Latar Belakang Eksistensi Kuasa Menjual Obyek Jaminan Dalam Perjanjian Kredit (Studi Pada PT. Bank Ekonomi Raharja, Tbk. Cabang Medan)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Manusia adalah mahluk sosial” hal tersebut memiliki arti bahwa di dalam kehidupan kesehariannya manusia tersebut tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan dari manusia lainnya. Dengan kata lain bahwa manusia tersebut haruslah berhubungan dengan manusia lain, baik secara langsung maupun tidak langsung dan hubungan tersebut pada akhirnya menimbulkan suatu ikatan tertentu antara manusia satu dan lainnya yang memiliki suatu ketergantungan akibat adanya kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi lewat manusia lain. Hubungan tersebut pada awal peradaban manusia pada zaman purba dimulai dengan sistem barter yaitu sistem tukar menukar barang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka satu sama lain. Seiring dengan kemajuan peradaban manusia, kemudian diciptakan suatu alat tukar yang sah yaitu uang dan kemudian dengan uang hubungan tersebut menjadi semakin kompleks. Semakin kompleks karena dengan adanya uang maka kemudian timbul berbagai macam sistem perjanjian yang dibuat oleh manusia itu sendiri sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Perjanjian yang dilakukan tersebut pada awalnya hanya bersifat lisan dan praktis saja, tata caranya juga tidak baku, serta dibuat atas sekehendak hati mereka, karena keterbatasan manusia pada masa itu, sehingga masing-masing membuat perjanjian sesuai dengan kehendak mereka yang berbeda-beda antara satu dan lainnya Universitas Sumatera Utara sehingga pada tiap-tiap perjanjian yang mereka buat tersebut kadangkala tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka. Seiring kemajuan peradaban manusia, manusia kemudian menjadi semakin mengerti dan semakin memperbaharui sistem perjanjian yang ada yang pada akhirnya pengaturan tentang perjanjian tersebut diserahkan pada penguasa yaitu pemimpin negara demi kepentingan seluruh masyarakat yang dipimpinnya sehingga pada saat ini telah banyak aturan-aturan atau perundang-undangan yang dibuat oleh pemimpin masing-masing negara demi kepentingan masyarakatnya, termasuk salah satunya adalah Negara Indonesia, yang membuat salah satu undang-undangnya dari hasil adopsi undang-undang Negara Belanda, yang dahulu pernah menjajah negara kita, yaitu Burgerlijk Wetboek untuk selanjutnya disebut BW. Sebelum kita memasuki lebih jauh perihal perjanjian atau persetujuan ada baiknya kita harus mengerti lebih dahulu pengertian dasar atau defenisi dari perjanjian atau persetujuan tersebut yang diambil dari dasar hukum perihal perjanjian atau perikatan itu sendiri yaitu dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk selanjutnya disebut KUH Perdata tentang Perikatan. Pasal 1313 BW mengatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 satu orang lain atau lebih”. Dengan kata lain bahwa dengan adanya suatu perjanjian atau persetujuan untuk selanjutnya disebut perjanjian saja maka seseorang atau lebih mengikatkan dirinya pada seorang lain atau lebih lainnya. Universitas Sumatera Utara Dari perjanjian yang telah dilakukan tersebut, maka melahirkan suatu perikatan atau “verbintenis” bahasa Belanda, yang artinya suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban, suatu hak untuk menuntut sesuatu dan disebelah lain suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Istilah lain dari perikatan dalam bahasa Inggris, yaitu “Obligation” yang dipakai untuk melukiskan hal yang sama, secara kurang lengkap hanya menunjuk pada satu sudut dari hubungan yang timbal balik itu, yaitu sudut kewajibannya, meskipun adanya suatu kewajiban mengandung pengertian bahwa di sudut lain ada suatu hak. 1 Perikatan sebagaimana dimaksudkan di atas, merupakan suatu pengertian abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita, maka dengan seorang atau lebih melakukan suatu perjanjian ia dengan sendirinya secara langsung akan mengikatkan dirinya pula terhadap mana ia melakukan perjanjian tersebut. Mengikatkan diri maksudnya bahwa dengan melakukan perjanjian tersebut, maka merekapun melakukan suatu perikatan tertentu, oleh satu pihak terhadap pihak lainnya diantara mereka. Sehingga dapat kita ambil suatu pengertian bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian. Dengan perkataan lain, perjanjian adalah sumber, bahkan sumber utama dari perikatan. Karena disamping itu, masih ada sumber-sumber lainnya yang juga bisa melahirkan perikatan. Secara tepatnya, dapat dirumuskan bahwa perikatan itu dilahirkan dari perjanjian, undang-undang dan hukum tak tertulis. 