Aseton 56,20 - 56,50
Ethilen dikhlorida 83,50
Etil alkohol etanol 78,30 - 78,40
Heksan 68,64 - 69,00
Isopropil alkohol 82,30
Metanol 64,70 - 65,00
E. Kinetika Desorpsi
Desorpsi adalah peristiwa pelepasan kembali bahan yang telah diserap oleh adsorben Kirk dan Othmer, 1963. Keberhasilan proses desorpsi sangat
tergantung dari kondisi proses, baik lamanya proses, suhu, maupun jenis adsorben yang digunakan Latip, et al., 2001, jenis eluen yang digunakan
Adnan, 1997 serta metode adsorpsi yang digunakan untuk proses pemisahan Chu et al., 2003.
Bahan yang telah teradsorpsi dikeluarkan dengan cara pemanasan, penurunan tekanan, pencucian dengan bahan yang tak dapat diadsorpsi,
pendesakan dengan bahan yang dapat teradsorpsi lebih baik ataupun dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut Bernasconi et al., 1995.
Fenomena terlepasnya solut dari adsorben oleh pelarut karena tendensi kelarutannya disebut elusi non protonic solvent. Selain itu terjadi juga
fenomena displacement penggeseran tempat, karena adanya kompetisi adsorben solut dan pelarut terhadap adsorben protonic solvent, seperti
alkohol Adnan, 1997. Kinetika desorpsi ditunjukkan oleh nilai konstanta laju pelepasan k
des
Wankasi et al., 2005. Nilai k
des
dipengaruhi oleh suhu dan kecepatan pengadukan. Peningkatan nilai k
des
seiring dengan meningkatnya suhu dan kecepatan pengadukan Chu et al., 2004. Nilai k
des
dan energi aktivasi menunjukkan parameter kinetika desorpsi.
Penentuan konstanta laju desorpsi k
des
diperoleh dari hubungan antara lama desorpsi t dengan ln rasio konsentrasi -karoten dalam atapulgit
setelah desorpsi dan konsentrasi -karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi ln q
t
q
e
.
Banyaknya -karoten yang teradsorp dihitung menggunakan
persamaan berikut:
e o
e
C C
v q
− =
m
q
e t
− =
......................……………………………………………1
q
e
= konsentrasi -karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi µgg saat kesetimbangan
C
e
= konsentrasi -karoten dalam olein µgmL saat kesetimbangan C
o
= konsentrasi -karoten dalam olein pada saat awal adsorpsi µgmL v
= volume olein mL m
= massa atapulgit g Nilai konsentrasi -karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi digunakan
sebagai nilai konsentrasi -karoten pada saat awal desorpsi. Banyaknya - karoten yang tersisa pada atapulgit setelah desorpsi sebagai fungsi waktu
dihitung menggunakan persamaan keseimbangan massa ditunjukkan pada persamaan 2 sebagai berikut:
m v
q
t
C ......………………………………………………………2
q
t
= konsentrasi -karoten dalam atapulgit setelah desorpsi µgg setiap lama desorpsi menit tertentu
C
t
= konsentrasi -karoten dalam larutan µgmL setiap lama desorpsi menit tertentu
v = volume eluen mL
m = massa atapulgit yang telah menyerap -karoten g
Kinetika desorpsi digambarkan oleh orde semi pertama persamaan yang digunakan oleh Chu dan Hashim 2001 dan dinyatakan dalam
persamaan 3 sebagai berikut:
exp q
q
e t
− =
t k
des
......………………………………………………………...3
k
des
= konstanta laju desorpsi orde semi pertama menit
-1
Persamaan 3 dimodifikasi dengan faktor terdesorpsi θ dan fraksi
tidak terdesorpsi 1- θ menjadi persamaan 4 sebagai berikut:
1 exp
θ θ
− +
− =
t k
q
des t
q .....……………………………………………...4
e
Persamaan 4 merupakan persamaan laju desorpsi orde semi pertama. Persamaan tersebut dilogaritmakan natural ln menghasilkan persamaan
garis lurus 5 Wankasi et al., 2005 sebagai berikut : 1
θ θ
− +
− t
k
des
....………………………………………………5 ln
ln =
q q
e t
Pendugaan tingkat kesesuaian model Wankasi dengan data percobaan ditentukan berdasarkan persamaan garis lurus yaitu regresi linier, dengan
mempertimbangkan koefisien determinasi r
2
. Regresi linier merupakan persamaan matematika yang menduga hubungan antara satu peubah bebas
X dengan satu peubah tak bebas Y, dimana hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai suatu garis lurus Mattjik dan Sumertajaya, 2000.
Untuk kasus desorpsi, X adalah lama desorpsi, sedangkan Y adalah ln rasio konsentrasi -karoten dalam atapulgit setelah desorpsi dan konsentrasi -
karoten dalam atapulgit setelah adsorpsi. Koefisien determinasi r
2
adalah ukuran kesesuaian model persamaan regresi linier yang dihasilkan, yaitu kemampuan model menerangkan
keragaman nilai peubah Y. Semakin besar nilai koefisien determinasi berarti model semakin mampu menerangkan perilaku peubah Y. Nilai koefisien
determinasi tersebut berkisar mulai dari 0 sampai 1 Mattjik dan Sumertajaya, 2000.
Laju desorpsi berkaitan erat dengan terjadinya proses desorpsi. Peningkatan laju desorpsi dapat dilakukan dengan mendapatkan jalannya
desorpsi dengan energi aktivasi yang rendah. Hubungan antara konsentrasi - karoten, suhu desorpsi, dan energi aktivasi dengan laju desorpsi, kemudian
secara kuantitatif dirumuskan oleh Svante Arrhenius 1889 menjadi sebuah
persamaan yang dikenal dengan persamaan Arrhenius. Persamaan Arrhenius tersebut adalah sebagai berikut:
T A
− ……………………………………………………...6
Ea exp
k =
R k adalah konstanta laju , E
a
adalah energi aktivasi, R adalah konstanta gas dan T adalah suhu mutlak. Faktor A merupakan sebuah konstanta
proporsionalitas yang besarnya tergantung dari frekuensi tumbukan dan orientasi molekul selama tumbukan. Persamaan Arrhenius ini bermanfaat
untuk menentukan nilai energi aktivasi dari pengukuran konstanta laju pada berbagai kondisi suhu Petrucci, 1992; Saeni, 1989.
Berdasarkan uraian mengenai kinetika desorpsi ini, maka diketahui pentingnya penentuan kinetika desorpsi, yaitu untuk mengetahui lamanya dan
mekanisme desorpsi. Selain itu, penentuan kinetika desorpsi dengan menggunakan bentuk persamaan model Wankasi bertujuan untuk
memperoleh nilai konstanta laju desorpsi k
des
dan energi aktivasi E
a
dari suatu proses desorpsi. Hasil kinetika desorpsi tersebut selanjutnya berguna
untuk menetapkan kondisi proses, metoda pengendalian, dan kebutuhan peralatan dan teknologi suatu proses desorpsi, sehingga dapat dimanfaatkan
untuk merancang proses yang sesuai.
III. METODOLOGI A.