xiii
B. Permasalahan
Berdasarkan pengamatan dan penelaahan penulis dari berbagai literatur, informasi serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat tentang pembelian,
pemilikan perumahan, pemukiman maka perlu kiranya penulis mengemukakan permasalahan-permasalahan yang ada dalam skripsi ini. Adapun permasalahannya
adalah sebagai berikut : a. Bagaimana konsep perlindungan konsumen menurut hukum positif Indonesia?
b. Bagaimana prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa yang timbul antara konsumen dengan pengembang ?
c. Bagaimana upaya penanggulangan terhadap kendala yang dihadapi dalam perlindungan konsumen perumahan ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Untuk mengetahui bagaimana konsep perlindungan konsumen menurut
hukum positif Indonesia. b. Untuk mengetahui prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa yang
timbul antara konsumen dengan pengembang. c. Untuk mengetahui upaya penanggulangan terhadap kendala yang dihadapi
dalam perlindungan konsumen perumahan.
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut :
xiv 1. Secara akademik penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu
khususnya tentang perlindungan konsumen terhadap pembelian perumahan. 2. Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dan
landasan bagi penelitian lanjutan.
D. Keaslian Penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis, penulisan tentang Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Jual Beli Perumahan Pada PT. Mutiara Hijau
belum pernah diteliti. Oleh karena itu penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Perumahan
Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa dan
perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Perumahan tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam
menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya dan menampakkan jati diri. Perumahan juga berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang
digunakan manusia untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah juga merupakan tempat awal pengembangan kehidupan dan
penghidupan keluarga dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Adapun pengertian dari perumahan menurut peraturan Undang-undang
No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman khususnya dalam pasal 1
xv ayat 2 menyatakan bahwa : “Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan”. Sedangkan pada angka 3 pasal 1
undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan
maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan
penghidupan.
2. Tujuan Pembangunan Perumahan
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat. Hakikat pembangunan itu
mengandung makna bahwa pembangunan nasional mengejar keseimbangan, keserasian dan keselarasn antara kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Pembangunan nasional yang berkesinambungan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa sehingga senantiasa mampu mewujudkan ketenteraman dan
kesejahteraan hidup lahir dan batin. Bertolak dari hakikat pembangunan nasional tersebut, maka pembangunan
nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, merata materil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah
negara kesatuan RI yang merdeka, bersatu dan berdaulat dalam suasana peri kehidupan yang merdeka, bersahabat, tenteram dan damai.
Dalam pembangunan nasional disebutkan pembangunan perumahan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia sejalan
xvi dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar tersebut sebagai bagian dari upaya
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, pembangunan perumahan ditujukan pula untuk mewujudkan pemukiman yang secara fungsional dapat mendukung
pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijaksanaan pembangunan perumahan juga bertujuan untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan rakyat terutama masyarakat
berpenghasilan rendah. Hal ini telah dilaksanakan berdasarkan upaya-upaya antara lain :
1 Menciptakan keadaan dimana setiap keluarga dapat menempati rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat dan teratur. Suatu kondisi yang memenuhi
persyaratan kelayakan dalam hunian, kelayakan sosial, kelayakan kesehatan, kelayakan keamanan dan konstruksi, kelayakan kenyamanan dan keindahan
serta kawasan pemukiman yang terbentuk tersebut dapat berfungsi sebagai wahana kehidupan dan penghidupan warganya yang semakin tertib dan
meningkat mutunya. 2 Mendorong terciptanya kawasan pemukiman yang dapat berkembang sebagai
pusat pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya. 3 Mengusahakan agar proses pembangunan perumahan pemukiman dapat
menjadi peluang dalam memperluas kesempatan kerja serta menggerakkan kegiatan ekonomi.
