Analisa Saham Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit (Studi Pada Bank Bri Cabang Medan)
DAFTAR PUSTAKA A. Buku :
Badrulzaman, Mariam Darus, 1982, Pendalaman Materi Hukum Perikatan, Penerbit Fakultas Hukum USU, Medan.
Harahap, M. Yahya, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.
, 2001, Tinjauan Saham Sebagai Jaminan Kredit, dalam Varia Peradilan Edisi. No. 101.
H.S., Salim, 2004, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.
Imam Prayogo Suryohadibroto, dkk, 2001, Surat Berharga, Alat Pembayaran Dalam Masyarakat Modren, Penerbit PT. Bina Aksara, Jakarta.
Muhammad Abdulkadir, 2001, Hukum Dagang Tentang Surat Berharga, Penerbit. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Prodjodikoro, Wirjono, 1984, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Penerbit Sumur, Bandung.
Purwosutjipto, 2000, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,Hukum Surat Berharga, Penerbit Jambatan, 2000.
Subekti, R. 1982, Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung. __________, 1981, Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung.
__________, 2001, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.
Soedewi, Sri, 2001, Hukum Jaminan di Indonesia, BPHN, Dept. Kehakiman. Wijayanti Asri, 2011, Strategi Penulisan Hukum. Lubuk Agung, Bandung.
B. Peraturan Perundang-Undangan:
(2)
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN SAHAM
A. Lahirnya Suatu Jaminan
1. Pengertian Jaminan
Dalam pratek perbankan terjadi persetujuan pembukaan kredit antara Bank dengan krediturnya, pihak Bank tidak boleh mengabaikan masalah jaminan. Karena pemberian jaminan adalah merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh calon debitur, agar Bank dapat melayani permintaan calon debitur.
Memberikan suatu barang sebagai jaminan berarti melepaskan sebahagian kekuasan atas barang itu. Pada prinsipnya yang harus dilepaskan itu adalah kekuasan untuk memindahkan hak milik atas barang itu secara apapun juga, misalnya dengan cara menjual, menukar ataupun dengan menghibahkannya.
Bagi Bank jaminan adalah merupakan hal yang menjadi kunci dari pertimbangan dalam pemberian krdit. Dengan adanya jaminan maka ada keyakinan bagi kreditur bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya. Dan apabila di debitur wanprestasi (tidak memenuhi janji untuk membayar hutang) tepat pada waktunya, maka Bank dapat menutup piutangnya atau sisa tagihannya dengan mencairkan ataupun menjual barang jaminan yang telah diikatnya.
Jaminan dalam kaitannya dengan kredit merupakan salah satu syarat untuk dapat dikabulkannya permohonan kredit. Pasal 8 Undang-Undang Perbakan Nomor 7 Tahun 1992 menyebutkan : “Dalam memberikan kredit, Bank umum
(3)
wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang dijanjikannya”.
Jaminan di sini berfungsi untuk mengkonfensir resiko Bank terhadap nasabah yang tidak melunasi hutangnya sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam perjanjian, oleh karena itu nilai suatu jaminan harus dapat menjamin jumlah kredit atau dengan kata lain penerima kredit harus menyediakan sejumlah jaminan fisik untuk memenuhi kepastian bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya kepada kreditur.
Bentuk jaminan kebendaan kekayaan seseorang itu dapat terwujud antara lain : barang-barang bergerak, barang tidak bergerak maupun tidak berwujud, misalnya berupa hak-hak yaitu hak menagih, hak oktroi, sertifikat deposito/ Bank, tabungan deposito, saham/ sertifikat saham dan lain-lain.
Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan : “Segala kebendaan si berhutang, baik bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Jaminan yang terdapat dalam pasal ini adalah bersifat umum sehingga dirasakan kurang aman, artinya pihak kreditur merasa tidak puas terhadapa pasal tersebut. Karena diadakan jaminan secara umum untuk semua kreditur. Jadi apabila terdapat lebih dari satu kreditur ada kemungkinan beberapa dari mereka tidak lagi mendapat bagian. Sehingga hanya kreditur lainnya (kreditur konkuren) tidak mendapat pelunasan disebabkan tidak cukupnya kekayaan si debitur.
(4)
Dengan demikian pihak kreditur menghendaki adanya jaminan khusus (jaminan berupa benda-benda tertentu) yang memberikan sesuatu kedudukan istimewa dan lebih tinggi kepada kreditur lainnya apabila terdapat lebih dari satu orang kreditur.
Oleh karena lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik (ideal) adalah :
a. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya.
b. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan atau meneruskan usahanya.
c. Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit, dalam arti bahwa barang setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila dapat mudah diuangkan untuk meluasi hutangnya si penerima atau pengambil kredit.18
Jadi dapat disimpulkan bahwa jaminan itu adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.
2. Lahirnya Suatu Jaminan
Menurut Sri Soedewi lahirnya suatu jaminan :
“ Pada umumnya jenis-jenis hukum jaminan sebagai mana dikenal dalam tata hukum Indonesia dapat digolongkan menurut cara terjadinya atau lahirnya, menurut sifatnya, menurut objeknya dan menurut kewenangannya menguasai bendanya dan lain sebagainya”.19
18
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Penerbit Alumni bandung, 2001. hal. 27-28.
19
Sri Soedewi, Hukum Jaminan di Indonesia, BPHN, Dept. Kehakiman, 2001, hal. 43. Dalam hal ini penulis akan membatasi penguraian pada jaminan menurut cara lahirnya dapat dibedakan atas :
(5)
a. Jaminan yang lahir karena undang-undang
Tanpa adanya persetujuan dari para pihak, misalnya undang-undang yang menentukan bahwa semua harta benda si debitur baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik benda yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan bagi seluruh perutanggannya (Pasal 1131 KUH Perdata).
Berarti kreditur dapat melaksanakan haknya terhadap semua barang debitur kecuali benda-benda yang dikecualikan oleh undang-undang. Demikian juga telah ditentukan oleh undang-undang bahwa hasil penjualan dari benda-benda tersebut harus dibagi antara kreditur dengan seimbang dengan besarnya piutang masing-masing (Pasal 1131 KUH Perdata).
b. Jaminan yang lahir karena perjanjian para pihak
Disamping hak-hak yang bersifat memberikan jaminan yang ditentukan oleh undang-undang, ada juga hak-hak jaminan yang lahir karena perjanjian para pihak.
Bahwa jaminan ini haruslah diperjanjikan terlebih dahulu antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Adapun jaminan- jaminan yang tergolong dalam kelompok ini adalah :
1. Lembaga jaminan hipotik 2. Lembaga jaminan gadai
3. Lembaga jaminan creditverband 4. Lembaga jaminan fiducia 5. Perjanjian garansi
(6)
Berdasarkan cara terjadinya atau lahirnya perjanjian ini penulis menganalisa bahwa saham maupun juga sertifikat saham adalah termasuk jaminan yang lahir karena diperjanjikan artinya untuk dijaminkannya saham haruslah terdapat pihak-pihak yang memperjanjikannya terlebih dahulu. Jaminan mana dimaksudkan sebagai perjanjian khusus yang diadakan oleh karena adanya perjanjian pokok sebelumnya. Dalam hal ini perjanjian pokok yang dimaksud adalah perjanjian kredit yang terjadi antara pihak debitur dengan pihak Bank.
Dalam hal ini saham adalah berfungsi sebagai jaminan tambahan, artinya bahwa terhadap kredit yang diberikan oleh Bank maka akan diikat dengan jaminan pokok. Saham sebagai jaminan tambahan kredit Bank diatur oleh SK yang dikeluarkan oleh Direksi BI yang dituangkan dalam SK No. 26/68/Kep/Dir.
B. Ketentuan dan Prosedur Pembukaan Saham
1. Ketentuan-ketentuan Untuk Dapat Menebitkan Saham
Perusahaan atau emiten yang akan go publik menawarkan saham atau obligasinya, emiten tersebut harus mendapat izin untuk dapat menerbitkan saham atau obligasi. Dan perusahaan dapat diizinkanuntuk menerbitkan saham atau obligasinya tersebut harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan. Dalam rangkaian ini ada tiga surat keputusan Menteri Keuangan yaitu masing-masing Nomor 430/KMK.011/1982; Nomor 755/KMK.011/1982 dan Nomor 76/KMK.011/1983 yang masing-masing mengatur tentang emisi saham atau obligasi oleh badan usaha selain Bank dan lembaga keuangan bukan Bank.
(7)
Persyaratan tersebut selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas;
2. Bertempat kedudukan di Indonesia;
3. Mempunyai modal dasar sekurang-kurangnya Rp 100 Juta dan setelah disetor penuh sekurang-kurangnya Rp 25 Juta.
4. Dalam dua tahun terakhir secara berturut-turut memperoleh laba dengan perbandingan laba bersih tahun terakhir dan modal sendiri sekurang-kurangnya 10%.
5. Laporan keuangan telah diperiksa oleh Akuntan Publik untuk dua tahun terakhir dengan pernyataan pendapat setuju (unqualified opinion) untuk tahun terakhir.
Dengan diberlakukannya pakdes 90 maka persyaratan menjadi emiten diperlukan dari ketentuan berdasarkan pakdes 87 sehingga menjadi sebaga berikut:
1. Perusahaan yang bersangkutan berbadan hukum Indonesia.
2. Modal disetor perusahaan tersebut sekurang-kurangnya Rp 200 Juta. 3. Dalam dua tahun terakhir perusahaan tersebut harus memperoleh laba. 4. Keadaan keuangan perusahaan untuk dua tahun terakhir telah diperiksa
oleh Akuntan Publik dengan memperoleh persetujuan tanpa kualifikasi untuk tahun terakhir.
5. Penawaran umum hanya dilakukan oleh Bank yang telah menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada Ketua Bapepam untuk menjual atau menawarkan efek kepada masyarakat dengan pernyataan perdaftaran
(8)
tersebut telah efektif. Ketentuan ini berlaku bagi semua efek dan pihak yang melakukan kegiatan atas efek kecuali efek terkecuali dan efek yang tidak ditawarkan kepada umum.
6. Setiap perusahaan publik wajib mendaftarkan efeknya dengan cara menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada Ketua Bapepam. Dalam hal ini yang dimaksud dengan perusahaan publik adalah perusahaan yang berbentuk Badan Hukum Perseroan Terbatas dengan modal disetor kurangnya 2 miliar dan sahamnya dimiliki oleh sekurang-kurangnya oleh 100 pemegang saham.
