Akuakultur Berbasis Jenjang Rantai Makanan

kandungan protein kasar dan lemak kasar bioflok. Kadar protein bioflok setelah masa pemeliharaan 30 hari berkisar antara 22-41 bobot kering, sementara kadar lemak kasar bioflok berkisar antara 6-9 bobot kering. Namun demikian penggunaan gliserol sebagai sumber karbon menyebabkan kandungan asam lemak n-6 PUFA yang lebih tinggi, yakni 17,6 mgg bobot kering dibandingkan dengan 3,9 mgg bobot kering di air tawar 0 ppt dan 16,2 mgg bobot kering dibandingkan dengan 14,4 mgg bobot kering di air laut 30 ppt. Perbedaan salinitas air media tumbuh bioflok 0 dan 30 ppt juga tidak menyebabkan perbedaan kandungan protein dan lemak bioflok.

2.5. Akuakultur Berbasis Jenjang Rantai Makanan

Sistem akuakultur berbasis jenjang rantai makanan tro p h ic level lmn ed mopmq u ltu re r TL st adalah sistem budidaya ikan dengan memaksimalkan pemanfaatan jenjang rantai makanan yang mungkin terbentuk atau sengaja dibentuk dalam sistem tersebut. Semakin banyak jenjang rantai makanan terlibat dalam sistem budidaya ikan, maka retensi nutrisi dalam sistem tersebut akan meningkat sehingga sisanya dalam bentuk limbah akan menurun. Ketika menganalisis alur perubahan nutrien pada sistem akuakultur intensif, Schneider et a l u , 2005a membagi sistem budidaya ikan menjadi 5 modul atau susbsistem berdasarkan jenjang rantai makanan tro p hic level yakni Fish v s w o ma ss x o n verter, Fish v Wa ste Pro cesso r, Pho to tro p hic v Herbivo re x o n verter, s mq teria v Wa ste x o n verter dan atau y etrivo ro u s x o n verter . Jika hanya subsistem ikan Fish v s w o ma ss x o n verter yang berlangsung, retensi nitrogen dan fosfor mencapai masing-masing 20-50 dan 15-65 dari yang terkandung dalam pakan. Apabila ditambahkan dengan subsistem fototrofik maka retensi N dan P pakan meningkat sebesar masing-masing 15-50 dan 53. Menurut Harris 2005, pemaduan ikan pemakan plankton ikan mola, silv er ca rp dan ikan pemakan perifiton ikan nilem pada budidaya ikan mas sistem TLBA di Keramba Jaring Apung terbukti mampu menurunkan limbah nitrogen masing-masing sebesar 30,4 g dan 24,0 g per kg ikan tersebut. Integrasi proses mikrobial BFT pada akuakultur sistem resirkulasi merupakan salah satu pendekatan dalam sistem akuakultur berbasis jenjang rantai makanan TLBA. Menurut Rusliadi 1995 makanan utama kerang air tawar z o n t { |}~ n s |  € i |}  m o tu s di Sungai Indragiri terdiri dari detritus 59,2, alga Cyanophyceae 31,2 dan alga Chlorophyceae 1,9. Sementara itu kerang kijing ‚  lsb ryo co n c ƒ | dari suku Unionidae merupakan p l | „… to n feed er dan menyukai perairan dengan substrat lumpur berpasir Marwoto, 2006. Giovanelli et | † ‡ 2005 menyatakan bahwa di habitat alami, siput banyak menghuni perairan yang kaya bahan organik sehingga detritus melimpah dan mempunyai populasi alga epifit yang tinggi. Menurut Eleutheriadis dan Lazaridou-Dimitriadou 1996 siput ˆ  th yn i | ‰{ |~ c | betina mampu mengkonsumsi aufwuchs perifiton sebanyak 218,9 g bobot keringm 2 pertahun dengan produksi feses sebesar 101,8 g bobot keringm 2 pertahun, atau tingkat efisiensi asimilasi sebesar 53.5. Semetara itu siput jantan memiliki tingkat konsumsi perifiton sebesar 227,7 g bobot keringm 2 pertahun, produksi feses sebesar 99 2 gm 2 , atau tingkat efisiensi asimilasi sebesar 56,4.

3. METODE