SISTEM PENGAWASAN TERHADAP KINERJA HAKIM

Queensland

Berbeda dengan sistem peradilan di Thailand, dalam sistem peradilan di Queensland tidak terdapat Judicial Commission yang menaungi kehakiman di Queensland. The Constitution of Queensland 2001 (Qld) menetapkan prosedur

42 Thailand Courts of Justice, “Administrative Organization of the Courts of Justice”

http://www.coj.go.th/en/administrativeorganization.html, diakses 16 Maret 2016.

43 Thailand, Judicial Service Act B.E. 2543 (AD 2000), Ps. 15 (2).

untuk menangani keluhan yang bisa dibenarkan untuk memberhentikan Hakim. Hakim disini didefinisikan sebagai hakim Mahkamah Agung atau district court 44 .

Indonesia

Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dikatakan bahwa pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kemudian pengawasan

internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung. 45 Sebagai bentuk pengawasan dari dalam (internal), segala bentuk pengawasan dari dalam di semua lembaga pengadilan di kendalikan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung. Namun masalah yang muncul ialah pengawasan secara internal cenderung tertutup dan tidak terbuka kepada masyrakat. Dikarenakan oleh hal ini, perlu dibentuknya sebuah lembaga pengawasan dari luar lingkungan pengadilan sebagai bentuk pengawasan secara obyektif serta tak berpihak dan menjadi media kontrol dari luar (eksternal) terhadap penegakan perilaku hakim.

B. Mekanisme Pengawasan Internal

Thailand

Untuk efisiensi administrasi pengadilan, seorang hakim harus menggunakan upaya terbaik nya dalam menjalankan tugas, dan harus memastikan bahwa bawahannya juga menggunakan upaya yang jujur dalam melaksanakan tugasnya. Hakim harus melaksanakan tugas-tugas resmi sesuai dengan perintah yang sah dari pejabat pengawasan dan hierarki komando kecuali ia diperbolehkan untuk melampaui hierarki. Hakim harus mengawasi bawahannya dengan keadilan dan mengarahkan mereka untuk mempertahankan disiplin dan etika. Ketika bawahannya melanggar disiplin profesi, maka hakim harus melaporkan kepada pengawas resmi dan tidak boleh menyembunyikan kenyataan apapun.

Queensland

Untuk mengawasi perilaku Hakim di Queensland, The Queensland Crime and Misconduct Commission (CMC) mempunyai yuridiksi atas perilaku hakim yang

44 Constitution of Queensland 2001 (Qld) s 56. 45 Indonesia. Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009; LN. Tahun 2009; TLN Nomor 5076, Ps. 39 ayat 1-2.

dapat dikeluarkan dari jabatannya. CMC mempunyai kewenangan untuk menyelidiki perilaku hakim tersebut, namun hanya sebatas proses yang disetujui dan dikonsultasikan oleh hakim ketua. CMC juga harus menyerahkan berkas yang

berhubungan dengan pemeriksaan pengadilan 46 .

Indonesia

Mekanisme pengawasan internal yang dilakukan ialah :

1. Penelitian awal terhadap indikasi pelanggaran, yaitu :  Pengawasan melekat;  Pengawasan rutin;  Pemantauan pemberitaan media  Penerimaan lapopran masyarakat

1. Rapat penentuan tindak lanjut atas temuan kegiatan pengawasan. Pada rapat ini setiap pengawas fungsional memaparkan hasil penelitian awal, kesimpulan serta rekomendasi tindak lanjut terhadap dugaan pelanggaran perilaku pejabat pengadilan berdasarkan hasil pengawasan. Berdasarkan hasil pembahasan, Tuada Wasbin (sebuah unit di MA bagian pengawasan & pembinaan) akan menetukan

 Apakah akan ditindaklanjuti atau tidak;  Jenis pelanggaran;  Ancaman hukuman disiplin yang dijatuhkan;

2. Kegiatan dan prosedur pemeriksaan

3. Penentuan rekomendasi akhir hasil pemeriksaan dan penjatuhan sanksi

C. Mekanisme Quasi Yudisial dalam Rangka Menegakkan Disiplin Profesi

Thailand

Seorang hakim tidak boleh terlibat dalam suatu pekerjaan, profesi, atau kegiatan yang akan mempengaruhi tugas dan integritas keadilan 47 . Hakim tidak boleh bertindak dengan cara apapun untuk mempengaruhi kinerja, tugas, atau integritas dari Judicial Commission, Judicial Administration Commission, Sub- Judicial Commission, Sub-Judicial Administration Commission, komite investigasi,

46 Crimes and Misconduct Act 2001 (Qld) s 70(2).

47 Thailand, Code of Conducts, Ps. 26.

komisi investigasi yang faktual dan unggul yang memiliki tugas untuk melaporkan termasuk subkomite yang ditugaskan oleh Judicial Commission, Judicial Administration Commission untuk melaksanakan tugas resmi dengan cara yang

mengkompromi keadilan dan kemerdekaan 48 .

Queensland

Seorang hakim seharusnya tidak menerima janji untuk menempati sebuah komite pemerintah, komisi, atau posisi lain yang peduli dengan masalah fakta atau kebijakan daripada hal-hal selain perbaikan hukum, sistem hukum, atau administrasi peradilan. Hakim, bagaimanapun, dapat mewakili negara, negara bagian, atau lokasi pada acara-acara seremonial atau sehubungan dengan kegiatan sejarah,

pendidikan, dan budaya 49 .

Indonesia

Pada dasarnya, mengenai pengawasan dalam bidang profesi hakim hanya terbagi dalam pengawasan internal dan eskternal. Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dikatakan bahwa pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kemudian pengawasan internal atas tingkah laku hakim

dilakukan oleh Mahkamah Agung. 50

Adapun pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dirasa kurang efisien dan tidak berjalan dengan fair sehingga diperlukan badan pengawas baru bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia. Untuk itulah dibentuk Komisi Yudisial sebagai pengawas eskternal kekuasaan kehakiman.

Pengawasan oleh Komisi Yudisial dikategorikan sebagai pengawasan eksternal dengan fokus pada pengawasan perilaku dalam sidang, di luar sidang dan penyimpangan wewenang dalam putusan. Dalam pengawasan, Komisi Yudisial menerapkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman bukanlah kewenangan absolut, tetapi relatif yang harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, moral, dan etika.

48 Thailand, Code of Conducts, Ps. 34/1.

49 Queensland. Queenslan d Magistrates’ Code of Conduct, psl. 7. 50 Indonesia. Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009; LN. Tahun 2009; TLN Nomor 5076, Ps. 39 ayat 1-2.

Secara konstitusional kedudukan lembaga quasi-peradilan dalam sistem kekuasaan kehakiman adalah bagian dari sistem kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 maupun Undang- undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengakui lembaga quasi-yudisial sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Untuk memaksimalkan pelaksanaan kekuasaan yudisial lembaga-lembaga tersebut maka diperlukan kebijakan hukum untuk membangun hubungan fungsional-konstitusional antara KPPU sebagai lembaga quasi-peradilan dengan MA sebagai puncak organisasi kekuasaan kehakiman. Disamping itu perlu juga dilakukan upaya pengawasan terhadap perilaku komisioner KPPU untuk menghindari mafia peradilan dan menghidari abuse of power dari komisioner KPPU.Pengawasan dimaksud dilakukan dengan memasukan pengawasan komisioner KPPU menjadi kewenangan Komisi Yudisial dan MA.

3.1.2 Pengawasan Ekstenal

A. Dasar Keberadaan Pengawasan Eksternal

Thailand

Bab X Konstitusi Kerajaan Thailand 2007 tentang Pengadilan mengatur mengenai Judicial Commission of The Court dan Judicial Commission of Administrative of Court (selanjutnya disebut JCAC). JCAC diatur dalam Bagian 2 mengenai Lembaga

Peradilan (Umum), khususnya Pasal 218 sampai dengan 222, dan JCAC juga diatur dalam Bagian 3 mengenai Peradilan Administrasi khususnya Pasal 223 sampai dengan Pasal 227 Konstitusi Kerajaan Thailand tahun 2007.

Queensland

Seorang hakim dapat ‘dihapus’ dari jabatannya oleh Dewan Gubernur di Majelis Legislatif apabila terbukti melakukan kesalahan atau ketidakmampuan untuk melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang hakim. 51 Alasan ini hanya dapat

dibuktikan oleh Majelis Legislatif yang menerima laporan dari investigatory tribunal. 52 Pengadilan investigasi dibentuk atas dasar ad hoc di bawah undang- undang khusus. Mereka harus terdiri dari minimal tiga orang hakim yang diangkat

51 Constitution of Queensland 2001 (Qld) section 61 (2)

52 Ibid, section 61 (3) – (4) 52 Ibid, section 61 (3) – (4)

Sehingga, seorang hakim di awasi oleh Dewan Gubernur pada Majelis Legislatif mengenai kinerja mereka dalam menjalankan tugas-tugas sebagai seorang hakim.

Indonesia

Pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dirasa kurang efisien dan tidak berjalan dengan fair sehingga diperlukan badan pengawas baru bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia. Untuk itulah dibentuk Komisi Yudisial sebagai pengawas eskternal kekuasaan kehakiman.

Pengawasan oleh Komisi Yudisial dikategorikan sebagai pengawasan eksternal dengan fokus pada pengawasan perilaku dalam sidang, di luar sidang dan penyimpangan wewenang dalam putusan. Dalam pengawasan, Komisi Yudisial menerapkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman bukanlah kewenangan absolut, tetapi relatif yang harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, moral, dan etika.

Dalam menjalankan fungsinya, komisi Yudisial melakukan pengawasan eksternal untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Hal ini semakin dipertegas dalam ayat (2) bahwa Komisi Yudisial harus tetap menjaga agar kode etik hakim tetap terpatri dalam diri para hakim. Jika terdapat pelanggaran kode etik, maka komisi yudisial harus memeriksanya terlebih dahulu lalu membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi kepada Mahkamah Agung dalam hal penjatuhan sanksi terhadap

hakim yang telah melanggar kode etik. 55

B. Mekanisme Pengawasan Eksternal

Thailand

Kewenangan KY Peradilan Umum diatur dalam Pasal 220 Konstitusi Kerajaan Thailand. Berikut 2 (dua) kewenangan yang diatur dalam pasal tersebut yaitu “Memberikan persetujuan pengangkatan dan pemindahan hakim sebelum disulkan kepada Raja” dan “Memberikan persetujuan atas promosi, kenaikan gaji, hukuman administrasi hakim. ”

53 Ibid, section 61 (6) – (10)

54 Ibid, section 61 (1) 55 Ibid., Ps. 40 ayat 1.

Kewenangan KY Pengadilan Administrasi diatur dalam Pasal 224 dan 227 Konstitusi Kerajaan Thailand tahun 2007 yang pada intinya sebagai berikut:

1. Memberikan persetujuan atas pengangkatan dan pemindahan seorang hakim administrasi sebelum diusulkan kepada Raja;

2. Penunjukan tersebut harus dilakukan dalam jumlah tidak kurang dari sepertiga dari jumlah hakim dari Mahkamah Agung Administrasi dan harus disetujui oleh Komisi Pengadilan Administratif sebagaimana ditentukan oleh undang-undang dan oleh Senat sebelum diusulkan kepada Raja;

3. Memberikan persetujuan atas promosi, kenaikan gaji, hukuman administrasi hakim;

4. Bahkan Komisi Yudisial memiliki kewenangan memberikan persetujuan atas penunjukan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung.

Queensland

Parlemen dapat menghapus hakim untuk alasan apapun yang dipilihnya. Ada juga kemungkinan bahwa Kepala Negara bisa menghapus, tanpa pemberitahuan, atas dasar bahwa perilaku itu sendiri mengakhiri tugas seorang hakim. Tapi dalam kondisi seperti itu, isu perilaku buruk dapat dibenarkan.

Indonesia

Mekanisme pengawasan eksternal yaitu: 56

1. Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;

2. Meminta laporan secara berkala tentang kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;

3. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran hakim;

4. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim;

5. Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada presiden dan DPR;

Laporan hasil pemeriksaan juga berisi tentang pemberian sanksi yang dapat berupa:

a. Teguran tertulis

56 Indonesia. Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004; LN. Tahun 2004; TLN Nomor 4415, Ps. 22.

b. Pemberhentian sementara

c. Pemberhentian Pada pemberian sanksi berupa pemberhentian sementara dan pemberhentian, hakim yang dijatuhi sanksi tersebut diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan di hadapan majelis kehormatan hakim. Hal ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum pasal 20 angka 2, UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 20 angka 2, yaitu dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pembelaan diri diltolak oleh Majelis Kehormatan Hakim. Dan Keputusan Presiden mengenai usul pemberhentian paling lambat 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima usul Mahkamah Agung.

C. Mekanisme Quasi Yudisial dalam Rangka Menegakkan Disiplin Profesi

Thailand

Mekanisme quasi yudisial dalam rangka mengakkan disiplin profesi di bagian ini sama dengan mekanisme quasi yudisial di pengawasan internal.

Queensland

Mekanisme quasi yudisial dalam rangka mengakkan disiplin profesi di bagian ini sama dengan mekanisme quasi yudisial di pengawasan internal.

Indonesia

Mekanisme quasi yudisial dalam rangka mengakkan disiplin profesi di bagian ini sama dengan mekanisme quasi yudisial di pengawasan internal.

3.1.C Hubungan Pengawasan Internal dan Eksternal

Thailand

KY Thailand memiliki hubungan dengan yudikatif (Lembaga Peradilan Umum dan Pengadilan Administrasi) dalam hal promosi, kenaikan gaji, hukuman hakim Pengadilan Administrasi. Hubungan relasi ini diatur dalam Pasal 220 Konstitusi Kerajaan Thailand tahun 2007 (khusus untuk Komisi Yudisial Lembaga Peradilan “Umum”) yang menyatakan bahwa,“Pengangkatan dan pemindahan KY Thailand memiliki hubungan dengan yudikatif (Lembaga Peradilan Umum dan Pengadilan Administrasi) dalam hal promosi, kenaikan gaji, hukuman hakim Pengadilan Administrasi. Hubungan relasi ini diatur dalam Pasal 220 Konstitusi Kerajaan Thailand tahun 2007 (khusus untuk Komisi Yudisial Lembaga Peradilan “Umum”) yang menyatakan bahwa,“Pengangkatan dan pemindahan

Queensland

CMC dan Parlemen Negara Bagian Queensland melakukan kordinasi dalam melakukan pengawasan terhadap hakim sebatas dalam hal CMC memberikan masukan ke Parlemen dalam membuat peraturan perundang-undangan terkait dengan pengawasan hakim.

Indonesia

Terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah tidak efektifnya pengawasan internal yang diterapkan di badan peradilan selama ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,

antara lain: 57

1. kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai;

2. proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan;

3. belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses);

4. semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari

57 Mas A h ad Sa tosa dala Malik,”Perspektif Fungsi Pengawasan Komisi Yudiasial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 005/PUU- IV/

6”,Jur al Huku Vol. No. Dese er 2007, Universitas Bung Hatta,hlm.22-34 6”,Jur al Huku Vol. No. Dese er 2007, Universitas Bung Hatta,hlm.22-34

5. tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan. Hal-hal yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi

pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat "pengampunan" dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan akan semakin terbuka. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan sangat mendesak.

Adapun hubungan antara pengawasan Internal dan Eksternal seperti yang telah dijelaskan dalam bagian pengawasan Internal melakukan pemeriksaan terhadap para pejabat terkait (penanggung jawab kegiatan) baik dibidang keperkaraan maupun kesekretariatan dengan metode interview dan pemeriksaan dokumen. Sedangkan dalam pengawasanan Eksternal yang diperiksa adalah dugaan pelangarran yang dilakukan oleh hakim. Dalam menjalankan fungsinya, komisi Yudisial berkiblat pada pasal Pasal 40 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu melakukan pengawasan eksternal untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Hal ini semakin dipertegas dalam ayat (2) bahwa Komisi Yudisial harus tetap menjaga agar kode etik hakim tetap terpatri dalam diri para hakim. Jika terdapat pelanggaran kode etik, maka komisi yudisial harus memeriksanya terlebih dahulu lalu membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi kepada Mahkamah Agung dalam hal penjatuhan sanksi terhadap hakim yang telah melanggar kode etik.

Hal ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum pasal 20 angka 2, UU No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 20 angka 2, yaitu dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pembelaan diri diltolak oleh Majelis Kehormatan Hakim. Dan Keputusan Presiden mengenai usul pemberhentian paling lambat 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima usul Mahkamah Agung.

Pengawasan Internal 58

Pengawasan Internal adalah pengawasan dari dalam lingkungan peradilan sendiri yang mencakup 2 (dua) jenis pengawasan yaitu: Pengawasan Melekat dan Rutin/Reguler. Pengawasan Melekat adalah serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus menerus, dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya secara preventif dan represif, agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Pengawasan Rutin/Reguler adalah pengawasan yang dilaksanakan Pengadilan Agama Bantul secara rutin terhadap penyelenggaraan peradilan sesuai dengan kewenangan masing-masing; Pengawasan Keuangan adalah pemeriksaan terhadap penyelenggaraan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dana/bantuan pihak ketiga yang sedang berjalan (Current Audit), dan atau yang telah direalisasikan beserta neraca (Post Audit) yang meliputi Audit Ketaatan (terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku), Audit Keuangan (dengan menggunakan standar akuntansi yang berlaku), dan Audit Operasional (apakah pengelolaan APBN telah dilakukan secara ekonomis, efisien, dan efektif); Penanganan Pengaduan adalah rangkaian proses penanganan atas pengaduan yang ditujukan terhadap instansi, atau pelayanan publik, atau tingkah laku aparat peradilan dengan cara melakukan monitoring, dan atau observasi, dan atau konfirmasi, dan atau klarifikasi, dan atau investigasi (pemeriksaan) untuk mengungkapkan benar tidaknya hal yang diadukan tersebut; Manajemen Pengadilan adalah rangkaian kebijakan untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan, meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian/ pengawasan dan penilaian serta evaluasi atas kegiatan yang dilakukan; Administrasi Persidangan adalah seluruh kegiatan yang harus dilakukan untuk pelaksanaan persidangan, meliputi sistem pembagian perkara, penentuan majelis hakim, penentuan hari sidang, pemanggilan, pembuatan berita acara persidangan, dan tertib persidangan; Administrasi Perkara adalah seluruh kegiatan yang dilakukan oleh aparat pengadilan yang diberi tugas untuk mengelola penanganan perkara yang meliputi

58 http://www.pn-serang.go.id/?module=pengawasan 58 http://www.pn-serang.go.id/?module=pengawasan

Maksud Pengawasan

1. Memperoleh informasi apakah penyelenggaraan tehnis peradilan, pengelolaan administrasi peradilan, dan pelaksanaan tugas umum peradilan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

2. Memperoleh umpan balik bagi kebijaksanaan, perencanaan dan pelaksanaan tugas-tugas peradilan.

3. Mencegah terjadinya penyimpangan, mal-administrasi, dan ketidakefisienan penyelenggaraan peradilan.

4. Menilai kinerja.

Tujuan Pengawasan

Pengawasan dilaksanakan untuk dapat mengetahui kenyataan yang ada sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi pimpinan Pengadilan Negeri untuk menentukan kebijakan dan tindakan yang diperlukan menyangkut pelaksanaan tugas pengadilan, tingkah laku aparat pengadilan, dan kinerja pelayanan publik pada Pengadilan Negeri

Fungsi Pengawasan

1. Menjaga agar pelaksanaan tugas lembaga peradilan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Mengendalikan agar administrasi peradilan dikelola secara tertib sebagaimana mestinya, dan aparat peradilan melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

3. Menjamin terwujudnya pelayanan publik yang baik bagi para pencari keadilan yang meliputi: kualitas putusan, waktu penyelesaian perkara yang cepat, dan biaya berperkara yang murah.

Bentuk dan Metode Pengawasan Pengawasan rutin/reguler pada Pengadilan Negeri dilaksanakan dalam bentuk pengawasan langsung, yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan terhadap para pejabat terkait (penanggung jawap kegiatan) baik dibidang keperkaraan maupun kesekretariatan dengan metode interview dan pemeriksaan dokumen, yang meliputi tindakan sebagai berikut :

Memeriksa Program Kerja

Menilai dan Mengevaluasi hasil kegiatan/pelaksanaan program kerja

Memberikan saran-saran untuk perbaikan

Melaporkan Kepada Pimpinan Pengadilan

Merekomendasikan Kepada Ketua atau Pejabat yang Berkompeten terhadap temuan-temuan yang memerlukan tindak lanjut

Pelaksanaan Pengawasan Pengawasan Rutin/Reguler dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan terhadap objek-objek pemeriksaan yang meliputi:

a. Manajemen Peradilan:

Program kerja.

Pelaksanaan/pencapaian target.

Pengawasan dan pembinaan.

Kendala dan hambatan.

Faktor-faktor yang mendukung.

Evaluasi kegiatan.

b. Administrasi Perkara:

Prosedur penerimaan perkara.

Prosedur penerimaan permohonan banding.

Prosedur penerimaan permohonan kasasi.

Prosedur penerimaan permohonan peninjauan kembali.

Keuangan perkara.

Pemberkasan perkara dan kearsipan.

Pelaporan.

c. Administrasi persidangan dan pelaksanaan putusan:

Sistem pembagian perkara dan penentuan majelis hakim.

Ketepatan waktu pemeriksaan dan penyelesaian perkara.

Minutasi perkara.

Pelaksanaan putusan (eksekusi).

d. Administrasi Umum:

Perpustakaan, tertib persuratan dan perkantoran.

e. Kinerja pelayanan publik:

Pengelolaan manajemen.

Mekanisme pengawasan.

Kepemimpinan.

Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusla.

Pemeliharaan/perawatan inventaris.

Tingkat ketertiban, kedisiplinan, ketaatan, kebersihan dan kerapihan.

Kecepatan dan ketepatan penanganan perkara.

Tingkat pengaduan masyarakat. Pengawasan rutin/reguler dilakukan dalam bentuk pemeriksaan, yaitu dengan mekanisme pengamatan yang dilakukan dari dekat, dengan cara mengadakan perbandingan antara sesuatu yang telah atau akan dilaksanakan, dengan sesuatu yang seharusnya dilaksanakan menurut ketentuan peraturan yang berlaku.

PELAPORAN, REKOMENDASI DAN TINDAK LANJUT

Seluruh hasil dan temuan dan pemeriksaan dan pengawasan yang telah dilakukan oleh para Hakim Pengawas Bidang pada Pengadilan Negeri baik dengan pelaksanaan tugas pokok di lingkungan kepaniteraan maupun kesektariatan serta evaluasi atas penyelenggaraan managemen peradilan, kinerja lembaga peradilan dan kualitas pelayanan publik, dituangkan dalam bentuk laporan tertulis atau berita acara pemeriksaan dengan susunan dan format yang sistematis, untuk selanjutnya dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

3.2 HUBUNGAN ANTAR PENGAWASAN PROFESI HUKUM YANG SATU DENGAN YANG LAINNYA

Profesi hakim pada dasarnya hanya dapat melakukan pengawasan terhadap profesi lain yang berada di pengadilan saja seperti panitera, jaksa, dan penasehat hukum. Pengawasan itu juga tidak dapat dilakukan secara langsung karena Profesi hakim pada dasarnya hanya dapat melakukan pengawasan terhadap profesi lain yang berada di pengadilan saja seperti panitera, jaksa, dan penasehat hukum. Pengawasan itu juga tidak dapat dilakukan secara langsung karena

4.1 ANALISIS KASUS

4.1.1 Thailand Deskripsi Kasus

Seorang hakim tertangkap kamera di Department of Land Transport, Mor Chit, Bangkok. di Thailand sedang kehilangan kendali dan memaki orang-orang yang ada di sekitarnya. Hakim tersebut dikenali sebagai Chidchanok Paensuwan (44 tahun). Dia adalah hakim yang bekerja di Thailand Court of Justice.

Saat Chidchanok mengembalikan kendaraannya tanpa nomor polisi, dia menjadi sangat marah saat mencari tiket keluar parkir. Mobilnya parkir tepat di depan gedung kantor. Kemudian Chidchanok kembali ke dalam kantornya, berteriak kepada staffnya dan melempar satu kontainer air berisi plastik ke depan pintu kantor. Kemudian iya kembali ke mobilnya dan menunjukkan ID cardnya kepada

seseorang yang merekam video dirinya “Ingat di dalam pikiran kalian semua bahwa saya adalah bos kalian! Kal ian tidak perlu merekam saya!” Dikarenakan video hakim

ini tersebar di berbagai social media, berbagai kalangan menganggap bahwa perilaku hakim ini tidak pantas.

Setelah itu, Thailand Court of Justice mengatakan bahwa hakim tersebut telah diperiksa dan terbukti bahwa mengalami stress berat dan dapat hilang kendali jika dibawah tekanan tinggi. Sebagai hukuman, Chidchanok akhirnya dikeluarkan dari berbagai macam kasus yang ditanganinya dan dipindahtugaskan untuk membantu hakim lain di pengadilan tingkat pertama.