7. Setiap prospektus dilarang memuat keterangan yang tidak benar dan wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Ketua Bapepam.
8. Emiten yang efeknya telah terjual melalui penawaran umum wajib menyampaikan informasi secara berkala kepada Ketua Bapepam dan masyarakat termasuk perkembangan yang pemnting dan relevan yang dapat mempengaruhi efek.
9. Bagi perusahaan Bank diperlukan rekomendasi dari bak Indonesia. Dalam hal ini Bank Indonesia hanya memberikan rekemondasi apabila perusahaan Bank yang bersangkutan mempunyai tingkat kesehatan yang dalam 3 tahun terakhir sekurang-kurangnya tergolong cukup sehat dalam dua tahun pertama dan sehat untuk tahun terakhir serta memenuhi persyaratan capital adequacy. Transaksi efek yang dilarang adalah pemalsuan, dan penipuan, manipulasi pasar dan transaksi yang didasarkan
(9)
atas pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan serta informasi orang dalam.
2. Prosedur Dalam Jual beli Saham
Lembaga penjamin emisi/ underwriter sebagai lembaga penunjang pasar modal mempunyai tugas pokok menjamin terjualnya habis emisi saham atau obligasi dalam pasar modal perdana. Lembaga penjamin emisi fungsinya berkaitan dengan aspek finansial, aspek ditribusi dan aspek manajemen.
Penjamin emisi bertanggung jawab penuh untuk membeli saham-saham dalam penjualan pada masyarakat. Disinilah arti pokok atau penting penjamin emisi. Sistem ini dikenal dengan Firm Comitment Underwriting sebagai suatu sistem yang cocok untuk Indonesia saat ini, karena keadaan pasar modal masih dalam tahap awal.
Sebagai fungsi menunjang jaminan emisi, maka lanmgkah-langkah yang dilakukan dntaranya adalah bantuan dalam melaksanakan pengajuan pernyataan pendaftaran emisi efek yang salah satu diantarnya adalah menyusun prospektus dan turut menandatanganinya, namun demikian ini prospektus ini sepenuhnya tanggung jawab emiten dan di luar tanggung jawab underwriting.
Salah satu hal yang dimuat dalam prospektus adalah ketentuan penawaran yang memuat :
1. Pihak-pihak yang diperbolehkan membeli adalah Warga Negara Indonesia atau Badan-badan Hukum.
2. Permohonan diajukan kepada PT atau biasanya managing underwriting dan lembaga-lembaga keuangan lainnya dengan alamat masing-masing).
(10)
3. Jumlah pengajuan minimal ditetapkan beberapa lembar saham, jika kurang dari minimal permohonan diajukan kepada anggota bursa yang lain.
4. Lead underwriting berhak memutuskan apakah permohonan pembelian saham dikabulkan seluruhnya atau tidak disetujui sama sekali.
5. Tempat penyetoran
6. Tempat dan cara-cara mendapatkan prospektus
Berdasarkan prospektus yang diterbitkan sebagai penawaran umum dari saham perusahaan yang go publik maka masyarakat maupun badan hukum yang hendak membeli saham perusahaan tersebut dapat menghubungi perusahaan yang menerbitkan prospektus dimaksud.
Biasanya perusahan yang menawarkan saham telah menyediakan formulir pemesanan saham. Jadi masyarakat atau badan hukum yang ingin membeli saham harus mendapatkan formulir pemesanan saham yang diterbitkan oleh perusahaan dimaksud dan mengisi formulir tersebut sesuai dengan syarat-syarat yang sudah ditetapkan dalam formulir yang dimaksud.
C. Saham Sebagai Surat Berharga
Istilah surat berharga terdapat dalam Pasal 469 KUHD, antara lain berbunyi : “Dalam hal dicurinya atau hulangnya emas, perak, permata, dan lain-lain barang berharga, uang dan surat berharga....”.
Untuk menuju kepada pengertian surat berharga terlebih dahulu dibedakan dua macam surat yaitu :
(11)
1. Surat berharga, terjemahan dari istlah aslinya dalam bahasa Belanda, waarde papier”, di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan istilah “negotiable instruments”.
2. Surat yang mempunyai harga atau nilai, terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “papier van waarde” dalam bahasa Inggrisnya “letter of value”.
Surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu peristiwa, yang berupa pembayaran sejumlah uang.20
Selanjutnya Purwosutjipto menyebutkan surat berharga adalah surat bukti tuntutan hutang pembawa hak dan mudah diperjual belikan.21
Kemudian Imam Prayogo Suryohadibroto, dkk, memberikan batasan, Purwosutjipto adalah surat yang diadakan oleh seseorang sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi, yang merupakan pembayaran sejumlah harga uang.22
1. Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang)
Pendapat-pendapat para sarjana tersebut di atas pada prinsipnya adalah sama sehingga dapat disimpukan bahwa surat berharga mempunyai tiga fungsi utama yaitu :
2. Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjual belikan dengan mudah dan sederhana)
20
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Dagang Tentang Surat Berharga, Penerbit. Citra Aditya bakti, Bandung, 2001. hal. 4.
21
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, 7 Hukum Surat Berharga, Penerbit Jambatan, 2000. hal. 6.
22
(12)
3. Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).
Tujuan penerbitan surat berharga adalah sebagai pemenuhan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang.
Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian terakhir ternyata klasifikasi surat berharga yang dikemukakan Scheltema sudah tidak sesuai lagi dan perlu direvisi. Beliau mengklasifikasikan surat atas pengganti dan atas tunjuk menjadi tiga berdasarkan perikatan dasarnya yaitu :
1. Zakenrechtelijke papieren (surat yang bersifat hukum kebendaan), isi perikatan dasarnya ialah hak pemegang atas penyerahan barang yang tercantum didalamnya, misalnya konosemen, ceel.
2. Lidmaatschaps papieren (surat tanda keanggotaan suatu persekutuan), isi perikatan dasarnya ialah hak-hak tertentu yang diberikan oleh persekutuan kepada pemegangnya, misalnya saham, tanda keanggotaan koperasi;
3. Schuldvorderings papieren (surat tagihan hutang), isi perikatan dasarnya ialah hak pemegang atas pembayaran sejumlah uang yang tercantum didalamnya, misalnya wesel, aksep, cek, promes atas tunjuk, kwitansi atas tunjuk.
Berdasarkan klasifikasi di atas ini surat berharga termasuk dalam klasifikasi ke tiga, yang meliputi wesel, aksep, cek, promes atas tunjuk, kwitansi atas tunjuk. Surat-surat inilah yang diatur dalam Buku I titel 6 dan 7 KUH Dagang. Dengan demikian yang dikatakan surat berharga menurut Scheltema adalah surat yang berisi hak atas pembayaran sejumlah uang yang tercantum
(13)
didalamnya, hak atas pembayaran itu dapat diperoleh dengan menunjukkan dan menyerahkan surat itu sebagai bukti, dan didalam surat itu terdapat klasula peralihan atas tunjuk atau atas pengganti.
Kenyataan sekarang menunjukkan bahwa surat berhargati tidak hanya meliputi surat yang diatur dalam Buku I titel 6 dan 7 KUH Dagang, melainkan juga meliputi saham, yang dalam klasifikasi tadi termasuk dalam klasifikasi kedua. Saham memenuhi kriteria surat berharga yang dikemukakan Schertema. Dengan demikian, saham masuk dalam klasifikasi ketiga. Kenyataan juga menunjukkan bahwa surat berharga tidak hanya berklasula atas tunjuk atau atas pengganti, melainkan juga dapat berklasula atas nama, misalnya saham dan obligasi diterbitkan atas nama, sertifikat deposito, sertifikat saham, sertifikat dana reksa, ketiganya diterbitkan atas tunjuk.
Dari kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa dokumen-dokumen berharga yang dikenal dalam lalu lintas perdagangan atau perusahaan dapat berklausula atas nama, atas tunjuk, atas pengganti. Dokumen-dokumen tersebut digolongkan menajdi dua macam yaitu :
1. Surat yang bersifat hukum kebendaan (zakenrechtelijke papieren) meliputi konosemen, ceel, surat muatan (varachbrief).
2. Surat berharga (a) yang diatur dalam titel 6 dan 7 KUH Dagang yaitu wesel, aksep, cek, promes atas tunjuk, dan kwitansi atas tunjuk, (b) yang diatur di luar titel 6 dan 7 KUH Dagang yaitu bilyet giro, saham, obligasi, sertifikat saham, sertifikat deposito, sertifikat dana reksa. Surat berharga adalah surat yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ini :
(14)
1. Memuat hak pemegang atas pembayaran sejumlah uang yang tercantum didalamnya berdasarkan perikatan dasar;
2. Hak atas pembayaran dapat diwujudkan dengan menunjukkan dan menyerahkan surat itu sebagai bukti;
3. Dalam surat itu terdapat klausula peralihan aats nama, atau atas pengganti, atau atas tunjuk.
Sebagai surat berharga saham memuat jumlah nominal dalam rupiah yang telah ditetapkan oleh perseroan yang telah menerbitkannya. Jumlah nominal ini menunjukkan batas hak dan tanggung jawab pemegang yang diberikan oleh perusahaan perseroan tersebut, misalnya jumlah keuntungan (deviden) yang dapat diterima pemegang, jumlah maksimal yang dapat diterima pemegang jika saham itu diperalihkan kepada pemagang berikutnya (penerima). Jumlah nominal ini dapat juga menyatakan besarnya nilai harga perikatan dasar yang melandasi penerbitan saham tersebut.
Selain memuat klausula peralihan dan klausula jumlah uang, saham juga mempunyai ciri legitimasi, yaitu ciri yang menyatakan bahwa pemegang adalah orang yang berhak atas pembayaran sejumlah uang yang tersebut didalamnya dan berhak atas semua manfaat yang timbul dari saham itu, misalnya hak atas deviden, hak suara dalam rapat pemegang saham. Untuk memperoleh hak-hak tersebut, cukup dengan menunjukkan saham itu, ciri legitimasi dapat diketahui dari klausula peralihannya bagi pemegang berikut, sedangkan bagi pemegang pertama dari nam yang tercantum didalam saham itu (saham atas nama). Jadi siapa yang
(15)
menguasai saham itu sah dialah yang berhak atas segala yang terbit dari saham itu.