4 Menetapkan kebijaksanaan yang bertumpu pada pandangan, bahwa pada hakikatnya pembangunan perumahan dan pemukiman itu merupakan
tanggungjawab masyarkat sendiri.
xvii 5 Mengarahkan peran pemerintah untuk memberikan penyuluhan, bimbingan
dan menciptakan iklim usaha serta iklim pembangunan, disamping itu mendorong dan menggerakkan serta merangsang peran serta masyarakat luas,
menumbuhkan swakarsa dan mengembangkan swadaya masyarakat sehingga secara bertahap masyarakat semakin mampu memenuhi kebutuhan perumahan
sendiri. Pemerintah juga mengatur agar pelaksanaan pembangunan perumahan itu dapat berjalan dengan tertib dan teratur.
6 Memberikan arah kepada pembangunan dan pemukiman yang dilaksanakan berdasarkan asas-asas keadilan, pemerataan dan keterjangkauan, berwawasan
lingkungan serta memperhatikan kondisi sosial budaya setempat. 7 Memberikan penekanan kepada pembangunan perumahan dan pemukiman
yang bersifat multi sektoral, yang perlu didukung oleh berbagai kebijaksanaan penunjang, meliputi aspek-aspek tata ruang, pertanahan, prasarana dan
fasilitas lingkungan, teknologi membangun, industri bahan bangunan dan jasa konstruksi, pembiayaan, pengembangan sumber daya manusia, kelembagaan,
peraturan perundang-undangan serta penelitian dan pengembangan oleh karenanya diperlukan koordinasi yang efektif antara unsur-unsur instansi yang
terkait dalam penanganan masalah perumahan dan pemukiman. Undang-undang nasional Indonesia yang mengatur tentang perumahan dan
pemukiman antara lain : UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang mana dalam pasal 3 menyebutkan pembangunan rumah susun bertujuan untuk :
1 a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang menjamin kepastian
hukum dalam pemanfaatannya.
xviii b. Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan
memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.
2 Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat dengan tetap mengutamakan ketentuan ayat 1 huruf a.
Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman dalam pasal 4 menjelaskan tentang tujuan penataan perumahan dan pemukiman
yaitu : a. Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia
dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. b. Mewujudkan perumahan dan pemukiman yang layak dalam lingkungan yang
sehat, aman, serasi dan teratur. c. Memberi arah pada pertumbuhan wilauyah dan persebaran penduduk yang
rasional. d. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang-
bidang lain. Prof. Dr. A.P. Parlindungan, SH memberikan komentar terhadap tujuan
penataan perumahan dan pemukiman tersebut, yaitu : “Bahwa kebutuhan papan bagi masyarakat luas dalam peningkatan kesejahteraan rakyat dan adanya
perumahan dan pemukiman yang memenuhi standar. Disamping itu juga dengan perumahan yang tertib dan rapi tersebut menunjang adanya pembangunan di
bidang ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.
1
1
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang-undang Rumah Susun, Mandar Maju, Bandung, 1997, hal. 37-38.
xix Secara ringkas bahwa tujuan pembangunan perumahan adalah
mewujudkan tersedianya rumah dalam jumlah yang memadai, di dalam lingkungan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, kuat dalam jangkauan daya
beli rakyat banyak.
3. Kedudukan Konsumen Pada Perjanjian Jual Beli Rumah
Untuk kepraktisan dari segi hubungan hukum antara pengembang dengan konsumen, pada umumnya pengembang sebagai pihak yang kedudukannya lebih
kuat, menciptakan formulir-formulir standar yang mengikat standard form contracts.
Dalam praktek perlindungan konsumen, formulir-formulir itu disebut sebagai kontrak standar. Penggunaan istilah kontrak dalam hal ini bukanlah istilah
“kontrak rumah” sehari-hari yang digunakan masyarakat awam, yang membedakannya dengan “sewa rumah”. Kontrak disini dirumuskan sebagai
berikut : “Suatu kontrak dibuat dimana para pihak memberikan persetujuannya, atau dimana mereka diminta persetujuannya dan hukum mengakui hak dan
kewajiban yang timbul dari perjanjian”. Sedangkan standar disini memiliki pengertian baku. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kontrak standar adalah
perjanjian atau persetujuan yang dibuat para pihak mengenai suatu hal yang telah ditentukan secara baku standar serta dituangkan secara tertulis.
