Kondom Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Ber-KB 1 Sosial Budaya

memiliki sekurang-kurangnya dua anak, 2 Faktor sosial ekonomi memengaruhi pertimbangan untuk memilih cara ini, 3 Adanya perkawinan keluarga yang stabil, sebab perceraian setelah kontap menimbulkan penyesalan yang sangat sulit diatasi. Tidak mudah menilai kestabilan dalam rumah tangga, tetapi lamanya perkawinan dan jumlah anak, umur suami dan istri setidaknya dapat mencerminkannya. Menurut BKKBN 2007, vasektomi tidak disarankan untuk: 1. Pasangan muda yang masih ingin mempunyai anak; 2. Pasangan yang kehidupan perkawinannya bermasalah; 3. Pasangan yang mengalami gangguan jiwa; 4. Pasangan yang belum yakin terhadap keinginan pasangannya; dan 5. Priasuami yang menderita diabetes, kelainan jantung dan pembekuan darah, hernia dan testisnya membesar dan nyeri.

b. Kondom

Kondom merupakan salah satu alat kontrasepsi pria yang paling mudah dipakai dan diperoleh, baik melalui apotek maupun toko obat dengan berbagai merek dagang. Kondom terbuat dari karetlateks, berbentuk tabung tidak tembus cairan, dimana salah satu ujungnya tertutup rapat dan dilengkapi kantung untuk menampung sperma BKKBN, 2007. Menurut Hartanto 2004, manfaat kondom untuk pasangan suami istri adalah: 1Efektif untuk mencegah kehamilan, 2Tidak ada efek samping, 3Dapat dibeli dengan mudah dan murah, dan 4Ideal untuk seks yang tidak direncanakan. Kondom di samping sebagai alat KB juga berfungsi untuk mencegah Infeksi Menular Seksual Universitas Sumatera Utara IMS termasuk Human Immunodeficiency VirusAcquired Immunodeficiency Syndrome HIVAIDS. Menurut Hartanto 2004 kelebihan kondom adalah sebagai berikut: 1Bila digunakan secara tepat dapat mencegah kehamilan dan penularan penyakit menular seksual; 2Kondom tidak memengaruhi kesuburan jika digunakan dalam jangka panjang; dan 3Kondom mudah didapat dan tersedia dengan harga yang terjangkau. Sedangkan keterbatasan kondom adalah sebagai berikut: 1. Kekurangan penggunaan kondom memerlukan latihan dan tidak efisien; 2. Karena sangat tipis maka kondom mudah robek bila tidak digunakan atau disimpan sesuai aturan; 3. Beberapa pria tidak dapat mempertahankan ereksinya saat menggunakan kondom; 4. Setelah terjadi ejakulasi, pria harus menarik penisnya dari vagina bila tidak, dapat terjadi kehamilan atau penularan penyakit menular seksual; dan 5. Kondom yang terbuat dari latex dapat menimbulkan alergi bagi beberapa orang.

