Kinetika Desorpsi Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar Dari Atapulgit Dengan Menggunakan Etanol

(1)

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN

OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT

DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL

Oleh

OKIANA WINARNI F34102019

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan

mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.

(QS. Al Mujadilah (58) : 11)

Kupersembahkan karya ini untuk Ibu, Bapak (Alm), Kakakku yang tercinta, dan semua keluarga yang kusayangi.


(3)

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN

OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT

DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL

Ringkasan

Pada tahun 2010 diperkirakan minyak sawit akan menjadi minyak nabati utama yang diproduksi di dunia. Volume perdagangan minyak dan lemak di dunia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat. Diprediksi, dalam 10 tahun dan 20 tahun mendatang volume perdagangan komoditas ini masih akan terus meningkat. Tahun 2000 volume perdagangan minyak dan lemak mencapai 36 juta ton untuk minyak nabati dan 14 juta ton untuk lemak hewani. Sekitar 39 persen (19,5 ton) dari minyak yang diperdagangkan ini adalah minyak sawit.

Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94 persen), juga mengandung asam lemak (3-5 persen) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1 persen), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen minor lainnya. Pada proses pengolahan minyak sawit kasar menjadi minyak goreng, beta karoten yang terkandung di dalam minyak sawit kasar tersebut dihilangkan bersamaan dengan proses pemurnian minyak agar warna minyak goreng menjadi lebih jernih. Penghilangan beta karoten tersebut dilakukan karena konsumen lebih menyukai warna minyak goreng yang jernih daripada minyak goreng yang berwarna kuning kemerahan. Padahal, beta karoten yang merupakan provitamin A sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Beta karoten yang selama ini dibuang dalam proses pemurnian minyak goreng tersebut dapat diisolasi sebelum minyak sawit kasar dimurnikan sehingga meningkatkan nilai tambah industri minyak sawit. Proses adsorpsi-desorpsi di dalam isolasi beta karoten olein sawit kasar memiliki keunggulan yaitu minyak sawit kasar yang akan diolah menjadi minyak goreng tidak akan mengalami kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan atapulgit sebagai adsorben. Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses tersebut untuk menentukan desain proses.

Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol lebih aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang relatif kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup, tidak mudah terbakar, dan dapat melarutkan karoten. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan parameter kinetika desorpsi, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan

energi aktivasi (Ea). Kondisi kesetimbangan diperoleh berdasarkan hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol sehingga lama desorpsi tidak lagi meningkatkan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Kinetika desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit ditentukan berdasarkan peningkatan konsentrasi beta karoten di dalam etanol selama berlangsungnya desorpsi isotermal mengikuti persamaan Chu dan Hashim (2001). Kesesuaian antara data percobaan dengan model ditentukan berdasarkan nilai koefisien


(4)

determinasi (r2). Penentuan energi aktivasi mengikuti persamaan Arrhenius. Percobaan desorpsi isotermal dilakukan pada tiga suhu yaitu 40○C, 50○C, dan 60○Cdengan heksan sebagai pembanding.

Kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol dicapai pada konsentrasi beta karoten 0,77 µg/mL

pada lama desorpsi 70 menit, pada suhu desorpsi 40○C, 0,61 µg/mL pada lama

desorpsi 40 menit, pada suhu desorpsi 50○C, dan 0,33 µg/mL pada lama desorpsi

16 menit, pada suhu desorpsi 60○C. Pada percobaan desorpsi dengan

menggunakan heksan kondisi kesetimbangan dicapai pada konsentrasi beta

karoten 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 21,5 menit, pada suhu desorpsi 40○C,

0,40 µg/mL pada lama desorpsi 12,5 menit, pada suhu desorpsi 50○C, dan 0,23

µg/mL pada lama desorpsi 10,5 menit, pada suhu desorpsi 60○C. Kondisi

kesetimbangan dipengaruhi oleh jenis pelarut dan suhu desorpsi. Semakin rendah suhu desorpsi, semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh etanol dan semakin lama kondisi kesetimbangan dicapai. Kondisi kesetimbangan pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih lama dicapai daripada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan. Konsentrasi beta karoten di dalam etanol lebih tinggi daripada konsentrasi beta karoten di dalam heksan setelah kondisi kesetimbangan dicapai.

Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) isotermal beta karoten olein sawit kasar

dari atapulgit dengan menggunakan etanol pada suhu 40○C sebesar 1,0 x 10-3

menit-1, 1,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C, dan 2,2 x 10-3 menit-1 pada suhu 60○C. Pada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan nilai konstanta laju desorpsi (kdes) 2,2 x 10-3 menit-1 pada suhu 40○C, 2,6 x 10-3 menit-1 pada suhu

50○C, dan 2,3 x 10-3 menit-1 pada suhu 60○C. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes)

pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih rendah daripada nilai konstanta laju desorpsi (kdes) dengan menggunakan heksan. Energi aktivasi (Ea)

desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan

menggunakan etanol sebesar 81,86 x 10-1 kkal/mol dan dengan menggunakan

heksan 4,91 x 10-1 kkal/mol. Berdasarkan nilai energi aktivasinya yang lebih

tinggi, kinerja etanol lebih rendah dibandingkan heksan dalam mendesorpsi beta karoten.


(5)

ISOTHERM DESORPTION KINETICS OF CRUDE PALM OIL

BETA CAROTENE FROM ATTAPULGITE

BY USING ETHANOL

Summary

In the year 2010, palm oil is estimated to become the major vegetable oil in the world. The world trade volume of fat and oil in the recent year is increasing and in the next 10-20 year it will still be increasing. In 2000, the trade volume of oil and fat reached 36 millions ton for vegetable oil and 14 millions ton for fat. About 39 percent (19.5 tonnes) of traded oil was palm oil.

The largest component of palm oil is triglyserid (94 percents). It also contains fatty acid (3-5 percents), carotenoid, tocopherol, tocotrienol, sterol, alcohol triterpen, phospolipid, glikolipid, and other various minor components in small amount. In the process of changing crude palm oil into cooking oil, the beta carotene in the palm oil is eliminated simultaneously with the process of cooking oil purification so that the colour of cooking oil is cleaner. Beta carotene is eliminated because consumers prefer clear colour. Actually, beta carotene that a provitamin A is important for health. Beta carotene that is wasted during the purification process of cooking oil could be isolated before the crude palm oil is purified. This could be an added value for the palm oil industry. The adsorption-desorption process of isolation crude palm olein beta carotene is a good process because the crude palm oil that will be processed to become cooking oil is not damaged. This research use attapulgite as adsorbent. Desorption kinetics is an important study to determine process the design.

Ethanol was used in this research because ethanol is safe for the industry. Besides, ethanol is not dangerous compare to hexane, this eluent is often used in palm oil extraction. The other characteristics of ethanol are not harmful if inhaled, not flammable, and can eluate carotene. The objective of this research is to determine equilibrium condition (beta carotene concentration in ethanol and desorption time) of isotherm desorption of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. This research is also aiming to determine kinetics parameter of isotherm desorption, desorption rate constant (kdes) and activation

energy (Ea) of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. The equilibrium conditions were obtained from the relation between the desorption time and the beta carotene concentration in ethanol so that desorption time will not increase the beta carotene concentration in the ethanol. Isotherm desorption kinetics of beta karoten from attapulgite by using ethanol was determined from the increase of beta carotene concentration in ethanol during the desorption process using the Chu and Hashim model (2001). The conformity

between data and model was determined from coefficient determination (r2).

Determination of activation energy followed Arrhenius equation. Isotherm desorption experiment conducted at three temperature, that were 40○C, 50○C, and 60○C with hexane as comparator.

Equilibrium conditions of isotherm desorption beta carotene from attapulgite by using ethanol were achieved at beta carotene concentration of 0.77

µg/mL in 70 minutes and at desorption temperature of 40○C, 0.61 µg/mL in 40


(6)

the desorption temperature of 60○C. Moreover, equilibrium conditions of desorption experiment by using hexane were achieved at beta carotene concentration 0.61 µg/mL in 21.5 minutes, at the desorption temperature of 40○C,

0.40 µg/mL in 12.5 minutes at the desorption temperature of 50○C, and 0.23

µg/mL in 10.5 minutes at the desorption temperature of 60○C. Equilibrium

conditions were influenced by temperature desorption and eluent. It was studied that the lower the desorption temperature, the higher the beta carotene concentration desorpted by ethanol, and the longer the time needed to reach equilibrium conditions. Reaching the equilibrium of isotherm desorption using ethanol was longer than reaching the equilibrium of isotherm desorption using hexane. Beta carotene concentration in ethanol is higher than beta carotene concentration in hexane at the equilibrium conditions.

Desorption rate constant (kdes) of isotherm desorption of crude palm olein

beta carotene from attapulgite by using ethanol at desorption temperature 40○C was 1.0 x 10-3 minutes-1, 1,6 x 10-3 minutes-1 at desorption temperature of 50○C, and 2.2 x 10-3 minutes-1 at the desorption temperature of 60○C. Desorption rate

constant (kdes) of isotherm desorption crude palm olein beta carotene from

attapulgite by using hexane at the desorption temperature of 40○C, 2.2 x 10-3 minutes-1, 2.6 x10-3 minutes-1 at the desorption temperature of 50○C, and 2.3 x 10

-3

minutes-1 at the desorption temperature of 60○C. The activation energy of

isotherm desorption of crude palm olein beta karoten from attapulgite by using ethanol was 81.86 x 10-1 kcal/mol and by using hexane was 4.91 x 10-1 kcal/mol. It was studied that the performance of ethanol was lower compare to hexane in beta carotene desorption from attapulgite.


(7)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kinetika Desorpsi Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan Menggunakan Etanol” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen Pembimbing Akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, 30 Januari 2007 Yang membuat pernyataan,

Okiana Winarni F34102019


(8)

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN

OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN

MENGGUNAKAN ETANOL

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

OKIANA WINARNI F34102019

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Tatit K. Bunasor, MSc selaku dosen pembimbing akademik I dan Prayoga

Suryadarma, S.TP, MT selaku dosen pembimbing akademik II yang selalu memberikan arahan, bimbingan dan dukungan.

2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen penguji atas masukannya untuk

penyempurnaan skripsi ini.

