Tabel 8. Hasil uji regresi linier ganda faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian ibu n=31
No. Variabel
bebas R
df1 df2
F P-value
sig
1.
Usia pengalaman
0,426 2
28 3,105
0,061
2.
Pengalaman 0,401
1 29
5,559 0,025
2. Pembahasan
Dalam pembahasan akan dijabarkan mengenai hasil penelitian, diantaranya faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian ibu dalam
merawat diri dan bayinya selama periode nifas dini.
2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian ibu dalam
merawat diri dan bayinya selama periode nifas dini
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian ibu dalam merawat diri dan bayinya selama periode nifas dini
seperti pengetahuan, motivasi, budaya, kepercayaan, pengalaman dan usia tidak keseluruhan yang mempengaruhi tingkat kemandirian responden. Ada dua faktor
yang mempengaruhi tingkat kemandirian ibu dalam merawat diri dan bayinya selama periode nifas dini yaitu pengalaman Sig = 0,046 dengan koefisien
korelasi R = 0,362 dan usia Sig = 0,032 dengan koefisien korelasi R = 0,387 yang artinya hubungan faktor pengalaman dan usia terhadap tingkat kemandirian
ibu positif dengan interpretasi lemah. Sedangkan faktor pengetahuan, motivasi, budaya dan kepercayaan tidak mempengaruhi tingkat kemandirian ibu dalam
Universitas Sumatera Utara
merawat diri dan bayinya selama periode nifas dini karena memiliki nilai Sig 0,05 dapat dilihat pada table 7.
Regresi linier ganda dengan menggunakan metode backward yang digunakan adalah untuk mengetahui faktor yang manakah yang paling dominan
mempengaruhi tingkat kemandirian ibu dalam merawat diri dan bayinya selama periode nifas dini. Hasil dari uji regresi linier ganda didapat bahwa faktor yang
paling dominan mempengaruhi tingkat kemandirian ibu dalam merawat diri dan bayinya selama periode nifas dini adalah faktor pengalaman.
Dalam melaksanakan tugasnya merawat bayinya, seseorang banyak dipengaruhi oleh faktor pengalaman dan usia. Pengalaman yang baru dalam
merawat diri maupun bayinya pascasalin diperoleh dengan cara membaca buku ataupun belajar dengan mendengarkan pengalaman orang lain yang pernah
melahirkan sebelumnya. Umumnya hanya sedikit wanita yang pernah merawat bayi sebelum melahirkan bayinya sendiri. Hal ini menyebabkan kelahiran anak
pertama akan menjadi hal yang menakutkan pada kebanyakan wanita karena pengalaman yang tidak dimilikinya dan usia yang relatif muda untuk mampu
beradaptasi dengan peran barunya. Dapat disimpulkan bahwa faktor pengalaman dan usia mempengaruhi
tingkat kemandirian ibu dalam merawat diri dan bayinya selama periode nifas dini. Hal ini sesuai dengan pendapat Basford 2006 bahwa kemampuan
perawatan diri secara mandiri dipengaruhi oleh tujuh faktor yaitu keterampilan yang sudah dimiliki, pengetahuan, motivasi, budaya, usia, kepercayaan dan nilai.
Berbeda dengan Potter Perry 2006 yang berpendapat bahwa perawatan diri perorangan tergantung dari citra tubuh, praktik sosial, status sosioekonomi,
Universitas Sumatera Utara
pilihan pribadi dan kondisi fisik. Sedangkan menurut Stright 2005 perawatan diri selama masa nifas dipengaruhi oleh faktor pengalaman pascasalin meliputi
sifat persalinankelahiran, tujuan kelahiran, persiapan persalinankelahiran yaitu peran dan transisi menjadi orang tua.
Berikut ini akan dijabarkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian ibu dalam merawat diri dan bayinya selama periode nifas dini.
a. Pengetahuan
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data 54,8 ibu nifas mengetahui bahwa setelah melahirkan ibu harus minum air paling sedikit 8-10 gelas per hari
atau minum air minimal satu gelas setiap sebelum menyusui. Dan 58,1 ibu nifas setuju dengan pernyataan bahwa setelah melahirkan ibu harus makan paling
sedikit satu mangkok sayur atau buah setiap sarapan. Ini menunjukkan bahwa responden telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kebutuhan gizinya
selama masa nifas sehingga ibu nifas dapat memenuhi kebutuhan gizi tersebut. Menurut Maryunani 2009 kebutuhan yang harus dicukupi oleh ibu nifas
adalah kebutuhan makanan yang seimbang, banyak mengandung protein, makanan berserat dan air sebanyak 8-10 gelas sehari untuk mencegah konstipasi.
