Penentuan Energi Aktivasi E

k des yang semakin meningkat diikuti dengan kecenderungan nilai faktor terdesorpsi θ yang meningkat pula. Hal tersebut menunjukkan bahwa laju desorpsi yang terjadi semakin cepat. Semakin tinggi nilai konstanta laju desorpsi maka semakin tinggi pula nilai faktor terdesorpsi Wankasi et al., 2005.

2. Penentuan Energi Aktivasi E

a Energi aktivasi merupakan energi yang harus dimiliki oleh molekul sehingga mampu bereaksi. Nilai konstanta laju desorpsi k des pada ketiga suhu desorpsi, yaitu 40ºC, 50ºC dan 60ºC yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menentukan energi aktivasi E a . Penentuan nilai energi aktivasi E a desorpsi isotermal β-karoten dilakukan dengan persamaan Arrhenius. Perhitungan energi aktivasi E a dapat dilihat pada Lampiran 9. Persamaan Arrhenius merupakan persamaan yang dirumuskan oleh Svante Arrhenius, yang mengkuantifikasi hubungan antara suhu T dan energi aktivasi E a dengan konstanta laju k. Persamaan Arrhenius ini kemudian dimodifikasi menjadi bentuk persamaan garis lurus regresi linier. Regresi linier merupakan persamaan matematika yang menduga hubungan antara satu peubah bebas dalam hal ini kebalikan suhu desorpsi dengan satu peubah tak bebas dalam hal ini ln konstanta laju desorpsi, yang digambarkan dalam hubungan garis lurus. Hubungan antara kebalikan suhu desorpsi 1T dengan ln konstanta laju desorpsi ln k des dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. -5,4 -5,35 -5,3 -5,25 -5,2 -5,15 -5,1 -5,05 0,00295 0,003 0,00305 0,0031 0,00315 0,0032 0,00325 1T ln k d e s Gambar 11. Hubungan antara 1T dengan ln k des pada eluen isopropanol ln k des = -1115,1 1T – 1,7448; r 2 = 0,5468 -6,14 -6,12 -6,1 -6,08 -6,06 -6,04 -6,02 -6 -5,98 -5,96 -5,94 0,00295 0,003 0,00305 0,0031 0,00315 0,0032 0,00325 1T ln k de s Gambar 12. Hubungan antara 1T dengan ln k des pada eluen heksan ln k des = - 247,38 1T – 5,2828; r 2 = 0,0751 Berdasarkan kemiringan slope dari persamaan hasil regresi linier pada Gambar 11 dan 12 diperoleh energi aktivasi yang merupakan kemiringan slope dikali dengan konstanta gas R. Nilai koefisien determinasi r 2 yang kecil ini menunjukkan bahwa keragaman nilai konstanta laju desorpsi sebagai peubah tak bebas kurang mampu diterangkan oleh persamaan Arrhenius. Nilai energi aktivasi desorpsi isotermal β-karoten yang dihasilkan pada ketiga suhu desorpsi masing-masing untuk setiap jenis eluen disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Energi aktivasi desorpsi isotermal β-karoten dengan eluen isopropanol dan heksan Perlakuan Eluen Suhu [ºC] k des [menit -1 ] Energi Aktivasi [kcalmol] r 2 40 4,7 x 10 -3 50 6,2 x 10 -3 Isopropanol 60 5,8 x 10 -3 2,216 0,5468 40 2,2 x 10 -3 50 2,6 x 10 -3 Heksan 60 2,3 x 10 -3 0,492 0,0751 Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa peningkatan suhu desorpsi menyebabkan meningkatnya pelepasan β-karoten dari atapulgit yang selanjutnya meningkatkan laju desorpsi. Selain dengan peningkatan suhu desorpsi, peningkatan laju desorpsi juga dapat dilakukan dengan mendapatkan jalan proses desorpsi dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Semakin rendah nilai energi aktivasi, semakin besar fraksi molekul β-karoten yang teraktifkan dan semakin cepat proses desorpsi berlangsung. Dalam penelitian ini digunakan eluen isopropanol untuk desorpsi β-karoten dan eluen heksan sebagai