Kemudian pada Juli 2013, Chidchanok melakukan ulah kembali dengan melemparkan makanan (nasi dan omelet) kepada mobil polisi. Dari hasil investigas, diketahui bahwa alasan ia melakukan hal tersebut adalah karena ia tidak senang dengan pekerjaan polisi di Thailand. Kejadian tersebut membuat ia harus dikeluarkan dari jabatannya sebagai hakim di Thailand Court of Justice dan Kemudian pada Juli 2013, Chidchanok melakukan ulah kembali dengan melemparkan makanan (nasi dan omelet) kepada mobil polisi. Dari hasil investigas, diketahui bahwa alasan ia melakukan hal tersebut adalah karena ia tidak senang dengan pekerjaan polisi di Thailand. Kejadian tersebut membuat ia harus dikeluarkan dari jabatannya sebagai hakim di Thailand Court of Justice dan

Analisis Kasus

Melihat kasus hakim thailand diatas, perilaku Chidchanok tersebut melanggar kode etik hakim di Thailand. Adapun menurut Thailand, Judicial Service Act B.E. 2543 (AD 2000), pada pasal 26 dikatakan bahwa salah satu syarat menjadi hakim di Thailand adalah “tidak memiliki perilaku yang memalukan atau tidak bermoral” atau pada poin lainnya “bukan orang yang tidak kompeten, tidak sehat pikiran atau gangguan mental atau memiliki tubuh atau kondisi mental yang tidak pantas untuk menjadi hakim, atau memiliki penyakit, seperti yang ditentukan oleh Peraturan Komisi Kehakiman”.

Dalam kasus diatas, diketahui bahwa Chidchanok melakukan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tidak bermoral/memalukan dengan membuat onar di lingkunga sekitar. Kemudian diketahui lebih lanjut bahwa asal mulai perilaku Chidchanok tersebut adalah karena ia memiliki gangguan mental karena stress berat terhadap tekanan. Hal ini membuat Chidchanok sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan mengenai persyaratan menjadi seorang hakim di Thailand. Dan oleh karena itu dianggap telah melanggar hukum administrasi dari negara Thailand sendiri.

Dalam kasus diatas, keputusan dari majelis hakim thailand adalah, pada awalnya menyatakan bahwa Chidchanok dipindahtugaskan menjadi asisten hakim dan dikeluarkan dari berbagai kasus yang sedang ia tangani. Kemudian chidchanok juga akan direhabilitasi. Namun setelahnya ternyata Chidchanok masih melakukan perbuatan yang dianggap tidak bermoral dan membuat onar, yaitu melemparkan makanan kepada polisi. Akhirnya, karena dianggap telah melanggar aturan di Thailand, Chidchanok juga dikenakan hukuman tambahan selain hukuman administrasi, yaitu hukuman penjara selama 2 bulan, dan ditangguhkan selama 1

59 Bangkok Post, “Judge throws a tantrum, again”

http://www.bangkokpost.com/vdo/thailand/834388/judge-throws-a-tantrum-again, diakses 16

Maret 2016.

tahun. Hal ini menunjukkan bahwa apabila dianggap telah melewati batas, pelanggaran kode etik hakim di Thailand dapat juga dikenakan hukum penjara.

4.1.2 Kasus Queensland Deskripsi Kasus Kasus Hakim di Queensland File No 8710 of 2002

Para pihak Pemohon : Basil John Gribbin (pertama), Anne Cecelia Thacker(kedua), Respoden: Diane McGrath Fingleton

Kasus berawal pada tanggal 18 September 202 Respoden yang merupakan Hakim Ketua di Queensland , mensyaratkan kepada pemohon pertama untuk menunjukan penyebab mengapa ia harus tetap dalam posisi Hakim Koordinasi. Hal tersebutt atas dasar bahwa ada keputusan dari jenis yang ditinjau (cf s 5(e) and s 8 Judicial Review Act 1991). Mengacu pada keputusan kedua diduga dibuat pada tanggal 19 September 2002, dasar adalah bahwa keputusan dibuat maka pemohon pertama tidak lagi menjadi Hakim koordinasi. Kemudian pemohon kedua juga mengklaim menjadi pihak yang dirugikan pada saat aplikasi tersebut dibuat karena terjadinya penundaan proses di Komisi Yudisial. Yang mana hal tersbut didukung oleh Komite Yudisial yang kaitannya dengan biaya. Yang dalam hal ini melanggar aturan yang terdapat di dalam Magistrates Act 1991 (Qld) s10(1), s10(2), s10(3), s

18, s18(1A). Pemohon pertama diangkat dengan surat tanggal 8 Maret 2000 sebagai Hakim koordinasi yangmana posisi Koordinasi Hakim di Queensland kehakiman adalah posisi istimewa, di Beenleigh Magistrates Court dari tanggal 10 April 2000. Hal ini tersirat dalam dokumen yang pencalonannya sebagai pembimbing Hakim diharapkan menjabat untuk jangka waktu 5 tahun juga. Sesuai dengan persyaratan s 10 (5), alasan yang diberikan untuk pemidahan adalah bahwa ia telah di Brisbane Central Pengadilan untuk jangka waktu 9 tahun dan yang sejalan dengan Kepala Hakim menyatakan kebijakan.

Namun, pemohon pertama ini dalam hal menjalankan tugas yang diharapkan akan berlanjut di posisi hakim koordinasi tidak berjalan dengan baik. Karena berdasarkan pada saat itu terjadi ketegangan antara pemohon selaku hakim koordinasi dengan kepala hakim. Yang dalam hal ini menurut pemohon, Hakim ketua telah melampaui batas kewenangannya yaitu menarik nominasi hakim koordinasi.

Ketegangan ini berlanjut ketika Assosiasi Hakim meminta Jaksa Agung untuk membatalkan ss 10 (8), (9), (10) dan (11) dari Magistrates Act, yaitu, ketentuan yang relevan untuk mendisiplinkan dengan cara teguran oleh Ketua Hakim. Hal ini membuat ketegangan semakin meningkat ketika ia mengetahui bahwa hakim koordinasi adalah eksekutif dalam assosiasi tersebut. Menurutnya, assosiasi tersebut tidak benar karena telah mencampuri urusan internal.

Pada tanggal 19 September 2002 pemohon membuat pengaduan ke CMC. Yang dalam hal ini pemohon menyatakan bahwa Hakim ketua telah melakukan kejahatan yang tercantum dalam bagian 119 KUHP bahwa ia merasa terancam yaitu dengan adanya sanksi pengahapusan pemohon dari posisi Hakim Koordinasi.Namun, hal ini terhalangi karena terdapat alasan bahwa hal yang dilakukan oleh Hakim koordinasi adalah melampaui batas karena terdapat rasa ketidakpercayaan terhadap Hakim ketua sehingga proses tersebut tertunda.

Pada tanggal 1 Oktober 200 Hakim Ketua bersumpah surat pernyataan di persidangan Komite Yudisial yangmana ia tidak berniat untuk menghalangi pemohon menyediakan bukti ke Komisi Yudisial atau dengan cara apapun membalas terhadap dirinya. Hal ini diamini oleh Komite Yudisial dalam hal bahwa termohon memiliki rasa ketidakpercayaan terhadap Hakim Ketua.

Dengan demikian, menurut pemohon dengan dicabutnya posisinya dalam hakim koordinasi maka ia akan mengalami kerugian dan hal tersebut juga

melanggar aturan yang ada. 60

Analisis Kasus

Berdasarkan fakta yang ada bahwa responden dalam hal ini yaitu Hakim ketua telah melanggar Magistrates Act yang dalam hal ini berkaitan dengan tanggung jawab profeesinya sebagai hakim,s 10 (3) bahwa s 10 (2) tidak mengizinkan Kepala Hakim untuk mempromosikan Hakim a. Pasal 18 (1A) juga menyediakan bahwa hakim hanya dapat dipromosikan sesuai dengan tekad oleh Gubernur di Dewan.

CMC berkaitan dengan pelanggaran resmi, yang mencakup perilaku yang bisa jika terbukti merupakan tindak pidana (s 15 Kejahatan dan Komisi Misconduct Act 2001), yang dilakukan oleh orang yang memegang janji di unit administrasi publik. Sebuah Pengadilan Negeri atau Pengadilan adalah dengan definisi "unit administrasi publik". Yang dalam hal ini terjadi pengaduan pemohon menyatakan

60 Queensland Government. http://www.sclqld.org.au/caselaw/QSC/2002/390 diunduh

pada 15 Maret 2016 pada 15 Maret 2016

Selain hal tersebut dalam kasus ini dikenalnya bentuk pengawasan pada Hakim yaitu Komisi Yudisial untuk mengadukan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim, selain itu terdapat komisi lain yaitu CMC untuk pelanggaran resmi yang mencakup perilaku yang bisa jika terbukti sebagai tindak pidana. Namun , terdapat suatu instansi khusus untuk Hakim dalam melakukan pembelaan yaitu melalui Komite Yudisial. Yang mana merupakan pengadilan yang mengambil bunyi sumpah

27 Acts Interpretation Act, 1954).

4.1.3 Indonesia

A. Kasus Hakim Kemas

Majelis Kehormatan Hakim (MKH) memberhentikan Hakim Ad Hoc Tipikor Medan, Kemas Ahmad Jauhari secara tidak hormat alias dipecat lantaran mencoba menyuap hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Medan sebesar Rp500 juta. Kemas dianggap terbukti melanggar SKB Ketua MA dan Ketua KY Tahun 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan Peraturan Bersama MA dan KY tentang KEPPH.

"Menjatuhkan sanksi berat kepada hakim terlapor berupa pemberhentian dengan tidak hormat. Memerintahkan Ketua MA menerbitkan surat pemberhentian sementara hakim terlapor sampai presiden menerbitkan keputusan pemberhentian tetap," ujar Ketua MKH Abbas Said saat membacakan putusan di Gedung MA, Selasa (10/2).

Kemas direkomendasikan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat oleh Komisi Yudisial (KY) lantaran diduga menerima suap terkait vonis kasus korupsi yang melibatkan Kepala Dinas PU Deli Serdang, Ir Faisal di Pengadilan Tipikor Medan.

Kasus ini bermula ketika Pengadilan Tipikor Medan mengadili perkara Faisal dalam kasus korupsi di tahun 2012. Faisal pun divonis oleh majelis hakim dengan 1,5 tahun penjara pada Agustus 2013. Vonis ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dua anggota majelis hakim, Kemas Jauhari dan Sugiyanto. Keduanya menilai tindakan Faisal tidak melawan hukum.

Lalu, kasus ini berlanjut ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi Medan (PT Medan), Kemas mencoba melobi-lobi majelis hakim tinggi dengan iming-iming uang suap Rp500 juta. Akan tetapi, para hakim tinggi yang akan menyidangkan kasus tidak menggubris tawaran Kemas. Alih-alih diringankan, pada Desember 2013 Majelis PT Medan justru memperberat vonis Faisal dari 1,5 tahun menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, disertai kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 98 miliar subsider 5 tahun penjara.

Dalam materi pembelaannya, yang dibacakan di hadapan MKH, Kemas mengaku upaya lobi dan suap yang dilakukannya untuk menjebak hakim tinggi. Akan tetapi, pembelaan Kemas dalam sidang MKH tidak dapat diterima. Pasalnya, hakim tinggi Mangasa Manurung, salah satu majelis PT yang mengadili kasus Faisal membenarkan upaya lobi dan suap yang dilakukan Kemas.

Atas dasar itu, Majelis dalam pertimbangannya menyimpulkan hakim Kemas terbukti berupaya mempengaruhi hakim tinggi Medan agar putusannya sama dengan vonis Pengadilan Tipikor Medan. Karenanya, hakim terlapor pantas dikenakan sanksi berat karena terbukti melangggar SKB Ketua MA dan Ketua KY Tahun 2009 dan Perba tentang KEPPH, khususnya poin kejujuran, berperilaku

mandiri, dan mempengaruhi aparat pengadilan. 61

“Terlapor Kemas Ahmad Jauhari terbukti telah melanggar SKB angka 1.1.(9), angka 2.1.(1), dan angka 4.1.(1) jo Perba Pasal 5 ayat (3) huruf d, Pasal 6 ayat (2) huruf b, dan Pasal 8 ayat (2) huruf a,” lanjut Abbas. 62

Analisis Hakim Kemas

Dalam kasus Hakim Kemas hal ini merupakan salah satu pelanggaran kode etik Hakim. Hal ini sejalan dengan tanggung jawab Hakim itu sendiri, yang menurut Hakim Andri Falahandika ( Hakim Pengadilan Cibinong ) mengatakan bahwa tanggung jawab hakim terhadap profesinya melekat pada diri Hakim selama 24 jam, sehingga kemanapun Hakim tersebut itu pergi jubah yang dikenakannya seolah melekat. Pada kasus hakim kemas terlihat jelas bahwa yang dilakukannya adalah menunjukan bahwa ia telah melanggar salah satu sifat Hakim yang terdapat dalam pasal 3 kode etik Hakim yaitu Sari ( berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela).

61 ASH, “Terlibat Suap, Hakim Ad Hoc Tipikor Medan Dipecat,“http:// www.hukumonline.com/berita/baca/lt54da2dbcc1798/terlibat-suap--hakim-ad-hoc-tipikor-

medan-dipecat diunduh pada 23 Maret 2016 62 http://nasional.sindonews.com/read/962934/149/hakim-tipikor-medan-dipecat-

tanpa-hormat-1423633565 diunduh pada 23 Maret 2016

Karena pada fakta kasus ini bahwa Hakim Kemas mencoba menyuap hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Medan sebesar Rp500 juta, merupakan salah satu perbuatan tercela. Tindakan menyuap adalah suatu tindakan yang diarang di dalam undang-undang No. 20 Tahun 2001 atas perubahan Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Adapun pasal-pasal lain yang terbukti telah dilanggar oleh Kemas Jauhari adalah Surat Keputusan Bersama angka 1.1.(9) 63 Hakim dilarang menyuruh / mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak- pihak lain untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan perkara. Selanjutnya angka

2.1.(1) 64 Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela, dan angka 4.1.(1) 65 Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak

langsung dari pihak manapun. Juncto Peraturan bersama Pasal 5 ayat (3) huruf d 66 larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku adil adalah Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan

perkara. Selanjutnya, Pasal 6 ayat (2) huruf b 67 kewajiban hakim dalam berperilaku jujur adalah hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang dapat menimbulkan kesan tercela dan Pasal 8 ayat (2) huruf a 68 kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku mandiri adalah hakim harus menjalankan fungsi

63 Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Surat Keputusan Bersama Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, pasal 1.1 (9)

64 Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Surat Keputusan Bersama Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, pasal 2.1(1)

65 Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Surat Keputusan Bersama Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, pasal 4.1(1)

66 Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Peraturan Bersama Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012, pasal

5 ayat (3) huruf d 67 Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Peraturan Bersama Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012, pasal

6 ayat (2) huruf b 68 Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Peraturan Bersama Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012, pasal

8 ayat (2) huruf a 8 ayat (2) huruf a

Terkait dengan fakta yang ada dalam kasus ini jelas perbuatan yang dilakukan oleh Kemas mencoba melobi-lobi majelis hakim tinggi dengan iming-iming uang suap Rp500 juta. Yang dimaksudkan agar putusan pengadilan tinggi sama dengan vonis Pengadilan Tipikor Medan. Namun PT Medan justru memperberat vonis Faisal dari 1,5 tahun menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, disertai kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 98 miliar subsider 5 tahun penjara. Menunjukan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Kemas telah memenuhi unsur-unsur pasal yang dipersalahkan atas perbuatannya tersebut, yangmana Hakim Kemas memiliki tujuan untuk mempengaruhi isi putusan hakim tinggi yang hal ini telah memenuhi unsur mengenai larangan mempengaruhi, mengarahkan isi perkara untuk itu unsur ini terpenuhi, selain itu dengan melakukan percobaan penyuapan telah memenuhi unsur bahwa terdapat larangan seorang hakim melakukan perbuatan tercela, dan dengan terbuktinya fakta yang terungkap sehingga Kemas juga melanggar bahwa ia telah melakukan suatu bujukan yangmana hal ini tidak boleh dilakukan karena peradilan harus bersifat mandiri.

Sehingga dengan dilanggarnya ketentuan mengenai Kode etik perilaku Hakim tersebut, menurut Hakim Bambang ( Hakim Pengadilan Negeri Cibinong ) mengatakan bahwa mengenai pengawasan Hakim terdapat dua mekanisme yang pertama pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung namun, apabila Bawas tidak dapat menjangkau daerah tersebut laporan akan diterima melalui Pengadilan Tinggi, yang kedua adalah pengawasan Eksternal yang berasal dari Komisi Yudisial. Mekanisme yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap terlapor adalah memberikan rekomendasi mengenai Hakim yang bersangkutan. Dalam kasus ini Kemas direkomendasikan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat oleh Komisi Yudisial (KY) lantaran diduga menerima suap mengenai kasus korupsi Faisal. Dengan demikian, Majelis Kehormatan Hakim menjatuhkan sanksi berat kepada hakim terlapor berupa pemberhentian dengan tidak hormat.