2 Dasar hukum dari pernyataan di atas dapat kita lihat di dalam Pasal 1233 KUH Perdata, yang isinya menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang. 1 Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 2. 2 Ibid, hal. 3. Universitas Sumatera Utara Perikatan adalah suatu pengertian abstrak dalam arti tidak dapat dilihat dengan mata dan suatu perjanjian adalah peristiwa atau kejadian yang kongkritnya. 3 Pengertian lain dari perikatan dikemukakan oleh L. C. Hofmann, yaitu sebagai berikut “suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seseorang atau beberapa orang dari padanya Debitur atau para Debitur mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, berhak atas sikap yang demikian itu”. 4 Dari pengertian perjanjian dan perikatan sebagaimana tersebut di atas maka dapat pula dikatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa nyata dan sumber utama dari lahirnya suatu perikatan tertentu yang dilakukan oleh seseorang atau lebih terhadap seorang atau lebih lainnya. Perjanjian yang telah diperbuat tersebut memiliki akibat hukum pula bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Akibat hukum maksudnya bahwa apabila isi perjanjian tidak dilaksanakan oleh para pihak, maka pihak yang lain yang merasa dirugikan akibat tidak dilaksanakannya isi perjanjian tersebut dapat saja menuntut secara hukum, sebab kedudukannya dilindungi secara hukum oleh undang-undang. Sehingga oleh karena hal tersebut, maka para pihak yang turut serta dalam perjanjian tersebut, wajib dan harus mematuhi serta melaksanakan seluruh isi dari 3 Ibid, hal. 3. 4 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 1, dikutip dari buku L. C. Hofmann, Het Nederlands Verbintenissenrecht, Eerstegedeelte, Wolters-Nortdhoff, NV Groningen , 1968, hal. 3. Universitas Sumatera Utara perjanjian tersebut tanpa terkecuali, karena hal tersebut telah menjadi hukum atau undang-undang tersendiri khusus bagi mereka secara intern. Tentang hal tersebut diatas dilindungi oleh undang-undang, karena telah dicantumkan dengan tegas dalam salah satu peraturan perundang-undangan kita, yaitu KUH Perdata. Hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam beberapa pasal di dalam undang-undang KUH Perdata, antara lain : Pasal 1338 ayat 1 dan ayat 2 yang isinya bahwa : 1 Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 2 Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Selain pasal di atas, hal tersebut juga dinyatakan dengan tegas kembali di dalam Pasal 1340 KUH Perdata yang isinya bahwa : 1 Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. 2 Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang telah diatur dalam Pasal 1317. Sedangkan Pasal 1317 KUH Perdata isinya adalah sebagai berikut 1 Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh Universitas Sumatera Utara seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. 2 Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya. Dari ketiga pasal tersebut di atas, maka dapat diambil suatu pengertian tentang perjanjian bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak dengan sendirinya menjadi hukum dan peraturan yang khusus hanya berlaku secara intern dan mengikat diantara mereka, serta memiliki akibat hukum tertentu, apabila isi perjanjian tersebut dilanggar. Pada umumnya, perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan, dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu, undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk tersebut tidak dituruti, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian tersebut itu. Misalnya perjanjian kredit, perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas, dan lain-lain. 5 Seiring dengan kemajuan zaman dan peradaban manusia, maka perjanjian tersebut semakin kompleks pula. Semakin kompleks karena perjanjian tersebut tidak lagi hanya meliputi hal perjanjian tukar-menukar barter, perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, atau perjanjian kerja saja. Namun juga telah sampai kepada hubungan perjanjian yang lebih jauh lagi yaitu perjanjian pinjaman uang atau perjanjian kredit. 