Saleha 2009 juga menyatakan pendapat yang sama bahwa nutrisi yang baik dapat mempercepat penyembuhan ibu dan sangat mempengaruhi ASI. Diet yang
diberikan harus bermutu, bergizi tinggi, cukup kalori, tinggi protein dan banyak mengandung cairan.
Pengetahuan ibu mengenai manfaat dari mobilisasi juga sudah cukup baik. Hal ini ditunjukkan dari data hasil penelitian yaitu 58,1 ibu setuju bahwa
kegiatan-kegiatan ringan setelah melahirkan membantu mempercepat pemulihan
Universitas Sumatera Utara
tubuh selama masa nifas. Menurut Ratna 2009 ibu merasa lebih cepat sehat dengan membiarkan badan bergerak tanpa harus berlama-lama di tempat tidur.
Ibu sudah diperbolehkan bangun dari tempat tidur dalam 24-48 jam postpartum karena dengan mobilisasi dini dapat lebih memungkinkan ibu untuk mandiri
dalam merawat anaknya Ambarwati, 2009. Begitu juga dengan pengetahuan ibu yang cukup baik mengenai cara
merawat bayinya. Berdasarkan hasil penelitian 41,9 responden tidak setuju memandikan bayi baru lahir dengan air dingin. Menurut Dara 2010 memandikan
bayi dengan air dingin dapat membuat bayi lebih kuat adalah mitos yang berkembang dimasyarakat, padahal sebenarnya air dingin dapat membuat bayi
hipotermi. Sedangkan menurut Hidayat 2008 ketika memandikan bayi yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai bayi kedinginan.
Penelitian ini juga menunjukkan 45,2 responden tidak setuju popok bayi tidak perlu diganti setiap bayi buang air karena takut mengganggu tidur bayi.
Menurut Defka 2010 ibu harus sering mengganti popok apalagi jika bayi buang air. Hal ini dikarenakan kontak yang lama antara urin atau tinja dengan kulit bayi
dapat menimbulkan kulit bayi gatal-gatal dan merah. Dari data-data tersebut pengetahuan ibu nifas cukup baik mengenai
perawatan diri dan bayi selama periode nifas tetapi ada beberapa pernyataan yang kurang diketahui oleh ibu nifas yaitu mengenai cara membersihkan kemaluan
selama masa nifas, kebutuhan protein selama nifas, cara mengatasi kesulitan buang air besar dan kecil, serta involusi uteri.
Pernyataan cara membersihkan kemaluan selama masa nifas, 54,8 mengatakan setuju bahwa cara membersihkan kemaluan selama masa nifas adalah
Universitas Sumatera Utara
dari arah depan ke belakang dan kembali ke depan, dilakukan berulang-ulang supaya darah nifas benar-benar bersih. Hal ini mungkin disebabkan karena ibu
nifas tidak pernah tahu cara membersihkan kemaluan yang benar. Menurut Saleha 2009 pengetahuan yang pertama kali perlu diajarkan kepada ibu nifas adalah
cara membersihkan daerah di sekitar vulva dengan benar karena dapat mencegah terjadinya infeksi. Setiap kali ibu buang air besar dan kecil ibu harus
membersihkan vulva dari arah depan ke belakang, kemudian membersihkan daerah sekitar anus.
Untuk pernyataan banyak makan ikan laut dan telur dapat menyebabkan luka bekas melahirkan lama sembuh dan gatal, terdapat 48,4 ibu nifas setuju.
Hal ini dikarenakan pengetahuan ibu yang didapat dari orang tua ataupun keluarga yang lain. Menurut Anggorodi 1998, dalam Swasono, 1998 bahwa wanita pada
masa nifas dilarang untuk mengkonsumsi ikan oleh keluarga karena dikhawatirkan akan menyebabkan luka bekas melahirkan lama sembuh. Padahal
menurut Maryunani 2009 tidak dibenarkan untuk membatasi konsumsi makanan ibu nifas bila tidak terdapat alergi.