Sedangkan surat yang mempunyai harga atau nilai, diterbitkan bukanlah sebagai pemenuhan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang, melainkan sebagai bukti diri bagi pemegangnya sebagai pihak yang berhak atasnya.
Saham sebagai surat berharga belum diatur dalam KUH Dagang, tapi bukan berarti bahwa ketentuan dalam pasal-pasal mengenai surat- surat berharga dalam KUH Dagang tidak dapat diperlakukan. Surat berharga yang ditimbul di luar KUH Dagang tetap tunduk kepada ketentuan-ketentuan umum dalam KUH Dagang yang berlaku bagi surat berharga sepanjang tidak diatur tersendiri, sesuai dengan fungsi dan tujuan penerbitan surat berharga itu.
(16)
BAB IV
ANALISA TENTANG SAHAM SEBAGAI JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT
A. Pelaksanaan dan Pengikatan Saham Sebagai Jaminan Kredit
Dengan dikeluarkannya SK Direksi BI No. 26/68/Kep/Dir, Tentang Saham sebagai jaminan tambahan kredit, maka hilanglah keraguan pihak Bank untuk dapat menerimanya sebagai jaminan kredit. Dengan perkataan lain kedudukan saham semakin kuat untuk dapat diterima sebagai jaminan kredit yang dalam hal terbatas hanya sebagai pelengkap ataupun tambahan saja.
Berdasarkan analisa yang dilakukan oleh pihak Bank terhadap permohonan kredit seseorang atau calon debitur maka Bank akan memberikan keputusan untuk menerima atau menolak permohonan kredit yang dimaksud. Apabila permohonan kredit ditolak, pihak Bank akan mengirimkan penolakan permohonan kredit tersebut kepada pemohon atau calon debitur dan selesailah masalahnya. Akan tetapi kalau permohonan diterima oleh Bank, lalu akan memproses permohonan tersebut dan dibuatlah akad perjanjian kredit dan pengikatan jaminan.
Penarikan kredit baru dapat dilakukan setelah debitur atau nasabah memenuhi syarat serta dapat menunjukkan bukti-bukti pembayaran yang sah atas pungutan-pungutan yang dikenakan. Jadi singkatnya untuk menarik kredit harus dapat menunjukkan bukti-bukti pembayaran tertulis atau sering disebut “payment agreement document”.
(17)
Sebelum penarikan kredit dilakukan, maka terlebih dahulu diadakan pengikatan jaminan yang dalam hal ini adalah saham antara nasabah dan pihak Bank. Pengikatan saham sebagai jaminan kredit dapat dilakukan melalui dua cara yaitu :
1. Gadai
Dalam hal ini dipemohon kredit (debitur) menggadaikan sahamnya kepada Bank. Saham adalah termasuk barang bergerak yang tidak berwujud yang berupa pelbagai hak untuk mendapatkan pembayaran uang, oleh karena itu pengikatan jaminan saham ini dilaksanakan dengan atau secara gadai (Pasal 1150 KUH Perdata). Dengan digadaikannya saham tersebut, maka saham itu berada di tangan di kreditur (Bank).
Bila saham itu diikat dengan gadai, maka apabila debitur atau nasabah wansprestasi atau pailit maka pihak Bank atau kreditur tetap mempunyai hak preferent terhadap benda jaminan yang dijaminkan yang dalam hal ini adalah saham.
2. Cessie sebagai jaminan (zakerheidscessie)
Dalam pengikatan ini barang yang diserahkan adalah hanya tertuju sebagai jaminan dan bukan pengalihan hak. Cassie sebagai jaminan berbeda dengan lembaga jaminan gadai (pand) atas piutang.
Perbedaan pokoknya adalah :
a. Cessie piutang terikat pada bentuk tertentu, yaitu harus dituangkan dalam suatu akta (otentik atau di bawah tangan) sedangkan gadai piutang bentuknya bebas.
(18)
b. Dalam cessie pemberitahuan dilakukan oleh juru sita sedangkan pemberitahuan pada gadai tidak ada persyaratan tertentu.
c. Pada cessie, perbuatan hukum selesai dengan dibuatnya akta cessie, pemberitahuan hanya agar debitur mengetahui adanya peralihan hak tersebut dan kemudian terikat adanya cessie, Pasal 613 ayat (2) KUH Perdata, pada gadai perbuatan hukum baru selesai dengan adanya pemberitahuan. Dengan dibuatnya akta saja perbuatan hukum itu belum selesai, Pasal 1153 KUH Perdata. Menurut hukum Prancis dan Belgia pemberitahuan pada cessie bersifat wajib agar berlaku terhadap pihak dan Debitur sendiri.
d. Pada cessie, maka si kerditur tidak mempunyai hak preferent terhadap barang jaminan yang dijaminkan apabila si debitur ternyata wanprestasi atapun pailit, sedangkan pada gadai maka si kreditur tetap mempunyai hak preferent terhadap barang jaminan bila si deditur ternyata wanprestasi ataupun pailit.
Pasal 1152 KUH Perdata menyebutkan “hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bahwa diletakkan dengan membawa jaminannya ke dalam kekuasaan si berhutang atau seorang pihak ketiga tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak”. Dari pasal tersebut kelihatannya bahwa dengan digadaikannya saham maka saham ini tidak lagi dipegang oleh si debitur akan tetapi berada di bawah kekuasaan si kreditur (Bank). Pengalihan saham ini dari si debitur kepada kreditur dibuat dengan surat kuasa.
(19)
Digunakannya saham sebagai jaminan kredit, maka selama si debitur belum melunasi hutangnya saham tersebut berada dalam kekuasaan si kreditur, namun segala hak yang timbul dari pemilikan saham tersebut tetap berada pada si debitur sebagai pemilik saham. Hal ini disebabkan oleh karena sifat penyerahan saham tersebut adalah hanya tertuju pada jaminan sebagai pelunasan hutang apabila si debitur ternyata tidak dapat melunasi hutangnya tepat pada saat yang telah diperjanjikan untuk itu.
B. Keabsahan Berlakunya Saham Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit
Berdasarkan Pasal 40 KUH Dagang, saham merupakan salah satu syarat pengesahan perseroan sebagai badan hukum (PT). Di samping harus dipenuhi persyaratan Pasal 38 yang menentukan adanya akta pendirian yang berbentuk “akta otentik” (akta notaris), mesti pula dipenuhi syarat “permodalam”. Perseroan harus mempunyai modal :
- yang terbagi dalam bentuk saham atau sero,
- harus sudah terkumpul (ditempatkan) paling kirang 1/5 bagian dari seluruh saham yang ditetapkan,
- serta harus pula telah disetor paling kurang 1/10 bagian dari saham yang ditetapkan.
Selain daripada itu, saham merupakan salah satu komponen penentu atas kekayaan aktiva (current assets) suatu Perseroan Terbatas (PT). Untuk mengetahui berapa besar aktiva PT dapat diteliti dari komponen :
(20)
- tagihan terhadap pemegang saham yang belum melunasi saham, - tagihan terhadap pihak ketiga,
- nilai harta bergerak dan tidak bergerak yang dimiliki.
Sebaliknya untuk mengetahui berapa jumlah pasiva, harus diteliti berapa besar jumlah hutang dan kewajiban lain yang segera harus dipenuhi oleh PT yang bersangkutan.
Penelitian yang seksama bagi pihak kreditur (perbankan) atas “current asset” (aktiva) dengan “current liability” (kewajiban) yang dimiliki, sehingga harga saham yang diterbitkan bertahan harganya dalam pasar modal. Baik dari segi teori maupun dari segi pendekatan pasar modal (capital market) jangka panjang dan jangka pendek, saham yang tidak mudah jatuh harganya adalah saham perusahaan yang memiliki “current ratio” yang lebih tinggi “current assets” dari “current liabilities”.
Kalau current assets jauh lebih besar dari current liabilities berarti current ratio perusahaan postifi dan baik. Saham yang dimilikinya, mempunyai kekuatan harga yang aga stabil. Akan tetapi kalau current liabilities lebih besar dari current assets, perusahaan yang bersangkutan tidak sehat. Besar sekali dampaknya terhadap nilai harga sahamnya di pasar modal. Bisa mengalami penurunan sampai di bawah nilai nominal. Harga riilnya sangat fluktuasi, antara harga nominal dengan harga perdana.
Sehubungan dengan kebolehan saham menjadi agunan kredit Bank, ada baiknya diketahui tingkat kelas surat-surat berharga (commercial paper) yang diperjual belikan di pasar modal. Penentuan kelas yang demikian berlaku terhadap
(21)
saham. Saham sebagai salah satu jenis surat yang paling banyak diperdagangkan dalam pasar modal, kekuatan pasarnya tidak terlepas dari penilaian tingkat kelas yang diberikan para investor kepadanya.
Pada umumnya, kecenderungan para investor membeli suatu saham, sangat tergantung pada kelas yang dimilikinya. Oleh karena itu, untuk menentukan kekayaan suatu saham diterima sebagai agunan kredit, sangat tergantung pada tingkat kelas perusahaan. Sebelum diterima sebagai agunan, perlu diteliti kelas perusahaan melalui “corporate analysis”. Melalui analisa, dapat diklasifikasi tingkat kelas perusahaan atau saham :
- The First Calss (Kelas Utama)
Saham yang digolongkan “The First Calss” (prime paper, gelt adged), apabila telah diperjual belikan dan telah dipindah tangan atau telah diakseptasi oleh orang apalagi badan (perusahaan) yang mempunyai reputasi tinggi (higher reputation). Biasanya suatu saham baru cepat menempati first calss, apabila dia berasal dari PT yang memiliki current ratio yang tinggi antara current assets dengan current liabilities. Pada saat diperdagangkan, akan cepat berpindah tangan karena pada saham itu melekat “good will” yang cukup tinggi. Melalui good will yang tinggi, saham yang bersangkutan menjadi “saham yang unggul” di psar modal. Sebab perusahaan yang mengelurkan dan yang mengakseptasinya terdiri dari perusahaan yang “famous”.
(22)
- Second Class
Saham yang diklasifikasikan menduduki ranking “second class” ialah yang dikelurkan dan dipasarkan oleh PT yang cukup baik. Kemudian dipindah tangan dan diaksep oleh perusahaan atau badan yang memiliki nama baik atau “well-know”. Namun demikian, perusahaan yang bersangkutan memiliki organisasi dan managemen yang baik serta “earning power” yang cukup. Lantar current assets dibanding dengan current liabilities melebihi standar 2:1.