3. Bapak Edi Lukas selaku pimpinan PT. Asianagro Agungjaya.

4. Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (RAPID), Direktorat Jenderal

Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional.

5. Teman sebimbingan (Fitri dan Mia) dan tim vitamin (Indri, Kristin, dan Vina), atas bantuan dan kebersamannya.

6. Sahabatku (Inda, Fery, Iffa, Rheni, Evy, Nurul, Mbak Yeni, Mbak Oryza, dan

Mbak Ritna) atas semangat, dukungan dan kebersamannya.

7. TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya

selama penulis menyelesaikan skripsi dan menjadi mahasiswa TIN yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.

Bogor, Januari 2007


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. MINYAK KELAPA SAWIT ... 5

B. KAROTENOID ... 7

C. BETA KAROTEN ... 9

D. ADSORPSI-DESORPSI ... 10

E. PELARUT ... 10

F. ETANOL ... 12

G. ADSORBEN ... 13

H. KINETIKA DESORPSI ... 16

III. METODOLOGI ... 19

A. BAHAN DAN ALAT ... 19

B. METODE PENELITIAN ... 19

1. Tahapan Penelitian ... 19

2. Prosedur Percobaan ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT ... 23

B. KONDISI KESETIMBANGAN ... 24

C. KINETIKA DESORPSI ... 32


(11)

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN

OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT

DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL

Oleh

OKIANA WINARNI F34102019

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan

mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.

(QS. Al Mujadilah (58) : 11)

Kupersembahkan karya ini untuk Ibu, Bapak (Alm), Kakakku yang tercinta, dan semua keluarga yang kusayangi.


(13)

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN

OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT

DENGAN MENGGUNAKAN ETANOL

Ringkasan

Pada tahun 2010 diperkirakan minyak sawit akan menjadi minyak nabati utama yang diproduksi di dunia. Volume perdagangan minyak dan lemak di dunia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat. Diprediksi, dalam 10 tahun dan 20 tahun mendatang volume perdagangan komoditas ini masih akan terus meningkat. Tahun 2000 volume perdagangan minyak dan lemak mencapai 36 juta ton untuk minyak nabati dan 14 juta ton untuk lemak hewani. Sekitar 39 persen (19,5 ton) dari minyak yang diperdagangkan ini adalah minyak sawit.

Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94 persen), juga mengandung asam lemak (3-5 persen) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1 persen), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen minor lainnya. Pada proses pengolahan minyak sawit kasar menjadi minyak goreng, beta karoten yang terkandung di dalam minyak sawit kasar tersebut dihilangkan bersamaan dengan proses pemurnian minyak agar warna minyak goreng menjadi lebih jernih. Penghilangan beta karoten tersebut dilakukan karena konsumen lebih menyukai warna minyak goreng yang jernih daripada minyak goreng yang berwarna kuning kemerahan. Padahal, beta karoten yang merupakan provitamin A sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Beta karoten yang selama ini dibuang dalam proses pemurnian minyak goreng tersebut dapat diisolasi sebelum minyak sawit kasar dimurnikan sehingga meningkatkan nilai tambah industri minyak sawit. Proses adsorpsi-desorpsi di dalam isolasi beta karoten olein sawit kasar memiliki keunggulan yaitu minyak sawit kasar yang akan diolah menjadi minyak goreng tidak akan mengalami kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan atapulgit sebagai adsorben. Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses tersebut untuk menentukan desain proses.

Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol lebih aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang relatif kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup, tidak mudah terbakar, dan dapat melarutkan karoten. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan parameter kinetika desorpsi, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan

energi aktivasi (Ea). Kondisi kesetimbangan diperoleh berdasarkan hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol sehingga lama desorpsi tidak lagi meningkatkan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Kinetika desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit ditentukan berdasarkan peningkatan konsentrasi beta karoten di dalam etanol selama berlangsungnya desorpsi isotermal mengikuti persamaan Chu dan Hashim (2001). Kesesuaian antara data percobaan dengan model ditentukan berdasarkan nilai koefisien


(14)

determinasi (r2). Penentuan energi aktivasi mengikuti persamaan Arrhenius. Percobaan desorpsi isotermal dilakukan pada tiga suhu yaitu 40○C, 50○C, dan 60○Cdengan heksan sebagai pembanding.

Kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol dicapai pada konsentrasi beta karoten 0,77 µg/mL

pada lama desorpsi 70 menit, pada suhu desorpsi 40○C, 0,61 µg/mL pada lama

desorpsi 40 menit, pada suhu desorpsi 50○C, dan 0,33 µg/mL pada lama desorpsi

16 menit, pada suhu desorpsi 60○C. Pada percobaan desorpsi dengan

menggunakan heksan kondisi kesetimbangan dicapai pada konsentrasi beta

karoten 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 21,5 menit, pada suhu desorpsi 40○C,

0,40 µg/mL pada lama desorpsi 12,5 menit, pada suhu desorpsi 50○C, dan 0,23

µg/mL pada lama desorpsi 10,5 menit, pada suhu desorpsi 60○C. Kondisi

kesetimbangan dipengaruhi oleh jenis pelarut dan suhu desorpsi. Semakin rendah suhu desorpsi, semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh etanol dan semakin lama kondisi kesetimbangan dicapai. Kondisi kesetimbangan pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih lama dicapai daripada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan. Konsentrasi beta karoten di dalam etanol lebih tinggi daripada konsentrasi beta karoten di dalam heksan setelah kondisi kesetimbangan dicapai.

Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) isotermal beta karoten olein sawit kasar

dari atapulgit dengan menggunakan etanol pada suhu 40○C sebesar 1,0 x 10-3

menit-1, 1,6 x 10-3 menit-1 pada suhu 50○C, dan 2,2 x 10-3 menit-1 pada suhu 60○C. Pada percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan nilai konstanta laju desorpsi (kdes) 2,2 x 10-3 menit-1 pada suhu 40○C, 2,6 x 10-3 menit-1 pada suhu

50○C, dan 2,3 x 10-3 menit-1 pada suhu 60○C. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes)

pada percobaan desorpsi dengan menggunakan etanol lebih rendah daripada nilai konstanta laju desorpsi (kdes) dengan menggunakan heksan. Energi aktivasi (Ea)

desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan

menggunakan etanol sebesar 81,86 x 10-1 kkal/mol dan dengan menggunakan

heksan 4,91 x 10-1 kkal/mol. Berdasarkan nilai energi aktivasinya yang lebih

tinggi, kinerja etanol lebih rendah dibandingkan heksan dalam mendesorpsi beta karoten.


(15)

ISOTHERM DESORPTION KINETICS OF CRUDE PALM OIL

BETA CAROTENE FROM ATTAPULGITE

BY USING ETHANOL

Summary

In the year 2010, palm oil is estimated to become the major vegetable oil in the world. The world trade volume of fat and oil in the recent year is increasing and in the next 10-20 year it will still be increasing. In 2000, the trade volume of oil and fat reached 36 millions ton for vegetable oil and 14 millions ton for fat. About 39 percent (19.5 tonnes) of traded oil was palm oil.

The largest component of palm oil is triglyserid (94 percents). It also contains fatty acid (3-5 percents), carotenoid, tocopherol, tocotrienol, sterol, alcohol triterpen, phospolipid, glikolipid, and other various minor components in small amount. In the process of changing crude palm oil into cooking oil, the beta carotene in the palm oil is eliminated simultaneously with the process of cooking oil purification so that the colour of cooking oil is cleaner. Beta carotene is eliminated because consumers prefer clear colour. Actually, beta carotene that a provitamin A is important for health. Beta carotene that is wasted during the purification process of cooking oil could be isolated before the crude palm oil is purified. This could be an added value for the palm oil industry. The adsorption-desorption process of isolation crude palm olein beta carotene is a good process because the crude palm oil that will be processed to become cooking oil is not damaged. This research use attapulgite as adsorbent. Desorption kinetics is an important study to determine process the design.

Ethanol was used in this research because ethanol is safe for the industry. Besides, ethanol is not dangerous compare to hexane, this eluent is often used in palm oil extraction. The other characteristics of ethanol are not harmful if inhaled, not flammable, and can eluate carotene. The objective of this research is to determine equilibrium condition (beta carotene concentration in ethanol and desorption time) of isotherm desorption of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. This research is also aiming to determine kinetics parameter of isotherm desorption, desorption rate constant (kdes) and activation

energy (Ea) of crude palm olein beta carotene from attapulgite by using ethanol. The equilibrium conditions were obtained from the relation between the desorption time and the beta carotene concentration in ethanol so that desorption time will not increase the beta carotene concentration in the ethanol. Isotherm desorption kinetics of beta karoten from attapulgite by using ethanol was determined from the increase of beta carotene concentration in ethanol during the desorption process using the Chu and Hashim model (2001). The conformity

between data and model was determined from coefficient determination (r2).

Determination of activation energy followed Arrhenius equation. Isotherm desorption experiment conducted at three temperature, that were 40○C, 50○C, and 60○C with hexane as comparator.

Equilibrium conditions of isotherm desorption beta carotene from attapulgite by using ethanol were achieved at beta carotene concentration of 0.77

µg/mL in 70 minutes and at desorption temperature of 40○C, 0.61 µg/mL in 40


(16)

the desorption temperature of 60○C. Moreover, equilibrium conditions of desorption experiment by using hexane were achieved at beta carotene concentration 0.61 µg/mL in 21.5 minutes, at the desorption temperature of 40○C,

0.40 µg/mL in 12.5 minutes at the desorption temperature of 50○C, and 0.23

µg/mL in 10.5 minutes at the desorption temperature of 60○C. Equilibrium

conditions were influenced by temperature desorption and eluent. It was studied that the lower the desorption temperature, the higher the beta carotene concentration desorpted by ethanol, and the longer the time needed to reach equilibrium conditions. Reaching the equilibrium of isotherm desorption using ethanol was longer than reaching the equilibrium of isotherm desorption using hexane. Beta carotene concentration in ethanol is higher than beta carotene concentration in hexane at the equilibrium conditions.