Selanjutnya pernyataan mengenai cara mengatasi kesulitan buang air besar dan kecil selama masa nifas yaitu 54,8 responden tidak setuju dengan
pernyataan bahwa kesulitan buang air besar setelah melahirkan selama masa nifas dapat dihindari dengan cara banyak bergerak. Menurut Saleha 2009 ambulasi
pada masa nifas dapat membuat faal usus dan kandung kemih lebih baik. Hal yang sama juga disampaikan Murkoff 2006 bahwa gerakan usus akan aktif dengan
melakukan mobilisasi dini seperti bangun dari tempat tidur ataupun berjalan di sekitar ruangan.
Universitas Sumatera Utara
Dari data juga didapatkan 58,1 ibu tidak setuju dengan latihan menahan dan menguncupkan anus dapat mengatasi kesulitan buang air kecil pada ibu
setelah melahirkan. Hal ini mungkin disebabkan karena ibu takut merasa sakit di daerah luka bekas melahirkan jika melakukan tehnik tersebut. Menurut
Ambarwati 2009 biasanya ibu merasa takut pada kemungkinan jahitannya akan lepas, juga merasa sakit sehingga menghindari penekanan pada area perineum.
Kesulitan buang air kecil selama masa nifas menurut Murkoff 2006 dapat diatasi dengan latihan Kegel karena dapat membantu mengembalikan kebugaran otot dan
kendali terhadap aliran air kemih. Demikian juga pada pernyataan mengenai involusi uteri. Mayoritas
responden yaitu 48,4 setuju bahwa pemakaian guritapemasangan gurita setelah melahirkan dapat mempercepat rahim mengecil kembali seperti sebelum
melahirkan. Hal ini mungkin karena ibu menganggap ini adalah salah satu upaya untuk mendukung perut kembali ke bentuk semula. Menurut Bidanku 2009
sejak dulu sampai sekarang banyak wanita pascasalin yang memakai stagen atau gurita setelah melahirkan agar perut kembali kencang dan langsing. Padahal
stagen atau gurita tidak memberikan efek positif dalam mengecilkan atau mengencangkan perut karena sifatnya yang pasif. Pada saat memakai stagen atau
gurita, perut memang akan terasa kencang, namun setelah stagen atau gurita dilepas, perut akan kembali kendur seperti semula. Menurut Ayahbunda 2010
ada banyak upaya yang perlu dilakukan ibu baru jika ingin langsing kembali, termasuk menyusui dan mengurus bayi sendiri serta dibarengi pula dengan makan
makanan bergizi, beristirahat yang cukup serta berolahraga teratur.
Universitas Sumatera Utara
b. Motivasi
Motivasi pada dasarnya merupakan interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapinya. Motivasi tidak terlepas dari kata kebutuhan yang
berarti suatu potensi dalam diri manusia yang perlu ditanggapi atau direspon. Tanggapan terhadap kebutuhan tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan untuk
pemenuhan kebutuhan tersebut, dan hasilnya adalah orang yang bersangkutan merasa atau menjadi puas Notoatmojo, 2007. Hal ini sejalan dengan data hasil
penelitian yaitu 51,6 responden sangat setuju bahwa kemandirian dalam melakukan perawatan diri dan bayi merupakan kepuasan jiwa. Ini menunjukkan
bahwa apabila kebutuhan ibu dan bayi selama masa nifas dapat ditanggapi atau direspon dengan melakukan tindakan secara mandiri, maka akan timbul kepuasan
pada diri sendiri. Data penelitian juga menunjukkan bahwa 51,6 responden setuju bahwa
mereka mempunyai keinginan yang kuat dari diri sendiri untuk merwat diri dan bayinya secara mandiri. Hal ini senada dengan motivasi yang diungkapkan oleh
Terry G 1986, dalam Notoatmojo, 2007 yaitu keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
serta yang menyebabkan dan mendukung tindakan atau perilaku seseorang. Menurut Bobak 2004 apabila ibu telah menerima asuhan yang cukup
selama beberapa jam atau beberapa hari pertama maka pada hari kedua atau ketiga keinginan untuk mandiri timbul dengan sendirinya. Dalam fase dependen-mandiri
ibu, secara bergantian muncul kebutuhan untuk mendapat perawatan dan penerimaan dari orang lain dan keinginan untuk bisa melakukan segala sesuatu
secara mandiri. Ibu akan berespon dengan penuh semangat untuk memperoleh
Universitas Sumatera Utara
kesempatan belajar dan berlatih tentang cara perawatan bayi dan ia akan berupaya keras untuk merawat bayinya secara langsung. Hal ini mendukung data yang
didapat dari hasil penelitian bahwa 51,6 responden setuju bahwa mereka akan berupaya keras mandiri dalam beraktifitas, terutama dalam merawat diri dan
bayinya setelah melahirkan. Data-data tersebut menunjukkan bahwa motivasi ibu dalam merawat diri dan bayinya selama periode nifas dini sudah cukup baik.
