Unsur-unsur Penganiayaan Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn

Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066Pid.B2002PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009 Jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak. 14 Berdasarkan Arrest Hooge Raad dan doktrin diatas, maka menurut Adami Chazawi penganiayaan dapat diartikan sebagai: “Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si petindak” Berdasarkan yurisprudensi ini tersimpul pendapat, bahwa tidak setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan. 15

2. Unsur-unsur Penganiayaan

Berdasarkan pengertian tindak pidana penganiayaan diatas maka rumusan penganiayaan memuat unsur-unsur sebagai berikut: d. Unsur kesengajaan; b. Unsur perbuatan; c. Unsur akibat perbuatan yang dituju yaitu: i. rasa sakit, tidak enak pada tubuh; ii. luka tubuh; d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana terurai diatas, berikut ini akan diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut. 14 Tongat, op.cit. hal. 71 15 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya , Malang, 1999, hal. 14. Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066Pid.B2002PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009 a. unsur kesengajaan Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan sebagai sebagai kesengajaan sebagai maksud. Berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan, unsur kesengajaan harus ditafsirkan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud opzet alsa ogmerk, maka seorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh. Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan. 16 Kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindak pidana yang besar kemungkinan dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi soal bahwa dalam kasus ini opzet pelaku telah tidak ditujukan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan diri dari penangkapan oleh seorang pegawai polisi. Hal ini pernah dilakukan Hooge Raad dalam arrestnya tanggal 15 Januari 1934, yang menyatakan: 17 16 Tongat , op. cit., hal. 73. 17 Ibid, hal. 74. Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066Pid.B2002PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009 Bertolak dari Arrest Hoge Raad diatas tersimpul, bahwa kemungkinan terhadap terjadinya rasa sakit yang semestinya dipertimbangkan oleh pelaku tetapi tidak dilakukannya sehingga karena perbuatan yang dilakukannya itu menimbulkan rasa sakit, telah ditafsirkan sebagai penganiayaan. Dalam hal ini sekalipun pelaku tidak mempunyai maksud untuk menimbulkan rasa sakit dalam perbuatannya, tetapi ia tetap dianggap melakukan penganiayaan atas pertimbangan, bahwa mestinya ia sadar bahwa perbuatan yang dilakuaknnya itu sangat mungkin menimbulkan rasa sakit. Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara luas terhadap unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan bahkan kesengajaan sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah merupakan tujuan pelaku. b. unsur perbuatan Yang dimaksud dengan perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan sebagian anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan sebagainya. Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066Pid.B2002PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009 c. unsur akibat yang berupa rasa sakit dan luka tubuh Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderiataan. Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanay perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misanya lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan sebaginya. Unsur akibat – baik berupa rasa sakit atau luka – dengan unsur perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Tanpa adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan adanya tindak pidana penganiayaan. d. akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya Unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa dasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya pelakku memang menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka dari perbuatan penganiayaan yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku. Apabila akibat yang berupa rasa sakit atatu luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana untuyk mencaoai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan. Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066Pid.B2002PN Mdn, 2007. USU Repository © 2009 Dalam praktek penegakan hukum, persoalan yang muncul adalah apa yang menjadi ukuran atau kriteria dari tujuan yang patut itu? Persoalan itu mudah dijawab, sebab tidak ada ukuran atau kriteria umum baku yang dapat dipakai sebagai pedoman. Oleh karena tidak ada ukuran yang bersifat yang secara umum dapat diterapkan, maka ukuran atau kriteria patut atau tidak patut itu diserahkan pada akal pikiran dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Jadi, sifatnya sangat kasuistis dan tergantung dari kebiasaan dalam masyarakat setempat. Sebagai contoh perbuatan orang tua memukul anaknya. Menurut kebiasaan dalam masyarakat mungkin untuk seluruh masyarakat di Indonesia, perbuatan tersebut diperbolehkan sepanjang tidak berlebihan. Artinya, sepanjang perbuatan pemukulan terhadap anak tersebut tidak melampaui batas-batas yang wajar, maka perbuatan tersebut dianggap tidak bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dalam masyarakat. Perbuatan pemukulan terhadap anak tersebutr tidak dapa dianggap sebagai perbuatan yang wajar dan menurut akal pikiran sudah berlebihan, dan karenanya tidak lagi dipandang sebagai perbuatan untuk mencapai tujuan yang patut, apabila perbuatan pemukulan tersebut misalnya dilakukan dengan menggunakan sepotong besi.

3. Jenis-jenis Penganiayaan

Dokumen yang terkait

Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)

3 51 120

Peranan Toksikologi Dalam Pembuatan Visum Et Repertum Terhadap Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Menggunakan Racun

6 88 85

Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Di Bawah Umur ( Studi Putusan PN No. 609/Pid.B/2011/PN Mdn )

3 73 99

Peranan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 1243/Pid B/2006/PN-LP)

5 97 118

Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan (Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP)

0 27 87

Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian (Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066/Pid.B/2002/PN Mdn

0 36 90

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

Persepektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Tentang Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan Yang Mengakibatkan Cacat Permanen

0 8 89

BAB II PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SESEORANG A. Pengaturan Visum et Repertum dalam Perundang-undangan Indonesia - Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang

0 0 7

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Matinya Seseorang Dilihat Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Putusan Nomor 10/Pid/2014/Pt-Mdn)

0 0 25