5 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65. Universitas Sumatera Utara Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia memberikan pinjaman uang kepada yang memerlukannya. Sebaliknya, pihak peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan tertentu, melakukan peminjaman uang tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pihak peminjam meminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman untuk membiayai kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, atau untuk memenuhi keperluan dana guna pembiayaan kegiatan usahanya. Dengan demikian, kegiatan pinjam-meminjam uang sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat saat ini. 6 Dalam pembahasan kali ini, yang bertindak sebagai pihak peminjam adalah individu perorangan atau suatu lembaga yang diatas-namakan pada nama seseorang, yang kemudian sering disebut dengan Debitur, sedangkan pihak pemberi pinjaman adalah suatu lembaga atau badan tertentu, yang sering disebut dengan istilah Bank. Bunyi Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa salah satu dasar yang cukup jelas bagi bank mengenai keharusan adanya suatu perjanjian kredit adalah dimana disebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara pihak Bank dengan pihak lain. Pencantuman kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam di dalam defenisi atau pengertian kredit sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang tersebut di atas mempunyai beberapa maksud antara lain : a. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit bank adalah hubungan kontraktual antara bank dengan nasabah Debitur yang berbentuk pinjam-meminjam. Dengan demikian bagi hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga tentang Perikatan Pada Umumnya sebagaimana yang termaktub dalam KUH Perdata; b. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Kalau semata-mata hanya dari 6 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 1. Universitas Sumatera Utara bunyi Ketentuan Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang tersebut, maka sulit kiranya untuk menafsirkan bahwa Ketentuan tersebut memang menghendaki agar pemberian kredit bank harus diberikan berdasarkan perjanjian tertulis. Namun Ketentuan Undang-Undang tersebut harus dikaitkan dengan Instruksi Presedium Kabinet No. 15 EK IN 10 1966 tanggal 3 Oktober 1966 jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2 539 UPK Pemb., tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2 649 UPK Pemb., tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presedium Kabinet Ampera No.10 EK IN 2 1967 tanggal 6 Pebruari 1967, yang menentukan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk akad perjanjian kredit. 7 Dalam hal ini perjanjian dengan segala syaratnya dan hal lain yang berkaitan dengan masalah tersebut telah diatur oleh undang-undang tersendiri yang dibuat oleh Pemerintah agar dipatuhi oleh masyarakat umum untuk kebaikan seluruh pihak. Sehingga dalam hal perjanjian pinjaman uang atau hutang-piutang ini memiliki cara atau aturan tertentu sesuai perintah undang-undang yang mana seluruh pihak wajib mematuhinya. Hal ini dapat terjadi karena dengan kemajuan zaman dan semakin kompleksnya pola hidup masyarakat, maka kebutuhan manusia akan uang semakin meningkat sehingga manusia kemudian dengan sendirinya akan berusaha mencari cara untuk dapat memenuhi kebutuhannya terhadap uang, untuk membiayai kebutuhan terutama dalam kebutuhan usaha. Sehingga salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pinjaman meminjam kepada orang atau badan tertentu yang dapat memenuhi kebutuhannya akan uang tersebut. 