Pengaruh Sosio Budaya dan Dukungan Keluarga terhadap Pencegahan Infeksi Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar Negeri 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat

(1)

PENGARUH SOSIO BUDAYA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN INFEKSI KECACINGAN PADA

ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI 050602 DI KECAMATAN KUALA

KABUPATEN LANGKAT

TESIS

Oleh:

ENDAM APULINA BR SEMBIRING 097032123/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH SOSIO BUDAYA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN INFEKSI KECACINGAN PADA

ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI 050602 DI KECAMATAN KUALA

KABUPATEN LANGKAT

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ENDAM APULINA BR SEMBIRING 097032123/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH SOSIO BUDAYA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI 050602 KECAMATAN KUALA

KABUPATEN LANGKAT Nama Mahasiswa : Endam Apulina BR Sembiring Nomor Induk Mahasiswa : 097032123

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing :

Ketua

(Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A (K)

Anggota Dra. Syarifah, MS

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 15 Desember 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp. A (K) Anggota : 1. Dra. Syarifah, MS

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M 3. Drh. Rasmaliah, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH SOSIO BUDAYA DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN INFEKSI KECACINGAN PADA

ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI 050602 DI KECAMATAN KUALA

KAB. LANGKAT

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar putaka.

Medan, Oktober 2011

Endam Apulina Br. Sembiring 097032123/IKM


(6)

ABSTRAK

Hasil survei tahun 2008 pada 18 Sekolah Dasar (SD) di 9 kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara menunjukkan prevalensi kecacingan cukup tinggi dan bervariasi antara 50% s/d 91%. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara mengestimasi sedikitnya 400.000 anak SD menderita kecacingan, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu. Berdasarkan hasil pemeriksaan tinja yang dilakukan di 4 SD Negeri di Kecamatan Kuala dari 520 siswa ditemukan sebanyak 297 (57,12%) siswa terinfeksi cacing.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sosio budaya dan dukungan keluarga terhadap pencegahan infeksi kecacingan pada anak Sekolah Dasar No. 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat. Jenis penelitian ini adalah survei dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah orang tua (ibu) murid Sekolah Dasar Negeri No. 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat yang berjumlah 95 orang. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel dukungan keluarga (dukungan informasi, dukungan penilaian, dan dukungan emosional) memiliki pengaruh terhadap pencegahan infeksi kecacingan pada anak Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat.Variabel yang paling dominan terhadap pencegahan infeksi kecacingan adalah dukungan informasi.

Diharapkan kepada tenaga kesehatan khususnya promosi kesehatan agar memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada ibu dan murid-murid SD untuk meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan infeksi kecacingan.


(7)

ABSTRACT

The result of survey done in 2008 at 18 Primary Schools in 9 (nine) districts/cities in the Province of Sumatra Utara revealed that the prevalence of the students suffering from wormy disease was high enough and varied between 50% and 91%. Sumatera Utara Provincial Health Service estimated that at least 400,000 Primary School students were suffering from wormy disease, especially in the grassroots population. Based on the feces examination conducted in 4 (four) Public Primary Schools in Kuala Subdistrict, it was found out that 297 (57.12%) of 520 students were wormy-infected.

The purpose of this survey study with cross-sectional approach was to analyze the influence of socio-culture and family support on the prevention of wormy-infection in the students of Public Primary School No. 050602 in Kuala Subdistrict, Langkat District. The population of this study were 95 mothers of the students of Public Primary School No. 050602 in Kuala Subdistrict, Langkat District. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews and then analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that statistically the variable of family support (information, evaluation and emotional supports) had influence on the prevention of worm-infection in the students of Public Primary School in Kuala Subdistrict, Langkat District. Information support was the most dominant variable in the prevention of wormy-infection.

Health officers are expected to provide extension on the prevention of wormy-infection and socialize it to the mothers of the students of Public Primary School. Key words: Socio-culture, Family Support, Wormy.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini. Dengan judul ”Pengaruh Sosio Budaya dan Dukungan Keluarga terhadap Pencegahan Infeksi Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar Negeri 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan di Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada

1. Prof. Dr. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A (K), selaku ketua komisi pembimbing dan Dra. Syarifah, M.S, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai. 6. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M. dan Drh. Rasmaliah, M.Kes sebagai komisi

penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan kasus ini.

7. Seluruh staf dosen dan staf pegawai di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.

8. Seluruh rekan-rekan dan sahabat Angkatan 2009 di Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

9. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat beserta jajarannya yang telah membantu memberikan izin penelitian.

10.KeponaanKu EM Andalta Surbakti dan Jos Valentino Surbakti yang selalu memberi semangat juga pencerahan, Ua Endang Shayana Br Sembiring dan Iparku Juli Tri Menda Surbakti yang selalu memberikan motivasi dan doa yang tiada ternilai.


(10)

11.TeristimewaAyahanda Ngatur Sembiring, ibunda Banci Malem buat semua doa, harapan dan pengorbanan juga dukungan yang tiada berhenti selama penulis mengikuti pendidikan.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak mempunyai kekurangan, untuk itu diharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2011 Penulis

Endam Apulina Br Sembiring 097032123/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Endam Apulina Br Sembiring yang dilahirkan di Beliler Kabupaten Langkat pada tanggal 17 September 1984 dari pasangan Ngatur Sembiring dan Banci Malem, Belum menikah, beragama Islam dan bertempat tinggal di Jl. Namu ukur- Kuala Desa Balaikasih No. 83 Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat.

Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri No. 050607 Balaikasih Kuala, Kecamatan Kuala Tahun 1991-1997, menamatkan pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 2 Kuala, Kecamatan KualaTahun 1997-2000, menamatkan pendidikan sekolah menengah atas di SMUNegeri 1 Kuala, Kecamatan KualaTahun 2000-2003, menamatkan pendidikan S1 Kesehatan Masyarakat USU Medan Tahun 2003-2008.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... i

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesis ... 9

1.5. Manfaat Penelitain ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Kecacingan ... 11

2.1.1. Definisi Kecacingan ... 11

2.1.2. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan ... 11

2.1.3. Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah ... 21

2.1.4. Dampak Infeksi Kecacingan pada Anak ... 24

2.1.5. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan ... 25

2.2. Sosio Budaya ... 27

2.2.1. Konsep Kebudayaan ... 29

2.2.2. Substansi Utama Budaya ... 36

2.2.3. Sifat-Sifat Budaya ... 38

2.2.4. Sistem Budaya ... 39

2.2.5. Sosio Budaya Kesehatan dan Ekologi ... 40

2.2.6. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan Ditinjau dari Aspek Sosio Budaya ... 41

2.3. Dukungan Keluarga ... 42

2.3.1. Bentuk Dukungan Keluarga ... 44

2.3.2. Fungsi Keluarga ... 45

2.3.3. Faktor yang Memengaruhi Dukungan Keluarga... 46

2.4. Landasan Teori ... 47


(13)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 51

3.1. Jenis Penelitian... 51

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51

3.3. Populasi dan Sampel ... 51

3.3.1. Populasi ... 51

3.3.2. Sampel... 51

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 52

3.4.1. Data Primer ... 53

3.4.2. Data Sekunder ... 53

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 54

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 54

3.5.1. Variabel ... 55

3.5.2. Definisi Operasional ... 55

3.6. Metode Pengukuran ... 56

3.6.1. Metode Pengukuran Variabel ... 57

3.7. Metode Analisis Data ... 58

3.7.1. Analisis Univariat ... 60

3.7.2. Analisis Bivariat... 60

3.7.3. Analisis Multivariat ... 60

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 62

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 62

4.1.1. Gambaran Umum Sekolah Dasar Negeri No. 050602 Kuala ... 62

4.2. Analisis Univariat ... 62

4.2.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ... 64

4.2.2. Distribusi Frekuensi Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 64

4.2.3. Distribusi Frekuensi Adat Istiadat ... 65

4.2.4. Distribusi Frekuensi Kepercayaan ... 65

4.2.5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan ... 65

4.2.6. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga ... 66

4.3. Analisis Bivariat ... 67

4.3.1. Hubungan Adat Istiadat dengan Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 67

4.3.2. Hubungan Kepercayaan dengan Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 68

4.3.3. Hubungan Dukungan Informasi dengan Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 69

4.3.4. Hubungan Dukungan Informasi dengan Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 70

4.3.5. Hubungan Dukungan Penilaian dengan Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 71


(14)