Desorption rate constant (kdes) of isotherm desorption of crude palm olein

beta carotene from attapulgite by using ethanol at desorption temperature 40○C was 1.0 x 10-3 minutes-1, 1,6 x 10-3 minutes-1 at desorption temperature of 50○C, and 2.2 x 10-3 minutes-1 at the desorption temperature of 60○C. Desorption rate

constant (kdes) of isotherm desorption crude palm olein beta carotene from

attapulgite by using hexane at the desorption temperature of 40○C, 2.2 x 10-3 minutes-1, 2.6 x10-3 minutes-1 at the desorption temperature of 50○C, and 2.3 x 10

-3

minutes-1 at the desorption temperature of 60○C. The activation energy of

isotherm desorption of crude palm olein beta karoten from attapulgite by using ethanol was 81.86 x 10-1 kcal/mol and by using hexane was 4.91 x 10-1 kcal/mol. It was studied that the performance of ethanol was lower compare to hexane in beta carotene desorption from attapulgite.


(17)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kinetika Desorpsi Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan Menggunakan Etanol” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen Pembimbing Akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, 30 Januari 2007 Yang membuat pernyataan,

Okiana Winarni F34102019


(18)

KINETIKA DESORPSI ISOTERMAL BETA KAROTEN

OLEIN SAWIT KASAR DARI ATAPULGIT DENGAN

MENGGUNAKAN ETANOL

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

OKIANA WINARNI F34102019

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(19)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Tatit K. Bunasor, MSc selaku dosen pembimbing akademik I dan Prayoga

Suryadarma, S.TP, MT selaku dosen pembimbing akademik II yang selalu memberikan arahan, bimbingan dan dukungan.

2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen penguji atas masukannya untuk

penyempurnaan skripsi ini.

3. Bapak Edi Lukas selaku pimpinan PT. Asianagro Agungjaya.

4. Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (RAPID), Direktorat Jenderal

Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional.

5. Teman sebimbingan (Fitri dan Mia) dan tim vitamin (Indri, Kristin, dan Vina), atas bantuan dan kebersamannya.

6. Sahabatku (Inda, Fery, Iffa, Rheni, Evy, Nurul, Mbak Yeni, Mbak Oryza, dan

Mbak Ritna) atas semangat, dukungan dan kebersamannya.

7. TIN 39 dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya

selama penulis menyelesaikan skripsi dan menjadi mahasiswa TIN yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.

Bogor, Januari 2007


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. MINYAK KELAPA SAWIT ... 5

B. KAROTENOID ... 7

C. BETA KAROTEN ... 9

D. ADSORPSI-DESORPSI ... 10

E. PELARUT ... 10

F. ETANOL ... 12

G. ADSORBEN ... 13

H. KINETIKA DESORPSI ... 16

III. METODOLOGI ... 19

A. BAHAN DAN ALAT ... 19

B. METODE PENELITIAN ... 19

1. Tahapan Penelitian ... 19

2. Prosedur Percobaan ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT ... 23

B. KONDISI KESETIMBANGAN ... 24

C. KINETIKA DESORPSI ... 32


(21)

iii

2. Energi Aktivasi ... 37

D. SELEKTIVITAS DESORPSI ... 40

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

A. KESIMPULAN ... 42

B. SARAN ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44


(22)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Perkembangan produksi kelapa sawit dunia tahun 1980-2000

(Basiron, 2002) ... 1 Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit (IUPAC, 2001) ... 5 Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit

(PORIM, 1989)di dalam Muchtadi, 1992) ... 6

Tabel 4. Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit (Zeb dan Mehmood, 2004) ... 7 Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut (Adnan, 1997) ... 11 Tabel 6. Komponen-komponen dalam atapulgit (www.cnhymc.com,

2003) ... 15 Tabel 7. Karakteristik atapulgit (Lansbarkis, 2000) ... 16 Tabel 8. Kondisi percobaan penentuan parameter kinetika desorpsi ... 22 Tabel 9. Karakteristik adsorpsi atapulgit... 23 Tabel 10. Konsentrasi beta karoten di dalam eluen dan lama tercapainya

kesetimbangan ... 26 Tabel 11. Nilai konstanta laju desorpsi (kdes), fraksi terdesorpsi (θ), dan

koefisien determinasi (r2) desorpsi dengan menggunakan etanol dan heksan ... 35 Tabel 12. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar

dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan heksan ... 39 Tabel 13. Perbandingan jumlah antara beta karoten dengan alfa tokoferol


(23)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Beta karoten (Almatsier, 2002) ... 9 Gambar 2. Struktur molekul etanol (www.wikipedia.org, 2006) ... 12 Gambar 3. Struktur molekul atapulgit (Grim, 1989) ... 16 Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian ... 20 Gambar 5. Diagram alir percobaan desorpsi ... 22 Gambar 6. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta

karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ... 24 Gambar 7. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta

karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ... 25 Gambar 8. Ikatan van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit

(Sirait, 2007) ... 31 Gambar 9. Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol (Keenan et

al., 1984) ... 31 Gambar 10. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada

desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ... 33 Gambar 11. Regresi hubungan antara lama desorpsi dengan ln qt/qe pada

desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ... 34

Gambar 12. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln kdes pada

desorpsi dengan menggunakan etanol ... 38

Gambar 13. Regresi linier hubungan antara 1/T dengan ln kdes pada


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Prosedur penelitian ... 48 Lampiran 2. Data hasil perhitungan persamaan Chu dan Hashim (2001) .... 52 Lampiran 3. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi dengan

menggunakan program Mathematica 5.2 for Students ... 57

Lampiran 4. Penentuan energi aktivasi (Ea) ... 59 Lampiran 5. Atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten ... 60 Lampiran 6. Dokumentasi penelitian ... 60


(25)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lamongan pada tanggal 26 Oktober 1984. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Supanto (Alm) dan Sri Rahayu. Pada tahun 1996, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Karanggeneng II. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SLTPN 1 Karanggeneng pada tahun 1999. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 2 Lamongan dan lulus pada tahun 2002.

Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut Pertanian Bogor tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama kuliah di IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Analisis Bahan dan Produk Agroindustri (ABPA) periode 2006/2007.

Penulis melaksanakan praktek lapang pada tahun 2005 dengan topik

“Mempelajari Sistem Pengawasan Mutu Full Cream Milk Powder (FCMP) di PT.

Sari Husada, Yogyakarta”. Untuk menyelesaikan tugas akhir ini, penulis

melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul ”Kinetika Desorpsi Isotermal Beta Karoten Olein Sawit Kasar dari Atapulgit dengan Menggunakan Etanol”.


(26)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada tahun 2010 diperkirakan minyak sawit akan menjadi minyak nabati utama yang diproduksi di dunia. Volume perdagangan minyak dan lemak di dunia dalam 10 tahun terakhir terus meningkat. Diprediksi, dalam 10 tahun dan 20 tahun mendatang, volume perdagangan komoditas ini masih akan terus meningkat. Tahun 2000 volume perdagangan minyak dan lemak mencapai 36 juta ton untuk minyak nabati dan 14 juta ton untuk lemak hewani. Sekitar 39 persen (19,5 ton) dari minyak yang diperdagangkan ini adalah minyak sawit (Oil World, 2000 di dalam Suryadarma et al., 2006). Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat pesat. Indonesia merupakan penghasil kelapa sawit terbesar kedua setelah Malaysia dan diprediksi menjadi penghasil minyak sawit utama dunia pada tahun 2010. Perkembangan produksi minyak sawit dunia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan produksi kelapa sawit dunia tahun 1980-2000

Negara

Tahun (juta ton) Rata-rata laju pertumbuhan

per tahun (%) (1990-2000) 1980 1990 1997 1998 1999 2000

Pantai

Gading 182 270 240 275 269 266 -0,1 Nigeria 433 580 680 690 720 740 2,5 Kolombia 74 226 441 422 475 524 8,8 Ekuador 37 120 203 200 220 250 7,6 Indonesia 691 2.413 5.380 5.006 5.900 6.950 11,2 Malaysia 2.576 6.095 9.069 8.320 10.554 10.840 5,9 Thailand 13 232 390 355 400 560 9,2 Papua

Nugini 35 154 575 215 270 296 7,4 Negara

lainnya 768 934 866 1.197 1.173 1.371 3,9 Total 4.804 11.014 17.844 16.680 19.981 21.797 7,1 Sumber: Basiron (2002)


(27)

2 Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94 persen), juga mengandung asam lemak (3-5 persen) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (1 persen), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen minor lainnya.Olein sawit kasar (crude palm olein) adalah minyak fraksi cair berwarna kuning kemerahan yang diperoleh dengan cara fraksinasi minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan belum mengalami proses pemurnian (SNI, 1998). Olein sawit kasar mengandung 680-760 µg/g karoten, lebih besar dibandingkan dengan kandungan karoten dalam minyak sawit kasar, yaitu 630-700 µg/mL (Zeb dan Mehmood, 2004).

Pada proses pengolahan minyak sawit kasar menjadi minyak goreng, beta karoten yang terkandung di dalam minyak sawit kasar dihilangkan bersamaan dengan proses pemurnian minyak agar warna minyak goreng menjadi lebih jernih. Penghilangan beta karoten tersebut dilakukan karena konsumen lebih menyukai warna minyak goreng yang jernih daripada minyak goreng yang berwarna kuning kemerahan. Padahal, beta karoten merupakan bahan yang terkandung di dalam minyak sawit yang sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Beta karoten yang selama ini dibuang dalam proses pemurnian minyak goreng tersebut dapat diisolasi sebelum minyak sawit kasar dimurnikan sehingga meningkatkan nilai tambah industri minyak sawit. Proses adsorpsi-desorpsi di dalam isolasi beta karoten olein sawit kasar memiliki keunggulan yaitu minyak sawit kasar yang akan diolah menjadi minyak goreng tidak akan mengalami kerusakan. Dalam penelitian ini digunakan atapulgit sebagai adsorben. Penelitian yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa karotenoid memiliki aktivitas anti kanker.