2.2. Partisipasi

Menurut Theodorson dalam Mikkelsen 2003, partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang individu atau warga masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud bukan bersifat pasif, tetapi secara aktif ditunjukkan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan seseorang dalam suatu kelompok sosial Universitas Sumatera Utara untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakat di luar pekerjaan atau profesinya sendiri. Sedangkan Mikkelsen 2003 memberikan tafsiran yang berbeda tentang partisipasi, yaitu: 1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek pembangunan, tetapi mereka tidak ikut terlibat dalam pengambilan keputusan; 2. Partisipasi adalah proses untuk membuat masyarakat menjadi lebih peka untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek pembangunan; 3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun kelompok terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan sesuatu hal; 4. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara komunitas lokal dan pihak penyelenggara, pengimplementasian, pemantauan, dan pengevaluasian staf agar dapat memperoleh informasi tentang konteks sosial ataupun dampak sosial; 5. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan oleh dirinya sendiri; dan 6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka. Partisipasi masyarakat merupakan sesuatu yang harus ditumbuhkembangkan dalam proses pembangunan, tetapi di dalam praktiknya tidak selalu diupayakan sunguh-sungguh Slamet, 2003. Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan, kemauan dan kemampuan individu dalam melakukan kegiatan tersebut. Universitas Sumatera Utara Conyer dalam Soetomo 2006, mengemukakan partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat secara sukarela yang didasari oleh determinan dan kesadaran diri masyarakat itu sendiri dalam program pembangunan. Conyers dalam Soetomo 2006, menyatakan ada 5 lima cara untuk melibatkan keikutsertaan masyarakat yaitu: 1. Survai dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan; 2. Memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melakukan tugasnya sebagai agen pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan dalam perencanaan; 3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang yang semakin besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi; 4. Perencanaan melalui pemerintah lokal; dan 5. Menggunakan strategi pembangunan komunitas community development. Mikkelsen dalam Soetomo 2006 mengembangkan asumsi teoritik bahwa pembangunan menjadi positif apabila ada partisipasi masyarakat dan sebaliknya kurangnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan berarti adanya penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat itu sendiri dan secara eksternal terhadap pemerintah atau pelaksana program. Club du Sahel dalam Mikkelsen 2003 mengemukakan beberapa pendekatan untuk memajukan partisipasi yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Pendekatan pasif, pelatihan dan informasi; yakni pendekatan yang beranggapan bahwa pihak eksternal lebih menguasai pengetahuan, teknologi, keterampilan, dan sumber daya. Dengan demikian partisipasi tersebut memberikan komunikasi satu arah, dari atas ke bawah dan hubungan pihak eksternal dan masyarkat bersifat vertikal. 2. Pendekatan partisipasi aktif; yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi secara lebih intensif dengan para petugas eksternal. Contohnya pendekatan partisipasi ini adalah pelatihan dan kunjungan. 3. Pendekatan partisipasi dengan keterikatan; masyarakat atau individu diberikan kesempatan untuk untuk melakukan pembangunan, dan diberikan pilihan untuk terikat pada sesuatu kegiatan dan bertanggung jawab atas kegiatan tersebut. 