- Third Class
Apabila saham dari perusahaan yang memiliki kedudukan keuangan yang mendekati kurang sehat. Prospek perusahaan kurang cerah. Current ratio antara assets dan liabilites hampir “zero” atau sudah mendekati kerugian 50% modal perusahaan, saham tersebut diklasifikasikan “kelas tiga”. Dalam kenyataan, saham yang tergolong kelas tiga, peredaran jual belinya di pasar modal, tidak lancar. Para investor tidak berminat membeli, takut mengalami risiko rugi. Harganya bisa anjlok di bawah nilai nominal.
Demikian gambaran umum klasifikasi tingkat kelas surat-surat berharga pada umumnya, dan klasifikasi saham pada khususnya. Tidak semua saham yang dikeluarkan dan diperjual belikan di pasar modal, memiliki kekuatan pasar yang tinggi. Oleh karena itu kesediaan untuk menerimanya sebagai agunan kredit, harus didasarkan atas tingkat kelasnya.
Berdasarkan pengamatan, sudah sering saham dipergunakan sebagai agunan kredit. Perhatikan saja Bank Summa. Untuk memperoleh kredit dari
(23)
berbagai kalangan Bank dalam usaha mencoba menyehatkan likwiditasnya, pihak pengurus Bank Summa mempergunakan saham PT Astra sebagai jaminan. Meskipun bentuknya barang kali berupa gadai, tujuannya sama yakni sebagai agunan kredit. Ternyata kehancuran yang dialami Bank Summa sedemikian rupa parahnya. Pinjaman yang diberikan tidak mampu menyehatkan likwiditasnya. Akan tetapi oleh karena saham yang dijadikan agunan adalah saham PT Astra yang tergolong memiliki good will yang cukup terkenal, Bank-bank yang bertindak sebagai pemberi kredit tidak mengalami risiko tinggi. Dalam waktu singkat sudah dibeli oleh kelompok Prayogo Pengestu.
Kembali kepada pokok pembicaraan, tentang kedudukan yuridis formal saham sebagai jaminan kredit, selama ini masih timbul keraguan. Pihak perbankan masih banyak yang tidak mau menerima saham sebagai jaminan kredit atas alasan belum ada ketentuan yang mengaturnya.
Untuk melenyapkan keraguan tentang kebolehan saham sebagai jaminan, Direksi BI mengeluarkan SK No. 26/68/Kep/Dir. Berdasarkan SK ini, yuridis formil dimungkinkan para Bank memberi kredit dengan jaminan saham. Jika selama ini peran utama berfungsi sebagai salah satu instrumen perdagangan di pasar modal, sekarang menanjak satu langkah menjadi jaminan kredit. Hal ini bisa membawa pengaruh terhadap kemudahan dan ekspansi perkreditan, yang berdampak langsung atas pertumbuhan ekonomi pada satu segi. Tetapi juga bisa berdampak negatif memperbesar volume dan percepatan perputaran uang yang dapat menimbulkan peningkatan inflasi, apabila hal itu kurang diawasi arah kreditnya secara meluas kedalam berbagai sektor. Jika ternyata nanti peran saham
(24)
sebagai jaminan kredit terbukti ikut meningkatkan ekspansi kredit, tapi hanya dikuncurkan secara terfokus pada satu sektor tertentu, dapat mempengaruhi laju inflasi.
Banyak tanggapan yang disampaikan berbagai kalangan yang pada prinsipnya dapat menyetujui kebijakan menjadikan saham sebagai agunan kredit perbankan. Leonard Tanubrata misalnya dapat menyetujui dengan syarat asal “hanya bersifat pelengkap”. Akan tetapi diatas persetujuan itu, nampaknya beliau masih meragukan penerimaan saham sebagai agunan kredit. Alasannya dia yakin Bank masih suka menerima proyek yang dibiayai dengan dana kredit atau agunan yang bersifat permanen sebagai jaminan. Sebab nilai saham sangat fluktuatif pada satu segi.
Pada segi lain belum ada lembaga rating (rating agency) yang menilai secara objektif tentang kelasa saham yang terdaftar di bursa efek. Barli salim dan Sadli juga mengemukakan pendapat yang hampir sama yaitu pada prinsipnya menyetujui kebijaksanaan tersebut. Namun pihak Bank harus hati-hati menilai saham yang diajukan sebagai agunan kredit, sehubungan dengan berbagai kontroversi yang terkandung didalamnyaa. Kontroversi yang paling besar ialah sifat “fluktuatif” yang selalui menyertainya dalam setiap saat.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa saham pada umumnya mempunyai nilai yang sangat bervariasi serta fluktuatif. Berdasarkan kenyataan ini kita berhadapan dengan kemungkinan saham yang dijaminkan hari ini ke Bank masih mempunyai kekuatan likuiditas, tetapi seminggu atau sebulan kemudian harganya terus merosot sampai di bawah nilai nominal. Memang tidak dibantah
(25)
bahwa ada kemungkinan sebaliknya, sebulan atau setahun kemudian harganya terus menanjak melampaui harga perdana. Akan tetapi menghadapi variasi fluktuasi turun atau naik sikap yang paling tepat dan hati-hati harus berpijak pada kemungkinan yang lebih jelek, jangan terlampau bersikap spekulatif dan oportunis.
Terlepas dari semua itu, sejak keluarnya SK Direksi BI dimaksud, maka secara yuridis formal, saham sah sebagai jaminan.
Memperhatikan SK Direksu BI No. 26/68/Kep/Dir, telah ditentukan syarat formal atas kebolehan saham sebagai jaminan kredit. Penentuan syarat dimaksud berkaitan erat dengan fungsi pengawasan yang diperankan BI. Pada Bab V UU Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992), diatur tentang Pembinaan dan Pengawasan BI terhadap Bank.
- Pasal 29, mengatur fungsi dan kewenangan BI, melakukan pengawasan tentang kesehatan, meliputi :
Aspek permodalan;
Kualitas managemen;
Rentabilitas;
Likuiditas, dan
Solvabilitas.
- Pasal 30 jo Pasal 34, mengatur pengawasan “pasif” (off site examation).
Setiap Bank wajib menyampaikan neraca dan perhitunganlaba rugi kepada BI;
(26)
Menyampaikan perhitungan tahunan yang telah diaudit lebih dulu oleh akuntan publik.
- Pasal 30 jo Pasal 31, mengatur pengawasan “aktif “ (on site examation).
BI melakukan pemeriksaan terhadap Bank baik berkala maupun setiap waktu yang dianggap perlu;
Setiap Bank wajib memberi kesempatan pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas;
Wajib memberi bantuan yang diperlukan dalam memperoleh kebenaran segala keterangan, dokumen, dan penjelasan yang dilaporkan.
Bertitik tolak dari fungsi dan kewenangan pembinaan serta pengawasan yang dikemukakan, penentuan syarat-syarat atas kebolehan saham sebagai jaminan kredit, menjadi patokan bagi BI dalam menentukan apakah pengagunan itu sah atau tidak. Jika ditemukan fakta pelanggaran pesyaratan maka BI harus bertindak tegas. BI harus memerintahkan penggantian jaminan dengan jenis saham yang memenuhi syarat maupun dengan barang lain. Apabila peringatan atau perintah tidak diindahkan, dan diperkirakan pemberian kredit akan membahayakan kesehatan Bank yang bersangkutan, BI harus segera mempergunakan kewenangan yang ditentukan dalam Pasal 37 yakni menyuruh pemegang saham mengganti Dewan Direksi dan Dewan Komisaris. Tindakan ini terutama dibutuhkan apabila fasilitas kredit yang diberikan berupa kredit investasi dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu yang panjang (long time).
(27)
Untuk dapat dijadikan sebagai jaminan maka saham itu harus memenuhi syarat-syarat formil yaitu :
1. BERSIFAT AGUNAN TAMBAHAN
Memperhatikan ketentuan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992, dikaitkan dengan Sk Dir BI No. 23/69, masih tetap memperhatikan faktor jaminan (collateral) sebagai salah satu unsur prinsi “prudential banking”. Setiap kredit yang diberikan Bank, harus terjamin pengembaliannya dengan jaminan sebagai “the scurce of the last cost”. Jaminan yang dapat dijadikan sebagai agunan :
- Pertama : “jaminan pokok” yang terdiri dari proyek yang dibiayai oleh dana kredit yang diberikan,
- kedua : “jaminan tambahan” (additional collateral) yang terdiri dari :
Benda (real property) yang bergerak atau tidak bergerak, baik milik sendiri debitur maupun milik pihak ketiga.
Jaminan perorangan (personal guarantee), boleh diri pribadi Dewan Direksi atau Dewan Komisaris atau perorangan di luar pengurus PT yang bersangkutan.
Bertitik tolak dari apa yang telah dikemukakan, fungsi saham sebagai jaminan tambahan tidak bisa bersiri sendiri. Dia hanya melengkapi dan memperkuat keyakinan kesanggupan debitur dan kedudukan jaminan pokok yang terdiri dari proyek yang dibiayai dana fasilitas kredit yang diberikan. Atau bisa juga untuk melengkapi jaminan tambahan yang sudah ada. Misalnya jaminan pokok telah didukung oleh jaminan tambahan berupa tanah dalam bentuk
(28)
perjanjian hipotik. Untuk memperkuat jaminan tambahan tersebut bisa lagi ditambah dengan jaminan saham untuk memperkuat jaminan pokok dan jaminan tambahan yang sudah ada.
2. SAHAM SUDAH TERDAFTAR DI BUSAR EFEK
Saham yang boleh dijadikan sebagai agunan tambahan, sudah terdaftar di bursa efek. Tidak semua saham dapat dijadikan agunan kredit Bank, tetapi hanya yang terdaftar dan diperjual belikan di pasar modal yang memenuhi syarat. Di Indonesia pada sat ini baru berdiri dua bursa efek sebagai pasar modal (capital market) yakni Pasar Efek Jakarta (PEJ) dan Pasar Efek Surabaya (PES) yang menampung pendaftaran saham.