4.3.6. Hubungan Dukungan Instrumental dengan Pencegahan

Infeksi Kecacingan ... 72

4.3.7. Hubungan Dukungan Emosional dengan Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 73

4.4. Analisis Multivariat ... 74

BAB 5. PEMBAHASAN ... 75

5.1. Karakteristik Responden (ibu) Murid Sekolah Dasar Negeri 050602 Kuala ... 75

5.2. Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 75

5.3. Pengaruh Adat Istiadat terhadap Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 77

5.4. Pengaruh Kepercayaan terhadap Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 78

5.5. Pengaruh Pengetahuan terhadap Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 80

5.6. Pengaruh Dukungan Informasi terhadap Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 82

5.7. Pengaruh Dukungan Penilaian terhadap Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 84

5.8. Pengaruh Dukungan Instrumental terhadap Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 85

5.9. Pengaruh Dukungan Emosional terhadap Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 86

5.10. Pengaruh Dukungan Informasi Penilaian terhadap Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 87

5.11. Keterbatasan Penelitain ... 89

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

6.1. Kesimpulan ... 90

6.2. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 62

LAMPIRAN ... 96


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Jumlah Siswa/i di Empat Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kuala

Kabupaten Langkat Tahun Ajaran 2010/2011 ... 53 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Independen dan Variabel Dependen ... 58 4.1. Karakteristik Responden (Ibu) Murid Sekolah Dasar Negeri (SDN)

No. 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat ... 63 4.2. Distribusi Responden Pencegahan Infeksi Kecacingan Responden (Ibu)

Murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat ... 64 4.3. Distribusi Frekuensi Adat Istiadat Responden Murid Sekolah Dasar

Negeri (SDN) No. 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat

tentang Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 64 4.4. Distribusi Frekuensi Kepercayaan Responden Murid Sekolah Dasar

Negeri (SDN) No. 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat

tentang Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 65 4.5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Murid Sekolah Dasar

Negeri (SDN) No. 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Lagkat

tentang Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 65 4.6. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga Responden Murid Sekolah

Dasar Negeri (SDN) No. 050602 di Kecamatan Kuala KAbupaten

Langkat tentang Pencegahan Infeksi Kecacingan ... 66 4.7. Hubungan Adat Istiadat dengan Pencegahan Kecacingan Responden

(Ibu) Murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 050602 di Kecamatan

Kuala Kabupaten Langkat ... 67 4.8. Hubungan Kepercayaan dengan Pencegahan Infeksi Kecacingan

Responden (Ibu) Murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 050602


(16)

4.9. Hubungan Pngetahuan dengan Pencegahan Infeksi Kecacingan Responden (Ibu) Murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 050602

di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat ... 69 4.10. Hubungan Dukungan Informasi dengan Pencegahan Infeksi Kecacingan

Responden (Ibu) Murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 050602

di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat ... 69 4.11. Hubungan Dukungan Penilaian dengan Pencegahan Infeksi Kecacingan

Responden (Ibu) Murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 050602

di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat ... 70 4.12. Hubungan Dukungan Instrumental dengan Pencegahan Infeksi

Kecacingan Responden (Ibu) Murid Sekolah Dasar Negeri (SDN)

No. 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat ... 71 4.13. Hubungan Dukungan Emosional dengan Pencegahan Infeksi Kecacingan

Responden (Ibu) Murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 050602

di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat ... 72 4.14. Identifikasi Variabel Dominan Pencegahan Infeksi Kecacingan

Responden (Ibu) Murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 050602

di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat ... 73


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Hubungan Status Kesehatan Perilaku ... 53 2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 50


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Uji Validitas dan Reliabilitas Data ... 96

2. Kuesioner Penelitian ... 98

3. Analisis Univariat (Distribusi Frekuensi) ... 108

4. Analisis Bivariat ... 121

5. Analisis Multivariat (Uji Regresi Logistik) ... 126


(19)

ABSTRAK

Hasil survei tahun 2008 pada 18 Sekolah Dasar (SD) di 9 kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara menunjukkan prevalensi kecacingan cukup tinggi dan bervariasi antara 50% s/d 91%. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara mengestimasi sedikitnya 400.000 anak SD menderita kecacingan, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu. Berdasarkan hasil pemeriksaan tinja yang dilakukan di 4 SD Negeri di Kecamatan Kuala dari 520 siswa ditemukan sebanyak 297 (57,12%) siswa terinfeksi cacing.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sosio budaya dan dukungan keluarga terhadap pencegahan infeksi kecacingan pada anak Sekolah Dasar No. 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat. Jenis penelitian ini adalah survei dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah orang tua (ibu) murid Sekolah Dasar Negeri No. 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat yang berjumlah 95 orang. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel dukungan keluarga (dukungan informasi, dukungan penilaian, dan dukungan emosional) memiliki pengaruh terhadap pencegahan infeksi kecacingan pada anak Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat.Variabel yang paling dominan terhadap pencegahan infeksi kecacingan adalah dukungan informasi.

Diharapkan kepada tenaga kesehatan khususnya promosi kesehatan agar memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada ibu dan murid-murid SD untuk meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan infeksi kecacingan.


(20)

ABSTRACT

The result of survey done in 2008 at 18 Primary Schools in 9 (nine) districts/cities in the Province of Sumatra Utara revealed that the prevalence of the students suffering from wormy disease was high enough and varied between 50% and 91%. Sumatera Utara Provincial Health Service estimated that at least 400,000 Primary School students were suffering from wormy disease, especially in the grassroots population. Based on the feces examination conducted in 4 (four) Public Primary Schools in Kuala Subdistrict, it was found out that 297 (57.12%) of 520 students were wormy-infected.

The purpose of this survey study with cross-sectional approach was to analyze the influence of socio-culture and family support on the prevention of wormy-infection in the students of Public Primary School No. 050602 in Kuala Subdistrict, Langkat District. The population of this study were 95 mothers of the students of Public Primary School No. 050602 in Kuala Subdistrict, Langkat District. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews and then analyzed through multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that statistically the variable of family support (information, evaluation and emotional supports) had influence on the prevention of worm-infection in the students of Public Primary School in Kuala Subdistrict, Langkat District. Information support was the most dominant variable in the prevention of wormy-infection.

Health officers are expected to provide extension on the prevention of wormy-infection and socialize it to the mothers of the students of Public Primary School. Key words: Socio-culture, Family Support, Wormy.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan pembangunan kesehatan telah menetapkan beberapa program untuk mendukung bidang kesehatan, salah satunya adalah program upaya kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan masyarakat ialah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Hal ini berarti bahwa peningkatan kesehatan masyarakat baik individu, kelompok, lembaga pemerintah ataupun swadaya masyarakat.

Tujuan program ini antara lain meningkatkan mutu kesehatan, mencegah terjadinya penyebaran penyakit menular, menurunkan angka kesakitan, kematian yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

Pemerintah dan masyarakat bersama-sama melaksanakan berbagai program pemberantasan infeksi kecacingan dalam upaya pencegahan dan pengobatan. Program pemberantasan infeksi kecacingan dilaksanakan terutama di Sekolah Dasar (SD). Kegiatan tersebut meliputi penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik dan tepat guna, higiene keluarga dan higiene pribadi (Depkes RI, 2004).

Infeksi kecacingan pada manusia banyak dipengaruhi oleh faktor perilaku, lingkungan tempat tinggal dan manipulasi terhadap lingkungan. Penyakit kecacingan banyak ditemukan di daerah dengan kelembaban tinggi dan terutama mengenai kelompok masyarakat dengan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang kurang baik (Depkes RI, 2004).


(22)

Salah satu penyakit kecacingan adalah penyakit cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau sering disebut soil transmitted helminths yang sering dijumpai pada anak usia Sekolah Dasar di mana pada usia ini anak masih sering kontak dengan tanah. Jenis cacing yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing kremi (Enterobius vermikularis), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura) (Depkes RI, 2004).

Anak usia sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial di masa yang akan datang sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik maupun intelektualnya, dalam hubungan dengan infeksi kecacingan. Beberapa peneliti ternyata menunjukan bahwa usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004). Menurut Kingston 2007, kecacingan dapat berakibat buruk terhadap perkembangan tubuh dan kecerdasan dan kognitif serta kurang aktif di sekolah.

WHO tahun 2006, mengatakan bahwa kejadian penyakit kecacingan di dunia masih tinggi yaitu 1 miliar orang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides, 795 juta orang

terinfeksi cacing Trichuris trichiura dan 740 juta orang terinfeksi cacing tambang

(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus). Infeksi kecacingan yang tertinggi

terjadi di Afrika, Amerika, China, dan Asia Timur.Bank Data Global WHO tahun 2006

mengatakan bahwa prevalensi kecacingan tertinggi pada anak usia sekolah dasar yaitu


(23)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rinaldi (2002) di Indonesia masih tinggi prevalensi kecacingan 60-70%. Tingginya prevalensi ini disebabkan oleh iklim tropis, kelembaban udara tinggi merupakan lingkungan yang baik untuk perkembangan cacing, serta kondisi sanitasi dan higiene yang buruk. Infeksi cacing menyebabkan kehilangan darah pada murid sekolah dasar di Indonesia sebanyak 16.863.000 liter darah per tahun. Infeksi cacing tambang misalnya dapat mengakibatkan terjadinya anemia. Infeksi ini dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,0005 cc–0,34 cc/hari. Pada infeksi berat, kadar hemoglobin dapat mencapai angka 4 gr % dari kadar hemoglobin normal (11 gr %).