Kontrak standar yang diciptakan pihak pengembang sering memuat klausula-klausula pengecualian exemption clause, misalnya : meniadakan
xx tanggungjawab pengembang dalam hal terlambat menyerahkan bangunan,
membebaskan pengembang dari tuntutan atas kondisikualitas bangunan yang melampaui batas waktu seratus hari sejak serah terima bangunan fisik rumah atau
satuan rumah susun, sebaliknya bila konsumen terlambat membayar angsuran dikenakan penalti atau denda.
Hondius menyebut pembuat kontrak standar itu sebagai “pembuat undang- undang swasta” atau “hakim swasta”. Lebih lanjut dikatakannya adanya
penyalahgunaan keadaan misbruik van omstandigheiden, karena pihak lain berada keseluruhannya di bawah kemurahan hati pengusaha yang muncul sebagai
“hakim swasta”.
2
Oleh karena kontrak, yang biasanya disebut juga dengan PPJB dibuat oleh pengembang, subjektifitas pengembang sangat mempengaruhi dalam
memasukkan kepentingan-kepentingannya didalam PPJB, sebaliknya sulit bagi konsumen untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan didalam PPJB itu
walaupun sudah ada UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, namun kepentingan konsumen tidak terlindungi.
Pada umumnya kontrak standar atau PPJB dibuat dan dipersiapkan oleh pengembang sehingga secara leluasa ia dapat memasukkan kepentingan-
kepentingannya dan sebaliknya pengembang dapat menganulir kepentingan- kepentingan konsumen, misalnya dalam hubungan antara nasabah dengan pihak
bank kontraknya sudah dibuat secara standar. Demikian pula dalam hubungan antara pengembang dengan konsumen, PPJB sudah dipersiapkan secara baku dan
sepihak oleh pengembang atau kuasa hukumnya, sedangkan konsumen tinggal
xxi menandatanganinya jika setuju silahkan pilih, jika tidak setuju silahkan cari
pengembag lain, padahal pengembang lain pun melakukan hal yang sama. Sejumlah ketidakadilanpun dijumlah dalam klausula-klausula PPJB.
Pertama akibat keterlambatan pembayaran yang dialami konsumen. Klausula- klausula dalam PPJB menentukan bahwa konsumen harus membayar denda yang
tinggi, bahkan menghadapi pembatalan perjanjian dengan tanpa pengembalian sebagian atau keseluruhan uang muka yang sudah dibayarkan. Dalam hubungan
ini, bila pengembang yang terlambat menyelesaikan atau menyerahkan bangunan, akibat yang dialaminya hanya sebatas denda atau bahkan akibat yang dialami
pengembang tidak diatur sama sekali dalam PPJB dan kerugian-kerugian akibat keterlambatan itu juga tidak diperhitungkan.