4. Pendekatan dengan partisipasi setempat; yaitu pendekatan dengan mencerminkan kegiatan pembangunan atas dasar keputusan yang diambil oleh masyarakat setempat. Menurut Adi 2008 yang mengutip pendapat Mikkelsen 2003, partisipasi yang sesungguhnya berasal dari masyarakat itu sendiri yang merupakan tujuan dalam suatu proses demokrasi. Menurut Chambers 1996, istilah partisipasi digunakan untuk mengggambarkan proses permberdayaan empowering process. Dalam hal ini, partisipasi dimaknai sebagai suatu proses yang memampukan enable masyarakat lokal untuk melakukan analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara untuk mengatasinya, mendapatkan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputussan sendiri tentang alternatif pemecahan masalah apa yang ingin Universitas Sumatera Utara mereka pilih. Chambers 1996 menggambarkan bahwa “kita” pelaku perubahan berpartisipasi dalam program “mereka” masyarakat lokal sehingga terjadi apa yang disebut proses pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan pendapat Chambers dan Mikkelsen 2003 di atas, maka Adi 2008 menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah, dan potensi yang ada dalam masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengevaluasi perubahan yang terjadi. Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai tahap perubahan ini akan membuat masyarakat menjadi lebih berdaya dan dapat semakin memiliki ketahanan dalam menghadapi perubahan. Sebaliknya, bila masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam berbagai tahapan perubahan dan hanya bersifat pasif dalam setiap perubahan yang direncanakan oleh pelaku perubahan. Masyarakat cenderung akan menjadi lebih tergantung pada pelaku perubahan. Bila hal ini terjadi terus- menerus, maka ketergantungan masyarakat pada pelaku perubahan akan meningkat. Menurut Craig dan Mayo dalam Yustina 2003, “empowerment is road to participation”. Pemberdayaan merupakan syarat bagi terciptanya suatu partisipasi dalam masyarakat. Belum adanya partisipasi aktif dalam masyarakat untuk menciptakan kondisi yang kondusif pada proses pembangunan mengisyaratkan belum berdayanya sebagian masyarakat kita. Keberdayaan memang menjadi syarat untuk berpartisipasi, karena merupakan sesuatu yang sulit bagi masyarakat. Ketika mereka Universitas Sumatera Utara dikehendaki untuk berpartisipasi namun tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang segala aktivitas yang mendukung proses pembangunan. Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari keikutsertaan langsung masyarakat dalam program Pemerintah maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti: sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam kebijakan Pemerintah. Padahal partisipasi masyarakat pada hakikatnya akan berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khususnya dalam pengambilan keputusan Kusdamayanti, 2007. Menurut Mikkelsen 2003, salah satu faktor yang menjadi perhatian untuk menelaah tingkat partisipasi masyarakat adalah faktor sosial budaya. Faktor sosial budaya memengaruhi keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan proses pembangunan. Hadi dalam Dwiyanti 2005 mengemukakan bahwa faktor penghambat untuk meningkatkan partisipasi publik di Indonesia adalah: 1. Faktor sosial, seperti: tingkat pendidikan, pendapatan dan komunikasi; 2. Faktor budaya, meliputi: sikap dan perilaku, pengetahuan dan adat istiadat; dan 3. Faktor politik; dan 4. Faktor birokrasi para pengambil keputusan. Menurut Mikkelsen 2003, rendahnya partisipasi masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Adanya penolakan secara internal di kalangan anggota masyarakat dan penolakan eksternal terhadap Pemerintah; 2. Kurangnya dana; 3. Terbatasnya informasi, pengetahuan atau pendidikan masyarakat; dan 4. Kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut Depkes RI 2006, partisipasi adalah keadaan dimana individu, keluarga, maupun masyarakat umum ikut serta bertanggung jawab terhadap kesehatan diri, keluarga, ataupun kesehatan masyarakat lingkungannya. Dalam suatu masyarakat bagaimanapun sederhananya, selalu ada suatu stimulus. Mekanisme ini disebut pemecahan masalah atau proses pemecahan masalah. Dalam hal keikusertaan ber-KB, partisipasi pria adalah suatu proses dimana individu, keluarga dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program KB. Peningkatan partisipasi masyarakat menumbuhkan berbagai peluang yang menungkinkan seluruh anggota masyarakat untuk secara aktif berkontribusi dalam pembangunan sehingga dapat menghasilkan manfaat yang merata bagi seluruh warganya Depkes RI, 2003.

