lambatnya sepuluh hari kerja sejak diterimanya permohonan tersebut secara lengkap.
Adapun susunan Panitia A tersebut adalah : 1. Kepala seksi hak-hak atas tanah atau staf seksi hak-hak atas tanah yang senior
dari Kantor Pertanahan KabupatenKota, sebagai ketua merangkap anggota. 2. Kepala seksi pengukuran dan pendaftaran tanah atau staf seksi pengukuran
dan pendaftaran tanah yang senior dari Kantor Pertanahan KabupatenKota, sebagai wakil ketua merangkap anggota.
3. Kepala seksi atau staf pengaturan penguasaan tanah, kepala seksi atau staf seksi penatagunaan tanah dari Kantor Pertanahan KabupatenKota dan Kepala
Desalurah yang bersangkutan atau aparat desakelurahan yang ditunjuk untuk mewakili sebagai anggota.
xxiv 4. Kepala sub seksi pengurusan hak-hak atas tanah atau staf sub seksi
pengurusan hak-hak atas tanah Kantor Pertanahan KabupatenKota, sebagai sekretaris merangkap anggota.
Kemudian selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja sejak risalah pemeriksaan tanah selesai, Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota
menerbitkan surat keputusan pemberian Hak Guna Bangunan atas permohonan tersebut yang luasnya tidak lebih dari 5 Ha. Untuk luas tanah yang lebih dari 5 Ha
maka selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari kerja Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota telah menyampaikan permohonan tersebut kepada Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi disertai pertimbangan- pertimbangannya. Kemudian Kepala Kantor Pertanahan Propinsi menerbitkan
keputusan pemberian Hak Guna Bangunan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak diterimanya permohonan hak tersebut secara lengkap. Apabila ada
penolakan terhadap permohonan hak atas tanah tersebut, maka disampaikan kepada yang bersangkutan dengan tembusan kepada instansi yang terkait.
Oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat akan dibukukan dan diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan dalam waktu tujuh hari kerja sejak diterimanya :
a. Asli surat keputusan pemberian hak. b. Asli bukti pembayaran uang pemasukanuang administrasi dan kewajiban lain
yang diisyaratkan dalam keputusan pemberian hak. Adapun bentuk dan jenis-jenis hak atas tanah yang dapat dimiliki
perusahaan pembangunan perumahan adalah : 1. Untuk perusahaan pembangunan perumahan yang seluruh modalnya dari hak
pemerintah dan atau pemerintah daerah dapat diberikan :
xxv a. Hak pengelolaan
b. Hak Guna Bangunan da c. Hak Pakai
2. Untuk perusahaan pembangunan perumahan yang modalnya berasal dari swasta dapat diberikan :
a. Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai b. Hak Pakai
Jika diberikan hak pengelolaan, maka hak pengelolaan itu dengan suatu janji dapat diberikan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, kemudian dapat pula
diberikan secara langsung Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai oleh negara. Untuk Perum Perumnas, dapat diberikan Hak Milik, namun badan hukum
swasta lainnya tidak dapat diberikan hak milik, karena memang tidak ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk bisa memperoleh hak
milik tersebut. Terhadap tanah-tanah hak, baru dapat dimiliki oleh pengembang
pembangunan perumahan setelah memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang hak atas tanah dan harus terlebih dahulu mendapatkan izin lokasi sebagai persyaratan
untuk pengembang. Peralihan haknya haruslah dilakukan pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT.
Terhadap tanah yang berasal dari hak milik yang bersertifikat, maka setelah dilakukan peralihan haknya, maka investor harus melepaskan hak milik
tersebut dan memohonkan hak guna bangunannya. Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota atas permohonan pemegang hak milik menerbitkan hak guna
bangunan untuk selama tiga puluh tahun dan ditetapkan berakhir pada tanggal 24
xxvi September pada tahun ke tiga puluh berikutnya terhitung sejak diterbitkannya
keputusan pemberian izin lokasi. Untuk tanah-tanah dengan sertifikat Hak Guna Bangunan dapat dilakukan
langsung pemindahan haknya dihadapan PPAT dan kemudian dilakukan pendaftaran peralihan haknya di Kantor Pertanahan setempat dan sekaligus
diberikan perpanjangan haknya dan akan berakhir pada tanggal 24 September pada tahun ke tiga puluh sejak dikeluarkannya izin lokasi.
Sedangkan untuk tanah-tanah yang bersertifikat Hak Guna Usaha, bidang tanah tersebut diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunannya dengan dilampiri
gambar situasi atau surat ukur pemisahan yang jangka waktu berakhir haknya adalah sama dengan berakhirnya Hak Guna Usaha tersebut. Demikian pula
terhadap tanah-tanah dengan hak pakai harus terlebih dahulu dimohonkan Hak Guna Bangunannya.
Berbeda dengan tanah-tanah perorangan atau tanah-tanah milik adat yang belum bersertifikat, maka harus terlebih dahulu dimohonkan sertifikat Hak
Miliknya lalu hak tersebut dilepaskan dan dimohonkan Hak Guna Bangunan atas tanah tersebut setelah lewat waktu pengumuman atas tanah tersebut.
Adapun tanah-tanah yang langsung dikuasai oleh negara, pemohon harus terlebih dahulu membebaskan tanah tersebut dari semua penggarap atau
penguasaan lain atas tanah tersebut sebelum mengajukan haknya.
5. Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Rumah