Hasil survei tahun 2008 pada 18 sekolah dasar (SD) di 9 Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Utara prevalensi kecacingan cukup tinggi dan bervariasi antara 50% s/d 91%. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara mengestimasi sedikitnya 400.000 anak SD menderita kecacingan, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu memiliki resiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan. Hal ini disebabkan oleh cakupan pengobatan dan pengetahuan masyarakat yang masih rendah, serta keadaan sanitasi lingkungan sekolah yang masih kurang (Sukarni, 2010).

Penyakit cacingan ditularkan melalui tangan yang kotor, kuku panjang dan kotor menyebabkan telur cacing terselip. Salah satu penyebab penyebaran penyakit kecacingan adalah buruknya kebersihan perorangan. Penyakit kecacingan dapat menular diantara murid sekolah yang sering berpegang tangan sewaktu bermain dengan murid lain yang kukunya tercemar telur cacing. Pencegahan infeksi berulang


(24)

sangat penting dengan membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat seperti menghindari kontak dengan tanah yang kemungkinan terkontaminasi tinja manusia, cuci tangan dengan sabun dan air sebelum memegang makanan, lindungi makanan dari tanah dan cuci atau panaskan makanan yang jatuh ke lantai merupakan upaya pemeliharaan kesehatan (Lilisari, 2007).

Upaya kesehatan dalam rangka sosial budaya meliputi pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan. Dalam sistem perawatan kesehatan memiliki kompleks pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai, aturan umum, adat istiadat dan praktek-praktek yang mengamati simptom-simptom, mendiagnosis gangguan kesehatan dan memutuskan pengobatan. Kondisi sosio budaya dan dukungan keluarga menjadi faktor pendukung perilaku hidup sehat dalam upaya pencegahan infeksi cacing. Bila faktor tersebut tidak berfungsi dengan baik maka individu, kelompok ataupun masyarakat akan mengalami sakit, dan sebaliknya bila faktor tersebut berfungsi dengan baik akan memutuskan lingkaran hidup cacing yang dapat dilakukan pada saat cacing berada dalam tubuh manusia. Lingkungan fisik, lingkungan sosial ekonomi dan budaya ikut berperan dalam upaya pemutusan rantai penularan serta memperkecil resiko yang di timbulkan (Kalangie,1986 dalam Sumanto, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian Sumanto (2010) tentang faktor resiko infeksi cacing tambang pada anak sekolah di Demak diketahui terdapat beberapa kebiasaan atau perilaku yang berpengaruh signifikan ( nilai p <0,25) terhadap terjadinya infeksi cacing pada anak sekolah. Kebiasan tersebut antara lain tidak memakai alas kaki pada rentang waktu bervariasi mulai dari 6–12 jam. Anak yang memiliki kebiasaan


(25)

tidak memakai alas kaki berisiko terinfeksi cacing tambang 3,290 kali lebih besar dibanding anak yang memiliki kebiasaan memakai alas kaki dalam aktivitas sehari-hari. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan sebanyak 65,9% anak sekolah yang memiliki kebiasaan memakai alas kaki sedangkan 34,1% yang tidak biasa memakai alas kaki.

Pada umumnya anak memiliki kegemaran bermain di halaman rumah yang masih berupa tanah dengan durasi waktu yang berbeda. Rentang waktu anak bermain di tanah berkisar antara 1–7,5 jam dengan rata-rata sebesar 3,05 jam. Anak yang memiliki kebiasaan bermain ditanah dalam jangka waktu yang lama berisiko terinfeksi cacing tambang 5,2 kali lebih besar dibanding anak yang hanya sebentar bermain di tanah dalam sehari. Kebiasaan bermain di tanah pada anak didapatkan sebesar 37,9 % yang suka bermain lama di tanah, sedangkan sebesar 62,1 % anak hanya bermain sebentar di tanah setiap hari.

Dari hasil wawancara yang dilakukan Sumanto (2010) ternyata masih ada responden dan keluarga yang buang air besar di kebun dan bagian halaman rumah lainnya. Anak yang tinggal dalam keluarga yang memiliki kebiasaan buang air besar di kebun dan tempat lain di halaman rumah berisiko terinfeksi cacing tambang 4,3 kali lebih besar dibanding anak yang tinggal dengan keluarga yang memiliki kebiasaan buang air besar di WC/jamban. Sebanyak 53,8% sudah melakukan aktifitas buang air besar di WC/jamban keluarga, namun masih ada 46,2 % yang memiliki kebiasaan buang air besar di kebun dan halaman sekitar rumah.


(26)

Jalaluddin (2009) Tentang pengaruh sanitasi lingkungan Personal higiene dan karakteristik anak terhadap infeksi kecacingan pada murid sekolah dasar di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhoksumawe, pada 150 diperoleh 52,7 % anak SD tidak menggunakan alas kaki, 47,3% anak SD yang menggunakan alas kaki saat keluar dari rumah dan 53,3% anak SD yang mempunyai kebiasaan tidak cuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar, 46,7% yang melakukan cuci tangan. Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada 150 anak SD tersebut menunjukan 79 orang (52,7%) anak SD positif mederita kecacingan dan 71 orang (47,3%) anak SD yang tidak terifeksi cacing.

Status sehat sakit para anggota keluarga saling memengaruhi satu sama lain. Keluarga memengaruhi jalannya suatu penyakit dan status kesehatan anggota keluarga. Keluarga merupakan jaringan yang mempunyai hubungan erat dan bersifat mandiri, dimana masalah-masalah seorang individu dapat memengaruhi anggota keluarga yang lain dan seluruh system (Friedman,2000).

Pembinaan kesehatan anak dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, ayah, ibu, saudara, anggota keluarga serta anak itu sendiri. Anak harus menjaga kesehatannya sendiri salah satunya membiasakan memakai alas atau sandal (Depkes, 1990). Menurut Friedman (1998) ada lima tugas keluarga dalam bidang kesehatan, yaitu (1) mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga, (2) mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat, (3) memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit, (4) mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan, perkembangan kepribadian anggota keluarga, dan (5)


(27)

mempertahankan hubungan sosial baik antara keluarga dan lembaga kesehatan yang ada.

Menurut Ginting (2008), Kejadian kecacingan pada anak-anak usia Sekolah Dasar masih tinggi karena kebiasaan membuang air besar secara sembarangan di dekat rumah, di kebun tempat ia bekerja, di bawah pohon, di tempat-tempat pembuangan sampah hal ini di sebabkan karena kurang disadarinya pemakaian jamban keluarga yang dapat menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar rumah. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi pertumbuhan telur cacing.

Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Sumatera Utara tahun 2006 diketahui 55,32% rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat di Sumatera Utara. Kab/Kota yang tertinggi rumah tangganya berperilaku hidup bersih dan sehat adalah Kota Binjai (96,28%) sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Langkat (7,8%). Bila dibandingkan pencapaian Sumatera Utara dengan target Indonesia Sehat 2010 yaitu 65%, maka pencapaian sampai tahun 2006 masih dibawah target, untuk mencapai itu maka diperlukan lagi upaya peningkatan PHBS ini yaitu melalui pendekatan pimpinan (advocasy), bina suasana (social suport) dan pemberdayaan masyarakat (empowerment), sehingga dengan terciptanya perilaku yang bersih dan sehat pada masyarakat, akan memberikan daya ungkit dalam penurunan angka kesakitan maupun kematian penduduk di Propinsi Sumatera Utara (Profil Kesehatan Kab/Kota, 2006).