Ketentuan ini bertujuan membatasi terjadi spekulasi dan persekongkolan antara debitur dengan loan commite untuk menerima saham yang belum dikenal kekuatan nilainya. Sekiranya dibolehkan menerima semua jenis saham tanpa persyaratan pendaftaran, besar kemungkinan akan berkembang saham yang dikeluarkan oleh PT yang permodalan dan bidang usahanya fiktif. Malahn sangat gampang terjadi persengkokolan antar debitur dengan suatu PT yang sedang sekarat. Debitur bersengkokol mempergunakan saham PT yang sedang sekarat untuk diagunkan ke Bank, dan hasilnya akan dibagi dua, pada hal dari semula kreditur sudah tahu bahwa saham PT tersebut tidak punya nilai apa-apa.
Syarat pendaftaran ditinjau dari segi hukum sangat realistik dan objektif. Syarat ini merupakan pendorong ke arah pembinaan pengembangan perusahaan yang benar-benar ditanggung organisasi, permodalan dana manajemen. Karena hanya perusahaan yang berkualitas demikian yang berani menempatkan
(29)
prospektusnya secara terbuka untuk memperoleh pendaftaran. Dengan demikian pendaftaran itu sendiri sudah memberi nilai lebih kepada perusahaan atas bonafiditasnya. Hal ini memberi dampak bagi masyarakat dan perbankan menilai mutu saham yang dimilikinya. Melalui syarat pendaftaran memberi batasan kepada Bank bahwa hanya saham yang sudah dikenak umum dan telah dipasarkan di busrsa efek yang dapat diterima sebagai agunan tambahan.
3. SAHAM YANG TIDAK PERNAH MENGALAMI TRANSAKSI SELAMA TIGA BULAN
pada prinsipnya saham yang boleh diterima sebagai agunan tambahan harus terus menerus mengalami transaksi di pasar modal. Apabila salam 3 (tiga) bulan tersingkir dari transaksi, dalam arti selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tidak terjadi transaksi, tidak memenuhi syarat sebagai agunan tambahan kredit Bank. Lenyapnya suatu saham yang sudah terdaftar dari perputaran transaksi selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, dianggap sebagai pertanda kemerosotan objektif atas nilainya. Oleh karena itu apabila pada saat ditanda tangani persetujuan kredit saham yang akan diagunkan tidak pernah mengalami transaksi selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, tidak dibenarkan menjadi agunan tambahan.
Akan tetapi dilihat dari segi pendekatan fluktuasi mungkin syarat ini kurang realistik. Saham yang anjlok hari ini tanpa diduga-duga muncul sebagai primadona dibursa efek. Perusahannya pulih dengan “erning power” yang luas biasa. Namun pandangan yang seperti itu terlampau teoritis dan spekulatif. Berdasarkan kenyataan jarang suatu perusahaan yang mengalami krisis dapat pulih dalam jangka waktu yang singkat. Diperlukan pembenahan dan pemulihan
(30)
dalam jangka waktu yang panjang. Dengan demikian risiko yang dihadapi Bank pemberi kredit tidak besar, sudah tepat pembatasan yang ditentukan oleh syarat ini. Syarat ini juga sekaligus untuk menghindari persengkokolan dengan itikad tidak baik untuk merugikan Bank. Dapat diperkirakan sekiranya saham yang tidak laku di pasar modal boleh dijadikan agunan, bisa saj debitur meborong dengan harga murah, kemudian dijadikan agunan tambahan kredit Bank.
4. TIDAK JATUH HARGANYA DI BAWAH NILAI NOMINAL
Pada saat perjanjian kredit ditandatangani tidak boleh harga saham jatuh di bawah nilai nominal. Meskipun saham sudah terdaftar dan masih terus mengalami transaksi kalau harganya beradasa di bawah nilai nominal di pasar modal, tidak memenuhi syarat untuk dijadikan agunan kredit Bank.
Syarat ini menentukan patokan minimal harga saham yang layak dijadikan agunan tambahan. Patokan batas terendah adalah “harga nominal”. Di bawah harga itu dilarang untuk menjadikannya agunan kredit Bank. Paling ideal, jika harga pasarnya diatas nilai perdana. Terlepas dari faktor fluktuasi harga saham, agunan yang paling tepat diterima adalah yang mempunyai nilai harga yang paling tinggi di atas harga perdana. Sedang saham yang harga pasarnya merosot sampai 50 % di bawah harga perdana sudah mengandung risiko yang agak besar, apalagi jika kemerosotan harganya berjalan terus menerus dalam jangka waktu yang agak panjang, semakin tinggi apabila harga saham yang diagunkan sudah mencapau titik nominal.
Syarat yang kedua, ketiga dan yang ke empat ini berhubungan erat dengan pasar modal, terutama syarat yang ketiga dan ke empat, hanya dapat
(31)
dipantau dan ditemukan faktanya di pasar modal. Oleh karena itu, jika debitur mengajukan agunan tambahan yang terdiri dari saham beberapa perusahaan, harus diteliti kegiatan transaksi dan harganya di pasar modal.
Terhadap saham yang jatuh harganya di bawah nilai nominal dan kemudian harganya naik kembali di atas nilai nominal. Ini dapat diterima sebagai agunan tambahan, hanya harus diperhatikan dengan seksama faktor-faktor yang mendorong pulihnya kepercayaan para investor untuk membeli di atas harga nominal.
5. MAKSIMUM 50 % HARGA SAHAM
Pengangunan saham sebagai agunan tambahan kredit bank nilai maksimumnya 50 % dari harga pasar. Jika harga pasar pada saat perjanjian kredit ditandatangani Rp 100.000,- maka nilai maksimumnya sebagai agunan paling tinggi Rp 50.000,- dan tidak boleh lebih dari situ. Patolakan ini merupakan “curring price” yang tidak boleh dilampaui.
Cepatnya berubah harga saham dalam pasar modal mengakibatkan harga nilai saham sangat bersifat fluktuasi. Memang ada yang bertanahn untuk jangka waktu relatif panjang, namun tidak ada yang stabil harganya, selalui bergerak naik turun. Harga pasar saham yang mampu bertahan agak stabil adalah saham-saham perusahaan yang bersifat “utilities” (saham utilities), yakni perusahaan yang menghasilkan produksu yang memiliki daya guna pemakaian tidak tergantung pada waktu. Umpanya PLN atau PAM. Berbeda halnya dengan perusahaan yang bersifat “cyclical” yang memproduksi komoditi yang tergantung pada beberapa faktor pemakaian. Saham perusahaan yang seperti itu memiliki “cyclical
(32)
fluctuation” yang sangat bervarisasi. Di Indonesia perusahaan yang bersifat utilities kebanyakan berbentuk BUMN (PLN, TELKOM, PAM dsb).
Menghadapi kenyataan yang fluktuatif tersebut harus dicari dan ditentukan patokan harga yang realistik. Patokan yang dianggap mampu mengantisipasi fluktuasi itu adalah “harga riil” saham di pasaran, bukan harga nominal atau harga tambahan. Oleh keran harga riil pada suatu hari diperkirakan tidak luput dari pengaruh perubahan, maka harga riil itupun hanya dijadikan sebagai landasan perkiraan menentukan patokan harga saham sebagai agunan.
Menentukan nilai harga yang dianggap berdaya melindungi pemberi kredit¸BI memperhitungkan faktor fluktuasi secara negatif. Diasumsikan, fluktuasi nilai harga saham dalam jangka waktu yang agak panjang melalui pendekatan negatif ialah sekitar 50% dari nilai riil pada saat perjanjian ditandatangani.
Dalam hal kreditur dan debitur sepakat dalam perjanjian, harga saham yang diagunkan ditetapkan harganya lebih tinggi 50 % dari harga pasar. Maka masalah ini dapat ditinjau dari dua sudut pengkajian. Pertama; hukum perjanjian Indonesia menganut asas “kebebasan berkontrak”. Para pihak bebas menentukan kehendak berdasarkan kesepakatan (agreement) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Apabila kesepatakan telah terwujud dalam perjanjian maka melekat diadalamnya asas “pacta sunt servanda”. Asas ini telah diabadikan sampai sekarang menjadi hukum positif dalam Pasal 1338 KUH Perdata :
- Persetujuan menajdi UU bagi para pihak
- Dan harus dipenuhi dengan itikad baik sesuai dengan maksud perjanjian.
(33)
Jadi asas kebebasan berkontrak ditegakkan diatas prinsip “promise must be kept”. Para pihak sepakat nilai saham yang dijadikan agunan kredit seharga 70% dari harga pasar, kesepakatan itu tidak bertentangan dengan hukum perjanjian, oleh karena itu dibenarkan.
Kedua, ditinjau dari rumusan ketentuan SK. Dir. BI, jika diperhatikan bunyi ketentuan yang mengatur hal ini, dijumpai perkataan “maksimum”. Rumusan kira-kira saham-saham yang terdaftar dalam bursa efek, nilai yang dapat dijaminkan sebagai jaminan kredit, “maksimum” sebesar 50% dari harga pasar atau kurs pada saat akad kredit akan ditandatangani.
Memperhatikan rumusan yang dikemukakan, tegas disebut pembatasan yakni maksimum 50% dari harga pasar. Jika penegasan ini ditinjau dari pengkajian doktrin hukum :
- Rumusan bersifat limitatif,
- Setiap rumusan yang litatif, langsung berbarengan dengan :
Sifat “compulssory” atau “imperatio” (bersifat memaksa).
Dan langsung pula menjadi aturan yang berbobot “public policy” (ketertiban, kepentingan umum).
- Dengan demikian pembatasan harga perumusan maksimum 50% dari harga pasar ditinjau dari segi perumusan, bukan bersifat “regulation” (sebagai pedoman) yang dapat dikesampingkan dengan kesepakatan dalam perjanjian.
Dalam hal ini syarat pembatasan harga maksimum merupakan aturan “limitatif”, oleh karena itu bersifat “compulsory”, dan berbobot ketertiban
(34)
umum.23
1. Pemberian kredit dalam rangka :
Jadi tidak boleh dikesampingkan berdasarkan kesepakatan kreditur dan debitur, apabila harganya melampaui batas maksimum di atas 50% dari harga pasar.
Jika para pihak melanggarnya, maka tidak batal demi hukum untuk keseluruhan perjanjian, termasuk perjanjian jaminan. Yang bats demi hukum hanya sepanjang pelanggaran batas maksimal. Berbarengan dengan itu, harga nilai saham yang dijaminkan dianggap hanya 50% dari harga pasar, dan batal untuk nilai selebihnya.