c. Budaya
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 45,2 responden selalu menjadikan kebiasaan turun-temurun keluarga sebagai pedoman dalam melakukan perawatan
diri dan bayi. Ini menunjukkan bahwa nilai budaya yang dianut individu dijadikan pedoman dalam berperilaku setiap individu dalam kehidupannya.
Keanekaragaman dalam kebudayaan baik dalam unsur mata pencaharian, ekologi, kepercayaanreligi, organisasi sosial dan lainnya secara langsung memberikan
pengaruh terhadap kesehatan individu. Salah satunya adalah pandangan mengenai kesehatan ibu dan bayi Dumatubun, 2002.
Dari hasil penelitian didapatkan data 48,4 responden tidak setuju dengan pernyataan tahu cara merawat diri dan bayinya selama masa nifas adalah dari
adat-istiadat yang diturunkan. Data ini bertentangan dengan pendapat Swasono 1998 mengatakan bahwa adat-istiadat mengenai kehamilan, kelahiran serta
perawatan bayi dan ibunya telah diwariskan turun-temurun dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Ini berarti bahwa sebagian dari responden yang
menjadi sampel dalam penelitian ini yaitu ibu pada masa nifas tidak melakukan perawatan diri dan bayi dengan mengikuti kebiasaan yang berasal dari adat-
istiadatnya yang sering dikhawatirkan dapat membahayakan kondisi kesehatan
Universitas Sumatera Utara
diri dan bayinya. Pengetahuan mengenai cara merawat diri dan bayi selama masa nifas hendaklah didapat dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kebanyakan ibu muda yang merupakan generasi pertama atau kedua dari keluarganya yang mengikuti adat-istiadat mereka hanya jika ada anggota keluarga
yang lebih tua Bobak, 2004. Peranan keluarga sebagai pendorong atau pemberi anjuran mengenai
larangan-larangan selama masa nifas cukup besar Bobak, 2004. Hal ini dapat dikaitkan dengan hasil penelitian yaitu 48,4 setuju bahwa banyak larangan-
larangan bagi mereka ketika melakukan perawatan diri dan bayi yang berasal dari orang tua. Larangan-larangan yang biasa mereka dapatkan berupa larangan makan
dan larangan perbuatan. Menurut Anggorodi 1998, dalam Swasono, 1998 konsepsi budaya masyarakat mengenai larangan ditujukan untuk menjaga
keselamatan bayi dan ibu, namun alasan yang dikemukakan mengenai adanya larangan-larangan tersebut sering tidak bersifat logis. Misalnya wanita pada masa
nifas dilarang untuk mengkonsumsi ikan karena dikhawatirkan akan menyebabkan luka bekas melahirkan lama sembuh. Ternyata bahan-bahan
makanan yang dilarang sebenarnya mempunyai nilai gizi yang baik dan dibutuhkan untuk kondisi wanita yang bersangkutan. Sebagian masyarakat
sebenarnya tidak memahami alasan dari larangan-larangan tersebut, dan hanya melaksanakannya karena alasan takut atau tidak menunjukkan kepatuhan kepada
adat dan orang-orang yang dituakan dalam keluarga. Pernyataan tersebut juga didukung hasil penelitian yang lain yaitu 51,6 responden setuju untuk
mementingkan perkataan orang yang dituakan dalam keluarganya ketika melakukan proses perawatan diri dan bayi.
Universitas Sumatera Utara
d. Kepercayaan
Manusia tidak dapat dilepaskan dari sistem kepercayaan terkait dengan sikap dan perilaku individu untuk mendapatkan kesehatan wikipedi, 2009. Dari
hasil penelitian didapatkan data bahwa 48,4 responden setuju bahwa agamakepercayaan mempengaruhi perilaku dalam merawat diri dan bayi.