Desorpsi merupakan salah satu tahapan proses yang sangat penting untuk dikaji dalam proses pemanfaatan beta karoten yang terkandung pada olein sawit kasar. Desorpsi adalah proses pengambilan kembali suatu bahan yang telah diserap oleh adsorben. Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol relatif aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak


(28)

sawit. Sifat etanol yang menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup dan tidak mudah terbakar. Selain itu, etanol merupakan jenis eluen yang dapat melarutkan karoten (Goodwin, 1976). Karoten juga larut dalam pelarut-pelarut organik, seperti karbon disulfida, benzena, kloroform, aseton, metanol, eter, dan petroleum eter. Pada penelitian ini, heksan digunakan sebagai pembanding. Kinetika desorpsi merupakan kajian penting dalam proses tersebut untuk menentukan desain proses.

Minyak kelapa sawit memiliki kandungan karotenoid terbesar bila dibandingkan dengan jenis minyak nabati yang lain. Beberapa jenis metode perolehan kembali karotenoid berbasis minyak kelapa sawit telah dikembangkan, antara lain saponifikasi, adsorbsi, ekstraksi pelarut efektif, dan transesterifikasi, meliputi fase separasi dan distilasi ester. Transesterifikasi hanya dapat digunakan dalam proses komersil (Baharin et al., 1998).

Pemisahan karoten sawit dari Crude Palm Oil (CPO) dengan sistem kromatografi adsorpsi dilakukan dengan menggunakan adsorben polimer sintetik. Perolehan kembali karoten bervariasi dari 40-65 persen tergantung pada kondisi kromatografi (Baharin et al., 1998). Pemisahan karoten dengan adsorben sintetik diikuti ekstraksi pelarut dipengaruhi jenis adsorben, kombinasi adsorben, rasio pelarut dan Crude Palm Oil (CPO) (Latip et al.,

2000). Perolehan kembali karoten 16 sampai 74 persen tergantung pada kondisi proses, antara lain waktu adsorpsi, waktu ekstraksi isopropanol, suhu proses adsorpsi dan ekstraksi pelarut, serta umur pakai adsorben (Latip et al.,

2001). Desorpsi dipengaruhi oleh pH eluen (Chu dan Hashim, 2001). Faktor lain yang mempengaruhi desorpsi antara lain suhu reaksi, kecepatan pengadukan (Chu et al., 2004), dan waktu kontak antara adsorben dan eluen (Wankasi et al., 2005). Nilai konstanta laju desorpsi (kdes) meningkat dengan

meningkatnya suhu desorpsi dan laju pengadukan. Pada penelitian ini, parameter kinetika desorpsi, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi

aktivasi (Ea) menunjukkan kinerja etanol dalam mendesorpsi beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit sebagai adsorben.

Penelitian yang dilakukan merupakan suatu upaya untuk memanfaatkan beta karoten yang terkandung di dalam olein sawit kasar yang


(29)

4 selama ini dihilangkan dalam proses pemurnian minyak sawit kasar. Desorpsi beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol tersebut akan meningkatkan nilai tambah minyak sawit yang akan menguntungkan bagi industri minyak sawit.

B. TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi) desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan parameter kinetika desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi aktivasi (Ea) sebagai dasar untuk desain proses. Heksan


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MINYAK KELAPA SAWIT

Minyak sawit kasar (Crude Palm Oil) atau CPO adalah minyak yang

diperoleh dari ekstraksi bagian mesokarp buah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) yang tidak mengalami pengolahan lebih lanjut (Muchtadi, 1992). Minyak sawit mengandung komponen trigliserida, mono dan digliserida. Trigliserida dapat berwujud padat atau cair. Hal ini bergantung dari komposisi asam lemak yang menyusunnya. Minyak nabati yang berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh, yaitu asam oleat, linoleat atau asam linolenat dengan titik cair rendah. Sedangkan minyak yang berbentuk padat pada suhu kamar dikarenakan banyak mengandung asam lemak jenuh, misalnya asam palmitat dan stearat yang mempunyai titik cair lebih tinggi (Ketaren, 1986). Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit

Asam Lemak Atom C- Komposisi (%)

Laurat C12:0 0,1 – 0,5

Miristat C14:0 0,9 – 1,4

Palmitat C16:0 38,2 – 42,9

Stearat C18:0 3,7 – 4,8

Oleat C18:1 39,8 – 43,9

Linoleat C18:2 10,4 – 13,4

Komponen lain - 0,1 – 0,6

Sumber : IUPAC (2001)

Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap. Kandungan karoten dalam minyak sawit dapat mencapai 1000 µg/mL atau lebih, sedangkan kandungan tokoferol bervariasi dan dipengaruhi oleh penanganan selama produksi (Ketaren, 1986).

Beberapa karakteristik komponen lemak dan asam lemak dalam minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 3. Minyak kelapa sawit terdiri dari minyak sawit kasar (CPO), olein, stearin, dan minyak inti sawit (PKO).


(31)

6

Stearin sawit mempunyai titik cair yang tertinggi, berat jenis dan indeks refraksi tidak banyak berbeda, bilangan iod yang tertinggi ditemukan pada olein dan bilangan penyabunan tertinggi pada minyak inti sawit. Asam lemak

dengan C6 dan C8 hanya ada pada minyak inti sawit (PORIM, 1989 di dalam

Muchtadi, 1992).

Tabel 3. Karakteristik komponen lemak dan asam lemak minyak sawit

Sifat

Jenis

Minyak sawit (CPO)

Olein Stearin Minyak inti

sawit (PKO) Titik cair (○C)

Berat jenis (50○C/air 25○C) Indeks refraksi (nD, 50○C) Bilangan iod (Wijs)

Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak)

Bahan tak tersabunkan (%) Asam lemak (%) :

ƒ C6 ƒ C8 ƒ C10 ƒ C12 ƒ C14 ƒ C16 ƒ C16=1 ƒ C18 ƒ C18=1 ƒ C18=2 ƒ C18=3

ƒ C20

34,2 0,892 1,455 53,3 195,7 0,5 0,2 1,1 44,0 0,1 4,5 39,2 10,1 0,4 0,4 21,6 0,902 1,459 58,0 198,0 0,5 0,2 1,0 39,8 0,2 4,4 42,5 11,2 0,4 0,4 44,5 0,882 1,477 21,6 193,0 0,2 0,3 1,5 65,0 0,2 5,0 21,3 6,5 0,4 0,4 27,3 0,902 1,451 17,1 145,0 0,3 0,3 4,4 3,7 38,3 15,6 7,8 2,0 15,1 2,7

Sumber: PORIM (1989) di dalam Muchtadi (1992)

Minyak sawit digunakan untuk kebutuhan bahan pangan, industri kosmetik, industri kimia dan industri pakan ternak. Kebutuhan minyak sawit sebesar 90 persen digunakan untuk bahan pangan seperti minyak goreng, margarin, shortening, pengganti lemak kokoa dan untuk kebutuhan industri roti, cokelat, es krim, biskuit dan makanan ringan. Kebutuhan 10 persen dari minyak sawit lainnya digunakan untuk industri oleokimia yang menghasilkan asam lemak, fatty alcohol, gliserin dan metil ester. Oleokimia digunakan pada industri yang menghasilkan produk pangan dan lemak, sabun dan deterjen,


(32)

kosmetik dan produk perawatan pribadi, oli dan pelumas, minyak pengering, polimer dan pelapis permukaan (coating) dan biofuel (Gelder, 2004).

B. KAROTENOID

Karotenoid termasuk golongan hidrokarbon, tersebar luas di alam dan merupakan pigmen penting dalam kehidupan organisme. Karotenoid terkandung di dalam wortel, labu, kentang manis, tomat, buah-buahan yang berwarna hijau gelap, kuning, oranye, dan merah, sayuran dan beberapa minyak sayur, dimana minyak sawit dan produk-produk minyak sawit diketahui mengandung konsentrasi karotenoid paling tinggi (Zeb dan Mehmood, 2004). Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan karotenoid di dalam fraksi-fraksi minyak sawit

Fraksi minyak sawit Kandungan karoten (µg/mL)

Minyak sawit kasar (CPO) 630-700

Olein sawit kasar 680-760

Stearin sawit kasar 380-540

Residual oil from fibre 4.000-6.000

Pengepresan kedua minyak sawit 1.800-2.400

Minyak sawit merah 500-700

Sumber: Zeb dan Mehmood (2004)

Crude Palm Oil (CPO) merupakan sumber karotenoid nabati alami

yang terkaya di dunia dalam bentuk ekuivalen retinol (provitamin A). Crude

Palm Oil (CPO) mengandung 15 sampai 300 kali ekuivalen retinol lebih besar daripada wortel, sayuran berdaun hijau, dan tomat (Latip et al., 2000). Saat ini dikenal sekitar 600 jenis karotenoid di luar isomer cis-trans. Dari jumlah ini kurang dari 10 persen merupakan hidrokarbon (Goodwin, 1976).

Karotenoid termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut dengan baik dalam pelarut-pelarut organik, seperti karbon disulfida, benzena, khloroform, aseton, metanol, etanol, eter dan petroleum eter, tetapi tidak larut


(33)

8

dalam air. Sifat ini penting terutama dalam pemisahan karotenoid dari bahan lain (ekstraksi) (Goodwin, 1976).

Faktor utama yang mempengaruhi karoten selama pengolahan pangan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen udara dan perubahan struktur

oleh panas. Pemanasan sampai dengan suhu 60○C tidak mengakibatkan

dekomposisi karoten tetapi dapat terjadi perubahan stereoisomer. Selama pengolahan pangan, bentuk trans pada karotenoida yang terdapat dalam bahan pangan tersebut dapat mengalami isomerisasi menjadi bentuk cis karoten yang

menyebabkan turunnya aktifitas provitamin A, karena aktifitasnya dari cis

karotenoida lebih rendah dari bentuk trans karotenoida. Aktivitas karoten akan menurun secara drastis pada suhu sekitar 180-210○C (Klaui dan Bauernfeind, 1981 di dalam Saputra, 1996). Adanya ikatan ganda menyebabkan karotenoid peka terhadap oksidasi. Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Hugo, 1997).

Karotenoid lebih tahan tersimpan dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh. Hal ini disebabkan asam lemak lebih mudah menerima radikal bebas apabila dibandingkan dengan karotenoid, sehingga oksidasi yang pertama kali akan terjadi pada asam lemak dan akibatnya karotenoid terlindung dari oksidasi. Pada suasana asam karotenoid mengalami isomerisasi dan akan membentuk poli cis-isomer (Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Hugo, 1997).

Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Dalam makanan vitamin A biasanya terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Di dalam tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu retinol (bentuk alkohol), retinal (aldehida), dan asam retinoat (bentuk asam) (Almatsier, 2002).

Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Suhu tinggi dapat merusak vitamin A, begitu juga oksidasi yang terjadi pada minyak yang tengik. Karotenoid merupakan


(34)

prekursor (provitamin) vitamin A. Di antara ratusan karotenoid yang terdapat di alam, hanya alfa, beta, dan gamma serta kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. Beta karoten adalah bentuk provitamin A paling aktif, yang terdiri atas dua molekul retinol yang saling berkaitan (Almatsier, 2002).

Identifikasi pigmen karotenoid, baik jenis maupun kemurniannya, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik kromatografi lapis tipis (TLC), HPLC atau cara spektrofotometri. Penentuan menggunakan HPLC didasarkan pada bentuk spektrumnya dalam suatu pelarut. Bentuk spektrum yang sama menyatakan zat yang sama (Goodwin, 1976).

C. BETA KAROTEN

Jenis karotenoid yang paling penting adalah alfa karoten, beta karoten, beta kriptoxantin, lutein, violaxantin, neoxantin, dan likopen. Beta karoten, alfa karoten, beta kriptoxantin adalah jenis karoten yang dikonversi menjadi vitamin A atau retinol di dalam tubuh (Zeb dan Mehmood, 2004). Struktur kimia beta karoten dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Beta karoten (Almatsier, 2002)

Βeta karoten dan tokoferol dikenal sebagai senyawa antioksidan yang ampuh mencegah penyakit. Di dalam tubuh, kedua senyawa itu mampu menetralisir zat-zat radikal bebas pemicu beragam penyakit, termasuk kanker dan tumor. Senyawa tersebut menangkal dan memutus rantai radikal bebas yang menyebabkan sel mengalami mutasi genetis hingga berkembang secara liar tanpa terkendali. Imbasnya, massa sel alias tumor gagal terbentuk (www.apotik2000.net, 2006).

Βeta karoten juga diketahui berfungsi memperlambat berlangsungnya


(35)

10

ke otak, bisa berlangsung lancar, tanpa sumbatan. Senyawa ini juga mampu meningkatkan kekebalan tubuh karena interaksi vitamin A dengan protein (asam amino) yang berperan dalam pembentukan antibodi.

Dalam sistem metabolisme, setiap molekul beta karoten akan menghasilkan dua molekul vitamin A. Dengan tersedianya vitamin A dalam jumlah cukup, penyerapan protein yang mendukung sistem kekebalan tubuh dapat ditingkatkan (www.apotik2000.net, 2006).

Suatu studi membuktikan, konsumsi beta karoten 30-60 mg per hari selama dua bulan akan meningkatkan jumlah sel-sel pembunuh alami dalam tubuh. Senyawa ini juga merangsang sel-sel T helpers dan limposit lebih aktif. Bertambahnya sel-sel pembunuh alami sangat penting untuk melawan sel-sel kanker dan mengendalikan radikal bebas yang mengganggu kesehatan (www.apotik2000.net, 2006).

D. ADSORPSI-DESORPSI

Adsorpsi adalah suatu istilah teknik yang digunakan untuk

menandakan suatu peristiwa pengambilan (Latin, sorbere, menghisap naik)

dari gas, uap air, atau cairan (bahan terserap) oleh suatu permukaan atau penghubung antar muka (adsorben). Sedangkan desorpsi merupakan peristiwa pengambilan kembali bahan yang diserap oleh adsorben (Kirk dan Othmer, 1963). Bahan yang telah teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan, penurunan tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi, pendesakan dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut (desorpsi) (Bernasconi et al., 1995).

Terlepasnya solut dari adsorben oleh pelarut, disebabkan oleh tendensi kelarutannya. Fenomenanya disebut elusi (non protonic solvent). Selain itu

terjadi juga fenomena displacement (penggeseran tempat), karena adanya

kompetisi antara solut dan eluen terhadap adsorben (protonic solvent, seperti alkohol) (Adnan, 1997).

E. PELARUT

Pelarut dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu kelompok polar dan kelompok non polar. Perbedaan dari kedua golongan tersebut adalah potensial


(36)

dielektrik, dimana golongan non polar tidak mempunyai potensial dielektrik pada molekulnya, sedangkan pada golongan polar memiliki potensial dielektrik pada molekulnya (Mellan, 1950 di dalam Novinda, 1995). Air, yang termasuk zat pelarut, konfigurasi elektronnya dan geometri molekulnya dapat menghasilkan dipol permanen yang sangat kuat. Senyawa-senyawa organik yang mempunyai atom oksigen (oxygenated) seperti alkohol, keton, ester, dan eter mempunyai dipol yang lebih lemah daripada air, oleh karenanya polaritasnya juga lebih kecil. Namun demikian, benzen yang mempunyai struktur simetris dan tidak mempunyai dipol, mempunyai awan elektron yang dapat terpolarisasi apabila ada senyawa polar yang mendekatinya. Oleh karena itu, senyawa hidrokarbon siklis, seperti benzen mempunyai polaritas yang lebih besar daripada senyawa hidrokarbon alifatis yang serupa (Adnan, 1997). Pelarut dengan tetapan dielektrik tinggi, ion-ionnya mampu mengurai secara sempurna, contohnya adalah air. Sedangkan pelarut yang memiliki tetapan dielektrik rendah, ion-ionnya tidak mampu mengurai secara sempurna, tetapi pasangan ion terjadi (Day Jr. dan Underwood, 2002). Besarnya polaritas dari zat pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya seperti yang digambarkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Polaritas relatif berbagai zat pelarut

Konstanta dielektrik Nama zat pelarut 1,890 2,023 2,238 2,284 4,340 4,806 6,020 20,700 24,300 33,620 80,370

Petroleum ringan (petroleum eter, heksan, heptan) Sikloheksan Karbon tetraklorida Trikloroetilen Toluen Benzen Diklorometan Etil eter Kloroform Etil asetat Aseton n. propanol Etanol Metanol Air


(37)

12

Pelarut yang mempunyai gugus karboksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk dalam pelarut non polar. Pelarut yang bersifat non polar, misalnya hidrokarbon hanya dapat melarutkan senyawa yang bersifat non polar. Sedangkan senyawa polar hanya dapat larut dalam pelarut polar misalnya air. Pada suhu di atas titik cair, lemak dan asam lemak bersifat larut dalam pelarut organik. Kelarutan lemak dan turunannya pada pelarut organik akan menurun dengan penurunan suhu (Swern, 1982). Secara umum, kelarutan lemak dan turunannya dalam pelarut organik dipengaruhi oleh jumlah ikatan rangkap dan panjang rantai karbon. Semakin banyak jumlah ikatan rangkap, maka kelarutan semakin tinggi. Sebaliknya, makin panjang rantai, maka semakin rendah kelarutan lemak dan turunannya.

Zat pelarut mempunyai peranan yang penting dalam elusi, yang dapat menentukan baik-buruknya pemisahan. Zat pelarut yang mampu menjalankan elusi terlalu cepat tidak akan mampu mengadakan pemisahan yang sempurna. Sebaliknya elusi yang terlalu lambat akan menyebabkan waktu retensi yang terlalu lama (Adnan, 1997).

F. ETANOL

Etanol atau etil alkohol ialah bahan kimia yang ditemui di dalam minuman beralkohol atau arak. Selain terdapat di dalam arak, etanol juga digunakan sebagai bahan api menggantikan gasolin (ms.wikipedia.org, 2006).

H H | |

H - C - C - O - H | |

H H

Gambar 2. Struktur molekul etanol (ms.wikipedia.org, 2006)

Etanol murni ialah cairan jernih yang mudah terbakar pada titik didih pada 78,5○C dan titik beku pada -114,5○C. Etanol digunakan sebagai bahan anti-beku dan mempunyai bau vodka. Etanol dapat digunakan sebagai desinfektan (etanol 70-85 persen). Larutan tersebut dapat membunuh


(38)

organisme dengan cara mengubah protein dan melarutkan lipid, menghalangi pertumbuhan bakteri, fungi, dan beberapa virus. Namun, etanol tidak efektif terhadap spora bakteri. Karena sifat ini, etanol dapat disimpan dalam jangka waktu yang sangat lama (sebagai minuman alkohol) (ms.wikipedia.org, 2006). Etanol memiliki sifat-sifat unik, antara lain dapat digunakan sebagai pelarut, pembasmi kuman penyakit, minuman, agen anti beku, cairan mudah

terbakar, depressant, dan memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks

dengan bahan kimia organik lainnya. Etanol dalam kondisi normal bersifat volatil, mudah terbakar, dan merupakan cairan tidak berwarna (Kirk dan Othmer, 1965).

G. ADSORBEN

Adsorben (untuk adsorpsi fisik) adalah bahan padat dengan luas permukaan dalam yang sangat besar. Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyaknya pori yang halus pada padatan tersebut. Biasanya luasnya berada dalam ukuran 200 – 1000 m2/g adsorben. Diameter pori sebesar 0,0003 – 0,02 µm (Bernasconi et al., 1995).

Selain luas spesifik dan diameter pori, kerapatan unggun, distribusi ukuran partikel maupun kekerasannya merupakan data karakteristik yang penting dari suatu adsorben. Tergantung pada tujuan penggunaannya, adsorben dapat berupa granular (dengan ukuran butir sebesar beberapa mm) atau serbuk (khusus untuk adsorpsi campuran cair). Regenerasi dilakukan untuk memperbaiki kembali daya adsorpsi dari adsorben yang telah dipakai maupun untuk memperoleh kembali bahan yang telah teradsorpsi. Dalam hal ini bahan yang teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan, penurunan tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi, pendesakan dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut (Bernasconi et al., 1995).