pembandingnya. Penggunaan eluen berfungsi untuk mendapatkan jalan proses desorpsi alternatif tersebut. Eluen akan mengarahkan reaksi menuju jalan reaksi dengan nilai energi aktivasi yang rendah. Oleh karena itu, jenis eluen dapat meningkatkan laju desorpsi. Hal ini tergantung dari jenis kepolaran eluen yang digunakan. Dalam proses desorpsi β-karoten ini tingkat kepolaran eluen yang semakin rendah akan menghasilkan energi aktivasi yang rendah. Dalam hal ini, heksan menunjukkan nilai energi aktivasi yang rendah, berarti heksan mampu melepaskan β-karoten dari atapulgit dengan cepat. Sementara itu, isopropanol memiliki nilai energi aktivasi yang cukup besar, bahkan hampir 4 kali lipat dari nilai energi aktivasi heksan. Cepatnya laju desorpsi dipengaruhi oleh viskositas eluen. Viskositas eluen yang rendah dengan kondisi proses yang menggunakan shaker akan lebih cepat berikatan dengan β-karoten dalam atapulgit sehingga proses pelepasan β-karoten lebih cepat terjadi. Viskositas isopropanol lebih tinggi dibandingkan heksan sehingga proses pelepasan β-karoten dengan menggunakan isopropanol berjalan sedikit lebih lambat. D . SELEKTIVITAS DESORPSI Pemisahan -karoten dan α-tokoferol dilakukan dengan cara adsorpsi dan desorpsi. Proses desorpsi akan melepaskan -karoten dan α-tokoferol dari adsorben dengan cara mengelusi adsorben dengan eluen. Eluen yang digunakan jumlahnya sama, hanya saja masing-masing eluen yang digunakan mempunyai karakteristik yang berbeda dalam kemampuannya untuk melepaskan -karoten dan α-tokoferol. Eluen yang memiliki kemampuan cepat melepas adsorbat belum tentu dapat melepaskan adsorbat yang diharapkan dengan konsentrasi yang baik. Eluen yang mampu menjalankan elusi terlalu cepat tidak akan mampu melakukan pemisahan yang sempurna Adnan, 1997. Kemungkinan yang terjadi adalah eluen melepaskan bahan- bahan lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan seleksi terhadap adsorbat dengan parameter yang dapat menunjukkan kualitas dari eluen yang digunakan. Selektivitas desorpsi dilihat dari perolehan -karoten dan α-tokoferol dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Selektivitas desorpsi dilihat dari perolehan -karoten dan α- tokoferol Perlakuan Pelarut Suhu [ºC] Perolehan β-karoten [µg] [t = 18 menit] Perolehan α-tokoferol [µg] [t = 18 menit] 40 273,666 a 50 341,535 a IPA 60 284,612 a 40 172,819 793,384 50 117,450 987,567 Heksan 60 71,029 666,430 a : tidak terdeteksi Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa semakin tinggi suhu, perolehan β-karoten dengan menggunakan eluen isopropanol cenderung semakin meningkat. Lain halnya pada eluen heksan, semakin tinggi suhu, perolehan β- karoten semakin menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh titik didih yang dimiliki heksan. Semakin rendah titik didih, semakin cepat eluen tersebut untuk menguap. Sementara itu, perolehan α-tokoferol dengan eluen heksan meningkat pada suhu 50 o C dan menurun pada suhu 60 o C. Sedangkan pada eluen isopropanol, perolehan α-tokoferol tidak terdeteksi. Hal tersebut diduga bahwa α-tokoferol rusak saat dilarutkan dalam isopropanol. Secara keseluruhan dari proses desorpsi diperoleh α-tokoferol lebih banyak dibandingkan β-karoten. Hasil pengukuran konsentrasi α-tokoferol pada eluen isopropanol dan heksan, baik untuk larutan standard murni dan sampel dapat dilihat pada Lampiran 10.

V. KESIMPULAN DAN SARAN