Kedua, pembatasan tanggungjawab pengembang akas klaim atau tuntutan konsumen. Dalam praktek, penerapannya dilakukan dengan mencantumkan
klausula-klausula dalam PPJB yang pada intinya menetapkan suatu tengang waktu untuk mengajukan klaim atau kondisimutu bangunan atau hal-hal lain yang
dijanjikan pengembang. Biasanya dalam PPJB dicantumkan klausula bahwa konsumen dapat mengajukan klaim kepada pengembang dalam waktu 90 hari atau
100 hari setelah serah terima bangunan, termasuk dalam hal ini masalah cacat tersembunyi. Lewat dari waktu yang ditentukan secara sepihak itu, klaim atas
apapun tidak dilayani. Pembatasan ini tidak adil bagi konsumen karena waktu 90 hari atau 100 hari hanya cukup untuk meneliti kondisi atau kualitas bangunan
yang terlihat kasat mata sedangkan untuk mengetahui cacat-cacat tersembunyi pada bangunan, seperti konstruksi bangunan, penggunaan semen yang tidak sesuai
2
E.H. Hondius, Syarat-syarat Baku dalam Hukum Kontrak, Dalam Kompendium Hukum Belanda, Yayasan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia – Negeri Belanda di S-Gravenhage, Leiden,
xxii dengan perbandingan dan sebagainya tidak cukup dalam waktu itu. Klaim
konsumen tentang hal itu tidak dilayani pengembang setelah melampaui jangka waktu tersebut. Ini sama saja mengabaikan hak konsumen untuk mendapatkan
barangjasa sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya. Dalam keadaan ini pihak pengembang menggunakan kedudukannya itu untuk membebankan kewajiban
yang berat kepada pihak yang lainnya konsumen, sedangkan ia sedapat mungkin membatasi atau mengesampingkan tanggungjawabnya, termasuk dalam hal-hal
adanya cacat tersembunyi pada obyek perjanjian. Pasal 1493 KUH Perdata memang memungkinkan untuk mengurangi
kewajiban salah satu atau kedua belah pihak dengan menentukan sebagai berikut : “Kedua belah pihak diperbolehkan, dengan persetujuan-persetujuan istimewa,
memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini, bahkan mereka itu diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak
akan diwajibkan menanggung suatu apapun”. Ketentuan ini sering digunakan untuk memojokkan konsumen secara
hukum, padahal pasal berikutnya pasal 1494 KUH Perdata menegaskan bahwa : “meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung suatu
apapun, namun ia tetap bertanggungjawab tentang apa yang berupa akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan olehnya, segala persetujuan yang bertentangan
dengan hal ini adalah batal”. Dengan melihat ketentuan ini bahwa sebenarnya pengembang dalam
menciptakan kontrak standar tidak akan sewenang-wenang dalam memasukkan
1978, hal. 139-158.
xxiii kepentingan-kepentingannya, sebaliknya dengan merujuk pada asas kebebasan
berkontrak dan meminta perbaikan atau perubahan klausula-klausula dalam PPJB.
4. Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Perumahan Apabila telah diperoleh izin lokasi untuk yang dimohonkan maka sudah
dapat dimulai kegiatan perolehan tanahnya. Kemudian bila telah diperoleh tanahnya, maka pemohon harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak
atas tanah tersebut, yang dalam hal ini adalah Hak Guna Bangunan. Kemudian setelah menerima permohonan Hak Guna Bangunan secara
lengkap, maka panitia pemeriksa tanah yang telah ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pertanahan yang dalam hal ini disebut Panitia A memeriksa dan membuat risalah
pemeriksaan tanah selambat-lambatnya sepuluh hari kerja sejak diterimanya permohonan tersebut secara lengkap.
Adapun susunan Panitia A tersebut adalah : 1. Kepala seksi hak-hak atas tanah atau staf seksi hak-hak atas tanah yang senior
dari Kantor Pertanahan KabupatenKota, sebagai ketua merangkap anggota. 2. Kepala seksi pengukuran dan pendaftaran tanah atau staf seksi pengukuran
dan pendaftaran tanah yang senior dari Kantor Pertanahan KabupatenKota, sebagai wakil ketua merangkap anggota.
3. Kepala seksi atau staf pengaturan penguasaan tanah, kepala seksi atau staf seksi penatagunaan tanah dari Kantor Pertanahan KabupatenKota dan Kepala
Desalurah yang bersangkutan atau aparat desakelurahan yang ditunjuk untuk mewakili sebagai anggota.
xxiv 4. Kepala sub seksi pengurusan hak-hak atas tanah atau staf sub seksi
pengurusan hak-hak atas tanah Kantor Pertanahan KabupatenKota, sebagai sekretaris merangkap anggota.
