Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066Pid.B2002PN Mdn, 2007.
USU Repository © 2009
E. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: 1.
Secara teori diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang ilmu hukum secara umum serta perkembangan ilmu hukum acara pidana secara
khusus. 2.
Manfaat secara praktis dari adanya penulisan skripsi ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai peranan Visum et Refertum dalam
tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian dalam proses pembuktian di pengadilan.
F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1. Pengertian Tindak Pidana
a. Pengertian dan Istilah Tindak Pidana
Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.
2
1. Perbuatan yang dapatboleh dihukum
Tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah “Een strafbaar feit”. Akan tetapi ada beberapa terjemahan dari istilah strafbaar feit tersebut yaitu:
2. Peristiwa pidana
3. Perbuatan pidana
4. Tindak pidana.
3
2
Suharto RM, Hukum Pidana Materil, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 28.
3
E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hal. 204.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066Pid.B2002PN Mdn, 2007.
USU Repository © 2009
Dimana para peterjemah atau yang menggunakan istilah tersebut memberikan sandaran masing-masing dan bahkan perumusanpembatasan pengertian dari
istilah tersebut. Didalam perundang-undangan Indonesia sendiri telah menggunakan
keempat istilah tersebut dalam berbagai Undang-undang, misalnya: 1.
Perbuatan yang dapat dihukum, dalam Pasal 13 Undang-undang No. 14 Tahun 1947 Undang-undang Pajak Pembangunan;
2. Peristiwa pidana, dalam Pasal 14 Konstitusi RIS;
3. Perbuatan pidana, dalam Pasal 12 Undang-undang No. 1 Tahun 1958
Undang-undang Penghapusan Tanah Partikulir; 4.
Tindak pidana, dalam Pasal 11 Undang-undang No. 14 Tahun 1962 Undang-undang Mobilitas Umum
4
Para sarjana Indonesia juga telah menggunakan beberapa atau salah satu dari istilah tersebut diatas dan telah memberi pendapat atau alasan-alasan
mengapa harus menggunakan istilah tersebut sebagai terjemahan dari “strafbaar” dan “feit” yang kemudian dimajemukkan. Beberapa diantara pendapat tersebut
adalah sebagai berikut: .
1. Prof. Moeljadno
Dalam bukunya “Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana”, beliau menggunakan istilah “perbuatan pidana” dengan alasan dan pertimbangan
sebagai berikut:
5
a Terjemahan yang paling tepat untuk istilah “strafbaar” adalah “pidana”
sebagai singkatan dari “yang dapat dipidana”
4
Ibid, hal. 206.
5
Ibid, hal. 207
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066Pid.B2002PN Mdn, 2007.
USU Repository © 2009
b Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-
hari seperti: perbuatan tak senonoh, perbuatan jahat dan sebagainya, dan juga sebagai istilah teknis seperti: perbuatan melawan hukum
onrechtmatige daad. Perkataan perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan menunjuk baik pada yang melakukan maupun pada akibatnya.
Sedangkan pernyataan peristiwa tidak menunjukkan, bahwa yang menimbulkannya adalah “handeling” atau “gedraging” seseorang,
mungkin juga hewan atau alam. Dan perkataan tindak berarti langkah dan baru dalam bentuk tindak tanduk atau tingkah laku.
2. Utrecht
Beliau menganjurkan pemakaian istilah peristiwa pidana, karena istilah peristiwa itu meliputi perbuatan handelen atau doen, positif atau melalaikan
Visum et Refertumzuim atau nalaten atau niet doen, negatif maupun akibatnya.
3. Satochid
Satochid Kartanegara dalam rangkaian kuliahnya menganjurkan pemakaian istilah tindak pidana, karena istilah tindak tindakan, mencakup pengertian
melakukan atau berbuat actieve handeling danatau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat suatu perbuatan passieve handeling. Istilah
perbuatan berarti melakukan, berbuat actieve handeling tidak mencakup pengertian mengakibatkantidak melakon. Istilah peristiwa, tidak menunjuk
kepada hanya tindakan manusia.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066Pid.B2002PN Mdn, 2007.
USU Repository © 2009
Sekiranya adalah lebih tepat menggunakan istilah “Tindak Pidana” seperti diuraikan Satochid dengan tambahan penjelasan, bahwa istilah tindak pidana
dipandang diperjanjikan sebagai kependekan dari Tindak-an yang dilakukan oleh manusia, untuk mana ia dapat di-Pidana atau pe-Tindak yang dapat di-Pidana.
Kepada istilah tersebut harus pula diperjanjikan pengertiannya dalam bentuk perumusan dalam perumusan tersebut harus tercakup semua unsur-unsur dai delik
tindak pidana, atas dasar mana dapat dipidananya petindak yang telah memenuhi unsur-unsur tersebut.
6
b. Unsur-unsur Tindak Pidana
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi
menjadi dua macam unsur, yakni unsur subjektif dan unsur objektif.
7
1. Unsur subjektif.
Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur tesebut meliputi: a.
Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau culpa; b.
Maksud voornemen pada suatu percobaan poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
c. Macam-macam maksud oogmerk seperti yang terdapat didalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain- lain;
6
Ibid. hal 208.
7
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 193.
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066Pid.B2002PN Mdn, 2007.
USU Repository © 2009
d. Merencanakan lebih dahulu voorbedachte raad seperti yang terdapat
didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e.
Perasaan takut vress seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
2. Unsur objektif.
Unsus-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari
pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur tesebut meliputi: a.
Sifat melanggar hukum wederrechttelijkheid; b.
Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP;
c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Perlu diingat bahwa unsur wederrechttelijk selalu harus dianggap
disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk uu telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari
delik yang bersangkutan. Dewasa ini hukum kita telah menganut apa yang disebut “paham materieele wederrechttelijkheid”. Menurut paham ini, walaupaun sesuatu
tindakan itu telah memenuhi semua unsur dari suatu delik dan walaupun unsur wederrechttelijk itu telah tidak dicantumkan sebagai salah satu unsur dari delik,
akan tetapi tindakan tersebut dapat hilang sifatnya sebagai suatu tindakan yang bersifat wederrechttelijk bilamana hakim menemukan sutau dasar yang
meniadakan sifatnya yang wederrechttelijk dari tindakan tersebut, baik
Hisar Situmorang : Peranan Visum Et Refertum Dalam Tindak Pidanapenganiayaan Yang Mengakibatkan Kematian Study Kasus: Putusan Pengadilan Medan No. 1066Pid.B2002PN Mdn, 2007.
USU Repository © 2009
berdasarkan suatu ketentuan maupaun berdasarkan asas-asas hukum yang bersifat umum dari hukum yang tidak tertulis.
8
2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan