Mengaitkan Cerita Pendek dengan kehidupan Sehari-hari
B. Mengaitkan Cerita Pendek dengan kehidupan Sehari-hari
Tujuan Pembelajaran Pada subbab ini, Anda akan menganalisis keterkaitan unsur
intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari. Setelah mempelajari subbab ini, Anda diharapkan dapat mengaitkan isi cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
tak pernah kekurangan apa pun. Semua yang aku Dunia tak lagi indah bagiku, meski langit sedang mau, sekarang aku minta, esok pagi saat aku baru berpesta di atas sana. Hatiku terasa jauh lebih sakit membuka mata, pasti aku telah mendapatkannya. saat tadi sore, setelah bencana itu, aku pulang ke Aku cantik, setidaknya aku primadona desa. Aku rumah orang tua kandungku. Aku menceritakan juga sudah memiliki belahan hati yang telah kuyakini
semuanya, namun tak memperoleh pembelaan di adalah jodohku. Laki-laki tersebut bernama Awan. sana. Di rumah orang tua yang telah melahirkanku. Itu yang dulu aku namai keberuntungan.
“Kamu sudah dewasa, kamu sudah jadi wong Aku menikmati semua anugerah Tuhan tersebut. pinter nduk, dan semua itu karena jasa Pak Ahmad, Tapi, saat ini tidak demikian, aku berharap ada bapak angkatmu. Jangan jadi anak durhaka Sekar, bintang jatuh, berharap mitos tentangnya benar. mintalah maaf kepadanya dan turuti apa yang beliau Satu keinginan yang ingin aku minta adalah aku tak minta.” Hatiku sakit mendengar kalimat itu, ringan ingin jadi diriku sekarang. Aku ingin menjadi Sekar, keluar dari bibir ibu, wanita yang mengandung dan gadis desa anak Pak Kardi dan Ibu Karmi, buruh tani melahirkanku. Meski tanpa melihat wajah beliau, yang tak lulus SD. Aku ingin seperti Mbak Gendis aku tahu tak ada beban dari nada suaranya. Ah ibu, dan Mbak Elok.
apa benar tak ada lagi cintamu untukku? Langit masih bertabur bintang di atas sana, masih
menyiratkan keindahan alam awang-awang nun tak terjamah. Angin malam mulai membuatku menggigil. Aku baru sadar, aku tidak sedang di
Sumber: Ilustrasi Agus
rumah Pak Kepala Desa yang megah dan hangat. Namun, aku sedang meringkuk di sudut balai desa tak berdinding, tanpa alas, dan tanpa teman.
Aku tak tau apakah bapak angkatku saat ini sedang sibuk mencariku atau hanya diam di rumah menungguku pulang sendiri. Meminta maaf
Semua masih biasa saja sampai kemarin, namun kepadanya, lalu dengan santun mengatakan bahwa sebuah kejadian tadi siang benar-benar menjungkir
aku akan ikhlas menerima apa pun yang beliau balik duniaku. Seharusnya, siang ini menjadi saat mau. paling indah dalam hidupku. Sebulan yang lalu, Baru kali ini aku tahu betapa berharga sebuah
Awan mengungkapkan niat untuk melamarku dan kemerdekaan dan kebebasan menentukan pilihan aku setuju. Aku telah merangkai jutaan angan sendiri. Andai aku bisa, aku ingin kembali ke masa tentang masa depan kami, tentang rumah mungil lalu, aku tak ingin mengenal seseorang yang pernah yang hangat. Tentang bayi-bayi lucu yang kelak aku anggap malaikat itu. Tak apalah aku hanya menjadi calon profesor.
menjadi gadis desa yang bodoh, seperti yang lain, hidup bersama Awan.
Sebuah hal yang tak aku duga, ternyata, merusak segalanya. Kedatangan Awan hari ini tak kunyana tak
Awan, mengingatnya kembali membuat dadaku mendapatkan sambutan baik dari bapak angkatku.
sesak. Aku bodoh, aku lemah, dan aku tak mampu Beliau menolak mentah-mentah niat Awan untuk melawan. Kuintip lagi langit yang tampak jelas dari meminangku. Bahkan, beliau bersumpah tidak akan
tempatku menyudut, tetap semarak meski sangat menyetujui hubungan kami sampai kapan pun. Aku
sepi. Pasti sudah lewat dini hari, kelengangan tak pernah melihat bapak semarah itu, tidak sama
meraja.
sekali sejak 11 tahun aku mengenal beliau.
****
Tapi, hari ini malaikat itu berubah menjadi monster Silau mentari menerpa wajahku, aku menyi-pitkan paling menakutkan. Semua tak seperti kemarin lagi.
mata karenanya. Hari sudah terang. Aku tersentak
51
Bab 5 Peristiwa
52 Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/MA Kelas X
kaget saat menyadari ada seseorang di dekatku. Bapak? Bagaimana bisa orang yang kuhujat semalaman itu tiba-tiba duduk di dekatku. Sebuah sarung kotak-kotak warna hijau menyelimuti tubuhku. Aku kenal betul benda itu, sarung yang sengaja aku beli untuk Bapak saat aku liburan ke Jogja dulu. Bapak selalu mengenakannya. Air mataku meleleh melihat malaikat itu tertidur dalam posisi duduk. Pastilah tulang-tulang tua tersebut memberinya rasa pegal dan sakit yang menyiksa. Tiba-tiba aku merasa sangat berdosa kepadanya. Bapak, maafkan aku.
“Jangan menangis cah ayu,…jangan cengeng..” Rupanya, isak tangisku mengusik tidur beliau. Tangan tuanya yang keriput mengusap air mata di pipiku. Aku makin tersedu.