Kemudian selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja sejak risalah pemeriksaan tanah selesai, Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota
menerbitkan surat keputusan pemberian Hak Guna Bangunan atas permohonan tersebut yang luasnya tidak lebih dari 5 Ha. Untuk luas tanah yang lebih dari 5 Ha
maka selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari kerja Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota telah menyampaikan permohonan tersebut kepada Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi disertai pertimbangan- pertimbangannya. Kemudian Kepala Kantor Pertanahan Propinsi menerbitkan
keputusan pemberian Hak Guna Bangunan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak diterimanya permohonan hak tersebut secara lengkap. Apabila ada
penolakan terhadap permohonan hak atas tanah tersebut, maka disampaikan kepada yang bersangkutan dengan tembusan kepada instansi yang terkait.
Oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat akan dibukukan dan diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan dalam waktu tujuh hari kerja sejak diterimanya :
a. Asli surat keputusan pemberian hak. b. Asli bukti pembayaran uang pemasukanuang administrasi dan kewajiban lain
yang diisyaratkan dalam keputusan pemberian hak. Adapun bentuk dan jenis-jenis hak atas tanah yang dapat dimiliki
perusahaan pembangunan perumahan adalah : 1. Untuk perusahaan pembangunan perumahan yang seluruh modalnya dari hak
pemerintah dan atau pemerintah daerah dapat diberikan :
xxv a. Hak pengelolaan
b. Hak Guna Bangunan da c. Hak Pakai
2. Untuk perusahaan pembangunan perumahan yang modalnya berasal dari swasta dapat diberikan :
a. Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai b. Hak Pakai
Jika diberikan hak pengelolaan, maka hak pengelolaan itu dengan suatu janji dapat diberikan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, kemudian dapat pula
diberikan secara langsung Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai oleh negara. Untuk Perum Perumnas, dapat diberikan Hak Milik, namun badan hukum
swasta lainnya tidak dapat diberikan hak milik, karena memang tidak ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk bisa memperoleh hak
milik tersebut. Terhadap tanah-tanah hak, baru dapat dimiliki oleh pengembang
pembangunan perumahan setelah memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang hak atas tanah dan harus terlebih dahulu mendapatkan izin lokasi sebagai persyaratan
untuk pengembang. Peralihan haknya haruslah dilakukan pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT.
Terhadap tanah yang berasal dari hak milik yang bersertifikat, maka setelah dilakukan peralihan haknya, maka investor harus melepaskan hak milik
tersebut dan memohonkan hak guna bangunannya. Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota atas permohonan pemegang hak milik menerbitkan hak guna
bangunan untuk selama tiga puluh tahun dan ditetapkan berakhir pada tanggal 24
xxvi September pada tahun ke tiga puluh berikutnya terhitung sejak diterbitkannya
keputusan pemberian izin lokasi. Untuk tanah-tanah dengan sertifikat Hak Guna Bangunan dapat dilakukan
langsung pemindahan haknya dihadapan PPAT dan kemudian dilakukan pendaftaran peralihan haknya di Kantor Pertanahan setempat dan sekaligus
diberikan perpanjangan haknya dan akan berakhir pada tanggal 24 September pada tahun ke tiga puluh sejak dikeluarkannya izin lokasi.
Sedangkan untuk tanah-tanah yang bersertifikat Hak Guna Usaha, bidang tanah tersebut diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunannya dengan dilampiri
gambar situasi atau surat ukur pemisahan yang jangka waktu berakhir haknya adalah sama dengan berakhirnya Hak Guna Usaha tersebut. Demikian pula
terhadap tanah-tanah dengan hak pakai harus terlebih dahulu dimohonkan Hak Guna Bangunannya.
Berbeda dengan tanah-tanah perorangan atau tanah-tanah milik adat yang belum bersertifikat, maka harus terlebih dahulu dimohonkan sertifikat Hak
Miliknya lalu hak tersebut dilepaskan dan dimohonkan Hak Guna Bangunan atas tanah tersebut setelah lewat waktu pengumuman atas tanah tersebut.