2.2.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Ber-KB

Mikkelsen 2003 mengemukakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi masyarakat yaitu: 1. Faktor sosial yaitu dilihat dari adanya ketimpangan sosial masyarakat untuk berpartisipasi; Universitas Sumatera Utara 2. Faktor budaya yaitu adanya kebiasaan atau adat istiadat yang bersifat tradisional statis dan tertutup terhadap perubahan; 3. Faktor politik, yaitu apabila proses pembangunan yang dilaksanakan kurang melibatkan masyarakat pada awal dan akhir proses pembangunan sehingga terkendala untuk berpartisipasi dan pengambilan keputusan. Hikmat 2001 mengatakan bahwa perbedaan latar belakang kultur budaya dapat menimbulkan perbedaan terhadap suatu objek. Partisipasi masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan berpusat pada rakyat setempat dengan menumbuhkan dan mengembangkan nilai sosial budaya. Menurut Suparlan dalam Budimanta 2003, kebudayaan adalah seperangkat ide-ide, norma, nilai dan pengetahuan yang dipakai oleh manusia untuk memahami lingkungan dan dipakai untuk mendorong terwujudnya perilaku. Taylor dalam Poerwanto 2000 mengatakan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum dan adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Soekanto dalam Purwatiningsih, dkk 2005 mengatakan bahwa pengetahuan, adat-istiadat erat hubungannya dalam peningkatan partisipasi masyarakat, dan anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menerima sanksi yang berlaku dalam masyarakat. Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan. Sedangkan menurut Djatmiko 2003, partisipasi masyarakat Universitas Sumatera Utara dipengaruhi oleh kemampuan dan kemauan untuk berpartisipasi dalam program pemerintah. Menurut Margono dalam Mardikanto 2003, tumbuh kembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh 3 tiga faktor yaitu: a. Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi Adanya kesempatan yang diberikan, merupakan faktor pendorong tumbuhnya kemauan, dan kemauan akan menentukan kemampuannya. Sebaliknya, adanya kemauan akan mendorong seseorang untuk meningkatkan kemampuan serta memanfaatkan setiap kesempatan. Mardikanto 2003, menyatakan banyak program pembangunan yang kurang memperoleh partisipasi masyarakat karena kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan kurangnya informasi yang disampaikan kepada masyarakat mengenai kapan dan dalam bentuk apa mereka dapat atau dituntut untuk berpartisipasi. Pemberian kesempatan berpartisipasi pada masyarakat, bukanlah sekedar pemberian kesempatan untuk terlibat dalam pelaksanaan kegiatan agar mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat atau menggangu tercapainya tujuan pembangunan. Tetapi pemberian kesempatan berpartisipasi harus dilandasi oleh pemahaman bahwa masyarakat setempat layak diberi kesempatan karena memiliki kemampuan yang diperlukan dan memiliki suatu hal untuk berpartisipasi dan memanfaatkan setiap kesempatan membangun bagi perbaikan mutu hidupnya Mardikanto, 2003. Universitas Sumatera Utara b. Adanya kemauan untuk berpartisipasi Mardikanto 2003 menyatakan kemauan untuk berpartisipasi merupakan kunci utama bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat. Kesempatan dan kemampuan yang cukup belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan untuk membangun. Kemauan untuk membangun ditentukan oleh sikap dan mental yang dimiliki masyarakat yang menyangkut: 1 Sikap untuk meninggalkan nilai-nilai penghambat pembangunan; 2 Sikap terhadap penguasa atau pelaksanan pembangunan pada umumnya; 3 Sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas diri; 4 Sikap kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah, dan tercapainya tujuan pembangunan; dan 5 Sikap kemandirian atau percaya diri atas kemampuannya untuk memperbaiki mutu hidupnya. c. Adanya kemampuan untuk berpartisipasi Menurut Mardikanto 2003, kemampuan untuk berpartisipasi adalah: 1. Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun memperbaiki mutu hidupnya; 2. Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan, yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, dan ketrampilan yang dimiliki; dan Universitas Sumatera Utara 3. Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumber daya dan kesempatan peluang lain yang tersedia secara optimal. Berdasarkan konsep di atas, maka tumbuh dan berkembanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan dapat diupayakan melalui: 1. Penyuluhan yang intensif dan berkelanjutan, yang tidak saja berupa penyampaian informasi tentang adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat, melainkan juga dibarengi dengan dorongan dan harapan-harapan agar masyarakat mau berpartisipasi, serta upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kemampuannya untuk berpartisipasi, dan 2. Berkaitan dengan dorongan dan harapan yang disampaikan, perlu adanya penjelasan kepada pria tentang besarnya manfaat ekonomi maupun non ekonomi yang dapat secara langsung atau tidak langsung dinikmati sendiri maupun yang dinikmati oleh generasi mendatang.