“Bapak tahu kamu sangat marah sama Bapak karena kejadian kemarin….” Suara datar penuh wibawa itu terdengar sangat halus.
“Bapak tak akan melarangmu menikah dengan siapa pun. Kamu bebas memilih, kamu telah dewasa, bahkan sebentar lagi kamu akan sah jadi sarjana, yang pertama dan satu-satunya di desa ini. Tapi, jangan dengan anak bajingan itu, sampai mati pun bapak tak rela..” Aku memilih diam, aku hanya terisak dan semakin terisak. Aku pasrah saja saat bapak angkatku itu menuntunku pulang.
Seminggu sudah bencana itu berlalu, aku memilih patuh kepada Bapak. Sudah seminggu pula, aku menghabiskan malam tanpa menutup mata. Berdiam diri di balkon kamarku sambil menatap langit berharap dapat menemukan bintang jatuh. Malam ini, kupastikan tak ada bintang jatuh, hujan sudah mengguyur bumi mulai sore tadi. Tapi, aku tetap seperti hari-hari sebelumnya.
“Nduk Sekar, dipanggil Bapak,” suara Mbok Jah terdengar dari balik pintu kamarku.
“Ya Mbok, terima kasih,” jawabku acuh tanpa membuka pintu
“Nduk, dipanggil Bapak,” Mbok jah mengulangi panggilannya.
“Iya..iya.., bentar!!!” sambil membuka pintu kubentak wanita sepuh itu.
“Maaf Nduk, tapi Bapak sedang sakit. Beliau ingin bertemu dengan Nduk Sekar.”
“Sakit? Sakit apa? Sejak kapan Mbok? Sepertinya, kemarin-kemarin aku melihat Bapak sehat-sehat saja?” aku menghujani pertanyaan kepada Mbok Jah sambil melangkah menuju kamar Bapak. Pintu kamar itu terbuka sebagian, dari luar aku sudah dapat melihat wajah Bapak. Pucat dan lemah.
“Bapak kenapa?? Bapak….” aku menjerit histeris sambil memegangi tangan Bapak.
“Jangan menikah dengan anak Surya, Sekar. Berjanjilah pada Bapakmu ini,….berjanjilah,” suara itu samar, hampir tak terdengar tapi sangat menghujam jantungku. Refleks aku mengangguk.
“Aku berjanji Bapak, aku berjanji,….”
Hari ini aku terpaku menatap gundukan tanah yang masih basah. Semerbak bau kembang terbawa angin bersama debu dan daun kering. Di bawah sana, malaikat sekaligus monster itu terbaring untuk selamanya meninggalkan janji yang sangat berat di pundakku.
Di seberang sana, aku melihat sosok yang sangat aku kenal. Awan terpaku di bawah pohon kamboja. Seakan memintaku untuk mendekatinya. Aku ingin berlari ke arahnya menumpahkan kerinduanku. Tapi, janji yang aku ucap semalam kepada jasad yang tertidur di bawah nisan ini merantai kakiku. Aku memilih untuk meninggalkan tempat itu, tanpa menegur atau sekadar membalas tatapannya.
Nyawaku tak utuh lagi. Mungkin pergi bersama Bapak atau tinggal bersama Awan yang masih terpaku di bawah pohon kamboja. Janji adalah utang. Kepada beliau, aku tak hanya utang janji, tapi juga utang budi. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatu, meski untuk sebutir Nyawaku tak utuh lagi. Mungkin pergi bersama Bapak atau tinggal bersama Awan yang masih terpaku di bawah pohon kamboja. Janji adalah utang. Kepada beliau, aku tak hanya utang janji, tapi juga utang budi. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatu, meski untuk sebutir
dokter mengatakan bahwa mereka meninggal karena bisa hidup tanpa Awan.
DBD. Saat itu, memang desa ini sedang diserang wabah DBD. Namun, karena kejadian tersebut
Tapi, aku telah memilih untuk menepati janjiku hanya berselang satu hari setelah kemenangan
kepada Bapak. Biarlah takdir sendiri yang Bapak, beliau meyakini ada kekuatan lain yang
menentukan jalan kami. Seperti bintang yang merenggut nyawa dua orang keluarganya itu hingga
patuh untuk turun ke bumi saat Sang Mahakuasa meninggal secara bersamaan. (*)
menghendakinya demikian. Penulis adalah pelajar Universitas Brawijaya
Dendamlah yang membuat Bapak sangat membenci Pak Surya, orang tua Awan. Bapak sangat meyakini
Sumber:Dikutip dari Jawa Pos, Senin, 02 Juni 2008
bahwa kematian istri dan putri tunggalnya, Mbak Lastri, adalah karena teluh yang dikirim Pak Surya yang kala itu kalah pemilihan kepala desa.
Latihan 2
1. Cobalah Anda teliti, apakah cerpen berjudul 2. Tulislah hal-hal yang relevan dengan kehidupan “Menunggu Saat Bintang Jatuh” di atas masih
sehari-hari dari cerpen tersebut! relevan dengan kehidupan sehari-hari?
Latihan 3
1. Bacalah sebuah cerpen dalam buku, surat
3. Telitilah cerpen tersebut, apakah masih kabar, atau majalah! Jika menarik, klipingkan
relevan dengan kehidupan sehari-hari? Jika cerita tersebut agar sewaktu-waktu dapat
ada jelaskan!
Anda baca kembali!
2. Tulislah pendapat Anda mengenai latar dan penokohan cerpen tersebut dengan menunjukkan kutipan yang mendukungnya!