Adsorben dapat bersifat polar atau non polar. Silika gel dan alumina adalah contoh adsorben yang bersifat polar. Kedua adsorben tersebut akan mengadsorpsi solut yang bersifat lebih polar daripada solut yang bersifat non polar. Proses adsorpsi yang dipengaruhi oleh sifat polaritas dari adsorben dan


(39)

14

solut berlaku juga dalam fenomena kelarutan. Dalam hal ini zat pelarut yang bersifat polar mempunyai tendensi lebih mudah melarutkan solut yang bersifat polar juga, dan demikian sebaliknya. Dengan adanya sifat atau gejala seperti itu timbulah slogan : like dissolves like (Adnan, 1997).

Urutan adsorben dari yang mempunyai kemampuan adsorpsi besar ke yang kecil adalah sebagai berikut.

1. Alumina

2. Charcoal (arang) 3. Silika gel

4. Magnesia

5. Kalium karbonat

6. Sukrosa

7. Serbuk pati 8. Serbuk selulosa

Aktivitas permukaan dari setiap adsorben berbeda pada sisi yang satu ke sisi yang lain dan dari batch yang satu ke batch yang lain. Perlakuan pendahuluan menurut cara-cara yang ditentukan dapat menghilangkan perbedaan aktivitas tersebut (Adnan, 1997).

Atapulgit banyak digunakan di bidang kesehatan, obat-obatan, dan kosmetik. Jenis lempung ini dipercaya dapat menyerap racun dan bakteri. Atapulgit juga digunakan sebagai bahan baku pasta, salep, dan losion untuk untuk obat luar. Kegunaan lain dari atapulgit adalah sebagai bahan baku dalam

industri kertas NCR (No Carbon Required), yaitu sebagai bahan pelapis

permukaan pada lembaran kertas dan bahan pestisida (Kirk dan Othmer, 1964).

Atapulgit merupakan bahan yang terdiri dari silika, alumunium, magnesium dan lain-lain. Komponen silika berfungsi sebagai katalis sehingga dapat melepas gugus hidroksil dan atom hidrogen yang menyebabkan terjadi ikatan rangkap baru (Mani dan Shitole, 1997 di dalam Zuna, 2004). Aluminium dan magnesium masing-masing dapat berperan sebagai agen anti polimerisasi (Swern, 1982), dan bahan penstabil warna (Michael dan Irene,


(40)

1977 di dalam Maulana, 2004). Komponen-komponen yang terkandung dalam atapulgit disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Komponen-komponen dalam atapulgit

Oksida Persentase (%)

SiO2 55,6-60,5

MgO2 10,7-11,35

Al2O2 9,0-10,1

Fe2O2 5,7-6,7

K2O2 0,96-1,30

MnO2 0,61

CaO2 0,42-1,95

TiO2 0,32-0,63

Na2O2 0,03-0,11

Komponen lain 10,53-11,80

Sumber : www.cnhymc.com (2003)

Atapulgit mempunyai rumus molekul Mg5Si8O20(HO)2(OH2)4.4H2O.

Struktur molekul atapulgit dapat dilihat pada Gambar 3. Struktur atapulgit terdiri dari rantai silika ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk tetrahedral, yang merupakan gugus kurang polar, aluminium dan magnesium berikatan dengan oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang merupakan gugus polar (Grim, 1989). Atapulgit memiliki sifat antara lain memiliki dispersi permukaan yang spesifik, tahan terhadap suhu tinggi, alkali dan garam, serta daya serap dan decoloring tinggi. Selain itu, atapulgit tidak mengandung logam berat sehingga aman digunakan dalam industri pangan (Lansbarkis, 2000). Karakteristik atapulgit dapat dilihat pada Tabel 7.


(41)

16

Gambar 3. Struktur molekul atapulgit (Grim, 1989)

Tabel 7. Karakteristik atapulgit

Nilai koloid (mL/15 g) 55-65

Volume ekspansi (mL/g) 4-6

Luas permukaan spesifik (m2/g) 400-500

Jumlah total pertukaran ion (mg ekuivalen/100 g) 25-50

Kapasitas decoloring (setelah perlakuan) >170

pH 7,5-8,5 Warna Abu-abu

Specific gravity 32-37

Sumber: Lansbarkis (2000)

H. KINETIKA DESORPSI

Desorpsi dipengaruhi oleh pH eluen (Chu dan Hashim, 2001). Dalam hal ini Chu dan Hashim (2001) mendesorpsi tembaga dari rumpul laut yang diimobilisasi dengan polivinil alkohol (PVA). Laju desorpsi meningkat dengan menurunnya pH. Tingginya konsentrasi proton di dalam eluen dapat menggantikan tembaga yang terikat pada sisi aktif rumput laut. Kemungkinan


(42)

terjadi pertukaran ion pada peristiwa tersebut. Faktor lain yang mempengaruhi desorpsi antara lain suhu reaksi, kecepatan pengadukan (Chu et al., 2004), dan

waktu kontak antara adsorben dan eluen (Wankasi et al., 2005). Nilai

konstanta laju desorpsi (kdes) meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi

dan laju pengadukan.

Model kinetika desorpsi Chu dan Hashim (2001) adalah : qe = v1/m1 (Co-Ce)

qt = qe – v2/m2 x Ct

qt/qe = exp (-kdest)

qt/qe = θ exp (-kdest) + (1- θ)

ln qt/qe = -kdest + ln θ + (1-θ) (Wankasi et al., 2005)

Keterangan :

qe = kapasitas beta karoten dalam fase adsorben (µg/g)

qt = kapasitas beta karoten dalam fase adsorben pada lama desorpsi tertentu (µg/g)

v1 = volume olein (mL)

m1 = massa adsorben (g)

Co = konsentrasi beta karoten di dalam olein (µg/mL)

Ce = konsentrasi beta karoten di dalam olein saat adsorben jenuh (µg/mL)

v2 = volume eluen (mL)

m2 = massa adsorben setelah mengadsorpsi beta karoten (g)

Ct = konsentrasi beta karoten di dalam eluen pada lama desorpsi tertentu (µg/mL)

θ = fraksi terdesorpsi

Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang diperlukan untuk terjadinya tumbukan yang efektif (Nur et al., 2000). Dalam hal ini terjadi tumbukan antara molekul beta karoten dengan molekul eluen pada proses desorpsi. Persamaan Arrhenius untuk pengukuran energi aktivasi adalah : k = Ae-Ea/RT

dimana R adalah konstanta gas, T adalah suhu mutlak, k adalah konstanta kecepatan dan Ea adalah energi aktivasi. Faktor A adalah sebuah konstanta


(43)

18

proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan juga orientasi molekuler selama tumbukan.


(44)

III. METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain olein sawit kasar yang diperoleh dari PT. Asianagro Agungjaya Jakarta, atapulgit yang diperoleh dari Engelhard Corporation Iselin, New Jersey, etanol dan heksan pro analys, beta karoten standar (Sigma-Aldrich C9750-56, Type I, Synthetic, 95% UV, 1,6 juta IU vitamin A/g), dan alfa tokoferol standar (Sigma-Aldrich T3251-56, Synthetic, 95% HPLC).

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan gelas (erlenmeyer, tabung reaksi, dan corong); peralatan ukur (pipet mikro,

pipet volumetrik, gelas ukur, termometer, spektrofotometer, High

Performance Liquid Chromatography (HPLC), kolom Zorbax Sil (0,46 x 25 cm), fase gerak isopropanol dalam heksan (0,5:99,5 v/v), laju alir 1 ml/menit dan nilai absorbansi tokoferol adalah 292 nm, stopwatch dan timbangan); serta peralatan pendukung (kertas saring, corong buchner, pompa vakum, filter inlet dan shaker yang dilengkapi dengan waterbath dengan kecepatan 180 rpm dan tiga kondisi suhu, yaitu 40○C, 50○C, dan 60○C).

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu tahapan penelitian dan prosedur percobaan. Tahapan penelitian menjelaskan tentang langkah-langkah yang harus dilalui untuk mencapai tujuan penelitian, sedangkan prosedur percobaan merupakan urutan kegiatan dan tatacara yang secara teknis dikerjakan dalam setiap tahapan penelitian.

1. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) Karakterisasi adsorpsi atapulgit, (2) Penentuan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi), dan (3) Penentuan parameter kinetika desorpsi (konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi aktivasi (Ea))


(45)

20

beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian a. Karakterisasi Adsorpsi Atapulgit

Karakterisasi adsorpsi atapulgit yang dilakukan meliputi bentuk, ukuran, warna visual atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten dan kapasitas adsorpsi atapulgit. Penentuan kapasitas adsorpsi (qe) atapulgit dilakukan untuk menentukan jumlah beta karoten yang dapat diadsorpsi oleh atapulgit secara optimal yang dinyatakan dalam µg/mL (1 IU = 0,6 µg beta karoten). Kondisi yang digunakan adalah kondisi adsorpsi optimum beta karoten yaitu dengan kecepatan

pengadukan 120 rpm pada suhu 60○C selama ± 3 jam. Atapulgit yang

telah mengadsorpsi beta karoten pada kondisi optimum ini digunakan Mulai

Karakterisasi adsorpsi atapulgit

Penentuan parameter kinetika desorpsi isotermal, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) dan energi aktivasi (Ea)

Selesai

Penentuan kondisi kesetimbangan (konsentrasi beta karoten di dalam etanol dan lama desorpsi)


(46)

sebagai bahan untuk percobaan desorpsi. Penentuan kapasitas adsorpsi atapulgit dapat dilihat pada Lampiran 1.

b. Penentuan Kondisi Kesetimbangan

Kondisi kesetimbangan diperoleh berdasarkan hubungan antara lama desorpsi (menit) dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol (µg/mL) sehingga lama desorpsi tidak lagi meningkatkan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Penentuan kondisi kesetimbangan dilakukan pada tiga suhu desorpsi, yaitu 40○C, 50○C, dan 60○C dengan heksan sebagai eluen pembanding.

c. Penentuan Parameter Kinetika Desorpsi

Penentuan parameter kinetika dilakukan pada tiga suhu yang berbeda seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Model kinetika desorpsi diidentifikasi berdasarkan jenis perubahan nilai parameter

kinetika, yaitu konstanta laju desorpsi (kdes) yang diperoleh dari

persamaan Chu dan Hashim (2001). Nilai konstanta laju desorpsi (kdes)

diperoleh dari perpotongan garis linier dengan sumbu x yang merupakan

kemiringan dari hasil regresi linier dari persamaan Wankasi et al.,

(2005). Nilai θ diperoleh menggunakan alat bantu program Mathematica 5.2 for Students. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi (θ) dapat dilihat pada Lampiran 3.