7 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia , Jakarta, 1993, hal. 180-181. Universitas Sumatera Utara Cara-cara tersebut, antara lain dengan memberikan suatu kepercayaan tertentu terhadap orang lain atau badan tertentu yang dapat memenuhi kebutuhan akan sejumlah uang yaitu dengan melalui cara-cara tertentu, agar orang lain atau badan tertentu tersebut akan memberikan pinjaman dana yang dibutuhkannya pada dirinya. Tindakan tersebut misalnya, memberikan barang miliknya sebagai jaminan bahwa uang yang dipinjamkan, pasti akan dibayar kembali kepada si pemberi pinjaman. Jaminan tersebut sangat penting artinya karena dengan adanya jaminan maka kedua belah pihak merasakan kenyamanan. Di satu pihak si pemberi pinjaman untuk selanjutnya disebut Kreditur merasa nyaman, karena dengan adanya barang jaminan yang diberikan si peminjam untuk selanjutnya disebut Debitur maka dapat meyakinkan dirinya bahwa uang miliknya akan dikembalikan si peminjam dan jika si peminjam melalaikan kewajibannya untuk melunasi hutangnya, maka Kreditur dapat menjual barang yang dijadikan jaminan tersebut untuk melunasi hutang Debitur pada dirinya. Kewajiban untuk menyerahkan suatu barang tertentu sebagai jaminan atas hutang Debitur terhadap sejumlah uang yang dipinjam oleh Debitur terhadap Kreditur, sangat terkait dengan kesepakatan di antara pihak-pihak yang melakukan pinjam-meminjam uang. Pada umumnya pihak Kreditur mensyaratkan adanya jaminan hutang sebelum memberikan pinjaman uang kepada Debitur. Sementara itu, keharusan penyerahan jaminan hutang tersebut sering pula diatur atau disyaratkan oleh peraturan intern pihak Kreditur dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Universitas Sumatera Utara Dalam pemberian pinjaman, pihak Kreditur selalu mencari sarana jaminan yang lebih baik atas piutang yang diberikannya kepada Debitur. Selain itu, Kreditur juga melihat sarana pengambilan pelunasan atas piutangnya terhadap Debitur, dalam hal Debitur melalaikan kewajibannya untuk melunasi hutangnya tersebut karena sesuatu hal misalnya karena Debitur wanprestasi. Pada umumnya di masa sekarang ini pihak yang menjadi Kreditur adalah suatu badan atau lembaga tertentu yaitu badan atau lembaga keuangan yang biasa disebut dengan Bank maupun badan usaha lainnya bukan Bank namun tetap bergerak di bidang keuangan, misalnya lembaga atau badan perkreditan, koperasi, dan lain sebagainya. Badan usaha tersebut umumnya secara tegas memberikan syarat kepada pihak Debitur untuk menyerahkan suatu barang benda sebagai objek jaminan hutang Debitur kepada Kreditur. Jaminan hutang yang diajukan Debitur tersebut kemudian akan dinilai badan usaha atau Kreditur tersebut sebelum diterima oleh Kreditur sebagai objek jaminan atas pinjaman yang diberikannya. Penilaian tersebut meliputi beberapa aspek penilaian yaitu penilaian dari segi hukum dan penilaian dari segi ekonomi, yang kemudian diharapkan dari penilaian tersebut akan dapat disimpulkan kelayakan bendabarang jaminan tersebut dapat digunakan sebagai jaminan hutang bila Debitur cidera janji. Berdasarkan penilaian tersebut pula diharapkan akan dapat disimpulkan kelayakan dari objek jaminan tersebut untuk dapat dijadikan sebagai jaminan hutang yang baik dan berharga terhadap pinjaman yang diberikan Kreditur kepada Debitur. Universitas Sumatera Utara Jaminan pinjaman yang telah disetujui oleh Kreditur tersebut memiliki beberapa fungsi antara lain untuk mengamankan pelunasan pinjaman atau kredit untuk selanjutnya disebut kredit saja apabila Debitur wanprestasi atau cidera janji sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar hutangnya berikut bunga maupun biaya lain yang timbul akibat perjanjian itu, sebagaimana diuraikan dalam akta perjanjian mereka. Sehingga, bila kredit yang diterima Debitur tersebut tidak dilunasinya dan disimpulkan sebagai kredit macet, jaminan hutang yang diterima Kreditur akan dicairkan untuk pelunasan kredit macet tersebut. Dengan demikian, dalam hal ini jaminan kredit memiliki peranan yang sangat penting bagi pengamanan pengembalian dana Kreditur yang telah disalurkannya kepada pihak Debitur melalui pemberian kredit tersebut sebelumnya. Dalam praktik perbankan, dapat diperhatikan tentang