Menurur Potter Perry 2006 agama dan hubungan kekeluargaan memberikan pengaruh pada pembentukan perilaku sehat.
Data penelitian menunjukkan 45,2 responden juga sangat setuju dengan pernyataan agama mengajarkan bahwa Tuhan akan memberikan kesehatan kepada
diri dan bayi selama periode nifas jika mau memeliharanya. Hal ini mungkin disebabkan karena ibu nifas percaya bahwa Tuhan selalu memberikan rahmat-Nya
berupa kesehatan jika mau memeliharanya. Menurut Hendra 2010 memiliki kesehatan merupakan anugrah tertinggi dari Tuhan. Ini menunjukkan bahwa
manusia merupakan satu kesatuan dari unsur jasmani dan rohani sehingga pemahaman yang benar terhadap tubuh yang rapuh yang merupakan sarang suatu
penyakit akan mendorong manusia memperhatikan perawatan tubuhnya dengan baik.
Menurut Muhtarom 2008 keyakinan agama dapat meningkatkan semangat orang, dan hal ini berpengaruh baik pada kesehatan.
Kepercayaan kepada Tuhan juga memiliki pengaruh baik pada kesehatan manusia daripada
kepercayaan kepada apa pun yang lain seperti halnya perawatan ibu nifas dan bayinya.
Universitas Sumatera Utara
e. Pengalaman
Hasil penelitian didapat bahwa 51,6 responden adalah multipara. Menurut Bobak 2004 pengalaman memberikan pengaruh pada perilaku ibu
untuk melakukan perawatan diri pascasalin. Pengalaman ibu dimana ibu yang multipara akan lebih realistis dalam mengantisipasi keterbatasan fisiknya dan
dapat lebih mudah beradaptasi terhadap peran dan interaksi sosialnya. Kemampuan wanita multipara dalam merawat bayi mungkin sudah lebih baik
dibandingkan dengan kelahiran anak pertamanya. Berdasarkan hasil penelitian 48,4 responden adalah wanita primipara.
Sebagian wanita primipara pernah merawat bayi sebelum mereka melahirkan bayi mereka sendiri seperti menggendong bayi atau mengasuh bayi. Pengalaman ini
mereka dapatkan ketika mereka mengasuh adik ataupun keluarga lainnya. Pengalaman yang baru dalam merawat diri dan bayi pascasalin dapat juga
diperoleh dari membaca buku ataupun belajar dengan mendengarkan pengalaman orang lain yang pernah melahirkan sebelumnya Nolan, 2004. Hal ini
dikarenakan peran menjadi orang tua adalah peran yang dapat dipelajari yang memerlukan waktu supaya dapat dikuasai dan akan semakin baik secara bertahap
seiring perubahan kebutuhan, baik kebutuhan orang tua maupun kebutuhan bayi Bobak,2004.
f. Usia
Usia sangat mempengaruhi tingkat kemandirian ibu nifas dalam merawat diri dan bayinya. Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa 45,2 responden
berada pada rentang usia 23-28 tahun, dimana rentang usia ini berada pada masa dewasa awal. Pada masa dewasa awal akan menunjukkan terjadinya kematangan
Universitas Sumatera Utara
mulai dari kematangan fisik, psikis dan kognitif seseorang. Hal ini menunjukkan perkembangan kemampuan untuk belajar dan bentuk perilaku pengajaran yang
dibutuhkan Potter Perry, 2006. Rentang usia 23-28 tahun dianggap masa yang paling baik bagi seseorang untuk memiliki anak, karena tidak terlalu tua dan tidak
terlalu muda untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada masa nifas.
Pada usia ibu muda perawatan pascabersalin yang dilakukan akan berbeda dengan ibu yang memiliki usia lebih tua, dimana ibu yang berusia lebih dari 35
tahun merasa bahwa merawat bayi baru lahir melelahkan secara fisik. Sebagai perbandingan dengan ibu dewasa, ibu remaja memiliki pengetahuan yang terbatas
tentang perkembangan anak. Pengetahuan yang terbatas ini dapat membuat remaja tidak memberi respon yang tepat terhadap bayi mereka. Remaja juga dapat
mengalami kesulitan dalam menerima perubahan citra diri dan menyesuaikan peran-peran baru yang berhubungan dengan tanggung jawab merawat bayi
Bobak, 2004.
2.2 Tingkat kemandirian ibu dalam merawat diri dan bayinya selama periode nifas dini