2.2.2 Faktor-faktor Pembentuk Partisipasi Masyarakat

Menurut Notoatmodjo 2007, elemen-elemen pembentuk partisipasi adalah: 1. Motivasi. Persyaratan utama masyarakat untuk berpartisipasi adalah motivasi. Tanpa motivasi masyarakat sulit untuk berpartispasi di segala program. Timbulnya motivasi harus dari masyarakat itu sendiri, dan pihak luar hanya merangsangnya saja. 2. Komunikasi. Suatu komunikasi yang baik adalah yang dapat menyampaikan pesan, ide dan informasi masyarakat. Sebagian media massa merupakan alat Universitas Sumatera Utara yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan yang akhirnya dapat menimbulkan partisipasi. 3. Kooperasi. Kerjasama dengan instansi-instansi di luar kesehatan masyarakat dan instansi kesehatan sendiri adalah mutlak diperlukan. Terjelmanya team work antara mereka akan membantu menumbuhkan partisipasi. 4. Mobilisasi. Partisipasi bukan hanya terbatas pada tahap pelaksanaan program saja, tetapi partisipasi masyarakat dapat dimulai seawal mungkin sampai ke akhir mungkin, dari identifikasi masalah, menentukan prioritas, perencanaan program, pelaksanaan sampai dengan monitoring program. Ross dalam Notoatmodjo 2005 berpendapat ada tiga prakondisi tumbuhya partisipasi, yaitu: 1. Mempunyai pengetahuan yang luas dan latar belakang yang memadai sehingga dapat mengidentifikasi masalah, prioritas masalah dan melihat secara konfrehensif; 2. Mempunyai kemampuan untuk belajar cepat tentang permasalahan, dan belajar untuk mengambil keputusan; dan 3. Kemampuan mengambil tindakan dan bertindak efektif. Dalam bidang kesehatan, partisipasi ini dikenal dengan partisipasi dalam pelayanan kesehatan. Sistem pelayanan kesehatan mengintegrasikan komponen- komponen yang berhubungan dengan kesehatan yang mencakup pengetahuan dan kepercayaan, aturan dan pranata-pranata, dan jenis-jenis sumber serta praktisi pelayanan yang tersedia Kalangie, 1994. Universitas Sumatera Utara 2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Ber-KB 2.3.1 Sosial Budaya Kebudayaan sebagai konsep dasar dapat menjelaskan kaitannya dengan gejala-gejala sosial dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam berbagai pranata kesehatan maupun non kesehatan tetapi terkait seperti pelayanan kontrasepsi dan keluarga berencana. Kaitan-kaitan tersebut dinyatakan sebagai gejala sosial budaya. Sehubungan dengan hal tersebut, gagasan-gagasan budaya dapat menjelaskan hubungan timbal balik antara gejala sosial dan pelayanan kesehatan Kalangie, 1994. Penggunaan konsep budaya dalam perilaku masyarakat terkait dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai dan norma dalam lingkungan sosialnya. Seseorang dapat saja memperlihatkan perilaku psikologis di samping perilaku budaya. Menurut Taylor dalam Soekanto 1982, kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat-istiadat dan kebiasaan dan kemampuan-kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang di dapat manusia sebagai angggota masyarakat. Menurut Taylor dalam Wiranata 2002, kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalam terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, adat-istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang di peroleh manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut Koentjaranigrat 1997, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Universitas Sumatera Utara Menurut Koentjaranigrat 1997, wujud dari suatu budaya dapat dikelompokan dalam 3 tiga hal yaitu: 1Wujud sebagai suatu kompleks dari ide- ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan, 2Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan 3Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak yang terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan, konsep, serta keyakinan. Dengan demikian sistem kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang dalam Bahasa Indonesia disebut adat-istiadat. Dalam adat-istiadat terdapat juga sistem norma dan di situlah salah satu fungsi sistem budaya adalah menata serta menetapkan tindakan dan tingkah laku manusia. Dalam sistem budaya ini terbentuk unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Sehingga tercipta tata kelakuan manusia yang terwujud dalam unsur kebudayaan sebagai suatu kesatuan Koentjaranigrat, 1997. Keterkaitan sosial budaya dengan manusia dapat diamati dari sifat-sifat kebudayaan antara lain: 1Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia, 2Budaya telah ada terlebih dahulu dari pada lahirnya suatu organisasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan, 3Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya, dan 4Budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan yang dilarang, dan tindakan yang diizinkan Horton dan Hunt, 1991. Universitas Sumatera Utara Menurut Setiadi, dkk 2002, substansiisi utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang muncul di masyarakat dalam bentuk pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan.

1. Pengetahuan

Knowledge Purwodarminto dalam Azwar 2005 menyatakan bahwa pengetahuan adalah segala apa yang diketahui berkenaan dengan suatu hal objek. Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan hal ini terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitip merupakan domain sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang over behavior. Bloom dalam Notoatmodjo 2005, menyebutkan pengetahuan atau knowledge adalah individu hasil tahu apa yang dilakukan dan bagaimana melakukannya. Pengetahuan adalah hasil tahu seseorang terhadap suatu objek melalui indera yang dimilikinya dan dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Roger dalam Notoatmodjo 2003, proses perubahan perilaku atau penerimaan ide baru adalah suatu proses kejiwaan yang dialami individu sejak pertama kali menerima informasi atau memperoleh pengetahuan mengenai suatu hal yang baru sampai saat ini memutuskan untuk menerima atau menolak ide baru tersebut. Proses tersebut berjalan melalui 4 tahap, yaitu: 1 Pengetahuan Knowledge, dalam hal ini subjek mengenal suatu hal yang baru serta memahaminya, Universitas Sumatera Utara