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, syarat pokok kebolehan mengagunkan saham sebagai jaminan kredit Bank hanya terbatas atas saham yang sudah terdaftar di busar efek. Terhadap syarat ini ada pengecualian yaitu :
- Ekspansi perusahaan, bisa untuk modal ekspansi alat produksi atau eksploitasi (modal kerja untuk optimalisasi produksi).
- Atau dalam rangka “akuisisi” atau “merger”.
2. Saham yang diagunkan ialah saham yang diterbitkan perusahaan sendiri (penerima kredit).
- Tidak boleh saham perusahaan lain,
- Jika saham dari perusahaan lain, harus sudah terdaftar.
Apakah pengecualian ini berlaku terhadap “consolidation” atau “combination”..?
23
M. Yahya, Tinjauan Saham Sebagai Jaminan Kredit, dalam Varia Peradilan Edisi. No. 101. Tahun 2001.
(35)
Menurut hukum akuisisi merupakan bentuk “fusi” dari antara dua perusahaan atau lebih. Biasanya perusahaan yang lebih kecil difusikan kedalam perusahaan yang lebih besar. Dari fusi itu hilang perusahaan kecil dan yang tetap muncul perusahaan besar. Cara yang ditempuh adalah :
1. Bisa berupa pembelian semua saham perusahan kecil oleh perusahaan yang besar.
2. Atau dapat dengan cara perusahaan yang lebih besar memberikan saham-saham dari modalnya sendiri kepada pemegang saham-saham perusahaan kecil sebagai ganti saham mereka.
3. Bisa juga aktiva perusahaan yang lebih kecil, dan para pemegang saham perusahaan kecil membubarkan diri.
Dapat dilihat dari akuisisi berfungsinya dua atau lebih perusahaan tidak melenyapkan identitas atau keberadaan salah satu perusahaan. Perusahaan yang lebih besar tetap ada sebagai lanjutan fusi, sedangkan pada konsolidasi adalah merupakan peleburan total antara dua atau lebih perusahaan yang hampir sama kedudukannya. Dari peleburan perusahaan lama lenyap, diganti dengan perusahaan baru. Kedua bentuk di atas adalah sama-sama bertujuan untuk meningkatkan kekuatan permodalan dan peningkatan perusahaan. Oleh karena itu secara yuridis pengecualian atas kebolehan mengagunkan saham yang belum terdaftar sebagai jaminan kredit dalam rangka akuisisi, merger dan konsolidasi, dapat dibenarkan dengan syarat saham yang diagunkan adalah saham yang mereka terbitkan sendiri.
(36)
Selanjutnya untuk mengefektifkan saham sebagai agunan, sangat diperlukan adanya penilaian (rating) yang objektif dan realistik atas semua perusahaan yang saudah terdaftar sahamnya di bursa efek. Sehubungan dengan itu, perlu dibentuk suatu “rating agency” (lembaga penilai) yang diberi otoritas penuh untuk membuat penilaian yang fair dan objektif sehingga dengan mudah masyarakat dapat mengetahui kedalam klasifikasi mana suatu perusahaan digolongkan. Tanpa rating yang resmi dari suatu badan yang memiliki otoritas sulit bagi pihak perbankan menentukan penilaian objektif atas saham yang dijadikan sebagai agunan, akibatnya menghmabta kelancaran pemberian kredit.
Lembaga rating sebenarnya tidak hanya dibutuhkan dalam mengantispasi pengguna saham sebagai agunan, tetapi meliputi jangkauan yang lebih luas terutama memperhatikan perkembangan commercial paper yang berperan juga sebagai agunan kredit jangka pendek. Sangat penting adanya rating agar dunia bisnis dan perbankan tahu sejak semula tentang kelas perusahaan yang mengeluarkan CP yang bersangkutan.
Selama belum ada lembaga rating yang berwenang secara resmi menentukan klasifikasi kelas setiap perusahan, pada dasarnya penilaian kita sangat ditentukan oleh penampilan perusahaan dari sisi luar, sehingga penilaian yang kita berikan sangat bercorak parsialitas.
Dari segi kompetitif, rating mempunyai peranan penting. Pengumuman hasil penilaian rating yang bersifat transparan akan mendorong setiap perusahaan meningkatkan kualitas di segala bidang. Hal ini membawa dampak positif terhadap kehidupan perekonomian secara luas. Melalui persaingan yang sehat
(37)
diantara semua perusahaan yang ada, dengan sendirinya akan memperoleh barisan pengusaha nasional yang tangguh dengan organisasi serta manejemen yang profesional.
Dari segi perkreditan akan memberi kemudahan bagi BI melakukan pengawasan. Di segi lain sejak dini dapat mencegah Bank memberi kredit kepada perusahaan – perusahaan yang tidak layak menerima pinjaman Bank. Jadi melalui hasil yang diumumkan lembaga rating akan menjadi peringatan untuk memberi kredit kepada suatu perusahaan. Dengan demikian rating langsung merupakan bagian dari “early warning system”.
C. Konsekwensi Terhadap Jaminan Akibat Debitur Wanperstasi
1. Saat Debitur Dinyatakan Cidera Janji Atau Wanprestasi
R. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian menyebutkan : “apabila si berhutang (debitur) tidak melakukan yang dijanjikannya, maka ia dikatakan melakukan wanprestasi atau ingkar janji”.
Dalam praktek perbankan penentuan saat debitur atau nasabah telah cidera janji atau wanprestasi ditentukan dalam surat perjanjian kredit. Pada akta perjanjian kredit sudah disebutkan saat debitur melaksanakan kewajibannya membayar kembali pinjamannya, baik pengembalian secara keseluruhan atau angsuran serta jangka waktu pengembalian kredit yang harus dipenuhi debitur.
Kredit yang diberikan Bank kepada debiturnya sebenarnya mengandung risiko untuk tidak dapat dikembalikan, yang dalam dunia perbankan dikenal dengan nama atau istilah Kredit Macet. Di mana yang dimaksud dengan kredit
(38)
macet tersebut adalah kredit yang tidak dilunasinya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak jatuh tempo.
Jadi apabila saat pembayaran yang telah ditetapkan dalam perjanjian kredit tidak dipenuhi, debitur dengan sendirinya telah wanprestasi. Macetnya kredit itu dapat disebabkan, baik karena debitur memang tidak sanggup lagi membayar Bank, maupun karena debitur memang tidak ada kemauan (beritikad buruk) untuk melunasi hutangnya.
Dengan demikian setiap saat kredit macet mempunyai sifat individual, artinya sifat setiap debitur akan berbeda satu dengan yang lain. Adanya kredit macet di atas tentunya merupakan beban bagi Bank. Untuk itu Bank akan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menarik kembali kredit macet tersebut dari debitur.
2. Akibat Hukum Debitur Cidera Janji Atau Wanprestasi
Debitur yang tidak melakukan prestasi telah ditentukan dalam perjanjian dinamakan wanprestasi. Dengan demikian setiap debitur mempunyai kewajiban untuk menyerahkan prestasi kepada kreditur. Kewajiban untuk melakukan prestasi ini dalam hukum disebut “schuld” yaitu kewajiban untuk membayar hutang.
Di samping debitur mempunyai kewajiban melunasi hutangnya, ia juga memikul kewajiban lain sebagai konsekwensi schuld tersebut, yang disebut “haftung” maksudnya bahwa debitur wajib merelakan hartanya diambil oleh kreditur sebagai hutang debitur guna pelunasan hutangnya. Azas pokok dari haftung ini dapat kita lihat dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi : “Segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik
(39)
yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk perikatannya perseorangan”.
Mengingat bahwa pelaksanaan prestasi yang terlambat adalah salah satu wujud dari wanprestasi, maka hal ini memberikan akibat bagi si debitur untuk membayar kerugian yang diderita oleh si kreditur.
Adapun yang menjadi akibat hukum bagi debitur yang melakukan wanprestasi adalah sanksi sebagai berikut :
a. Debitur diharuskan membayar ganti rugi yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata). Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan. b. Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) wanpretasi dari satu pihak
memberikan hak kepada pihak lain untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian kredit lewat hakim (Pasal 1266 KUH Perdata).
c. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanpretasi. (Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.
d. Membayar biaya perkara yang diperkarakan di muka hakim (Pasal 181 ayat (1) HIR).
e. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti rugi (Pasal 1267 KUH Perdata). Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.
Dalam Pasal 1763 disebutkan tentang kewajiban si peminjam yaitu orang yang menerima pinjaman diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang telah ditentukan. Dari pasal tersebut
(40)
jelas bahwa seorang debitur wajib mengembalikan fasilitasi kredit yang telah diterimanya sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kreditnya.
Apabila Bank berpendapat bahwa si peminjam tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan, maka dalam hal ini Bank mempunyai hak untuk menghentikan hubungan kredit sekaligus menagih pelunasan pembayaran seluruh hutang dari peminjam kredit.
Langkah-langkah yang ditempuh Bank sebagai tindakan akibat kredit macet oleh debitur antara lain :
a. Sebelum melakukan tindakan hukum terlebih dahulu terhadap debitur diberikan peringatan (sommatie) yang dilakukan sendiri oleh Bank, karena sesuai dengan Pasal 1238 KUH Perdata, somasi itu penting untuk lebih mengukuhkan bahwa debitur benar-benar telah melakukan cedera janji terhadap Bank. Bahwa pernyataan tersebut dilakukan oleh Bank tiga kali berturut-turut setelah kredit jatuh tempo dalam jangka waktu 15 hari untuk satu kali pernyataan dan seterusnya setiap bulan sampai kredit lunas.
b. Mendesak debitur untuk melakukan sendiri penjualan barang jaminan. Dalam melakukan pekerjaan ini Bank dapat membantu debitur dengan cara mencarikan calon pembeli. Namun dalam tranksasi jual beli barang jaminan tersebut Bank tidak dilibatkan sebagai salah satu pihak. Akan tetapi dilain pihak juga diatur sedemikian rupa agar uang hasil penjualan barang jaminan tersebut tidak jatuh ke tangan debitur (khususnya debitur
(41)
yang beritikad buruk), tetapi disetorkan ke Bank untuk diperhitungkan dengan pinjaman debitur.
c. Melakukan penjualan di bawah tangan berdasarkan surat kuasa untuk menjual. Dalam menerima suatu jaminan ada kalanya Bank di beri kuasa oleh pemilik jaminan untuk melakukan penjualan atas barang jaminan apabila fasilitas kredit yang dilindungi jaminan tersebut mengalami kemacetan.
d. Menyerahkan tagihan kredit macet pada Panitia Urusan Piutang Negara. Ketentuan untuk menyerahkan tagihan kredit macet kepada PUPN sebagaimana diatur dalam UU No. 49 tahun 1960 hanya berlaku bagi Bank-bank pemerintah.