terjadinya penjualan pencairan objek jaminan kredit yang dilakukan untuk memperoleh kembali pelunasan uang yang dipinjamkannya karena Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank sesuai dengan Perjanjian Kredit. Hasil dari penjualan jaminan kredit ini kemudian akan digunakan untuk melunasi hutang Debitur, sehingga diharapkan akan dapat meminimalkan kerugian Bank dan juga untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang perbankan. Agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan oleh Bank terutama dalam hal pencairan atau penjualan jaminan kredit, maka perlu dilakukan upaya-upaya pengamanan antara lain dengan melakukan pengikatan objek jaminan kredit secara Universitas Sumatera Utara sempurna melalui ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang lembaga jaminan. Hal ini terutama untuk kepentingan Kreditur agar jangan sampai ia dirugikan oleh karena Debitur yang mengalami wanprestasi sehingga tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam membayar kredit pinjaman Debitur pada Kreditur. Terdapat juga suatu objek jaminan kredit yang sama sekali tidak diikat melalui suatu lembaga jaminan. Dalam hal ini, Bank tidak melakukan pengikatan objek jaminan berdasarkan pertimbangan tertentu antara lain berkaitan dengan pemberian kredit mikro yang nilai kreditnya relatif kecil, jangka waktu kredit yang pendek, dokumen jaminan kredit yang tidak memenuhi persyaratan, beban biaya pengikatan yang tidak seimbang dengan jumlah kredit yang disetujui, dan lain sebagainya. Terhadap objek jaminan yang tidak diikat melalui suatu lembaga jaminan, Bank biasanya menempuh kebijaksanaan antara lain berupa penyerahan surat kuasa menjual oleh Debitur kepada Bank. 8 Berdasarkan penjelasan Pasal 8 Undang- Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Bank dimungkinkan menerima agunan berupa tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain sejenisnya, sementara pengikatan jaminan atas tanah tersebut tidak dapat dilakukan dengan Hak Tanggungan, maka Bank kadangkala menggunakan Kuasa Menjual untuk mengikat objek jaminan atas tanah dengan bukti kepemilikan yang belum bersertifikat. Dalam praktek perbankan, akta pengakuan hutang dan kuasa menjual dibuat secara terpisah, dan kuasa menjual dibuat sebagai jaminan, bilamana jika Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Kreditur, maka Kreditur dapat langsung menjual bidang tanah kepada pihak lain dan hasil penjualannya untuk melunasi hutang Debitur kepada Kreditur. 9 8 Ibid, hal. 141-143. 9 Pieter Latumeten, Kebatalan dan Degradasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya, Makalah, Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, Surabaya, 2009, hal. 18. Universitas Sumatera Utara Perkembangan pemberian kuasa secara luas dengan berdasarkan asas kebebasan berkontrak tersebut merupakan kenyataan bahwa dengan semakin luasnya penggunaan lembaga kuasa, maka semakin banyak pula masalah yang timbul berkaitan dengan itu yang perlu mendapat penyelesaiannya. 10 Semakin banyak masalah yang timbul, karena semakin kompleks pola hidup masyarakat kita yang diakibatkan pengaruh kemajuan zaman dan teknologi yang akhirnya mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk salah satunya aspek hukum, terutama hukum perdata dan hukum di bidang perbankan dan termasuk salah satunya penggunaan lembaga kuasa ini. Adanya pemberian Kuasa Menjual dari pemberi jaminan kepada Kreditur adalah dimaksudkan untuk memberikan kepastian agar kewajiban Penerima kuasa benar-benar dapat terlaksana, dibuat dengan klausal perjanjian hutang-piutang, dan berdasarkan asas kebebasan berkontrak serta atas dasar kehendak kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dilakukan secara sadar, dan oleh orang yang cakap dalam hukum dewasa, waras, berakal sehat, tidak berada dibawah pengampuan, dan lainnya bukan karena keterpaksaan, kekeliruan, dibawah ancaman atau hal lain yang dilarang oleh undang-undang maupun peraturan lainnya yang dapat menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum karena telah melanggar undang-undang maupun peraturan lainnya. 