Adapun tanah-tanah yang langsung dikuasai oleh negara, pemohon harus terlebih dahulu membebaskan tanah tersebut dari semua penggarap atau
penguasaan lain atas tanah tersebut sebelum mengajukan haknya.
5. Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Rumah
Pemerintah telah memberikan peran secara nyata kepada swasta dalam pembangunan perumahan melalui developer swasta yang tergabung dalam Real
xxvii Estate Indonesia REI, sehingga memberikan indikasi bahwa peranan developer
swasta dalam pembangunan perumahan cukup besar, bahkan ada kecenderungan akan ditingkatkan lagi untuk masa yang akan datang.
Adapun proses pelaksanaan perjanjian jual beli perumahan itu biasanya apabila calon konsumen yang ingin membeli sebuah rumah, maka calon
konsumen tersebut akan mendatangi kantor developer perumahan tersebut dan memilih perumahan mana yang akan dipilih.
Prosedur jual beli rumah yang dilakukan oleh developer biasanya hampir sama seperti yang dilakukan oleh kantor-kantor developer lainnya. Setelah
memilih rumah yang akan dibeli, konsumen dan pihak developer akan menandatangani perjanjian pendahuluan untuk membuktikan adanya hubungan
hukum antara konsumen dengan developer. Bagi konsumen yang membayar dengan uang kontan, maka pembayaran uang muka dilakukan di kantor developer
dan sisanya dengan transfer uang melalui bank yang ditunjuk oleh developer ke nomor rekening perusahaan developer.
Bagi konsumen yang akan membeli rumah dengan melalui fasilitas kredit perbankan, maka setelah ditandatanganinya perjanjian pendahuluan, konsumen
beserta developer akan mengunjungi bank untuk menandatangani perjanjian pemberian kredit dari bank. Bank yang dipilih biasanya telah ditunjuk oleh pihak
developer dan pihak bankpun telah menyediakan formulir perjanjian dalam bentuk baku. Setelah ditandatanganinya perjanjian antara bank dengan konsumen
disaksikan oleh pihak developer, akan diadakan penyerahan rumah dan selanjutnya konsumen akan membayar cicilan dengan periode waktu yang telah
ditentukan oleh developer.
xxviii
F. Metode Penelitian
Penggunaan metode penelitian ini penting supaya masalah-masalah di atas dapat terjawab dengan cepat.
Dalam memperoleh data-data yang diperlukan sehingga isi skripsi ini dapat terungkap dengan jelas penulis menggunakan dua cara, kedua cara yang
dimaksud adalah : 1. Penelitian kepustakaan library research.
Dalam rangka pengumpulan data-data melalui penelitian kepustakaan maka penulis meneliti melalui sumber bacaan yang berhubungan dengan judul
skripsi ini, yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi. Penelitian
dilakukan dengan membaca serta menganalisa peraturan perundang-undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah para sarjana, majalah
maupun surat kabar dan sumber teoritis lainnya yakni buku-buku dan catatan penulis yang diperoleh dari kegiatan perkuliahan yang berkaitan dengan
materi skripsi yang penulis ajukan. 2. Penelitian lapangan field research
Dalam penelitian ini penulis melakukan kegiatan dengan cara turun langsung ke lapangan sasaran penelitian. Pengumpulan bahan-bahan di lapangan untuk
memperoleh data yang akurat, menemukan informasi langsung dengan mempergunakan instrumen penelitian sebagai berikut :
xxix a. Wawancara interview yaitu mengadakan tanya jawab dengan instansi-
instansi maupun kantor-kantor yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
b. Pengamatan observasi yaitu penelitian dengan cara melakukan pengamatan atau pencatatan secara sistimatis terhadap objek yang diteliti
sesuai dengan data-data yang telah dikumpulkan penulis kemudian disajikan sebagai gambaran dari keadaan yang sebenarnya deskriptif
dengan berpedoman kepada bentuk metode penelitian karya ilmiah yang kiranya dapat diterima oleh semua pihak.
G. Sistematika Penulisan