2. Prosedur Percobaan

Atapulgit yang telah mengadsorpsi beta karoten sebanyak 7 g dan 350 mL etanol (1:50) disiapkan di dalam erlenmeyer berukuran 500 mL. Perbandingan atapulgit:etanol (1:50) mengacu pada penelitian Chu dan

Hashim (2001) yang mendesorpsi vitamin E dari Palm Fatty Acid

Distillate (PFAD) dengan menggunakan silika. Selanjutnya, campuran

tersebut dimasukkan ke dalam waterbath dengan kecepatan shaker 180

rpm. Percobaan tersebut dilakukan dalam tiga suhu yang berbeda yaitu 40○C, 50○C, dan 60○C. Reaksi dihentikan pada masing-masing waktu yang diujikan yaitu 2, 4, 6, 8, 10, 12, 16, 18, 24, 40, 80, dan 140 menit. Sampel


(47)

22

yang telah diambil disaring untuk memisahkan antara atapulgit dengan etanol, yang selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang 446 nm. Data hasil perhitungan percobaan desorpsi dapat dilihat pada Lampiran 2. Diagram alir percobaan desorpsi dapat dilihat pada Gambar 5. Kondisi percobaan untuk penentuan parameter kinetika desorpsi disajikan pada Tabel 8.

Gambar 5. Diagram alir percobaan desorpsi

Tabel 8. Kondisi percobaan penentuan parameter kinetika desorpsi Perlakuan Konstanta laju

desorpsi (menit-1)

Energi aktivasi (kkal/mol) Eluen Suhu desorpsi

Etanol

40○C kdes 1

Ea 1

50○C kdes 2

60○C kdes 3

Heksan

40○C kdes 4

Ea 2

50○C kdes 5

60○C kdes 6

Mulai

Pencampuran 7 gram atapulgit dengan 350 mL etanol, kecepatan shaker 180 rpm

(40○C, 50○C, dan 60○C)

Selesai

Pengambilan sampel pada lama desorpsi tertentu (2-300 menit)


(48)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT

Karakterisasi terhadap atapulgit dilakukan untuk mengetahui sifat fisikokimianya. Hasil karakterisasi adsorpsi atapulgit disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Karakteristik adsorpsi atapulgit

Karakteristik

Sifat Sebelum

mengadsorpsi beta karoten

Setelah mengadsorpsi

beta karoten

Bentuk Serbuk Gumpalan

Ukuran (mesh) 150 150

Warna visual Abu-abu Coklat gelap

qe (µg beta karoten/g atapulgit) 0 482,12

Atapulgit yang digunakan dalam percobaan desorpsi adalah hasil dari percobaan adsorpsi yang diperoleh dari ampas hasil saringan campuran atapulgit dengan olein (1:3). Campuran antara atapulgit dengan olein tersebut disaring dengan kertas saring dengan menggunakan pompa vakum. Bentuk atapulgit sebelum mengadsorpsi beta karoten adalah serbuk menjadi berbentuk gumpalan setelah mengadsorpsi beta karoten. Ukuran atapulgit sebelum dan sesudah mengasorpsi beta karoten diasumsikan sama, yaitu 150 mesh. Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa atapulgit yang digunakan dalam penelitian ini memiliki warna coklat gelap yang sebelumnya berwarna abu. Warna gelap menunjukkan bahwa atapulgit yang semula berwarna abu-abu telah mengadsorpsi beta karoten dari olein sawit kasar. Perbedaan warna atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten dapat dilihat pada Lampiran 5.

Sementara itu, berdasarkan data karakterisasi adsorpsi atapulgit pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa nilai qe atapulgit yang telah mengadsorpsi beta karoten sebesar 482,12 µg/g. Nilai qe tersebut menunjukkan kapasitas


(49)

24

adsorpsi atapulgit terhadap beta karoten. Nilai qe sebesar 482,12 µg/g selanjutnya digunakan sebagai nilai kapasitas pada titik nol waktu reaksi untuk percobaan penentuan kinetika desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol.

B. KONDISI KESETIMBANGAN

Kondisi kesetimbangan diperoleh dari hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Hubungan antara lama desorpsi (menit) dengan konsentrasi beta karoten di dalam eluen (µg/mL) selama proses desorpsi ditunjukkan Gambar 6 dan 7. Seiring dengan lamanya desorpsi, maka semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh etanol karena semakin lamanya waktu kontak antara atapulgit dengan etanol. Hal tersebut terjadi sampai lama desorpsi tidak lagi menyebabkan peningkatan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Kondisi tersebut disebut sebagai

kondisi kesetimbangan. Menurut Keenan et al. (1984), suatu keadaan

kesetimbangan kimia terjadi dalam suatu sistem reversibel bila reaksi maju dan balik berlangsung pada laju yang sama.

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150

Lama desorpsi [menit]

K o n s en tr as i bet a k a ro ten [ µ g/ m L ]

Gambar 6. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol ( , suhu 40○C; , suhu 50○C; , suhu 60○C)


(50)

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Lama desorpsi [menit]

K ons e n tr as i b e ta k a rot en [µ g/ m L ]

Gambar 7. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan ( , suhu 40○C; , suhu 50○C; , suhu 60○C)

Berdasarkan Gambar 6, dapat diketahui kondisi kesetimbangan pada masing-masing suhu desorpsi, yaitu kondisi dimana laju pereaksi menjadi hasil reaksi sama dengan laju kebalikannya. Kondisi kesetimbangan yang diperoleh berbeda pada masing-masing suhu desorpsi. Semakin tinggi suhu desorpsi, konsentrasi beta karoten di dalam etanol semakin menurun dan lama untuk mencapai kondisi kesetimbangan semakin lama. Hal tersebut juga terjadi pada desorpsi dengan menggunakan heksan yang dapat dilihat pada Gambar 7.

Dengan demikian, berdasarkan Gambar 6 dan 7 dapat diketahui bahwa suhu dan jenis eluen mempengaruhi kondisi kesetimbangan. Pengaruh suhu dan jenis eluen terhadap kondisi kesetimbangan dapat dilihat pada Tabel 10.


(51)

26

Tabel 10. Konsentrasi beta karoten di dalam eluen dan lama tercapainya kesetimbangan

Perlakuan

Konsentrasi beta karoten pada kondisi kesetimbangan (µg/mL)

Lama tercapainya kesetimbangan

(menit)

Eluen Suhu desorpsi

Etanol

40○C 0,77 70

50○C 0,61 40

60○C 0,33 16

Heksan

40○C 0,61 21,5

50○C 0,40 12,5

60○C 0,23 10,5

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa semakin rendah suhu desorpsi menyebabkan semakin meningkatnya konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi oleh etanol. Kondisi kesetimbangan desorpsi pada suhu 40○C paling lama dicapai yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan desorpsi pada suhu 60○C, masing-masing pada konsentrasi beta karoten di dalam etanol 0,77 µg/mL pada lama desorpsi 70 menit, 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 40 menit, dan 0,33 µg/mL pada lama desorpsi 16 menit. Hal tersebut terjadi karena semakin tinggi suhu, semakin kuat ikatan antara beta karoten dengan atapulgit sehingga semakin sulit didesorpsi oleh etanol. Kuatnya ikatan antara beta karoten dengan atapulgit didukung oleh adanya kemiripan sifat kepolaran. Beta karoten merupakan senyawa non polar, sedangkan atapulgit merupakan senyawa semi polar. Struktur atapulgit terdiri dari rantai silika ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk tetrahedral, yang merupakan gugus kurang polar, aluminium dan magnesium berikatan dengan oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang merupakan gugus polar (Grim, 1989). Berdasarkan sifat ikatan-ikatan tersebut, atapulgit dapat digolongkan sebagai senyawa semi polar. Faktor lain yang menyebabkan semakin meningkatnya suhu, konsentrasi beta karoten di dalam etanol semakin rendah yaitu oksidasi. Semakin tinggi suhu desorpsi, semakin banyak beta karoten yang mengalami oksidasi sehingga semakin rendah jumlah beta


(52)

karoten yang dapat didesorpsi oleh etanol dari atapulgit selama reaksi berlangsung. Proses oksidasi beta karoten didukung oleh struktur molekulnya yang memiliki ikatan ganda sehingga mudah teroksidasi. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Chichester dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Muchtadi, 1992). Oksidasi akan membuka

cincin β-ionon pada ujung molekul karoten sehingga menyebabkan kerusakan

aktifitas karoten tersebut sebagai provitamin A.

Selain itu, berdasarkan Tabel 10 juga dapat diketahui bahwa konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dengan menggunakan heksan mengalami kecenderungan yang sama dengan proses desorpsi beta karoten dengan menggunakan etanol. Semakin rendah suhu desorpsi menyebabkan semakin meningkatnya konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi oleh

heksan. Kondisi kesetimbangan desorpsi pada suhu 40○C paling lama dicapai

yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan desorpsi pada suhu 60○C,

masing-masing pada konsentrasi beta karoten di dalam etanol 0,61 µg/mL pada lama desorpsi 21,5 menit, 0,40 µg/mL pada lama desorpsi 12,5 menit, dan 0,23 µg/mL pada lama desorpsi 10,5 menit. Sebagaimana pada desorpsi beta karoten dengan menggunakan etanol, semakin tinggi suhu, semakin kuat ikatan antara beta karoten dengan atapulgit sehingga semakin sulit untuk didesorpsi oleh heksan. Kuatnya ikatan antara beta karoten dengan atapulgit didukung oleh adanya persamaan sifat kepolaran. Beta karoten merupakan senyawa non polar, sedangkan atapulgit merupakan senyawa semi polar. Faktor lain yang menyebabkan semakin meningkatnya suhu, konsentrasi beta karoten di dalam heksan semakin rendah yaitu oksidasi. Semakin tinggi suhu desorpsi, semakin banyak beta karoten yang mengalami oksidasi sehingga semakin rendah jumlah beta karoten yang dapat didesorpsi oleh heksan dari atapulgit selama reaksi berlangsung.