10 M.U. Sembiring, Beberapa Masalah Tentang Kuasa, dalam Komar Andasasmita, Notaris I Peraturan Jabatan, Kode Etik dan Asosiasi NotarisNotariat, Ikatan Notaris Indonesia, Daerah jawa Barat, 1991, hal. 647. Universitas Sumatera Utara Hal tersebut diatas dituangkan di dalam Pasal 1320, Pasal 1321, Pasal 1330, serta Pasal 1338 ayat 3 dari KUH Perdata. Dengan kata lain bahwa pasal-pasal tersebut di atas adalah dasar hukum dari sahnya suatu perjanjian menurut undang- undang, termasuk dalam hal ini adalah perjanjian di dalam pemberian Kuasa Menjual, yaitu kekuasaan untuk mampu atau dapat menjual jaminan yang diberikan oleh Debitur atau pihak ketiga demi kepentingan Debitur sendiri kepada Kreditur. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata diuraikan 4 empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Syarat a dan b disebut syarat subjektif, sedangkan syarat c dan d disebut syarat objektif. Hal tersebut mengandung arti bahwa apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat meminta supaya perjanjian dibatalkan melalui pengadilan. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, artinya perjanjian sejak semula dianggap tidak pernah ada. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan dwang, kekeliruan dwaling dan penipuan bedrog. Universitas Sumatera Utara Sepakat dapat juga mengandung arti pertemuan antara kedua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Sehingga dalam hal ini yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa yang dimaksud dengan kesepakatan di sini menurut Pasal 1320 KUH Perdata, adalah sepakat pada saat lahirnya perjanjian, bukan pada saat pelaksanaannya. 11 Dalam Pasal 1321 KUH Perdata dikatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Kekhilafan menurut Pasal 1321 KUH Perdata yaitu bahwa “kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian”. Menurut Pasal 1323 KUH Perdata, paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat. Dan pasal 1324 KUH Perdata yang menyatakan bahwa paksaan telah terjadi apabila perbuatan tersebut sedemikian rupa, hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan mengandung makna sebagaimana tercantum dalam dasar hukum Pasal 1329 KUH Perdata yang menyatakan bahwa 11 J. Satrio, Hukum Jaminan-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 164- 166. Universitas Sumatera Utara “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh undang - undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Pasal 1330 KUH Perdata menguraikan bahwa tak cakap untuk membuat suatu perjanjian: 1. Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3. Orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undan-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang untuk membuat perjanjian tertentu. Orang-orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 330 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.” Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan menurut Pasal 433 KUH Perdata dinyatakan bahwa “setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh dibawah pengampuan karena keborosannya.” Mengenai orang perempuan tidak cakap dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang sudah mulai bergeser dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963. SEMARI Nomor 3 Tahun 1963 menetapkan bahwa Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata Universitas Sumatera Utara tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan tindakan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah memberikan ketentuan yang mengatur mengenai kecakapan seorang isteri. Pasal 31 sub 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan, baik suami maupun isteri berhak melakukan perbuatan hukum. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut secara lebih lengkapnya diuraikan sebagai berikut : “hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.” 