Posisi Etnis Tionghoa dalam Politik di Kota Medan

Orang-orang Cina peranakan yang tinggal menetap turun-temurun di Indonesia, sejak masa reformasi hingga sekarang ini, telah berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang Cina, melainkan disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi manusia dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non- Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya. Karena itu, status hukum dan status sosiologis golongan keturunan Tionghoa di tengah masyarakat Indonesia sudah tidak perlu lagi dipersoalkan. Ketika warga Tionghoa telah menjadi penduduk dan WNI, maka kepadanya diberikan identitas tetap, sebagaimana identitas tersebut juga diberikan kepada warga Indonesia dari etnis lain 73 . Konsekuensi dari diperolehnya identitas tetap itu adalah bahwa ada hak dan kewajiban yang melekat padanya. Hak dan kewajiban ini berlaku sama bagi setiap orang yang disebut sebagai penduduk dan WNI. Dengan kata lain, ada keseragaman identitas yang dilekatkan pada mereka yang secara legal dinyatakan sebagai penduduk dan WNI 74 Keikutsertaan masyarakat etnis Tionghoa pada hajatan politik di tanah air mulai terbuka lebar sejak zaman reformasi. Adanya anggapan bahwa etnis minoritas Tionghoa yang sering .

3.3 Posisi Etnis Tionghoa dalam Politik di Kota Medan

73 Hasil wawancara Bapak Irfan H. Acong Anggota INTI pada tanggal 24 Juni 2015 di Kantor INTI Sumut pada pukul 10.00 WIB 74 Hasil wawancara Bapak Irfan H. Acong Anggota INTI pada tanggal 24 Juni 2015 di Kantor INTI Sumut pada pukul 10.00 WIB disebut-sebut sebagai kelompok yang paling takut dalam melaksanakan aktivitas politik tak lagi berlaku 75 . Sejak berdirinya pemerintahan Orde Baru, banyak orang Tionghoa di Indonesia tidak lagi menggunakan nama Tionghoa. Generasi yang lahir sebelum pemerintahan Orde Baru mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Sedangkan mereka yang lahir setelah masa itu, biasanya diberi nama Indonesia oleh orang tua mereka. Hal ini disebabkan oleh adanya peraturan pemerintah Orde Baru yang menganjurkan orang-orang Tionghoa untuk tidak lagi menggunakan nama Tionghoa 76 . Selain itu, sejak tahun 1960-an, banyak orang Tionghoa Indonesia sudah tidak lagi menjalankan perannya sebagai anggota masyarakat Tionghoa, bahkan tidak lagi menyatukan diri dengan masyarakat Tionghoa. Mereka sudah menganggap diri mereka sebagai orang Indonesia. Namun ternyata mereka masih dianggap sebagai orang Tionghoa dan masih tetap dibedakan dari orang Indonesia lainnya 77 Apapun upaya yang dilakukan oleh orang Tionghoa Indonesia untuk dapat menyatukan dirinya dengan masyarakat Indonesia, seorang Tionghoa Indonesia masih selalu dianggap oleh orang Indonesia sebagai orang Tionghoa. Seseorang tidak mungkin dapat menerima sebuah definisi tentang ke-Tionghoa-an seseorang yang semata-mata bergantung pada penampilan fisik. Ada banyak orang Tionghoa yang lahir di Indonesia, yang dengan mudah dapat dianggap sebagai orang Indonesia. Begitu pula sebaliknya, ada orang Indonesia yang wajahnya mirip dengan orang Tionghoa yang turut menjadi korban kekerasan anti Tionghoa. Sebagai akibat dari perkawinan campur selama beberapa abad ini, . 75 Hasil wawancara Bapak Eric Chandra Anggota PSMTI Medan pada tanggal 12 Mei 2015 di Kantor PSMTI Medan pada pukul 9.30 WIB 76 Keputusan Presidium Kabinet No.127UKep121966 mengenai ganti nama bagi Warga Negara Indonesia yang memakai nama Tionghoa 77 Hasil wawancara Bapak Eric Chandra Anggota PSMTI Medan pada tanggal 12 Mei 2015 di Kantor PSMTI Medan pada pukul 9.30 WIB maka penampilan fisik tidak dapat dijadikan tolok ukur dalam menentukan ke-Tionghoa-an seseorang 78 Menurut Coppel, siapa yang dimaksud dengan orang Tionghoa Indonesia adalah “orang keturunan Tionghoa yang berfungsi sebagai warga atau berpihak pada masyarakat Tionghoa, atau yang dianggap sebagai orang Tionghoa oleh orang Indonesia dan mendapatkan perlakuan tertentu sebagai akibatnya” . 