Tabel 10 juga menunjukkan bahwa pada suhu desorpsi yang sama, kondisi kesetimbangan desorpsi beta karoten dengan menggunakan etanol dicapai pada lama desorpsi yang relatif lama dan konsentrasi beta karoten di dalam etanol relatif tinggi. Di lain pihak, kondisi kesetimbangan desorpsi beta karoten dengan menggunakan heksan dicapai pada lama desorpsi yang lebih


(53)

28

cepat dan konsentrasi beta karoten di dalam heksan lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa etanol merupakan eluen yang lebih baik daripada heksan dalam mendesorpsi beta karoten dari atapulgit.

Kondisi kesetimbangan pada desorpsi dengan menggunakan heksan lebih cepat dicapai disebabkan oleh sifat heksan yang lebih cepat jenuh daripada etanol. Kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam heksan lebih cepat tercapai daripada kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam etanol. Kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam eluen tercapai bila laju penguraiannya sama dengan laju pembentukan kembali dari ion-ionnya (sama dengan Ksp). Dalam keadaan kesetimbangan tersebut, konsentrasi ion-ion beta karoten di dalam eluen tetap (larutan jenuh). Kejenuhan heksan yang relatif cepat tersebut dapat pula disebabkan oleh heksan tidak hanya mendesorpsi beta karoten tetapi bahan lain seperti asam lemak, kotoran, zat warna bukan beta karoten, atau bahan-bahan lainnya.

Dalam proses desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol diperoleh konsentrasi beta karoten lebih besar daripada dengan menggunakan heksan. Hal tersebut disebabkan oleh sifat heksan yang lebih cepat jenuh, sehingga kondisi kesetimbangan lebih cepat dicapai. Faktor lain yang menyebabkan tingginya konsentrasi beta karoten di dalam etanol yaitu adanya perbedaan waktu kereaktifan antara etanol dan heksan dalam mendesorpsi beta karoten dari atapulgit. Heksan lebih cepat reaktif sehingga kondisi kesetimbangan lebih cepat dicapai. Sedangkan etanol membutuhkan waktu relatif lama untuk reaktif sehingga kondisi kesetimbangan lebih lama dicapai. Selain itu, kondisi kesetimbangan juga dipengaruhi oleh jenis adsorben. Dalam hal ini atapulgit bersifat semi polar, beta karoten bersifat non polar, dan etanol bersifat polar. Karena sifat etanol yang polar dan sifat atapulgit yang semi polar, maka etanol dapat berinteraksi dengan atapulgit sehingga lebih mudah melepaskan ikatan antara atapulgit dengan beta karoten.

Pada desorpsi dengan menggunakan etanol maupun heksan, semakin tinggi suhu desorpsi, semakin rendah konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi. Hal tersebut terjadi karena peningkatan suhu reaksi menyebabkan


(54)

meningkatnya fraksi molekul dari beta karoten yang teraktifkan, yaitu fraksi molekul yang menghasilkan tumbukan yang efektif, sehingga meningkatkan terjadinya reaksi. Peningkatan terjadinya proses reaksi desorpsi ini selanjutnya mengakibatkan waktu untuk mencapai kondisi kesetimbangan semakin cepat. Semakin cepatnya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi kesetimbangan, menyebabkan konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi oleh eluen semakin rendah pada kondisi kesetimbangan. Semakin rendah suhu desorpsi, semakin meningkat konsentrasi beta karoten di dalam eluen pada kondisi kesetimbangan, mengindikasikan bahwa proses desorpsi tersebut termasuk reaksi endoterm. Faktor penyebab yang lain yaitu meningkatnya kecepatan difusi dengan meningkatnya suhu desorpsi, sehingga beta karoten lebih cepat larut di dalam eluen. Difusi merupakan hasil gerakan tetap molekul-molekul yang terjadi pada sembarang temperatur di atas nol mutlak (Keenan et al.,1984).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuliarti (2007), kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit

dengan menggunakan isopropanol pada suhu 40○C paling lama dicapai, yang

diikuti oleh desorpsi pada suhu 50○C dan desorpsi pada suhu 60○C. Masing-masing pada konsentrasi beta karoten di dalam isopropanol 1,12 µg/mL pada lama desorpsi 26 menit, 0,99 µg/mL pada lama desorpsi 19 menit, dan 0,82 µg/mL pada lama desorpsi 17,5 menit. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi beta karoten di dalam isopropanol paling tinggi dibandingkan dengan etanol dan heksan. Di lain pihak, proses desorpsi beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol paling lama mencapai kondisi kesetimbangan dibandingkan dengan menggunakan isopropanol dan heksan.

Atapulgit merupakan salah satu jenis lempung yang mengandung silika, aluminium, dan magnesium. Atapulgit mengandung 55,6-60,5 persen SiO2, 10,7-13,35 persen MgO2, dan 9,0-10,1 persen Al2O2. Silika berfungsi

sebagai agen pencegah terjadinya ikatan rangkap baru. Aluminium dan magnesium masing-masing dapat berperan sebagai agen anti polimerisasi dan bahan penstabil warna. Sifat tersebut sangat menguntungkan dalam proses desorpsi beta karoten karena akan mencegah kerusakan struktur molekul beta


(1)

2. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan pada suhu 50

C

t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe

0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000

2 0,0530 0,1694 473,65 0,982 -0,018

4 0,0740 0,2365 470,30 0,975 -0,025

6 0,0860 0,2748 468,38 0,971 -0,029

8 0,1200 0,3835 462,95 0,960 -0,041

10 0,1375 0,4394 460,15 0,954 -0,047

12 0,1290 0,4123 461,51 0,957 -0,044

14 0,1185 0,3787 463,19 0,961 -0,040

3. Tabel data hasil perhitungan percobaan desorpsi dengan menggunakan heksan pada suhu 60

C

t [menit] absorbansi spektrofotometer konsentrasi (Ct) [µg/mL] qt=qe-Ct(v2/m2) [µg/g] qt/qe ln qt/qe

0 0,0000 0,0000 482,12 1,000 0,000

2 0,0155 0,0495 479,64 0,995 -0,005

4 0,0275 0,0879 477,73 0,991 -0,009

6 0,0260 0,0831 477,97 0,991 -0,009

8 0,0640 0,2045 471,89 0,979 -0,021

10 0,0690 0,2205 471,10 0,977 -0,023

12 0,0885 0,2828 467,98 0,971 -0,030


(2)

Lampiran 3. Data hasil perhitungan fraksi terdesorpsi dengan menggunakan

program Mathematica 5.2 for Students

a. Eluen etanol

1. Suhu 40

C

ln qt/qe = -0,0010t – 0,0129

Solve[Log[

θ

]-

θ฀

-1.0129,

θ

]

InverseFunction ::ifun :

Inverse functions are being used . Values may be lost for multivalued inverses . More…

Solve ::ifun :

Inverse functions are being used by Solve , so some solutions may not be found ; use Reduce

for complete solution information . More…

{{

θ→

0.847859},{

θ→

1.16934}}

2. Suhu 50

C

ln qt/qe = -0,0016t – 0,0044

Solve[Log[

θ

]-

θ฀

-1.0044,

θ

]

InverseFunction ::ifun :

Inverse functions are being used . Values may be lost for multivalued inverses . More…

Solve ::ifun :

Inverse functions are being used by Solve , so some solutions may not be found ; use Reduce

for complete solution information . More…

{{

θ→

0.909102},{

θ→

1.09676}}

3. Suhu 60

C

ln qt/qe = -0,0022t + 0,0009

Solve[Log[

θ

]-

θ฀

-0.9991,

θ

]

InverseFunction ::ifun :

Inverse functions are being used . Values may be lost for multivalued inverses . More…

Solve ::ifun :

Inverse functions are being used by Solve , so some solutions may not be found ; use Reduce

for complete solution information . More…


(3)

b. Eluen heksan

1. Suhu 40

C

ln qt/qe = -0,0022t – 0,0183

Solve[Log[

θ

]-

θ฀

-1.0183,

θ

]

InverseFunction ::ifun :

Inverse functions are being used . Values may be lost for multivalued inverses . More…

Solve ::ifun :

Inverse functions are being used by Solve , so some solutions may not be found ; use Reduce

for complete solution information . More…

{{

θ→

0.820689},{

θ→

1.2037}}

2. Suhu 50

C

ln qt/qe = -0,0026t – 0,0091

Solve[Log[

θ

]-

θ฀

-1.0091,

θ

]

InverseFunction ::ifun :

Inverse functions are being used . Values may be lost for multivalued inverses . More… Solve ::ifun :

Inverse functions are being used by Solve , so some solutions may not be found ; use Reduce

for complete solution information . More…

{{

θ→

0.87109},{

θ→

1.14104}}

3. Suhu 60

C

ln qt/qe = -0,0023t + 0,0005

Solve[Log[

θ

]-

θ฀

-0.9995,

θ

]

InverseFunction ::ifun :

Inverse functions are being used . Values may be lost for multivalued inverses . More…

Solve ::ifun :

Inverse functions are being used by Solve , so some solutions may not be found ; use Reduce

for complete solution information . More…


(4)

Lampiran 4. Penentuan energi aktivasi (Ea)

Regresi linier untuk menentukan Ea:

k

des

= Ae

-Ea/RT

ln k

des

= -(Ea/RT) + ln A

ln k

des

= -(1/T)(Ea/R) + ln A

Kurva hubungan antara 1/T dengan ln k disajikan pada gambar berikut

Gambar regresi linier hubungan 1/T dengan ln k

des

Contoh perhitungan energi aktivasi pada eluen etanol :

Ea/R

= 4119,6665

R

= 1,987 kal/mol K

Ea

= 4119,6665 x 1,987

Ea

= 8,186 kkal/mol

Kemiringan = -Ea/R

1/T

ln k

des


(5)

Lampiran 5. Atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten

Gambar atapulgit sebelum (kiri) dan setelah (kanan) mengadsorpsi beta karoten


(6)

Gambar

High Performance Liquid Chromatography

(HPLC),

detektor

ultraviolet (UV), kolom Zorbax Sil dengan ukuran 250 x 4,6 mm.