12 Sehingga di dalam praktek perbankan, khususnya yang terjadi saat ini, seorang isteri sudah dapat mengajukan kredit ke bank dengan ketentuan ada persetujuan dari suaminya, tidak lagi harus seorang suami saja yang berhak untuk mengajukan kredit ke bank. Perihal suatu hal tertentu berhubungan dengan adanya pemenuhan suatu prestasi atas perikatan tersebut, oleh Ridwan Syahrani dalam bukunya berjudul “Seluk Beluk Dan Azas-Azas Hukum Perdata,” bahwa prestasi dari suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut : 12 Mgs. Edy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1989, hal. 22. Universitas Sumatera Utara 1. Harus diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan Pasal 1335 KUH Perdata; 2. Harus tertentu atau dapat ditentukan, artinya harus terang dan jelas Pasal 1320 ayat 3 dan Pasal 1333 KUH Perdata; 3. Harus mungkin dilakukan, artinya mungkin dilaksanakan menurut kemampuan manusia. Jika prestasinya secara objektif tidak akan timbul perikatan. Sedangkan jika prestasinya secara subjektif tidak mungkin dilaksanakan maka tidaklah demikian. 13 Perihal sebab yang halal, di dalam pasal 1321 KUH Perdata dikatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Dan pada Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata diuraikan pula bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam hal ini, itikad baik tersebut harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Kuasa Menjual dalam prakteknya diberikan guna kepentingan Kreditur, maka pada umumnya Kuasa Menjual tersebut dibuat dengan tidak mengindahkan syarat-syarat berakhirnya kuasa sebagaimana dimaksud Pasal 1813 KUH Perdata, yang isinya sebagai berikut : pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa; dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya pemberi kuasa maupun si kuasa; dengan perkawinannya si perempuan yang memberi atau menerima kuasa. Keberatan utama pada kuasa yang tidak dapat dicabut kembali terletak bukan pada penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 1814 KUH Perdata atau pada keadaan diperlukan untuk diberikannya kuasa tersebut, melainkan lebih pada pelanggaran terhadap hak kebebasan individu untuk menentukan. Pada kuasa mutlak, kedudukan 13 Ridwan Syahrani, Ibid, hal. 205. Universitas Sumatera Utara hukum seseorang pemberi kuasa ditentukan oleh orang lain Penerima Kuasa sehingga kebebasannya menentukan sendiri menjadi hilang. 14 Perjanjian jaminan yang dibuat antara Kreditur dengan Debitur maupun yang dibuat oleh pihak ketiga yang masuk atau turut serta ke dalam perjanjian tersebut, adalah bertujuan untuk memberikan keamanan dan kepastian hukum atas pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok. Hal tersebut terutama untuk menjaga kepentingan Kreditur yang beritikad baik dalam memberikan bantuan kredit kepada Debitur, agar jangan sampai Debitur melalaikan kewajibannya dalam membayar kredit yang diberikan Kreditur sebagaimana telah diperjanjikan di antara mereka sebelumnya. Adapun perjanjian jaminan pada umumnya yang dilakukan berdasarkan lembaga jaminan yang telah diatur didalam peraturan perundang-undangan adalah Gadai, Hipotik, Hak Tanggungan, dan Fidusia, serta jenis lembaga jaminan lainnya yang diatur oleh undang-undang. Adanya lembaga jaminan yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut diatas kemudian menimbulkan pertanyaan apakah Kuasa Menjual dapat dijadikan sebagai ikatan jaminan untuk pelunasan perikatan perjanjian kredit dan kemudian Kuasa Menjual yang diberikan oleh Debitur kepada Kreditur tersebut apakah tidak bertentangan dengan asas hukum jaminan yaitu penjualan objek jaminan hanya dapat dilakukan dengan cara penjualan di muka 14 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 421. Universitas Sumatera Utara umum serta sampai dimana kekuatan hukum dari akta Kuasa Menjual yang biasanya dibuat dengan akta Notaris. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka hal tersebut diatas kemudian Penulis jadikan sebagai dasar atau titik tolak untuk meneliti lebih dalam lagi perihal praktek penggunaan Kuasa Menjual di dalam kaitannya terhadap perjanjian kredit. Praktek penggunaan Kuasa Menjual dalam kaitannya terhadap perjanjian kredit tersebut diatas juga akan diteliti lebih jauh lagi oleh Penulis, dengan mendasarkan terutama pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, maupun undang - undang lainnya yang berhubungan dengan topik pembahasan Penulis.

B. Perumusan Masalah