5.1.3.6 Alasan Ketidaklengkapan Pemberian Imunisasi Dasar
Dari 31 sampel penelitian yang tidak memberikan anak balitanya imunisasi dasar secara lengkap diperoleh data distribusi sampel berdasarkan
alasan ketidaklengkapan yang digambarkan melalui tabel 5.7 berikut ini.
Tabel 5. 7 Distribusi Sampel Menurut Alasan Ketidaklengkapan Pemberian Imunisasi Dasar
Alasan Ketidaklengkapan Imunisasi
Jumlah N
Anak Sakit 17
73,92 Cemas
3 13,04
Lupasibuk 3
13,04 Total
23 100
Berdasarkan tabel tersebut dapat kita simpulkan bahwa sebanyak 17 orang 73,92 sampel penelitian yang tidak memberikan anak balitanya imunisasi
secara lengkap beralasan bahwa anak sakit pada hari pemberian imunisasi. Sebanyak 3 orang 13,04 sampel penelitian yang tidak memberikan anak
balitanya imunisasi secara lengkap beralasan cemas akan efek samping imunisasi yang timbul pasca pemberian imunisasi. Dan sebanyak 3 orang 13,04 sampel
penelitian yang tidak memberikan anak balitanya imunisasi secara lengkap beralasan bahwa mereka lupa atau sibuk.
5.2 Pembahasan
Penelitian ini dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner secara door to door kepada 100 responden. Berdasarkan pengamatan
lapangan diteemukan berbagai kekurangan maupun kelemahan, seperti ketidakmandirian dalam menjawab pertanyaan. Kelemahan lainya adalah
keterbatasan sampel dalam mengingat jenis, jumlah, dan manfaat imunisasi, mengingat mayoritas responden memiliki anak berusia 2-3 tahun cukup lama dari
usia pemberian imunisasi dasar sehingga bisa membiaskan hasil penelitian ini.
Sesuai dengan tujuan umum dan tujuan khusus penelitian, dilakukan uji Chi-Square maupun uji Fisher untuk melihat signifikansi masing-masing faktor
terhadap pemberian imunisasi dasar lengkap. Dari 5 faktor predisposisi yang
Universitas Sumatera Utara
diteliti, terdapat 3 faktor yang memiliki nilai signifikan terhadap pemberian imunisasi.
Hasil penelitian dari tabel 5.2 menunjukkan bahwa mayoritas sampel penelitian memiliki pengetahuan yang baik 45 mengenai imunisasi, diikuti
dengan pengetahuan cukup sebesar 32 dan pengetahuan kurang sebesar 23. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,0001 sehingga dapat disimpulkan ada
hubungan antara pengetahuan ibu terhadap pemberian imunisasi dasar lengkap. Hal yang sama dikemukakan oleh Mulyanti 2013, Mayasari 2010 dan
Ismet 2013 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu terhadap pemberian imunisasi dasar lengkap.
Pengetahuan adalah informasi yang diperoleh melalui proses belajar, baik melalui lembaga tertentu maupun melalui media lainnya. Pengetahuan merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, termasuk di bidang kesehatan Notoadmodjo, 2010.
Notoadmodjo mengatakan bahwa ada 6 tahapan dalam suatu proses pengetahuan, yakni tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Penelitian
menunjukkan bahwa dari 45 sampel yang berpengetahuan baik, 44 diantaranya berperilaku positif dengan memberikan anaknya imunisasi secara lengkap. Hal ini
mengindikasikan bahwa sampel tidak hanya tahu dan memahami tujuan serta manfaat imunisasi, namun sampel juga mengaplikasikannya. Begitu pula
sebaliknya, dari 23 sampel yang berpengetahuan kurang, 17 diantaranya memutuskan untuk tidak memberikan anaknya imunisasi secara lengkap.
Namun pada penelitian ini ditemukan kelemahan dalam pengukuran tingkat pengetahuan berupa adanya intervensi dari pihak lain ketika menjawab
pertanyaan serta keterbatasan memori responden untuk mengingat hal yang berkaitan dengan imunisasi, dikarenakan mayoritas responden memiliki anak
berusia 2-3 tahun pengetahuan cenderung bersifat sementara. Kelemahan ini dapat menjelaskan mengapa ada ibu yang meskipun berpengetahuan kurang
namun memberikan imunisasi dasar secara lengkap kepada anaknya. Data untuk faktor pendidikan seperti yang digambarkan pada tabel 5.3
menunjukkan sebesar 73 sampel penelitian berpendidikan tinggi dan 27
Universitas Sumatera Utara
berpendidikan rendah. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,0001 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara pendidikan ibu terhadap pemberian
imunisasi dasar lengkap. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Thaib
2013 dan Abuya 2010 yang menyatakan terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan pemberian imunisasi. Pendidikan merupakan proses belajar yang bisa
didapatkan secara mandiri maupun berkelompok, dimana hasil akhir dari pendidikan ini berupa aktivitas, perilaku, dan pengetahuan Notoadmodjo, 2007.
