legislatif, setidaknya dapat mencairkan kebekuan yang tengah terjadi selama ini. Komunikasi yang terjadi di tingkat legislatif itu, akan dapat menjadi sinyal positif bagi keserasian sosial antar
etnik di Medan.
Disisi lain, pendidikan politik lainnya yang dapat dipetik dari keberadaan suara minoritas, adalah bagaimana nantinya cara sebuah sistem politik memperlakukan suara minoritas pada
tataran atasnya, dan dibawah bagaimana minoritas dihadapkan pada kepentingan-kepentingannya yang tidak sebatas pada pemenuhan ekonomi, tetapi juga hak-haknya sebagai manusia berpolitik,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dapat diperjuangkan hingga pada tingkat sistem yang tertinggi yang mampu menaungi mereka, dan menjamin mereka secara konstitusional lewat jalur
politik
68
Seperti yang telah di bahas pada latar belakang dan diawal pembukaan bab tiga bahwa politik identitas etnis Tionghoa terus mengalami perubahan sesuai dengan kondisi sosial politik
dalam dan luar negeri Indonesia. Identitas menjadi masalah penting bukan saja bagaimana mereka diperlakukan, namun juga bagaimana mereka menempatkan diri. Etnis ini dituntut untuk
selalu beradaptasi dengan pemerintahan sesuai zamannya. Jika pada awalnya etnis Tionghoa dibagi menjadi dua yaitu totok dan peranakan, maka saat ini dapat dikatakan bahwa istilah ini
tidak lagi relevan .
3.2 Politik Identitas Etnis Tionghoa
69
68
Hasil wawancara Bapak Eric Chandra Anggota PSMTI Medan pada tanggal 12 Mei 2015 di Kantor PSMTI Medan pada pukul 9.30 WIB
69
Hasil wawancara Ibu Yenni Anggota PSMTI Medan pada tanggal 11Juni 2015 di Kompleks Tasbih pada pukul 16.45
. Totok misalnya cenderung mendukung nasionalisme China, sementara peranakan, sekalipun tetap ada yang berorientasi China, pada umumnya mendukung
nasionalisme Indonesia. persoalan Tionghoa bukan hanya persoalan identitas apa adanya, namun
menyangkut ranah yang lebih luas, yaitu politik, ekonomi, dan hubungan internasional. Persoalan identitaslah yang kemudian memberi dampak besar bagi perluasan dimensi Masalah
Tionghoa dan karenanya persoalan identitas menjadi sangat penting dan pertama-tama harus dijernihkan
70
Kategori-kategori identifikasi etnis Tionghoa yang lazim digunakan seperti ras, bahasa, dan agama tidak relevan dengan kenyataan bahwa banyak orang Tionghoa Indonesia yang
memiliki latar belakang ras campuran, tidak dapat berbahasa China, dan bukan penganut agama China. Kategori identifikasi diri misalnya dengan cara mengidentifikasi nama keluarga Tionghoa
juga tidak relevan karena adanya kebijakan resmi negara pada tahun 1966 untuk mewajibkan orang-orang Tionghoa mengganti nama menjadi khas Indonesia yang merupakan kebijakan
asimilasi . Dalam membahas identitas etnis Tionghoa adalah bagaimana mengidentifikasi
etnis Tionghoa dengan memperjelas istilah-istilah utama yang selama ini banyak dipergunakan.
71
. Mengidentifikasi identitas etnis Tionghoa sesungguhnya tidak dapat dilakukan dengan mudah karena terjadinya heterogenitas identitas dalam tubuh etnis Tionghoa itu sendiri
asal-usul daerah, afiliasi agama, pengaruh keluarga, kelas, patriarki, dan pencarian jodoh yang mendasari pola interaksi dan identifikasi etnis Tionghoa Indonesia. Etnis Tionghoa di Medan
mengidentifikasi identitas nasional dan lokalnya adalah dengan melalui bahasa Indonesia dan penggunaan bahasa cina. Cara lain adalah dengan penggunaan kartu tanda penduduk. Mereka
cenderung membentuk jaringan dengan sesama etnisnya. Adanya penyesuaian identitas etnis Tionghoa dilakukan unutuk menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat setempat seraya
tetap mempertahankan identitas Tionghoa mereka
72
70
Hasil wawancara Bapak Herman Perindo pada tanggal 22 Agustus di Kantor Perindo Sumut pukul 11.00 WIB
71
Leo Suryadinata. 2010. Etnis Tionghoa Indonesia dan Nasionalisme Indonesia Sebuah Bunga Rampai 1965-2008. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, hal. 220
72
Hasil wawancara Ibu Yenni Anggota PSMTI Medan pada tanggal 11Juni 2015 di Kompleks Tasbih pada pukul 16.45
.
Orang-orang Cina peranakan yang tinggal menetap turun-temurun di Indonesia, sejak masa reformasi hingga sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut
sebagai orang Cina, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui
Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non- Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan
istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah
menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya. Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan
Tionghoa di tengah masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Ketika warga Tionghoa telah menjadi penduduk dan WNI, maka kepadanya diberikan identitas tetap,
sebagaimana identitas tersebut juga diberikan kepada warga Indonesia dari etnis lain
73
. Konsekuensi dari diperolehnya identitas tetap itu adalah bahwa ada hak dan kewajiban yang
melekat padanya. Hak dan kewajiban ini berlaku sama bagi setiap orang yang disebut sebagai penduduk dan WNI. Dengan kata lain, ada keseragaman identitas yang dilekatkan pada mereka
yang secara legal dinyatakan sebagai penduduk dan WNI
74
Keikutsertaan masyarakat etnis Tionghoa pada hajatan politik di tanah air mulai terbuka lebar sejak zaman reformasi. Adanya anggapan bahwa etnis minoritas Tionghoa yang sering
.
3.3 Posisi Etnis Tionghoa dalam Politik di Kota Medan