Selain itu, sebelum dijatuhkan sanksi menurut Hakim Eko Julianto ( Hakim Pengadilan Negeri Cibinong) terdapat mekanisme Yudisial yaitu, bahwa terlapor akan diperiksa terlebih dahulu. Yang selanjutnya Hakim Bambang mengatakan apabila telah diperiksa maka akan dibentuk Majelis Kehormatan Hakim disana Selain itu, sebelum dijatuhkan sanksi menurut Hakim Eko Julianto ( Hakim Pengadilan Negeri Cibinong) terdapat mekanisme Yudisial yaitu, bahwa terlapor akan diperiksa terlebih dahulu. Yang selanjutnya Hakim Bambang mengatakan apabila telah diperiksa maka akan dibentuk Majelis Kehormatan Hakim disana

Terkait dengan sanksi yang dijatuhkan terhadap Hakim Kemas adalah Sanksi berat yang diatur dalam pasal 21 (c) 69 Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengenai panduan penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim , tingkat dan jenis sanksi yang berlaku bagi hakim ad hoc adalah sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat dari jabatan hakim. Hal ini

dijatuhkan terhadap Kemas karena berdasarkan pasal 18 70 pelanggaran yang dilakukan oleh Kemas termasuk dalam klasifikasi pelanggaran berat yangmana Pasal 5 ayat (3) huruf d tercantum dalam pasal 18 huruf b. Sehingga dengan terpenuhi unsur yang dimaksud dalam klasifikasi pelanggaran berat Kemas dijatuhkan Sanksi berat berdasarkan peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

B. Kasus Akil Mochtar

Akil Mochtar ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Mahkamah Agung menjadi tersangka dalam dugaan suap dan menyita barang bukti uang sekitar Rp 3 milyar dalam mata uang asing dan Rupiah. Ketua MK, Akil Mochtar, merupakan pejabat tertinggi negara yang pertama, sekaligus dari institusi tertinggi penegak hukum di Indonesia yang ditangkap KPK. Dia diduga menerima suap terkait perkara sengketa pemilihan dua kepala daerah, yakni di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak,

69 Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Peraturan Bersama Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012, pasal

21 (c)

70 Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Peraturan Bersama Pandduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012, pasal

Banten. Penyuapan dilakukan oleh Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan bersama-sama dengan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah melalui pengacara Susi Tur Andayani. Hal tersebut dengan maksud agar Akil Mochtar selaku ketua panel hakim mengabulkan permohonan perkara konstitusi yang diajukan Amir Hamzah-Kasmin sebagai pasanga calon bupati dan wakil bupati Lebak periode 2013-2018.

Pasangan Amir Hamzah-Kasmin mengajukan permohonan agar MK membatalkan keputusan KPU tanggal 8 September 2013 tentang rekapitulasi hasil perhitungan perolehan suara tingkat kabupaten. Mereka juga memerintahkan KPU Lebak melaksanakan pemungutan suara ulang di semua TPS.

Gugatan ini diajukan Amir Hamzah-Kasmin pada 11 September 2013. Untuk memeriksa permohonan ini, Akil menjadi ketua panel hakim didampingi Maria Farida Indrati dan Anwar Usman sebagai anggota. Pada tanggal 22 September 2013 terjadi pertemuan di lobi Hotel JW Marriot Singapura, terdapat pertemuan antara Akil Mochtar, Ratu Atut, dan Wawan. Dalam pertemuan tersebut Atut meminta Akil untuk membantu memenangkan Amir Hamzah dan Kasmin dalam perkara terkait Pilkada Lebak

Selanjutnya, pada 25 September 2013, Wawan menerima SMS dari Akil Mochtar yang meminta bertemu untuk membahas pengurusan gugatan Wawan datang ke rumah dinas Akil Mochtar. Pada tanggal 26 September 2013 sekitar jam

17.30 WIB bertempat di kantor Gubernur Banten dilakukan pertemuan antara Ratu Atut Chosiyah, Amir Hamzah-Kasmin dan Susi Tur Andayani. Dalam pertemuan tersebut Amir Hamzah melaporkan kepada Ratu Atut mengenai peluang dikabulkannya perkara Lebak dengan dilakukan pemungutan suara ulang.

Pada tanggal 28 September 2013, Susi Tur memberi tahu Akil Mochtar melalui telepon mengenai pertemuan dengan Ratu Atut. Akil kemudian meminta Susi Tur menyampaikan ke Ratu Atut untuk menyiapkan uang Rp 3 miliar. Pada 29 September 2013, Wawan dihubungi Akil untuk diminta bertemu kembali membicarakan pengurusan perkara Pilkada Lebak.

Wawan kemudian bertemu Akil di rumah dinasnya. Setelah itu, Wawan bertemu dengan Amir Hamzah-Kasmin di Hotel Ritz Carlton menyampaikan dirinya sudah bertemu Akil. Untuk kepastian jumlah dana pengurusannya, Wawan meminta Amir Hamzah untuk dipertemukan dengan Susi Tur yang dikenal dekat dengan Akil Mochtar.

Pada tanggal 30 September 2013, Amir Hamzah melalui telepon memberi tahu Susi Tur bahwa Wawan sudah menyetujui membantu menyediakan dana untuk diberikan kepada Akil Mochtar. Pada pertemuan dengan Susi Tur di Hotel Ritz Carlton, Wawan menanyakan mengenai uang pengurusan perkara, yang dijawab Susi Tur, Akil meminta Rp 3 miliar. Namun, Amir Hamzah tidak mempunyai uang sehingga Susi Tur meminta Wawan membantu Amir Hamzah karena pada 1 Oktober 2013 perkara akan diputus MK. Saat itu, Susi Tur menerima SMS dari Akil Mochtar yang menanyakan kepastian uang yang diminta.

Susi meminta Akil menerima Rp 1 miliar dan menjanjikan akan menagih sisa uangnya. Untuk memenuhi permintaan uang Akil yang akan diserahkan melalui Susi, Wawan di kantornya, PT BPP gedung The East Jalan Lingkar Mega Kuningan, Jaksel, meminta stafnya di bagian keuangan bernama Ahmad Farid Asyari mengambil uang Rp 1 miliar dari Muhammad Awaluddin yang diambil dari kas PT BPP Serang melalui Yayah Rodiah.

Penyerahan uang dilakukan langsung di rumah tersangka dalam mata uang US$ dan SING$ senilai Rp 2 milyar, sementara Rp 1 milyar lainnya disita dari tempat lain.

ANALISIS PUTUSAN AKIL MOCHTAR Berkaitan dengan Tanggung Jawab Hakim terhadap Profesi, Pengguna Jasa, dan Masyarakat

M. Akil Mochtar (AM) sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugasnya telah melakukan pelanggaran kode etik Hakim. Ia secara jelas telah melanggar salah satu sifat Hakim yang terdapat dalam pasal 3 kode etik Hakim, yaitu Sari (berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela). Dalam kasus ini, AM melakukan perbuatan menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili berdasarkan kewenangannya dan kemudian menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi tersebut. Tentu saja hal seperti itu dilarang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 atas perubahan Undang- Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh Akil Mochtar dapat dilihat dari beberapa sisi, yaitu:

1. Tanggung jawab profesi

Akil Mochtar tidak bertanggungjawab terhadap profesinya karena dia telah menyalahgunakan wewenangnya terhadap profesinya. Sebagai ketua Mahkamah Konstitusi dan pejabat tertinggi negara yang pertama, dia telah menjual wewenangnya kepada orang lain untuk kepentingan pribadi.

2. Kepentingan Publik Perilaku Akil Mochtar dalam kasus ini sama sekali tidak untuk kepentingan publik, melainkan hanya untuk keepentingan pribadinya. Karena apa yang dilakukannya tidak sama sekali bermanfaat bagi negara, dia menjual jabatan untuk kepentingannya.

3. Integritas Akil Mochtar menghancurkan integritas institusi pengadilan tertinggi di Indonesia. Sehingga masyarakat kemungkinan besar tidak akan percaya lagi kepada hukum yang ada di negara ini.

4. Perilaku Profesional Tindakan Akil Mochtar pada kasus di atas sangat tidak berperilaku profesional. Dia memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan melupakan kewajibannya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi.

5. Etika pelayanan terhadap pencari keadilan Sebagai pejabat penegak hukum, hakim seharusnya bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan di dalam hukum acara yang berlaku, tidak memihak, tidak bersimpati, tidak antipati pada pihak yang berperkara, berdiri di atas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak membeda-bedakan orang, sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan, bersungguh- sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutus berdasarkan hati nurani, dan sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam pertimbangannya, MKK menguraikan sejumlah fakta perbuatan Akil yang mengarah pada pelanggaran sejumlah prinsip Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. MKK menyebut hakim terlapor sering bepergian ke luar negeri bersama keluarganya. Termasuk pergi ke Singapura pada 21 September tanpa memberitahukan Setjen MK. Tindakan Akil tersebut dinilai perilaku yang melanggar etika. Akil juga tak mendaftarkan mobil Toyota Crown Athlete miliknya ke Ditlantas Polda Metro Jaya, mencerminkan perilaku yang tidak jujur. Hal ini melanggar prinsip integritas, penerapan angka 1, Hakim Konstitusi tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak dan Pasal 23 huruf b UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK.