Dalam perjanjian kredit yang dijaminkan dengan saham, apabila si debitur wanpretasi terhadap pelunasan hutangnya maka pihak Bank akan mengadakan peringatan terlebih dahulu, tetapi bila si debitur tetap tidak melunasi hutangnya lalu pihak Bank selaku pemberi kredit akan memerintahkan pencairan benda jaminan (saham) atau akan melaksanakan sendiri pencairan tersebut berdasarkan surat kuasa dari si debitur guna pelunasan hutangnya si debitur.
Dari hasil pencairan saham tersebut maka dilaksanakan pelunasan hutang si debitur, bila mana ada sisanya maka Bank wajib mengembalikan kepada si debitur.
(42)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Saham adalah suatu surat berharga yakni tanda penyertaan modal pada Perseroan Terbatas yang kini diterima sebagai jaminan kredit. Saham sebagai jaminan kredit Bank adalah merupakan jaminan tambahan sebagaimana diatur dalam SK Direksi Bank Indonesia Nomor 26/68/Kep/Dir.
2. Dalam sistem hukum Indonesia, saham tergolong dalam benda bergerak tak berwujud yang dapat diterima sebagai jaminan. Namun untuk memberikan kepastian hukumnya sekaligus untuk memberikan kenyamanan bagi pihak Bank dalam pemberian kredit dengan jaminan saham, maka dikeluarkanlah kebijaksanaan melalui SK Direksi Bank Indonesia Nomor 26/68/Kep/Dir, yang mengatur tentang saham sebagai jaminan tambahan.
3. Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan/ kepastian hukum kepada pihak Bank. Maka meskipun secar umum telah diatur oleh Undang-Undang yang memberikan jaminan bagi setiap kreditur sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Namun secara khusus diatur dalam UU Perbankan No. 7/1992 Pasal 8, yang menyatakan bahwa dalam
(43)
memberikan kredit, Bank umum wajib mempunyai keyakinan aats kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Oleh sebab itu jaminan mempunyai arti penting guna kepastian pelunasan hutang dikemudian hari apabila penerima kredit tidak melunasi hutangnya.
4. Saham sebagai jaminan tambahan dalam kenyataannya masih sulit diterima sebagai jaminan karena adanya prinsip kehati-hatian yang disebabkan oleh nilainya yang tidak stabil (berfluktuasi). Namun demikian apabila saham yang dimaksud solid (berasal dari perusahaan yang bonafit) tidak ada masalah, sebab apabila ternyata debitur wanprestasi maka jaminan saham tersebut dapat dengan mudah dicairkan untuk pelunasan hutang debitur, di samping karena sifatnya hanya sebagai jaminan tambahan saja.
5. Perjanjian kredit yang terdapat dalam UU Perbankan No. 7 tahun 1992 merupakan salah satu perjanjian seperti yang dimaksud Buku III KUH Perdata. Sehingga dalam perjanjian tersebut diperlukan Buku III KUH Perdata walaupun dalam Buku III tidak ada diatur mengenai perjanjian kredit tersebut.
(44)
B. Saran
1. Hendaknya saham lebih dimasyarakatkan, karena dengan demikian masyarakat yang kelebihan modal dapat menanamkan modal dan pengusaha yang memerlukan modal dapat memperoleh modal dalam ekspansi perusahaan, sehingga dengan demikian tingkat perekonomian akan semakin maju, yang bearti akan membawa manfaat yang besar bagi kesejahteraan masyarakat banyak, sebab dengan turut sertanya masyarakat luas memiliki saham berarti mereka akan memperoleh keuntungan dari modal yang ditanamkan.
2. Untuk mengefektifkan saham sebagai jaminan sangat diperlukan adanya penilaian (rating) yang objektif dan realistik atas semua perusahaan yang sudah terdaftar sahamnya di bursa efek, dan perlu pula dibentuk suatu lembaga rating yang mempunyai otoritas sehingga mudah masyarakat dapat mengetahui keadaan suatu perushaan yang menerbitkan saham. 3. Dalam hal pengabulan permohonan kredit yang diajukan calon debitur
hendaknya Bank memperhatikan asas-asas yang sehat dalam pemberian kredit yang bukan saja di fokuskan pada Five analysis tetapi juga harus menguntungkan pihak Bank serta sesuai dengan misi Bank yang bersangkutan.
(45)
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT
A. Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”.
Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas.2
Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung pengertian: “suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya”.
Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.
3
Berdasarkan pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain “hubungan hukum
2
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65.
(46)
(rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (person) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi “.4
Sesuai dengan pengertian di atas, perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/ rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.5
Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum/rechtshandeling. Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.6
Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak yang laim memikul kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau
4
Ibid., hal. 6. 5
Ibid., hal. 7. 6
(47)
voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai kreditur atau schuldeiser. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur.7
1. Hak kebendaan melekat pada benda dimana saja benda itu berada, jadi mempunyai melekat/droit de suite.
Karakter hukum kekayaan/harta benda ini bukan hanya terdapat dalam hukum perjanjian. Malahan dalam hubungan keluarga, hukum kekayaan mempunyai karakter yang paling mutlak. Akan tetapi seperti yang telah pernah disinggung di atas, karakter hukum kekayaan dalam harta benda keluarga adalah lahir dengan sendirinya, semata-mata karena ketentuan undang-undang. Hukum/ vermogenrecht kekayaan yang bersifat pribadi dalam perjanjian/verbintenis baru bisa tercipta apabila ada tindakan hukum/rechthandeling.
Sekalipun yang menjadi objek atau vorwerp itu merupakan benda, namun hukum perjanjian hanya mengatur dan mempermasalahkan hubungan benda/kekayaan yang menjadi objek perjanjian antara pribadi tertentu (bepaalde persoon).
Selanjutnya dapat dilihat perbedaan antara hukum benda/zakenrecht dengan hukum perjanjian:
2. Semua orang secara umum terikat oleh suatu kewajiban untuk menghormati hak seseorang atas benda tadi, tidak dapat diganggu gugat/in violable et sacre.
3. Si empunya hak atas benda, dapat melakukan segala tindakan sesukanya atas benda tersebut.8
7
(48)
Kalau hukum kebendaan bersifat hak yang absolut, hukum kebendaan dalam perjanjian adalah bersifat “ hak relatif “/relatief recht. Dia hanya mengatur hubungan antara pribadi tertentu. Bepaalde persoon, bukan terhadap semua orang pemenuhan prestasi dapat dimintanya. Hanya kepada orang yang telah melibatkan diri padanya berdasar suatu tindakan hukum. Jadi hubungan hukum/recht berrekking dalam perjanjian hanya berkekuatan hukum antara orang-orang tertentu saja.9
Seperti telah dikemukakan di atas, pada umumnya hak yang lahir dari perjanjian itu bersifat hak relatif, artinya hak atas prestasi baru ada pada orang/persoon tertentu, jika hal itu didasarkan pada hubungan hukum yang lahir atas perbuatan hukum.
Hanya saja dalam hal ini perlu diingatkan, bahwa gambaran tentang pengertian hukum benda yang diatur dalam KUHPerdata dalam Buku II, yang menganggap hak kebendaan itu “hak yang tidak dapat diganggu gugat/inviolable et sacre“ dan memiliki hak melekat kepada pemilikinta/droit de suite, tidak mempunyai daya hukum lagi. Sebab dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria sesuai dengan asas unifikasi hukum pertanahan, buku II KUH Perdata tidak dinyatakan berlaku lagi.
Terutama mengenai hubungan tanah dengan seseorang, tidak lagi ditekankan pada faktor hak. Tetapi dititik beratkan pada segi penggunaan dan fungsi sosial tanah, agar selaras dengan maksud dan jiwa pada Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.
9
(49)
Akan tetapi ada beberapa pengecualian :
1. Sekalipun tidak ada hubungan hukum yang mengikat antara dua orang tertentu (bepaalde persoon), verbintenis bisa terjadi oleh suatu keadaan/kenyataan tertentu. Misalnya karena pelanggaran kendaraan. 2. Atau oleh karena suatu kewajiban hukum dalam situasi yang nyata,
dapat dikonkritisasi sebagai verbintenis. Sekalipun sebelumnya tidak ada hubungan hukum antara dua orang tertentu, seperti yang dapat dilihat pada Waterkraan Arrest (H.R. 10 Juni 1910).10
Perjanjian/verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan. Dalam perjanjian, kreditur berhak atas prestasi yang telah diperjanjikan. Hak mendapatkan prestasi tadi dilindungi oleh hukum berupa sanksi. Ini berarti kreditur diberi kemampuan oleh hukum untuk memaksa kreditur menyelesaikan pelaksanaan kewajiban/prestasi yang mereka perjanjikan.
Apabila debitur enggan secara sukarela memenuhi prestasi, kreditur dapat meminta kepada Pengadilan untuk melaksanakan sanksi, baik berupa eksekusi, ganti rugi atau uang paksa. Akan tetapi, tidak seluruhnya verbintenis mempunyai sifat yang dapat dipaksakan.
Pengecualian terdapat misalnya pada natuurlijke verbintenis. Dalam hal ini perjanjian tersebut bersifat tanpa hak memaksa. Ajdi natuurlijk verbintenis adalah perjanjian tanpa mempunyai kekuatan memaksa.
Dengan demikian, perjanjian dapat dibedakan antara : 1. Perjanjian tanpa kekuatan hukum (zonder rechtwerking).
Perjanjian tanpa kekuatan hukum ialah perjanjian yang ditinjau dari segi hukum perdata tidak mempunyai akibat hukum yang mengikat. Misalnya perjanjian keagamaan, moral, sopan santun dan sebagainya. 2. Perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum tak sempurna seperti
natuurlijke verbintenis.
Ketidak sempurnaan daya hukumnya terletak pada sanksi memaksanya, yaitu atas keengganan debitur memenuhi kewajiban
(50)
prestasi, kreditur tidak diberi kemampuan oleh hukum untuk melaksanakan pemenuhan prestasi. Jadi tidak dapat dipaksakan.