Menurut profil Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat tahun 2010 terdapat 1.242 (32,05%) keluarga yang memiliki rumah sehat dari 11.277 keluarga yang


(28)

diperiksa. Berdasarkan hasil pemeriksaan tinja yang dilakukan di 4 SD negeri di Kecamatan Kuala dari 520 siswa ditemukan sebanyak 297 (57,12%) siswa terinfeksi cacing. Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat mempunyai luas wilayah 188,23 Km2

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan masih banyak anak SD yang bermain tanpa memakai sandal, kuku yang panjang dan kotor, kondisi sanitasi lingkungan tempat tinggal serta bermain anak-anak lembab dan WC tidak memenuhi syarat kesehatan. Pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk ke tubuh manusia melalui telapak kaki, dapat pula masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (tanah yang tercemar dengan telur cacing). dengan 16 desa. Pekerjaan penduduk sebahagian besar mempunyai mata pencaharian petani dan berkebun. Daerah ini masih banyak dijumpai pemukiman yang belum memenuhi sanitasi lingkungan, faktor utama ialah tingkat sosial ekonomi dan pendidikan yang masih rendah. Jumlah penduduk tahun 2010 di Kec. Kuala 47.745 jiwa yang terdiri dari 13.624 Kepala keluarga, 5.355 merupakan anak Sekolah Dasar yang terdaftar di 33 Sekolah Dasar Negeri.

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka perlu di lakukan analisa mengenai pengaruh sosio budaya dan dukungan keluarga terhadap pencegahan infeksi kecacingan pada anak sekolah dasar di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat tahun 2011.


(29)

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh sosio budaya dan dukungan keluarga terhadap pencegahan infeksi kecacingan pada anak sekolah dasar 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat tahun 2011.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sosio budaya dan dukungan keluarga terhadap pencegahan infeksi kecacingan pada anak sekolah dasar 050602 di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat tahun 2011.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh sosio budaya (adat istiadat, pengetahuan dan kepercayaan) dan dukungan keluarga (dukungan instrumental, informasional, emosional dan dukungan penilaian) terhadap pencegahan infeksi kecacingan pada anak sekolah dasar di Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat tahun 2011.

1.5. Manfaat penelitian 1.5.1. Ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengaruh sosio budaya dan dukungan keluarga terhadap pencegahan infeksi kecacingan pada anak sekolah dasar.


(30)

1.5.2. Ibu anak sekolah dasar

Sebagai sumber informasi bagi ibu anak sekolah dasar agar lebih berpartisipasi dalam menciptakan perilaku hidup bersih dan sehat di lingkungan keluarga.

1.5.3. Dinas kesehatan

Menjadi bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat dalam upaya menurunkan angka kecacingan untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat.


(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kecacingan

2.1.1. Definisi Kecacingan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) dengan memberi imbuhan ke dan akhiran an terhadap suatu kata benda maka terhadap kata tersebut mengandung arti menderita atau mengalami kejadian, dengan demikian kata kecacingan berarti seseorang yang mengalami kecacingan. Sedangkan Menurut Dinkes Jawa Timur (2003) Kecacingan ialah penyakit yang disebabkan karena masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia (Ginting, 2008).

Kecacingan adalah kumpulan gejala gangguan kesehatan sebagai akibat adanya cacing parasit di dalam tubuh. Penyebab cacingan yang populer yaitu : cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing kremi (Oxyuriasis vermicularis), cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) dan cacing tambang (Trichuris trichiura)( FK-UI 2010).

2.1.2. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan.

Secara epidemiologik, ada beberapa faktor yang memengaruhi kejadian kecacingan atau disebut dengan segitiga epidemiologi, yaitu faktor host, agent dan environment. Segitiga epidemiologi ini sangat umum digunakan oleh para ahli dalam menjelasakan konsep berbagai permasalahan kesehatan termasuk salah satunya adalah terjainya penyakit. Hal ini sangat komprehensif dalam memprediksi suatu


(32)

penyakit. Terjadinya suatu penyakit sangat tergantung dari keseimbangan dan interaksi ke tiganya.

Segitiga epidemiologi cacingan sendiri sebagai berikut. a. Host

Host atau penjamu ialah keadaan manusia yang sedemikan rupa sehingga menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit. Manusia merupakan satu-satunya host bagi E. vermicularis. Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif. Telur akan menetas di dalam usus dan berkembang menjadi dewasa dalam caecum, termasuk appendix (Mandell et al,1990).

b. Agent

Agent merupakan penyebab penyakit, dapat berupa makhluk hidup maupun tidak hidup. Agent penyakit cacingan ini tentu saja adalah cacing.

c. Environment

Faktor lingkungan adalah faktor yang ketiga sebagai penunjang terjadinya penyakit cacingan. Hal ini karena faktor ini datangnya dari luar atau biasa disebut dengan faktor ekstrinsik.

Menurut Soedarto,(1991) ada beberapa faktor yang memengaruhi kejadian kecacingan yaitu, faktor sanitasi lingkungan dan faktor manusia dijelaskan sebagai berikut :


(33)

a. Faktor Sanitasi Lingkungan

Mawardi (1990) dalam Riyadi (1994) menyatakan bahwa lingkungan adalah sesuatu yang berada disekitar manusia secara lebih teperinci dapat dikatagorikan dalam beberapa kelompok :

1. Lingkungan Fisik, yang termasuk dalam kelompok ini adalah tanah dan udara serta interaksi satu sama lainnya diantara faktor-faktor tersebut.

2. Lingkungan biologis, yang termasuk dalam hal ini adalah semua organisme hidup baik binatang, tumbuhan maupun mikroorganisme kecuali manusia sendiri.

3. Lingkungan sosial yaitu termasuk semua interaksi antara manusia dari mahluk sesamanya yang meliputi faktor sosial, ekonomi, kebudayaan dan psikososial. Berdasarkan kategori diatas diartikan pula bahwa lingkungan adalah kumpulan dari semua kondisi atau kekuatan dari luar yang memengaruhi kehidupan dan perkembangan dari suatu organisme hidup (manusia).

Kesehatan lingkungan merupakan salah satu disiplin ilmu kesehatan masyarakat dan merupakan perluasan dari prinsip-prinsip higiene dan sanitasi. Kesehatan lingkungan adalah hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya yang berakibat atau memengaruhi derajat kesehatannya, WHO mendefinisikan bahwa kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia, keadaan sehat mencakup manusia seutuhnya dan tidak hanya sehat fisik


(34)

saja tetapi juga sehat mental dan hubungan sosial yang optimal di dalam lingkungannya (Mawardi, 1992).

Dalam penanggulangan kecacingan, pengawasan sanitasi air dan makanan sangat penting, karena penularan cacing terjadi melalui air dan makanan yang terkontaminasi oleh telur dan larva cacing (Riyadi, 1994).

Paragdima Blum tentang kesehatan dari lima faktor dimana lingkungan mempunyai pengaruh dominan. Faktor lingkungan yang memengaruhi status kesehatan seseorang itu dapat berasal dari lingkungan pemukiman, lingkungan sosial, lingkungan rekreasi, lingkungan kerja.

1. Lingkungan Rumah

Darmayanti (2000), dalam Hidayat (2002) menunjukan adanya hubungan yang erat antara faktor lingkungan tempat tinggal dengan prevalensi cacing pada anak sekolah dasar. Tinggi angka prevalensi A.lumbricoides pada anak sekolah dasar di desa dibandingkan dengan di kota menunjukan adanya perbedaan higiene dan sanitasi lingkungan. Penelitian tersebut juga menggambarkan bahwa adanya infeksi ganda A.lumbricoides di desa lebih tinggi dibandingkan di kota. Hal ini menunjukan bahwa lingkungan pedesaan merupakan faktor predisposisi untuk anak-anak sekolah dasar di desa.

2. Lingkungan Sekolah

Di samping lingkungan rumah tempat tinggal, lingkungan sekolah secara tidak langsung mempunyai sumbangan terhadap terjadinya penularan penyakit infeksi cacingan. Sebagian besar waktu anak sekolah dasar dihabiskan dengan bermain baik


(35)

dirumah maupun di sekolah sehingga anak sekolah dasar mempunyai potensial untuk terjangkit penyakit infeksi kecacingan (Poespoprodjo dan Sadjimin, 2002).

b. Faktor Manusia 1. Higiene Perorangan

Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan (Azwar, 1993).

Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (Higiene perorangan) adalah upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri meliputi:

a. Memelihara kebersihan b. Makanan yang sehat c. Cara hidup yang teratur

d. Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani e. Menghindari terjadinya penyakit

f. Meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah

g. Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat h. Pemeriksaan kesehatan


(36)

Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan masal, perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).

Azwar (1993) pada prakteknya upaya higiene antara lain meminum air yang sudah direbus sampai mendidih dengan suhu 100°C selama 5 menit, mandi dua kali sehari agar badan selalu bersih dan segar, mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan, mengambil makanan dengan memakai alat seperti sendok atau penjepit dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya apabila panjang.

Onggowaluyo (2002) kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikro organisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan kecacingan diantaranya melalui tangan yang kotor, kuku yang kotor yang kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan.

Higiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya apabila melakukan higiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi lingkungan yang baik, kaitan keduanya dapat dilihat misalnya pada saat mencuci tangan sebelum makan dibutuhkan air bersih, yang harus memenuhi syarat kesehatan.


(37)

2. Perilaku

Notoatmodjo (2003) menyatakan perilaku manusia dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu aspek fisik, psikis dan sosial yang secara rinci merupakan refleksi dari gejolak kejiwaan seperti : pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagian yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya masyarakat.

Perilaku dapat diukur dengan cara mengukur unsur-unsur perilaku dimana salah satu adalah pengetahuan, dengan cara memperoleh data atau informasi tentang indikator-indikator pengetahuan tersebut. Untuk dapat menentukan tingkat

pengetahuan terhadap sanitasi lingkungan dilakukan melalui wawancara (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku sehat pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Sebagai contoh perilaku yang berkaitan dengan lingkungan misalnya perilaku seseorang berhubugan dengan pembuangan air kotor yang menyangkut segi-segi higiene, pemeliharaan teknik dan penggunaannya. Menurut Azwar (1993) perilaku sehat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti :

a) Latar belakang seseorang yang meliputi norma-norma yang ada, kebiasaan, nilai budaya dan keadaan sosial ekonomi yang berlaku dimasyarakat.

b) Kepercayaan meliputi manfaat yang didapat, hambatan yang ada, kerugian dan kepercayaan bahwa seseorang dapat terserang penyakit.


(38)

c) Sarana merupakan tersedia atau tidaknya fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penularan infeksi kecacingan adalah kurangnya pengetahuan tentang infeksi kecacingan. Wachidanijah (2002) menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan makin tinggi pengetahuan seseorang semakin baik perilaku dalam hubungan dengan penyakit kecacingan. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing tambang pada penduduk di Desa Jagapati Bali, dengan pola transmisi infeksi cacing tersebut pada umumnya terjadi disekitar rumah (Bakta, 1995). Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap ternyata menyebabkan tinggi infeksi oleh ”Soil-Transmited Helminths” pada masyarakat.

Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku L.Green (1991) mengidentifikasi tiga faktor yang memengaruhi perilaku individu atau kelompok, mencakup organization actions dalam hubungan dengan lingkungan, dimana masing-masing mempunyai tipe yang berbeda dalam memengaruhi perilaku, yaitu faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor), dan faktor penguat (reinforcing factor).

A. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)

Faktor Predisposisi adalah faktor-faktor yang mendahului perilaku, dimana faktor tersebut memberikan alasan atau motivasi untuk terjadinya suatu perilaku. Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan, sikap, tradisi dan kepercayaan, sistem nilai


(39)

yang dianut, kepercayaan pada diri sendiri, dan persepsi terhadap kebutuhan dan kemampuan yang berhubungan dengan motivasi individu atau kelompok untuk berperilaku. Faktor predisposisi mencakup dimensi kognitif dan efektif dari knowing, feeling, believing, valuing dan having self confidence atau self efficacy. Faktor-faktor yang berkaitan dengan variasi demografi, seperti status sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, dan jumlah keluarga juga termasuk faktor predisposisi. Faktor ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan berbeda dalam kondisi sehat dan sakit.

Untuk berperilaku sehat, misalnya dalam upaya pemberantasan penyakit kecacingan dilakukan pemeriksaan tinja, diperlukan pengetahuan dan kesadaran individu dan keluarga tentang manfaat pemeriksaan tinja, baik untuk kesehatan anak maupun anggota keluarga. Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan sistem nilai masyarakata juga dapat mendorong atau menghambat individu untuk melakukan inovasi yang ditawarkan. Misalnya, pemikiran orang-orang di sekitar yang mengatakan “tinja tidak perlu di periksa-periksa, mengkonsumsi obat cacing tidak merupakan kebutuhan”.

B. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)

Faktor Pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya sebuah perilaku. Faktor pemungkin digambarkan sebagai faktor-faktor yang memungkinkan (membuat lebih mudah) individu untuk merubah perilaku atau lingkungan mereka. Faktor pemungkin meliputi ketersediaan, keterjangkauan, dan kemampuan, fasilitas pelayanan kesehatan serta sumber daya


(40)

yang tersedia di masyarakat, kondisi kehidupan, dukungan sosial, dan keterampilan-keterampilan yang memudahkan untuk terjadinya suatu perilaku.

Untuk berperilaku sehat, anak SD memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya untuk meyakinkan kelompok sasaran (anak SD) agar mau di periksa tinjanya guna pencegahan dan pengobatan penyakit kecacingan tidak cukup dengan kelompok sasaran tersebut tahu dan sadar manfaat dari pemeriksaan tinja saja, melainkan kelompok sasaran tersebut harus dengan mudah menjangkau sarana dan prasarana yang mendukung upaya pencegahan infeksi cacing, misalnya tersedianya jamban sehat, obat cacing, air bersih, sandal dan hal lain yang mendukung perilaku hidup sehat.

C. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)

Faktor penguat adalah konsekuensi dari perilaku yang ditentukan apakah pelaku menerima umpan balik positif (atau negatif) dan mendapatkan dukungan sosial setelah perilaku dilakukan. Faktor penguat mencakup dukungan sosial, pengaruh sebaya, serta advise dan umpan balik dari tenaga kesehatan. Faktor penguat juga mencakup akibat secara fisik dari perilaku yang dilakukan seperti perasaan bugar, tidak mengantuk di bangku sekolah dan nafsu makan meningkat setelah minum obat cacing. Keuntungan sosial (seperti penghargaan), keuntungan fisik (seperti kenyamanan, kebugaran, bebas dari gatal-gatal di dubur), keuntungan ekonomi (tidak mengeluarkan biaya bila terjadi diare) dan imagine atau vicarious (seperti peningkatan penampilan dan harga diri), semuanya akan memperkuat perilaku.


(41)

2.1.3. Infeksi Cacing yang ditularkan melalui tanah (Soil-Transmited Helminths) Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan (Mahfuddin, 1994). Agustina (2000) mendapatkan bahwa ada hubungan yang erat antara tanah dan kuku yang tercemar telur A.lumbricoides dan kejadian askariasis pada anak balita di Kecamatan Paseh Jawa Barat.

Selain melalui tangan, transmisi telur cacing ini dapat juga melalui makanan dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur cacing yang ada di tanah atau debu akan sampai pada makanan tersebut, jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat (media perantara) yang sebelumnya hinggap di tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut (Helmy, 2000).

Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan proses membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran tersebut diberi pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara penggunaan tinja sebagai pupuk harus diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa disinfektan (Brown, 1979). 1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai,


(42)

telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus halus.

2. Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)

Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cara infeksi adalah langsung, tidak diperlukan hospes perantara. Bila telur yang telah berisi embrio tertelan manusia, larva yang menjadi aktif akan keluar di usus halus masuk ke usus besar dan menjadi dewasa dan menetap. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di usus besar hospes. Telur yang infektif bila tertelan manusia menetes menjadi larva di usus halus. Larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru (Onggowaluyo, 2002).

Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama terjadi karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi. Keadaan ini erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur dan status kesehatan umum dari hospes (penderita). Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya tanpa gejala pada infeksi ringan. Pada infeksi menahun dapat menimbulkan anemia, diare, sakit perut, mual dan berat badan turun (Onggowaluyo, 2002).

Penyebaran geografis T.trichuira sama A. lumbricoides sehingga seringkali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara 30% - 90 %. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak–anak. Faktor terpenting dalam


(43)

penyebaran trikuriasis adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur. Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh (Onggowaluyo, 2002).

Di Daerah endemik, laju infeksi dapat dicegah dengan pengobatan, pembuatan MCK (mandi, cuci dan kakus) yang sehat dan teratur, penyuluhan, pendidikan tentang higienis dan sanitasi pada masyarakat (Onggowaluyo, 2002).

3. Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang)

Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, Cacing melekat pada mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva filariorm yang ada di tanah. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang dimulai dari keluarnya telur cacing bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Gandahusada dkk, 2004).


(44)

2.1.4. Dampak Infeksi Kecacingan pada Anak

Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak. Infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura menimbulkan morbiditas yang tinggi (Soedarto, 1999).

Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari kalori yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi vitamin A (Hidayat, 2002).

Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena infeksi Trichuris trichiura mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml/hari/cacing (Gandahusada dkk, 2004).

Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan


(45)

kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat (Gandahusada dkk, 2004).

2.1.5. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan

Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan infeksi kecacingan sudah dilakukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan terbatas pada daerah tertentu karena biaya yang tersedia terbatas. Pada Pelita V dan VI Program pemberantasan penyakit kecacingan meningkat kembali karena pada periode ini lebih memperhatikan pada peningkatan perkembangan dan kualitas hidup anak (Dirjen P2M & PL, 1998).

Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan masal, perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).

Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegah dari penyakit kecacingan adalah sebagai berikut (Nadesul, 1997).

1. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan, gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor.

2. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.

3. Tidak membiasakan diri menggigit kuku jemari tangan atau menghisap jempol.


(46)

5. Tidak membuang kotoran di kebun, parit, sungai atau danau dan biasakan buang kotoran di jamban.

6. Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban

7. Biasakan tidak jajan makanan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang tangan.

8. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan.

9. Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas.

10.Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya kebersihan diri dan lingkungan yang tidak baik.

11.Biasakan makan daging yang sudah benar-benar matang dan bukan yang mentah atau setengah matang.

12.Biasakan berjalan kaki kemana-mana dengan memakai alas kaki.

13.Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap penyakit kecacingan

14.Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci dengan air bersih yang mengalir.

Menurut Sasongko (2007) kunci pemberantasan cacingan adalah memperbaiki higiene dan sanitasi lingkungan. Misalnya, tidak menyiram jalanan dengan air got. Sebaiknya, bilas sayur mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya beberapa detik ke dalam air mendidih. Juga tidak jajan di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci tangan


(47)

sebelum makan, bukan hanya sesudah makan. Dengan begitu, rantai penularan cacingan bisa diputus. Pada saat bersamaan, anak-anak yang menderita cacingan harus segera diobati. Namun, meski semua anak sudah minum obat cacing, tak berarti masalah cacingan akan selesai saat itu juga. Pemberantasan kecacingan adalah kerja gotong royong yang butuh waktu bertahun-tahun. Negara maju seperti Jepang pun pernah dibuat sibuk oleh ulah para cacing perut ini. Setelah kalah oleh Sekutu saat Perang Dunia II, Jepang jatuh menjadi negara miskin. Karena miskin, mereka menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk pertanian. Akibatnya, penularan cacing menjadi tak terkendali, sampai menyerang 80% penduduk. Butuh waktu 10 tahun untuk menurunkan angka kecacingan hingga di bawah 10%. Pada kasus cacingan ringan sampai sedang, gejalanya sulit dikenali. Untuk memastikan, anak-anak harus diperiksa tinjanya dengan mikroskop. Jika terbukti mengandung telur cacing, ia harus segera diobati.

2.2. Sosio Budaya

Sosio-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya berhubungan dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah-laku kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari disini bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak.


(48)

Mereka mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli Antropologi disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia, baik itu kelompok kecil maupun kelompok yang sangat besar.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor (1871) dalam Tumanggor, dkk, (2010), kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Kebudayaan dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Kebudayaan adalah keseluruhan dari hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan yang harus di dapat dengan belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dan tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan.

Menurut Tumanggor, dkk (2010) sosio budaya adalah konsep, keyakinan, nilai, dan norma yang dianut masyarakat yang memengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.


(49)

2.2.1. Konsep Kebudayaan

Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi. Ralph Linton mendefinisi Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.

1. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar

Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. kebudayaan tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain yang tingkahlakunya digerakan oleh insting. Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang dimakan, bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompok-kelompoknya menyebabkan manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara makan yang berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan


(50)

menggunakan tangannya saja, langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana dari kayu untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang alat tersebut dibuat dari banyak bahan. Begitu juga tempat dimana manusia itu makan. Dulu manusia makan disembarang tempat, tetapi sekarang ada tempat-tempat khusus dimana makanan itu dimakan. Hal ini semua terjadi karena manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang dilakukan oleh generasi sebelumya atau lingkungan disekitarnya yang dianggap baik dan berguna dalam hidupnya. Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak dipelajari. Semut-semut yang dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki kebudayaan, walaupun mereka mempunyai tingkah-laku yang teratur. Mereka membagi pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang semuanya dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari semut yang lain. Pola kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis.

1. Kebudayaan Milik Bersama

Agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan seorang individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok manusia. Para ahli Antropologi membatasi diri untuk berpendapat suatu kelompok mempunyai kebudayaan jika para warganya memiliki secara bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang sama yang didapat melalui proses belajar.


(51)

Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan yang dimiliki bersama oleh para warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertian masyarakat sendiri dalam Antropologi adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya.

2. Kebudayaan sebagai Pola

Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah pola-pola budaya yang ideal dan pola-pola-pola-pola ini cenderung diperkuat dengan adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang ideal itu memuat hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah yang sering disebut dengan norma-norma, Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan bersama sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu mematuhi dan mengikuti norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan ada apa yang disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian dari pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku sebenarnya karena pola-pola tersebut telah dikesampingkan oleh cara-cara yang dibiasakan oleh masyarakat. Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu pendukungnya selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang telah dituntut oleh kebudayaan itu.


(52)

Pembatasan-pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika dia ditentang atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi kedalam 2 jenis yaitu pembatasan kebudayaan yang langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak langsung. Pembatasan langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada. Akan ada sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal yang dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada, akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar tata-tertib yang berlaku dimasyarakatnya, maka dia mungkin akan dihukum dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya.

Pembatasan-pembatasan kebudayaan tidak berarti menghilangkan kepribadian seseorang dalam kebudayaannya. Memang kadang-kadang pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yang mengatur tata-kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi bukan berarti tekanan-tekanan sosial tersebut menghalangi individu-individu yang mempunyai pendirian bebas. Mereka yang mempunyai pendirian seperti ini akan tetap mempertahankan pendapat-pendapat mereka, sekalipun mereka mendapat tentangan dari pendapat yang mayoritas.

Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini terjadi sebagai suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena


(53)

kalau sifat-sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu biasanya merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada mode yang baru atau sistim yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan diri dengan pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang dikenal dengan sistim nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia memberi pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.

3. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif

Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami. Misalnya, orang akan heran kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks pada masyarakat tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan anaknya sampai anak tersebut mencapai usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan tersebut, pantangan tersebut susah dimengerti, tetapi bagi masyarakat pendukung kebudayaan yang melakukan


(54)

pantangan-pantangan seperti itu, hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan diri pada lingkungan fisik dimana mereka berada. Mungkin daerah dimana mereka tinggal tidak terlalu mudah memenuhi kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai strategi memberikan gizi yang cukup bagi anak bayi dibuatlah pantangan-pantangan tersebut. Hal ini nampaknya merupakan hal yang sepele tetapi sebenarnya merupakan suatu pencapaian luar biasa dari kelompok masyarakat tersebut untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi dengan cara melakukan pantangan-pantangan tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan penyesuaian yang dilakukan oleh kebudayaan tersebut membutuhkan suatu pengamatan yang seksama dan dilakukan oleh beberapa generasi untuk sampai pada suatu kebijakan yaitu melakukan pantangan tadi. Begitu juga dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu masyarakat; bagi orang awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk membangun kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas air dan sebagainya, karena akan banyak sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila kita melihat mungkin pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan didapat sejumlah alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka mendapat tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat disekitarnya dalam bentuk yang ekstrim sehingga mereka harus mempertahankan diri dan salah satu cara terbaik dalam pilihan mereka adalah membangun kampung di puncak bukit.

Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian


(55)

tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang berlainan mungkin saja akan memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban terhadap suatu masalah dan bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih tentu mempunyai sejumlah alasan dan argumen. Alasan–alasan ini sangat banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu penelitian untuk menjelaskannya. Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus selalu menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada umumnya orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau penyesuaian atas suatu keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu terjadi. Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu untuk menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan masyarakatnya sendiri. Banyak kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini. Mereka memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau dihadapi kebudayaannya tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang dibuat sebagai penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar kebudayaannya malah merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter atau penyaring budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Karena sekian banyak aturan, norma atau adat istiadat yang ada dan berlaku pada suatu kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan tersebut terhadap lingkungannya selama


(56)

beratus-ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang karena terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan masyarakat tersebut.

Siapa saja dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini tergantung dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan melakukan penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap masyarakat dan hasilnya juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara berbagai elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua dan muda, terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya.

2.2.2. Subtansi Utama Budaya

Substansi utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan di dalam masyarakat yang memberi jiwa kepada masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk atau sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi dan etos kebudayaan.

a. Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai mahluk sosial merupakan suatu akumulasi dari perjalanan hidupnya dalam hal berusaha memahami lingkungan.

Untuk memperoleh pengetahuan manusia melakukan tiga cara, yaitu:

1. Melalui pengalaman dalam kehidupan sosial. Pengetahuan melalui pengalaman langsung ini akan membentuk kerangka pikir individu untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan aturan yang dijadikan pedomannya.


(57)

2. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh melalui pendidikan formal atau resmi (di sekolah) maupun dari pendidikan non-formal (tidak resmi), seperti kursus, penataran dan ceramah.

3. Melalui petunjuk-petunjuk yang bersifat simbolis yang sering disebut sebagai komunikasi simbolik.

b. Nilai

Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan, dicita-citakan dan dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Karena itu, sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai-moral atau etis), religius (nilai agama).

C. Kluchohn mengemukakan, bahwa yang menentukan orientasi nilai budaya manusia di dunia adalah lima dasar yang bersifat universal, yaitu:

1. Hakikat hidup manusia 2. Hakikat karya manusia 3. Hakikat waktu manusia 4. Hakikat alam manusia

5. Hakikat hubungan antar manusia c. Pandangan Hidup

Pandangan hidup merupakan pedoman bagi suatu bangsa atau masyarakat dalam menjawab atau mengatasi masalah yang dihadapi. Di dalamnya terkandung konsep nilai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu masyarakat. Oleh sebab itu,


(58)

pandangan hidup merupakan nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat dengan dipilih secara selektif oleh individu, kelompok, atau bangsa.

d. Kepercayaan

Kepercayaan mengandung arti yang lebih luas daripada agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada dasarnya, manusia yang memiliki naluri menghambakan diri kepada yang mahatinggi, yaitu dimensi lain di luar diri dan lingkungannya, yang dianggap mampu mengendalikan hidup manusia. Dorongan ini sebagai akibat atau refleksi ketidakmampuan manusia dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup, dan hanya yang mahatinggi saja yang mampu memberikan kekuatan dalam mencari jalan keluar dari permasalahan hidup dan kehidupan.

e. Persepsi

Persepsi atau sudut pandang ialah suatu titik tolak pemikiran yang tersusun dari seperangkat kata-kata yang digunakan untuk memahami kejadian atau gejala dalam kehidupan.

f. Etos Kebudayaan

Etos sering tampak pada gaya perilaku warga atau masyarakat misalnya, kegemaran-kegemaran warga masyarakat, serta berbagai benda budaya hasil karya mereka, dilihat dari luar oleh orang asing.

2.2.3. Sifat-Sifat Budaya

Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak sama, seperti di indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang sama. Sifat tersebut bukan


(59)

diartikan secara spesifik, melainkan bersifat universal, dimana sifat-sifat budaya itu akan memiliki ciri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras, lingkungan atau pendidikan, yaitu sifat hakiki yang berlaku umum bagi semua budaya di mana pun.

Sifat hakiki dari kebudayaan tersebut antara lain:

1. Budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.

2. Budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.

3. Budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya 4. Budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,

tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan yang diizinkan.

2.2.4. Sistem Budaya

Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayan yang bersifat abstrak dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan, konsep, serta keyakinan dengan sistem kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang dalam bahasa Indoneisa lazim disebut sebagai adat istiadat. Dalam adat istiadat terdapat juga sistem norma dan disitulah salah satu fungsi sistem budaya adalah menata serta menetapkan tindakan-tindakan dan tingkah laku manusia.

Dalam sistem budaya terbentuk unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sehingga tercipta tata kelakuan manusia yang terwujud dalam unsur kebudayaan sebagai satu kesatuan.


(60)

Sistem kebudayaan suatu daerah akan menghasilkan jenis-jenis kebudayaan yang berbeda. Jenis kebudayaan ini dapat dikelompokkan menjadi:

1. Kebudayaan material antara lain hasil cipta, karsa, yang berwujud benda, barang alat pengolahan alam, jalan rumah dan sebagainya.

2. Kebudayaan non-material, merupakan hasil cipta, karsa, yang berwujud kebiasaan, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan sebagaianya. Non-material antaralain: volkways (norma kelaziman) , mores (norma kesusilaan), norma hukum dan mode (fashion).

Kebudayaan dapat dilihat dari dimensi wujudnya adalah:

1. Sistem budaya, kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, peraturan dan sebagainya.

2. Sistem sosial, merupakan kompleks dari aktivitas serta berpola dari manusia dalam organisasi dan masyarakat.

3. Sistem kebendaan, wujud kebudayaan fisik atau alat-alat yang diciptakan manusia untuk kemudahan hidupnya (Setiadi, dkk, 2009).

2.2.5. Sosio Budaya (Antropologi) Kesehatan dan Ekologi

1. Konsep-konsep Penting dalam Antropologi Kesehatan dan Ekologi

A. Sistem adalah Agregasi atau pengelompokan objek-objek yang dipersatukan oleh beberapa bentuk interaksi yang tetap atau saling tergantung, sekelompok unit yang berbeda, yang dikombinasikan sedemikian rupa oleh alam atau oleh seni sehingga membentuk suatu keseluruhan yang integral dan berfungsi, beroperasi atau bergerak dalam satu kesatuan.


(61)

B. Sistem Sosial-Budaya atau Kebudayaan adalah keseluruhan yang integral dalam interaksi antar manusia.

C. Ekosistem adalah suatu interaksi antar kelompok tanaman dan satwa dengan lingkungan nonhidup mereka (Hardesty 1977)

2. Hubungan Antropologi Kesehatan dengan Ekologi

Hubungan manusia dengan lingkungan, dengan tingkahlakunya, dengan penyakitnya dan cara-cara dimana tingkahlakunya dan penyakitnya mempengaruhi evolusi dan kebudayaannya selalu melalui proses umpanbalik. Pendekatan ekologis merupakan dasar bagi studi tentang masalah-masalah epidemiologi, cara-cara dimana tingkahlaku individu dan kelompok menentukan derajat kesehatan dan timbulnya penyakit yang berbeda-beda dalam populasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh pada penyakit malaria ditemukan pada daerah beriklim tropis dan subtropis sedangkan pada daerah beriklim dingin tidak ditemukan penyakit ini, juga pada daerah diatas 1700 meter diatas permukaan laut malaria tidak bias berkembang. Contoh lain, semakin maju suatu bangsa, penyakit yang dideritapun berbeda dengan bangsa yang baru berkembang. Penyakit-penyakit infeksi seperti malaria, demam berdarah, TBC, dll pada umumnya terdapat pada negara-negara berkembang.

2.2.6. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan Ditinjau dari Aspek Sosial Budaya

1. Faktor sosial ekonomi: meliputi pekerjaan, pendapatan dan kondisi perumahan. Kondisi sosial ekonomi yang rendah lebih memungkinkan


(1)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1. Persentase responden (ibu) murid berdasarkan kelompok umur tertinggi pada kelompok umur 31-39 tahun sebesar 51,5%. Persentase responden (ibu) murid berdasarkan pendidikan tertinggi pada pendidikan SMP sebesar 41,1%. Persentase orang tua (ibu) murid berdasarkan pekerjaan tertinggi pada pekerjaan ibu rumah tangga sebesar 40%.

2. Persentase upaya pencegahan infeksi kecacingan yang dilakukan orang tua (ibu) dari murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 050602 di Kecamatan Kuala pada upaya pencegahan infeksi kecacingan yang baik sebesar 42,1%.

3. Hasil analisis bivariat dengan uji chi square menunjukkan hanya variabel pengetahuan, dukungan informasi, dukungan penilaian dan dukungan instrumental yang mempunyai hubungan (p<0,05) dengan upaya pencegahan infeksi kecacingan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 050602 di Kecamatan Kuala.

4. Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik berganda menunjukkan hanya variabel dukungan informasi dan dukungan penilaian yang mempunyai pengaruh (p<0,05) dengan upaya pencegahan infeksi kecacingan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 050602 di Kecamatan Kuala.


(2)

6.2. Saran

Adapun saran penelitian ini adalah :

1. Ibu murid SDN No. 050602 Kecamatan Kuala agar memberikan dukungan informasi dan penilaian dengan memberikan informasi dan imbalan kepada anaknya tentang tata cara menjaga kebersihan dan kesehatan badan agar terhindar dari infeksi kecacingan.

2. Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat agar memberikan penyuluhan kepada ibu dan murid-murid SD sehingga mereka memperoleh informasi yang tepat bagaimana cara mencegah infeksi kecacingan pada murid SD di wilayah kerjanya.