79 Menurut pendapat beberapa ilmuwan, di kalangan orang Indonesia muncul anggapan bahwa orang Tionghoa Indonesia adalah orang asing yang memiliki gaya hidupnya sendiri serta kebiasaan yang berbeda. Contohnya, orang Tionghoa Indonesia dianggap suka hidup berkelompok, menjauhkan diri dari pergaulan sosial dan lebih suka tinggal di kawasan tersendiri. Mereka juga dianggap selalu berpegang teguh pada kebudayaan negeri leluhur mereka sehingga kesetiaan mereka kepada bangsa dan negara Indonesia diragukan. Mereka juga dianggap tidak bersungguh-sungguh memihak pada Indonesia, sehingga keberpihakkan mereka diyakini sebagai sebuah kepura-puraan yang bermotif ekonomi, perdagangan dan bisnis yang menghasilkan keuntungan semata. Di mata orang Indonesia, setelah diberi kedudukan yang menguntungkan oleh pemerintah Hindia Belanda, orang Tionghoa lalu mendominasi ekonomi Indonesia dan menghalang-halangi kebangkitan golongan pengusaha Indonesia. Citra itu muncul dalam tulisan dan ucapan orang Indonesia tentang orang Tionghoa Indonesia . 80 78 Hasil wawancara Ibu Yenni Anggota PSMTI Medan pada tanggal 11Juni 2015 di Kompleks Tasbih pada pukul 16.45 79 Charles Coppel. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 23 80 Charles Coppel. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal . 26 . Keasingan orang Tionghoa Indonesia juga merupakan dampak dari tumbuhnya pemakaian bahasa dan berkembangnya kebudayaan Tionghoa yang nampak dari dibukanya sekolah-sekolah Tionghoa, serta diterbitkannya koran berbahasa Tionghoa di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa orang Tionghoa Indonesia pun menjadi semakin sadar akan ke- Tionghoaan-nya. Faktor-faktor ini menyebabkan mereka menjadi semakin ‘asing’ di mata orang-orang Indonesia. Di bidang ekonomi, stereotip orang Tionghoa Indonesia adalah sebagai pedagang yang kaya. Muncul pula citra bahwa orang Tionghoa Indonesia mendominasi ekonomi Indonesia 81 . Sebenarnya menggambarkan bahwa identitas Tionghoa bukanlah sebuah identitas tunggal yang kaku. Identitas Tionghoa juga berkembang sesuai konteks sejarah dan konstruksi sosial dimana identitas tumbuh di masyarakat 82 Di Medan sendiri perkembangan identitas Tionghoa semakin mengental dan semarak. Bisa dilihat dengan meningkatnya jumlah klenteng dan wisatawan yang menghadiri perayaan Imlek dan Cap Go Meh di kota Medan . Identitas Tionghoa bangkit kembali setelah orde baru tumbang. Masa reformasi yang mengedepankan demokrasi dan keterbukaan memberi kesempatan pada Etnis Tionghoa untuk mengembangkan identitas etnisnya kembali. Puncaknya adalah ketika Presiden Abdurahaman Wahid mengakui keberadaan identitas budaya Tionghoa dengan memperbolehkan perayaan Imlek dan pengakuan atas Agama Konghucu. Di masa Reformasi nama-nama Tionghoa kembali digunakan, perayaan budaya pun semakin berkembang. 83 81 Leo Suryadinata, Op.cit, hal.143 82 Hasil wawancara Bapak Herman Perindo pada tanggal 22 Agustus di Kantor Perindo Sumut pukul 11.00 WIB 83 Hasil wawancara Bapak Herman Perindo pada tanggal 22 Agustus di Kantor Perindo Sumut pukul 11.00 WIB . Dalam bidang politik, semakin banyak keterlibatan masyarakat Tionghoa di dewan legislatif. Perkembangan yang demikian pesat tersebut, tidak berarti masalah identitas etnis sudah selesai. Masih ada benturan-benturan horizontal yang melibatkan Etnis Tionghoa. Kondisi demikian menunjukkan bahwa masalah identitas etnis di Kota Medan dan juga Indonesia masih menjadi masalah utama. Penggunaan identitas etnik didalam perjuangan politik saat ini masih banyak terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia, termasuk di Kota Medan yang masyarakatnya berasal dari berbagai macam etnis, seperti beberapa etnis yang dominan, misalnya: Jawa, Batak, Tionghoa, Minang, Aceh, Tamil, dan lain-lain. Etnis dijadikan sebagai salah satu sarana untuk berkampanye, dan menarik simpati dari masyarakat, terutama yang berasal dari kalangan etnis tertentu. Pengaruh etnis ini sangat terasa dari masyarakat yang berasal dari kalangan etnis tertentu, seperti Batak Toba, Batak Mandailing, maupun Tionghoa 84 Salah satu perwujudan dari pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yaitu diberikannya pengakuan kepada rakyat untuk berperan . Hal ini dapat mempengaruhi etnis lain untuk turut bersikap primordialisme, dan menciptakan budaya politik dimana seseorang calon dipilih salah satunya adalah berdasarkan kesamaan suku, yang pada akhirnya dapat merujuk kepada SARA Suku,Agama,dan Ras. Keadaan yang demikian hanya akan membuat masyarakat menjadi semakin tidak paham dengan arti politik, karena perbedaan etnis tersebut akan mempengaruhi partisipasi masyarakat didalam Pemilu Kota Medan. Hal ini dapat menjadi salah satu bukti bahwa identitas etnis masih menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh didalam perpolitikan di Kota Medan. Sehingga masih banyak dari masyarakat yang memberikan suaranya didalam pemillu lebih berdasarkan kepada unsur kesamaan etnis, daripada visi-misi yang diusung oleh masing-masing pasangan calon yang ikut dalam Pemilu. 84 Hasil wawancara Bapak Herman Perindo pada tanggal 22 Agustus di Kantor Perindo Sumut pukul 11.00 WIB serta secara aktif dalam menentukan wujud penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Sarana yang diberikan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tersebut yaitu diantaranya dilakukan melalui kegiatan pemilihan umum ataupun pemilihan Kepala Daerah. Pemilihan umum adalah suatu lembaga yang berfungsi sebagai sarana penyampaian hak- hak demokrasi rakyat. Kebebasan memilih dalam pemilu oleh warga yang beretnis Tionghoa merupakan salah satu bentuk demokrasi di Indonesia. Penggunaan identitas etnik didalam perjuangan politik saat ini masih banyak terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia, termasuk di Kota Medan yang masyarakatnya berasal dari berbagai macam etnis, seperti beberapa etnis yang dominan, misalnya: Jawa, Batak, Tionghoa, Minang, Aceh, Tamil, dan lain-lain. Etnis dijadikan sebagai salah satu sarana untuk berkampanye, dan menarik simpati dari masyarakat, terutama yang berasal dari kalangan etnis tertentu. Pengaruh etnis ini sangat terasa dari masyarakat yang berasal dari kalangan etnis tertentu, seperti Batak Toba, Batak Mandailing, ataupun Tionghoa. Kinerja anggota DPRD khususnya etnis Tionghoa di lembaga legislatif tersebut memiliki hubungan erat terhadap tingkat kesejahteraan etnis yang mereka wakili. Adanya stereorip yang berkembang di masyarakar khususnya di Kota Medan dan sentiment terhadap etnis Tionghoa merupakan suatu masalah. Dari jumlah anggota di DPRD Kota Medan dengan etnis Tionghoa yang sedikit ini, maka penting dan perlu mengkaji kinerja mereka khususnya dalam usaha mengatasi persoalan etnis di Kota Medan. Selama perjalanan tahun 2009 hingga akhir masa jabatan, kinerja anggota dewan etnis Tionghoa dalam mengatasi masalah mengenai etnis dirasa belum maksimal. Tidak hanya etnis Tionghoa saja tapi lebih kesemua anggota DPRD Kota Medan kinerjanya dirasa kurang maksimal. Masalah kuantitas bukanlah masalah penting, yang terpenting adalah tindakan politik apa yang dapat dilakukan dalam