Abuya 2010 dalam penelitiannya menyatakan bahwa pendidikan yang tinggi memberikan kesempatan bagi sampel untuk memiliki range pengetahuan yang
lebih luas, termasuk masalah kesehatan, sehingga kesadaran akan pentingnya kesehatan akan dieksekusi dengan mengunjungi fasilitas kesehatan. Hal ini bisa
dilihat dari 73 sampel yang berpendidikan tinggi, 64 diantaranya memberikan imunisasi secara lengkap kepada anaknya. Begitu pula sebaliknya pada ibu
dengan kategori berpendidikan rendah, dari 27 sampel penelitian sebanyak 14 ibu tidak memberikan anaknya imunisasi dasar secara lengkap.
Faktor lainnya yaitu kondisi ekonomi yang digambarkan melalui tabel 5.5, ditemukan sebanyak 84 sampel penelitian termasuk dalam kategori keluarga
sejahtera, sedangkan 16 sampel lainnya merupakan keluarga yang tidak sejahtera. Dari hasil uji statistik diperoleh p value sebesar 0,0001 yang berarti
terdapat hubungan antara kondisi ekonomi dengan pemberian imunisasi dasar lengkap.
Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prayogo 2009, dimana Prayogo menyatakan tidak ada hubungan antara kondisi ekonomi
dengan pemberian imunisasi, karena pemberian imunisasi dasar lengkap di Indonesia merupakan program yang dibiayai oleh pemerintah.
Namun hasil yang sama dengan hasil penelitian ini didapatkan oleh Sanou 2009, yaitu terdapat hubungan antara kondisi ekonomi dengan pemberian
imunisasi dasar di Burkina Faso, meskipun di tempat penelitian tersebut pemberian imunisasi juga dilakukan secara gratis. Hal ini dikarenakan adanya
hubungan tidak langsung antara kondisi ekonomi dengan pengaturan kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
rumah tangga, dimana ketika kebutuhan pangan serta kebutuhan dapur masih menjadi hal yang utama, maka menghabiskan waktu untuk berpartisipasi dalam
kegiatan imunisasi tidak menjadi prioritas. Dari penelitian ini dilihat suatu kecenderungan, dimana dari 16 sampel yang berasal dari keluarga tidak sejahtera,
11 diantaranya tidak memberikan anaknya imunisasi secara lengkap. Diantaranya beralasan anak sakit saat hendak diimunisasi, dan ada juga yang beralasan sibuk
bekerja. Ketika sampel diminta untuk menunggu anak sehat dan kembali pada bulan berikutnya, sampel lebih memilih untuk bekerja daripada harus kembali lagi
ke posyandukantor kelurahan. Budioro 2002 dan Notoadmodjo 2007 mengatakan bahwa keluarga dengan kondisi ekonomi yang sejahtera akan
mengusahakan terpenuhinya imunisasi yang lengkap bagi bayi mengalokasikan dana untuk pengeluaran kesehatan.
Hasil penelitian pada tabel 5.4 menunjukkan sebesar 82 sampel berada dalam kategori usia produktif ketika memberikan imunisasi kepada anaknya, dan
18 lainnya termasuk kategori tidakbelum produktif. Setelah dilakukan uji statistik diperoleh p value sebesar 0,554 yang berarti tidak ada hubungan antara
usia ibu dengan pemberian imunisasi dasar lengkap. Hal ini tampak dari persentasi imunisasi tidak lengkap pada responden usia non produktif hanya
sebesar 5 5 orang, sementara hasil penelitian Prayogo 2009 menyebutkan pada ibu dengan usia 20 tahun, secara psikologis ibu belum memiliki kesiapan
untuk mengasuh anak. Hasil ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Jannah 2014 dan
Konstantyner 2011 yang menyatakan tidak ada hubungan antara usia dengan pemberian imunisasi. Hal ini dapat dikarenakan adanya peran keluarga besar
dalam mengurus anak, dimana kecenderungan ini terlihat pada responden penelitian di Medan Tuntungan yang berumur kurang dari 20 tahun yang masih
tinggal bersama orangtua. Alasan lainnya yang ditemukan pada penelitian ini adalah untuk ibu usia non-produktif yang berusia di atas 35 tahun, pada umumnya
memiliki jumlah anak lebih dari satu, sehingga sudah menjadi kebiasaan bagi responden untuk membawa anaknya imunisasi ke posyandukelurahan setempat.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Danis 2010, yaitu terdapat hubungan antara usia ibu dengan pemberian imunisasi dasar
lengkap. Dalam penelitian Danis 2010 disebutkan bahwa risiko anak tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap berhubungan dengan usia ibu yang
semakin muda. Faktor terakhir yang diteliti dalam penelitian ini adalah jumlah anak yang
digambarkan melalui tabel 5.6. Sebanyak 64 sampel memiliki 1-2 anak, dimana sebanyak 49 sampel memberikan imunisasi secara lengkap dan 15 sampel lainnya
memberikan imunisasi tidak lengkap. 36 sampel sisanya memiliki 2 orang anak, dimana 28 sampel memberikan imunisasi secara lengkap dan 8 sampel
sisanya tidak memberikan imunisasi secara lengkap. Tidak ditemukan adanya hubungan antara jumlah anak dengan pemberian imunisasi dasar lengkap,dengan
p value sebesar 0,890 melalui uji statistik dengan tingkat kepercayaan 95. Hasil ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Prayogo 2009 dan
Danis 2010. Danis dalam penelitiannya menyebutkan bahwa jumlah anak yang banyak akan menimbulkan peningkatan tanggung jawab bagi ibu, sementara
waktu dan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tiap anak menjadi semakin terbatas. Olpinski 2012 juga menyebutkan bahwa semakin
besar jumlah anggota keluarga, semakin sulit pengaturan rumah tangga, sehingga ada celah bagi orangtua untuk lalai mengasuh anaknya secara tepat.
Namun pada responden penelitian ini, semua temuan di atas tidak tampak, dikarenakan berdasarkan jawaban responden yang memiliki jumlah anak 2 dan
memberikan anaknya imunisasi secara lengkap, memberikan imunisasi kepada anak setelah anak pertama dianggap hal yang lumrah dan sudah menjadi kegiatan
yang rutin dilakukan ketika ada anggota keluarga baru di tengah-tengah keluarga tersebut.
Dari 23 sampel yang tidak memberikan anaknya imunisasi secara lengkap, 17 sampel beralasan anaknya sedang sakit pada saat diadakan kegiatan imunisasi,
sama seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdulraheem 2011. Ketika anak sakit, petugas kesehatan selalu menyarankan ibu untuk menunggu imunisasi
berikutnya sampai anaknya sehat kembali. Hal ini menurut Favin 2012 di dalam
Universitas Sumatera Utara
penelitiannya dikarenakan petugas takut disalahkan jika kondisi anak semakin memburuk. Namun penundaan yang berulang justru menyebabkan responden
pada penelitian ini enggan membawa anaknya untuk mendapatkan imunisasi pada bulan berikutnya, sehingga imunisasi anaknya menjadi tidak lengkap.
Tiga sampel yang lainnya beralasan mereka cemas akan efek samping imunisasi dan juga kejadian ikutan pasca imunisasi KIPI. Favin 2012
menjelaskan pada penelitiannya bahwa fenomena ini banyak terjadi pada keluarga yang bila anak pertama mendapatkan efek samping dari imunisasi, anak yang
berikutnya cenderung tidak diimunisasikan. Olpinski 2012 juga mengungkapkan bahwa pertimbangan keamanan imunisasi serta manfaat imunisasi itu sendiri
masih menjadi alasan orangtua untuk memberikan imunisasi pada anaknya. Hal ini juga ditemukan pada di wilayah Medan Tuntungan, dimana ketika anak
mendapatkan KIPI dan menjadi rewel, ibu menjadi enggan membawa anaknya untuk imunisasi berikutnya, ataupun karena dilarang oleh suami.
Sibuk juga menjadi alasan ketidaklengkapan pemberian imunisasi yang bisa ditemukan di wilayah Medan Tuntungan. Ibu merasa imunisasi tidak
memberi pengaruh besar untuk kesehatan anaknya, sehingga mereka lebih memilih untuk bekerja. Hal ini dijelaskan oleh Favin 2012 sebagai conflicting
priority, yaitu kondisi dimana ibu kesulitan untuk menentukan prioritas utama, terutama pada keluarga dengan jumlah besar. Ibu berpendapat mereka tidak punya
banyak waktu untuk menunggu giliran imunisasi dan lebih baik menggunakan waktunya untuk bekerja.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah:
1. Sampel penelitian mayoritas; berpengetahuan baik 45, berada dalam
kategori usia produktif 82, berpendidikan tinggi tamat SMA dan Perguruan Tinggi 73, termasuk dalam kategori keluarga sejahtera
84, memiliki 1-2 anak 64, dan cakupan imunisasi dasar lengkapnya baik 77.
2. Dari lima faktor predisposisi, ada tiga faktor yang memiliki hubungan
dengan pemberian imunisasi dasar lengkap, yaitu pengetahuan ibu p = 0,0001, pendidikan ibu p = 0,0001, dan kondisi ekonomi keluarga p =
0,0001. Sedangkan dua faktor predisposisi lainnya yaitu usia ibu p = 0,554 dan jumlah anak p = 0,890 tidak berhubungan dengan pemberian
imunisasi dasar lengkap 3.
Alasan terbanyak atas ketidaklengkapan imunisasi adalah anak sakit ketika sedang dilakukan kegiatan imunisasi di posyandukantor kelurahan
73,92, dan disusul dengan alasan cemas akan efek samping maupun KIPI 13,04 serta sibuk dengan pekerjaan 13,04.
6.2 Saran
Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini diantaranya:
Terdapat kecenderungan yang linier antara ketiga faktor yang berhubungan dengan pemberian imunisasi dasar lengkap, oleh karena itu perlu
dilakukan perbaikan maupun langkah antisipasi dari pihak terkait. Hal yang dapat dilakukan antara lain:
1. Meningkatkan pengetahuan ibu mengenai pentingnya imunisasi melalui
penyuluhan ataupun media komunikasi lainnya agar ibu paham dan akhirnya mampu mengaplikasikan pemahaman tersebut.
Universitas Sumatera Utara