3. Pihak Puskesmas Kecamatan Kuala agar mengaktifkan kembali Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) sehingga terbentuk kader muda untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat di sekolah-sekolah dasar di wilayah kerjanya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina. 2000. Telur Cacing Ascaris Lumbricoides pada Tinja dan Kuku Anak Balita serta pada tanah di Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung, Jawa Barat Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta,

Jakarta

Azwar A 1993. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Mutiara, Jakarta

Bakta IM. 1995. Aspek Epidemiologi Infeksi Cacing Tambang Pada Penduduk Dewasa Desa Jagapati Bali, Jurnal Medika, Jakarta

Brown 1983. Dasar Parasitologi Klinis, Penerjemah Rukmono, Jakarta _________ 1979. Dasar Parasitologi Klinis, Gramedia, Jakarta

Budiarto E 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran, EGC, Jakarta

Depkes RI, 1998. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Kecacingan, Jakarta _________ 2004. Pedoman Umum Program Nasional Pemberantasan Cacingan di

Era Desentralisasi, Depkes RI, Jakarta

Dirjen P2M & PL 1998. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Kecacingan, Depkes RI, Jakarta

Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat. 2009. Profil Kesehatan Kabupaten Langkat Dinas Kesehatan Kota Medan. 2006. Profil Kesehatan Kabupaten /Kota Medan _________ 2004. Profil PPM-PL tahun 2004, Ditjend PPM-PL, Jakarta

Entjang I 2001. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Citra Aditya Bakti, Bandung

Fatmandini A.S 1998. Infeksi Cacingan Usus yang Ditularkan Melalui Tanah Kaitannya dengan Perilaku Anak dan Status Gizinya di SD Negeri Sleman, Program Pasca sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogjakarta


(4)

Gandahusada S. Ilahude H, Herry D dan Pribadi W 2004, Parasitologi Kedokteran. FK UI, Jakarta

Ginting L. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi Infestasi Kecacingan anak SD di Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat, Program Pasca sarjana, Universitas Indonesia, Jakarta.

Ginting. 2008. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar di Desa Tertinggal, Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir, Universitas Sumatera Utara.

Gunawan. A.T 2002. Profil Infeksi Telur Cacing pada Balita di Kecamatan Banyumas, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta

Hadidjaja P 1994. Masalah Penyakit Kecacingan di Indonesia dan Penanggulangannya, Majalah Kedokteran Indonesia, Jakarta

Helmy D. 2000. Penyakit cacing di Unit Pemukiman Transmigrasi Propinsi Bengkulu Pada Anak Sekolah Dasar, Media Litbang Kesehatan, Jakarta

Hendrawan. N, 1997. Infeksi Cacing, Raneka Cipta, Jakarta.

Hidayat,T., 2002. Kesehatan Lingkungan Higine perseorangan dan Intensitas penyakit kecacingan dengan status gizi pada anak sekolah dasar di kota Mataram. Thesis Program Pasca Sarjana, UGM, Yokyakarta.

Lilisari, M.. 2007. Cacingan dalam Health Messenger, Aide Medical Internationale Mahfuddin H. 1994. Infeksi Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah Khususnya

Trichuris Trichiura dengan Albendazole dan Mebendazole, Majalah Parasitologi, Jakarta. 9.(1).

Mahzumi W. 2000. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Angka Kecacingan Dalam Program Pemberian Obat Cacing Anak Usia Sekolah, Program Pasca Sarjana UGM, Yogjakarta

Majid, A, 2001. Mencegah Jangkitan Cacing. Pusat Racun Negara, USM. (http://prn.usm.mv/bulletin/kosmik/2000)

Margono SS. 1988. Pelaksanaan Penanggulangan Cacing Usus pada Program Terpadu di DKI Jakarta, Majalah kedokteran, Jakarta, 2.(22)


(5)

Meriyati S ,1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Kanisius, Jakarta Nadesul H. 1997. Bagaimana Kalau Kecacingan, Puspa Swara, Jakarta

Nokes C. 1992. Moderate to Heavy Infections of Trichiura Affect Cognitive Function in Jamaica School Children, Parasitologi

Notoatmodjo S. 1993. Pengantar Pendidikan dan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Andi Offset, Yogyakarta.

____________ 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta ____________ 2005. Metodologi Penelitian kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta Onggowaluyo J.S. 2002. Parasitologi Medik I (Helmintologi), EGC, Jakarta

Pawlowski ZS. 1991. Hookworm Infection and Anemia, Approaches to Prevention and Control, WHO, Jenewa

Poespoprodjo, JR dan Sadjimin,T.2002. Hubungan antara tanda dan gejala penyakit cacing dan kejadian kecacingan pada anak usia sekolah dasar di kecamatan Ampama kota kabupaten Poso Sulawesi Tengah, Jurnal epidemiologi Indonesia 4 (1) 9 – 15.

Rampengan, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, EGC, Jakarta : 1997

Riduwan. 2002. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian, Alfabeta, Bandung Rinaldi 2002. Infeksi Cacingan Usus yang Ditularkan Melalui Tanah Kaitannya

dengan Perilaku Anak Sekolah Dasar Negeri, Program Pasca sarjana, Universitas Gajah Mada, Yogjakarta

Riyadi S. 1994. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Usana Offset Printing, Surabaya.

Rasmaliah. 2001. Info Kesehatan Masyarakat. Volume V No.1 Fakuktas Kesehatan Masyarakat USU Medan.

Sarwono, Solita. 2000. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep dan Aplikasinya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Sasongko. A. 2007. Kuncinya Hidup Bersih. 16 Desember 2008.


(6)

Setiadi. 2008. Ilmu social dan budaya dasar. Edisi ke 2, cetakan ke 4. Prenada Media Group.

Soedarto. 1991. Helmintologi Kedokteran, EGC, Jakarta

Soemirat J. 2005. Epidemiologi Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Sumanto. 2010. Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang Pada Anak Sekolah, Program Studi Magister Epidemiologi Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro.

Sutanto, 1992. Pengaruh Infeksi Kecacingan Dengan Status Gizi Anak. Thesis Program pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.

Wachidanijah. 2002. Pengetahun, sikap dan perilaku anak serta lingkungan rumah dan sekolah dengan kejadian infeksi cacing anak SD, Program Pascasarjana UGM, Yogjakarta

Wartomo H. 1985. Prevalensi dan Intensitas Soil-Transmitted Helminth pada penduduk yang menggunakan Pupuk Tinja Manusia di Desa Batur, Program Pasca Sarjana UGM, Yogjakarta

Widyaningsih, 2004. Penelitian Perbedaan Kejadian Infeksi Cacing Usus Pada anak sekolag Dasar di Desa Tertinggal dan Non Tertinggal Kecamatan Tasik Madu Kabupaten Karang Anyar Jawa Barat. Thesis Program Pasca Sarjana, UGM, Yokyakarta

Wisnungsih, 2004. Penelitian Infeksi Kecacingan Pada Siswa SD Keburuhan Kecamatan Ngombol Kab. Purworejo.

World Food Programme, 2006, Pemberantasan Kecacingan Anak Usia Sekolah Dasar, Banda Aceh

Zit Z. 2000. Pengobatan Infeksi Cacing yang Ditularkan melalui Tanah dengan Kombinasi Mebendazol dan Pirantel Pada Anak, Majalah Kedokteran Sriwijaya. 32.(1). 46-50.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Perilaku Wirausaha dan Dukungan Keluarga Terhadap Keberhasilan Pengusaha Kain (Studi Kasus Pada Pedagang Kain di Jl. Perniagaan Pasar Ikan Lama Medan)

4 72 90

Pengaruh Karakteristik Personal dan Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di Kota Tanjungbalai

3 95 168

Pengaruh Motivasi Diri Remaja dan Dukungan Keluarga Terhadap Perilaku Seks Beresiko Remaja Pada Seks Pranikah Di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun

2 82 127

Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Pencegahan Sekunder pada Pasien Diabetes Mellitus (DM) Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tanjung Pura Kabupaten Langkat

0 44 106

Pengelolaan Warung Sekolah Di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat Tahun 2004

0 23 136

Pengetahun, Sikap dan Tindakan Ibu Rumah Tangga Tentang Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Yang Berkaitan Dengan Penularan Infeksi Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Di Sekolah Dasar Negeri I Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat Tahun 2004

1 38 90

Hubungan Higiene Perorangan dan Perilaku Anak Sekolah Dasar Dengan Terjadinya Infeksi Kecacingan Di SD Negeri 1 Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat Tahun 2003

7 48 76

Pengaruh Perilaku Higienitas Terhadap Kejadian Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar Negeri Di Kecamatan Meurebo Kabupaten Aceh Barat

4 52 93

Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene Dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar Di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe

6 48 123

PENGARUH INFEKSI KECACINGAN TERHADAP INDEKS MASSA TUBUH DAN KADAR PROTEIN SERUM PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN TERAS KABUPATEN BOYOLALI.

0 0 2