posisi itu 85 . Jika jumlah banyak, namun yang dilakukan masih sebatas kerja labour dan karya work, hal ini tidak akan mencapai Human Condition, yaitu ketika sebuah tindakan merupakan aktivitas produktif, bukan dalam hal material uang saja, tetapi termasuk memperjuangkan nasib sesama demi sebuah kesetaraan. Anggota dewan perempuan maupun laki-laki tidak dituntut untuk menguasai secara teknis materi dan bahasa hukum dalam peraturan daerah, karena hal tersebut dapat diserahkan kepada ahli dalam bidangnya masing-masing 86 Politik etnis lebih efektif digunakan untuk menarik perhatian masyarakat dalam Pemilu, karena politik etnis lebih bersifat kasat mata dari pada politik uang. Sumatera Utara kaya akan etnis dari Melayu, Batak, Jawa, Tionghoa, dan Aceh telah berbaur menjadi masyarakat Sumut yang kaya etnis. Kuatnya politik etnis memang nyata di Sumut, dan kita tidak bisa pungkiri itu. Orang Batak memilih orang Batak, orang Jawa memilih orang Jawa, demikian seterusnya . 87 Bagaimana etnis Tionghoa di Kota Medan memanfaatkan liberalisasi politik yang memberikan peluang bagi mereka untuk saling berkompetisi ditengah- tengah tidak adanya mayoritas etnis dalam meraih jabatan-jabatan politik dalam kontestasi politik lokal di Medan . Cara tersebut bukanlah cara yang sehat dalam demokrasi, karena tanpa tidak sengaja kita telah melakukan tindakan-tindakan diskriminatif. Belum tentu orang Batak seseorang bersuku Batak yang kita pilih adalah orang yang terbaik menjadi kepala daerah jika kita tidak membuka mata untuk melihat calon kepala daerah yang bersuku Jawa, Melayu, dan lain-lain. 88 85 Hasil wawancara Bapak Irfan H. Acong Anggota INTI pada tanggal 24 Juni 2015 di Kantor INTI Sumut pada pukul 10.00 WIB 86 Hasil wawancara Ibu Yenni Anggota PSMTI Medan pada tanggal 11Juni 2015 di Kompleks Tasbih pada pukul 16.45 87 Hasil wawancara Bapak Herman Perindo pada tanggal 22 Agustus di Kantor Perindo Sumut pukul 11.00 WIB 88 Hasil wawancara Bapak Eric Chandra Anggota PSMTI Medan pada tanggal 12 Mei 2015 di Kantor PSMTI Medan pada pukul 9.30 WIB . Sebelumnya pada pemilu-pemilul sebelumnya baik legislative maupun kepala daerah lalu banyak pakar politik yang memperkirakan perolehan suara masing-masing calon lebih didasarkan kepada etnis dari calon-calon tersebut yang sangat mempengaruhi pilihan masyarakat 89 Masyarakat lebih dituntun untuk menentukan pilihan karena ikatan identitas etnis tertentu dengan salah satu calon. Hal ini membuat rasa primordialisme tidak dapat dihilangkan didalam masyarakat. Masyarakat diberi pandangan bahwa kepentingan masyarakat hanya akan dapat dipenuhi apabila masyarakat tersebut memilih pasangan yang berasal dari etnis yang sama dengan pemilih tersebut . Pendapat ini sangat mendukung karena keberadan masyarakat kota Medan yang pada umumnya terkotak-kotak kedalam etnis-etnis tertentu berdasarkan etnisnya masing-masing. Sikap masyarakat yang memberikan suara lebih dikarenakan etnis merupakan suatu bukti atau fakta bahwa masih rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman politik yang didapatkan oleh masyarakat. Masyarakat tidak diajarkan untuk lebih kritis didalam menentukan pilihannya, tanpa menghiraukan masalah etnis. 90 Identitas etnis penting di Indonesia. Umumnya orang Indonesia melakukan pengolahan informasi sosial orang lain berdasarkan asal etnik. Hal ini merupakan kewajaran karena Indonesia memang terdiri dari kelompok etnik. Maka kelompok etniklah yang menjadi salah satu referensi utama dalam menilai orang. Identitas etnik adalah sebuah konstruksi yang kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan sense of belonging pada kelompok .

3.4 Analisis Politik Identitas Tionghoa di Kota Medan