Perilaku Akil menyamarkan kepemilikan Mercedez Benz S-350 yang diatasnamakan supirnya untuk menghindari pajak progresif adalah perilaku tak pantas dan merendahkan martabat. Ia terbukti melanggar prinsip Kepantasan dan Kepatutan, penerapan angka 2 dan angka 6 yang menyebut sebagai abdi hukum yang menjadi pusat perhatian harus menerima pembatasan-pembatasan pribadi dan melaporkan harta kekayaan pribadi dan keluarganya.

Saat menjabat Ketua MK, Akil pernah memerintahkan Panitera MK untuk mengeluarkan surat No. 1760/AP.00.03/07/2013 tertanggal 26 Juli 2013 yang isinya menunda pelaksanaan putusan MK atas proses pelantikan Bupati Banyuasin terpilih tanpa musyawarah bersama hakim MK lain. Perbuatan ini dinilai melampaui kewenangan dan melanggar angka 1 Prinsip Integritas, dan angka 1 Prinsip Ketidakberpihakan, angka 1. Perilaku Akil bertemu anggota DPR, CHN (Chairun Nisa) di ruang kerjanya pada 9 Juli 2013 yang dihubungkan dengan penangkapan Akil pada 2 Oktober di rumah dinasnya menimbulkan keyakinan Majelis bahwa pertemuan itu berhubungan dengan perkara yang ditangani Akil. Perilaku itu melanggar angka 1 Prinsip Independensi, dan angka 2 Prinsip Integritas yang diwajibkan menjaga citra wibawa MK.

Akil terbukti mengendalikan perkara ke arah putusan. Saat pendistribusian perkara Pemilukada, Akil mendapatkan jumlah perkara lebih banyak dibanding hakim lain (tidak proporsional). Praktiknya, ketua MK dalam menangani perkara jauh lebih sedikit karena dibebani tugas-tugas struktural dan administratif. Hal ini melanggar angka 1 Prinsip Integritas, dan angka 3 Prinsip Ketidakberpihakan. Ia terbukti memerintahkan Sekretaris YS dan supirnya DYN melakukan transaksi keuangan ke rekening Akil baik setoran tunai maupun transfer bank dengan jumlah yang tidak wajar. Ini melanggar angka 4 Prinsip Integritas.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Narkotika Nasional (BNN) atas temuan barang bukti berupa 3 linting ganja dan 1 ganja bekas pakai serta 2 pil inex di ruang kerja Akil Mochtar, terbukti sesuai antara sampel darah DNA Akil Mochtar dengan DNA yang terdapat dalam 1 linting ganja bekas pakai. Sesuai penjelasan BNN keberadaan barang terlarang itu terkait penguasaan Akil yang dinilai melanggar angka 1 Prinsip Integritas.

AM yang tertangkap tangan oleh KPK menerima suap dari mafia bisa dikategorikan bahwa AM sebelumnya tidak berpikir rasional sehingga dia mau menerima uang suap itu. Jabatan yang dia emban sebagai ketua MK dan hakim penegak hukum dan keadilan seharusnya menjadi bahan pertimbangan yang

rasional untuk menolak segala suap dan praktek korupsi yang ingin menjerumuskan dirinya, namun disayangkan AM sudah tidak rasional lagi. Pada akhirnya bisa dimbil kesimpulan bahwa AM sebagai manusia terlepas dia adalah seorang Hakim MK merangkap ketua lembaga itu, dan juga sekaligus penegak hukum dan keadilan di negara ini memiliki kebebasan dalam mengambil tindakan etis. Tetapi bebas menentukan tindakan etis itu bukan berarti dia bisa sebebas-bebasnya mau melakukan apapun. Bebas disini berati bebas yang disertai tanggungjawab yang melekan pada diri AM sebagai manusia dan sebagai pemegang jabatan tinggi di negara ini. Etika merupakan sebuah pedoman, dan AM sebagai manusia dan pejabat lembaga tinggi negara melanggar etika tersebut! Tindakan AM merupakan tindakan yang tidak benar (korupsi), dengan tujuan yang tidak baik (merusak rasa kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia khususnya MK) dan dilakukan pada saat yang tidak tepat (pada saat Indonesia khususnya MK tengah berjuang melawan ketidakadilan dan menciptakan sebuah sistem peradilan yang moderen berkeadilan dan berkepastian hukum). AM sebagai manusia memang tidak sempurna, namun tanggungjawabnya sebagai hakim konstitusi adalah sedapat-dapatnya dengan segala kemampuan dia untuk melakukan sesuatu

yang paling benar, paling baik, dan paling tepat. 71

Berkaitan dengan Pengawasan Internal dan Eksternal terhadap Hakim

1. Pengawasan Internal

Pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim. Menurut ketentuan pasal 20 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum; pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama- sama Menteri Kehakiman. Adapun menurut Hakim Andri, untuk mengawasi kode etik hakim secara internal, terdapat unit Badan Pengawasan MA (Bawas). Hal ini berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Agung dimana MA berwenang untuk mengawasi secara internal dalam finansial, organisasi, dan hakim. Bawas turun secara acak ke pengadilan di seluruh Indonesia untuk meneliti proses administrasi pengadilan.

71 Eugen Ehrlich Arie, Kompasiana , “Runtuhnya Etika Sang Ketua Mahkamah Konstitusi”, http://www.kompasiana.com/pangeranpancasila/runtuhnya-etika-sang-ketua-mahkamah- konstitusi_5520dc93a33311b14646d2a7 diakses pada 30 Maret 2016.

Dalam kasus ini, Bawas berwenang dalam rangka pembuktian apakah pelanggaran kode etik berupa korupsi benar-benar dilakukan oleh AM. Karier Ketua MK nonaktif, M. Akil Mochtar, berakhir di ujung palu Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKK). Majelis yang diketuai Harjono menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat alias dipecat. Akil dinilai melanggar beberapa Prinsip Etika yang tertuang dalam Peraturan MK No. 09/PMK/2006 tentang

Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi 72 .

2. Pengawasan Eksternal

Akuntabilitas terhadap kinerja hakim dan institusi Mahkamah Agung merupakan bentuk kontrol terhadap institusi peradilan menjadi gagasan atas dilema konsep independensi kekuasaan kehakiman. Adanya prinsip checks and balances merupakan kerangka besar untuk menghilangkan resiko kemerdekaan hakim yang berpotensi menimbulkan penyimpangan perilaku dan etika. Gagasan yang melembagakan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal merupakan solusi atas tidak efektinya pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri. Selain dalam rangka menghindari adanya tirani yudikatif akibat independensi kekuasaan kehakiman yang kebablasan, Komisi Yudisial dibentuk dalam rangka proses tranformasi lembaga peradilan yang lebih menegaskan cita- cita penegakan hukum dan keadilan sebagai bagian dari agenda reformasi pengadilan.

UUD 1945 telah mengkonstruksi Komisi Yudisial yang bertugas untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Secara eksplisit dapat ditafsirkan bahwa pengawaan Komisi Yudisial terhadap hakim dilakukan dalam konteks upaya preventif dan upaya represif. Fungsi menjaga sebagai upaya preventif dilaksanakan melalui bentuk kegiatan memberikan pendidikan calon hakim serta pendidikan dan latihan hakim secara berkala. Sedangkan fungsi menegakkan merupakan upaya represif dalam mewujudkan terciptanya kehormatan dan keluhuran hakim. Fungsi pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, lebih memfokuskan pada pengawasan terhadap hakim sebagai individu, tidak secara langsung kepada Mahkamah Agung sebagai institusi. Artinya, Komisi

72 ASH, Hukum Online , “Langgar Kode Etik, Akil Mochtar Dipecat”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52735fb19e2c4/langgar-kode-etik--akil-mochtar-dipecat , diakses pada 30 Maret 2016.

Yudisial tidak melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan, seperti: kepegawaian, keuangan, dan administrasi perkara

Dalam kasus ini, apabila hakim terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga kepada Mahkamah Agung. Dalam hal penjatuhan sanksi berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun dan pemberhentian tetap tidak dengan hormat, Komisi Yudisial mengusulkannya kepada Majelis Kehormatan Hakim.

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Hakim, secara umum, adalah salah satu aparat penegak hukum (legal aparatus) yang bekerja di bagian judicial/yudikatif. Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya.

Secara spesifik, hakim di Thailand diatur oleh Judicial Service Act B.E. 2543 (AD 2000), sementara kode etik hakim di Queensland diatur dalam Constitution of Queensland 2001. Masing-masing dari Thailand dan Queensland memiliki caranya sendiri untuk pengangkatan hakim di negaranya dan untuk di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan kode etik yang mengaturnya adalah Peraturan Bersama Pandduan Penegakan Kode

02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012, serta Surat Keputusan Bersama Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009.