3. Verbintenis yang sempurna daya kekuatan hukumnya, Disini pemenuhan dapat dipaksakan kepada debitur jika ia ingkar secara sukarela melaksanakan kewajiban prestasi. Untuk itu kreditur diberi hak oleh hukum menjatuhkan sanksi melalui tuntutan eksekusi pelaksanaan (perintah eksekusi) dan eksekusi riel (waktu eksekusi), ganti rugi serta uang paksa.11
B. Pelaksanaan Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua pihak saling berjanji melaksanakan sesuatu.
Hal ini adalah baru suatu gambaran saja yang nantinya bersama dilaksanakan atau diwujudkan oleh kedua belah pihak tadi. Sering terjadi didalam pelaksanaan perjanjian menimbulkan persoalan-persoalan yang pada waktu perjanjian dibentuk belum nampak jelas persoalan tersebut, oleh masing-masing memberi penafsiran sendiri-sendiri tentang maksud perjanjian yang mereka buat, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat maupun pertikaian-pertikaian diantara para pihak tersebut. Karena itu perlu adanya ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana melaksanakan dan memberi tafsiran pada pelaksanaan suatu perjanjian itu.
Untuk melaksanakan suatu perjanjian lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saj isi dari perjanjian tersebut atau dengan kata lain apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Biasanya orang-orang yang mengadakan suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan dengan tegas hak dan kewajiban mereka maka perjanjian itu kurang baik.
11
(51)
Pasal 1138 ayat 1 KUH Perdata menerangkan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya bahwa janji itu mengikat kedua belah pihak.
Namun demikian menurut Pasal 1339 KUH Perdata bahwa setiap perjanjian itu tidak saja hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian tersebut diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata mengatur bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Pasal ini merupakan salah satu sendi yang penting dalam hukum perjanjian. Artinya bahwa pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan kesusilaan.
Didalam pelaksanaan perjanjian tersebut idberikan hak atau kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian berdasarkan undang-undang yang berlaku serta keadilan.
Dari 2 ayat yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu ayat (1) dan ayat (3) dapat dilihat bahwa ayat (1) adalah sebagai syarat tuntutan kepastian hukum bahwa perjanjian yang dibuat adalah bebas tetapi sifatnya mengikat. Sedangkan ayat (3) tersebut harus dipandang sebagai suatu “tuntutan keadilan” yang artinya hukum itu selalu mengejar dua tujuan yaitu menjamin kepastian hukum dan memenuhi tuntutan keadilan.
Tentang bagaimana memberikan tujuan untuk melaksanakan perjanjian itu dapat diambil pedoman Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai berikut:
(52)
1. Semua perjanjian yang sah mengikat para pihak yang membuatnya sebagai undang-undang (Pasal 1338 KUH Perdata).
2. Jika kata-kata dalam suatu perjanjian cukup jelas maka tidak dibenarkan untuk memberikan penafsiran yang menyimpang dari padanya (Pasal 1342 KUH Perdata).
3. Apabila kata-kata dalam perjanjian dapat menimbulkan penafsiran yang berlainan, maka lebih dahulu harus diteliti apakah yang dimaksud pihak-pihak sebelum mengikat diri pada perjanjian itu (Pasal 1343 KUH Perdata).
4. Jika suatu janji dapat memberikan dua pengertian maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan untuk pelaksanaan perjanjian itu (Pasal 1344 KUH Perdata).
5. Jika kata-kata dalam suatu perjanjian dapat menimbulkan dua macam pengertian maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Pasal 1345 KUH Perdata).
6. Apabila ada yang meragukan dalam suatu perjanjian maka harus ditafsirkan menurut apa yang menajdi kebiasaan setempat dimana perjanjian itu dibuat (Pasal 1346 KUH Perdata).
7. Hal-hal yang menurut kebiasaan selemanya diperjanjian dianggap secara diam-diam dimaksudkan dalam persetujuan walaupun tidak dengan tegas dinyatakan (Pasal 1347 KUH Perdata).
8. Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tetapi janji harus ditafsirkan dalam rangka
(53)
perjanjian seluruhnya (Pasal 1348 KUH Perdata).
9. Jika dalam suatu perjanjian terdapat keragu-raguan maka perjanjian itu harus ditafsirkan atas kerugian orang lain yang telah meminta diperjanjikan, atau hal dan untuk keuntungan orang telah mengikatkan dirinya untuk itu (Pasal 1349 KUH Perdata).
10.Meskipun bagaimana luasnya kata-kata dalam suatu perjanjian disusun, namun persetujuan itu hanya meliputi hal-hal yang dimaksudkan oleh kedua belah pihak tersebut (Pasal 1350 KUH Perdata).
11.Jika seseorang dalam suatu perjanjian menyatakan sesuatu hendak menjelaskan perikatan, tidaklah ia dianggap mengurangi atau membatasi kekuatan persetujuan atau perjanjiannya untuk hukum dalam hal-hal yang tidak dinyatakan (Pasal 1351 KUH Perdata).
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian 3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai
(54)
perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si penjual mengingini sesuatu barang si penjual.12
Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.
Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.
Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.
13
Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif, dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
12
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hal. 17. 13
(55)
dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara tidak benar.
Mengenai kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu penulis harus melihat pendapat doktrin yang mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan perjanjian.
Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai pembatasan yang kedua dikemukakan oleh doktrin adalah adanya alasan yang cukup menduga adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.
Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah
(56)
mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya.14
1. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara sah.
Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan diatas adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut adalah orang yang dimaksudkannya.
Dalam halnya ada unsur penipuan pada perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan, gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya. Dalam hal penipuan inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau sebagaimana yang diatur Pasal 1365 KUH Perdata.
Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat 1 KUH Perdata. , Yurisprudensi dalam hal penipuan ini menerangkan bahwa untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya. Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk hal ini penulis kemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat kita bedakan:
14
(57)
2. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara suami isteri.
Perihal ketidak cakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH Perdata ada tiga, yaitu :
1. Anak-anak atau orang yang belum dewasa
2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan 3. Wanita yang bersuami
Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata diatas wanita bersuami pada umumnya adalah tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau mendapat izin dari suaminya.
Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala rumah tangga adalah besar sekali. Sesuai kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan Mahkamah Agung yang dengan surat edarannya No. 3 Tahun 1963 Tanggal 4 Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah
(1)
ANALISA SAHAM SEBAGAI JAMINAN DALAM
PERJANJIAN KREDIT
(STUDI PADA BANK BRI CABANG MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
B
B
A
A
T
T
A
A
R
R
A
A
B
B
I
I
S
S
A
A
N
N
J
J
A
A
Y
Y
A
A
NIM. 070200334
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA DG
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001
Pembimbing I
Sinta Uli, SH.M.Hum NIP. 195506261986012001
Pembimbing II
Puspa Melati, SH.M.Hum NIP. 196801281994032001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
(2)
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.
Adapun skripsi ini berjudul : “Analisa Saham Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit (Studi Pada Bank BRI Cabang Medan)”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan didalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.
Didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
(3)
2. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Rabiatul Syariah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Sinta Uli SH.M.Hum Selaku Dosen Pembimbing I penulis, terima kasih
atas masukan dan arahan dari ibu demi terselesainya skripsi ini.
5. Ibu Puspa Melati, SH.,M.Hum Selaku Dosen Pembimbing II penulis,
terima kasih atas masukan dan arahan dari ibu demi terselesainya skripsi ini.
6. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
7. Kepada ayahanda dan ibunda, atas segala perhatian, dukungan, doa dan
kasih sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.
8. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2007, selama
menjalani perkuliahan.
9. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Medan, Oktober 2013
Penulis
(4)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAK ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 4
C. Tujuan Penulisan ... 4
D. Manfaat Penulisan ... 5
E. Metode Penelitian ... 5
F. Keaslian Penulisan ... 6
G. Sistematika Penulisan ... 7
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT ... 9
A. Pengertian Perjanjian ... 9
B. Pelaksanaan Perjanjian ... 14
C. Syarat Sah Perjanjian... 17
D. Perjanjian Kredit... 25
BAB III. TINJAUAM UMUM TENTANG JAMINAN SAHAM ... 31
A. Lahirnya Suatu Jaminan... ... 31
B. Ketentuan Dan Prosedur Pembukaan Saham ... 35
(5)
BAB IV ANALISIS TENTANG SAHAM SEBAGAI JAMINAN
DALAM PERJANJIAN KREDIT ... 45
A. Pelaksanaan dan Pengikatan Saham Sebagai Jaminan Kredit ... 45
B. Keabsahan Berlakunya Saham Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit ... 48
C. Konsekwensi Terhadap jaminan Akibat Debitur Wanprestasi ... 66
BAB V. PENUTUP ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA
(6)
ABSTRAK
Sebagai suatu bentuk pemberian pinjaman meskipun dalam bentuk kemitraan maka landasan perjanjian pinjam meminjam juga mengikat para pihak. Ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata dan Undang-Undang Perbankan tetap menjadi landasan juridis dalam hal pemberian pinjaman. Salah satu hal yang menarik dalam kajian perjanjian pinjaman adalah perihal jaminan dari pihak peminjam. Hal ini disebabkan suatu kenyataan yang ditemukan bahwa peminjam terkendala dalam hal penyediaan jaminan untuk mendapatkan kredit dari pihak perbankan atau pihak lain yang menyalurkan kredit.
Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimana pelaksanaan dan pengikatan saham sebagai jaminan kredit, Bagaimana keabsahan berlakunya saham sebagai jaminan dalam perjanjian kredit, Bagaimana konsekwensi terhadap jaminan akibat debitur Wanprestasi.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa pelaksanaan dan pengikatan saham sebagai jaminan kredit adalah dimana saham merupakan jaminan tambahan sebagaimana diatur dalam SK Direksi Bank Indonesia Nomor 26/68/kep/Dir. Sedangkan keabsahan berlakunya saham sebagai jaminan dalam perjanjian kredit adalah dimana saham tergolong dalam benda bergerak tak berwujud tang dapat diterima sebagai jaminan. Namun untuk kepastian hukumnya sekaligus untuk memberi kenyaman bagi pihak Bank dalam pemberian kredit maka pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan melalui Sk Direksi Bank Indonesia Nomor26/68/kep/Dir yang mengatur tentang saham sebagai jaminan tambahan. Dan bagaimana konsekwensi terhadap jaminan akibat debitur Wanprestasi, maka secara otomatis saham yang dijaminkan oleh pihak debitur menjadi milik pihak kreditur (Bank).