Etik dan

Pedoman

Perilaku Hakim,

Adapun hakim di Thailand dan Queensland, dan Indonesia dalam menjalankan kewajibannya, selain memiliki tanggung jawab penuh terhadap profesinya, juga memiliki tanggung jawab terhadap pihak-pihak lain sebagai pengguna jasa. Tanggung jawab ini bisa terhadap korban, terdakwa, maupun saksi.

Adapun hakim di Thailand dan Queensland, dan Indonesia dalam menjalankan kewajibannya, selain memiliki tanggung jawab penuh terhadap profesinya, juga memiliki tanggung jawab terhadap pihak-pihak lain sebagai pengguna jasa. Tanggung jawab ini bisa terhadap korban, terdakwa, maupun saksi.

B. SARAN

Hakim sebagai “wakil Tuhan di dunia” dalam memberikan keadilan sudah selayaknya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum di dunia dan

mendapatkan perhatian dan pengawasan khusus. Akan tetapi dalam melakukan hal tersebut harus tetap memperhatikan kebiasaan di negara masing-masing karena antara Thailand dan Queensland yang juga memiliki perbedaan. Harus diambil hal- hal yang baik dalam hal tanggung jawab profesi dan pengawasan hakim di Thailand dan Queensland yang dapat juga diterapkan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly. “Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945”, (Makalah pada Diklatpim LAN-RI Tingkat II Angkatan XIX. Jakarta, 20 April 2007), hlm. 2.

Attorney-General (NSW) v Quin (1990) 170 CLR 1 at 33; 83 ALR 1 at 23; 64 ALJR 327,340

Gandasubrata, Purwoto. Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Mahkamah Agung RI, 1998.

IDE-JETRO. The Judicial System in Thailand: An Outlook for a New Century. Jepang: IDE-JETRO, 2001.

Kunarto. Etika dalam Peradilan Pidana. Jakarta; Cipta Manunggal, 1999. Lubis, Suhrawardi. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Surat Keputusan Bersama Kode Etik dan

Pedoman

047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009.

Perilaku

Hakim,

Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Peraturan Bersama Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012, pasal 5 ayat (3) huruf d

Manan, Bagir. “Menjadi Hakim Yang Baik.” Majalah Varia Peradilan Tahun XI No. 255 (Februari 2007): 7.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.

Public Space: The Journal of Law and Social Justice (2009) Vol 3, Art 6. Shidarta. Moralitas Profesi Hukum suatu Kerangka Berfikir. Bandung: Refika

Aditama, 2006.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.

Supriadi. Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

UK Ministry of Justice, The Governance of Britain: Judicial Appointments, Consultation Paper, October 2007, Chapter 2

Waluyo, Bambang. Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Sinar Grafika Edisi 1 Cet. 1. Jakarta 19912

Sumber Internet

Asian Legal Resource Center. “Recommendation on Witness Protection in Thailand ”,

http://www.humanrights.asia/resources/journals-

magazines/article2/0503/recommendations-on-witness-protection-in- thailand. Diiakses 15 Maret 2016.

ASH, “Terlibat Suap, Hakim Ad Hoc Tipikor Medan Dipecat”, http:// www.hukumonline.com/berita/baca/lt54da2dbcc1798/terlibat-suap--hakim-

ad-hoc-tipikor-medan-dipecat diunduh pada 23 Maret 2016 Australia Goverment.”High Court”, www.hcourt.gov.au diakses pada 11 Maret 2016

Bangkok Post,

a Tantrum, Again” , http://www.bangkokpost.com/vdo/thailand/834388/judge-throws-a-tantrum-

“Judge

Throws

again, diakses 16 Maret 2016. Pratiwi,

Etika Hakim”, http://dayupratiwi.ilearning.me/2015/03/30/makalah-etika-profesi/.

14 Maret 2016. Sathitsuksomboon, Charunun. “Thailand’s Legal System: Requirements, Practice,

And

Ethical

Conduct” Conduct”

Sindonews, “Hakim

Tanpa Hormat”,

http://nasional.sindonews.com/read/962934/149/hakim-tipikor-medan- dipecat-tanpa-hormat-1423633565 diunduh pada 23 Maret 2016.

Thailand Courts of Justice. “Administrative Organization of the Courts of Justice”, http://www.coj.go.th/en/administrativeorganization.html. Diakses 16 Maret 2016.

Thailand Law Forum - Law Analysis and Features on Southeast Asia http://www.thailawforum.com/articles/charununlegal.html. Diakses 16 Maret 2016.

UN Basic Principles

the Judiciary, http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/IndependenceJudiciary. aspx. Diakses 16 Maret 2016.

Queensland Government. “Going to Court”, https://www.qld.gov.au/law/court/going- to-court/going-to-court/. Diakses 16 Maret 2016.

Queensland

Court”, http://www.sclqld.org.au/caselaw/QSC/2002/390 diakses 15 Maret 2016.

Government.”Supreme

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 49

tahun 2009; LN. Tahun 2009; TLN Nomor 5077 Indonesia. Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang Nomor 22

tahun 2004; LN. Tahun 2004; TLN Nomor 4415 Indonesia. Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang

Nomor 48 tahun 2009; LN. Tahun 2009; TLN Nomor 5076 Thailand. Judicial Service Act B.E. 2543 (AD 2000).

Thailand. The Code of Judicial Conduct B. E 2552 (2009). Queensland. Constitution of Queensland 2001 (Qld). Queensland. Magistrates Court Act 1991 (Qld).

LAMPIRAN

SUPREME COURT OF QUEENSLAND

CITATION: Gribbin & Anor v Fingleton [2002] QSC 390 PARTIES:

BASIL JOHN GRIBBIN (first applicant) ANNE CECELIA THACKER (second applicant) v DIANE McGRATH FINGLETON (respondent)

FILE NO:

8710 of 2002

DIVISION:

Trial Division

DELIVERED ON:

27 November 2002

DELIVERED AT: Brisbane HEARING DATE: 14-15 November 2002 JUDGE:

Mackenzie J

ORDER:

1. I order that the decision of the Chief Magistrate made on 18 September 2002 that the first respondent show cause why he should remain in the position of a coordinating Magistrate be set aside.

2. I order that the respondent pay the first applicant’s costs of and incidental to his application to be assessed.

3. I order that the second applicant’s application be dismissed.

4. I order that the respondent pay the second applicant’s costs of and incidental to her application to be assessed.

CATCHWORDS: ADMINISTRATIVE LAW – JUDICIAL REVIEW – notice to show cause why nomination as coordinating Magistrate should not be withdrawn – irrelevant considerations – whether swearing of affidavit critical of decision maker taken into account – protection of witnesses from detriment

MAGISTRATES – JURISDICTION AND PROCEDURE GENERALLY – JURISDICTION, POWERS AND DUTIES – functions of coordinating Magistrate – withdrawal of nomination as coordinating Magistrate – perceived disloyalty

Crime and Misconduct Commission Act 2001 (Qld), s 15 Criminal Code Act 1899 (Qld), s 8 Criminal Code (Qld), s 119, s 119B Judicial Review Act 1991 (Qld), s 5(e), s 8, s 20, s 23 Magistrates Act 1991 (Qld), Pt 4, s10(1), s10(2), s10(5), Crime and Misconduct Commission Act 2001 (Qld), s 15 Criminal Code Act 1899 (Qld), s 8 Criminal Code (Qld), s 119, s 119B Judicial Review Act 1991 (Qld), s 5(e), s 8, s 20, s 23 Magistrates Act 1991 (Qld), Pt 4, s10(1), s10(2), s10(5),

European Asian Bank AG v Wentworth (1986) 5 NSWLR 445

Re Goldman (1968) 3 NSWR 325

COUNSEL:

P McMurdo QC for the applicants W Sofronoff QC, with G Newton, for the respondent

SOLICITORS:

Boe & Callaghan for the applicants McCullough Robertson for the respondent

[1] MACKENZIE J: On 18 September 2002 the respondent, who is the Chief Magistrate of Queensland, required the first applicant to show cause why he should

remain in the position of a coordinating Magistrate. He seeks to review the decision to call upon him in that regard. The matter was argued on the basis that there was a decision of a kind that was reviewable (cf s 5(e) and s 8 Judicial Review Act 1991). The application refers to a second decision allegedly made on 19 September 2002, the basis being that a decision was made then that the first applicant no longer be a coordinating Magistrate. However, while the circumstances of that incident are part of the evidentiary framework of the contentions, it is not now relied on by the first applicant as a “decision” and accordingly no relief is sought.

[2] The second applicant also claims to be a “person aggrieved” because, at the time when the application was made, she had proceedings pending in the Judicial

Committee established under Pt 4 of the Magistrates Act 1991 in respect of a determination that she be transferred. Those proceedings have already been determined by the Judicial Committee in her favour. Her involvement is now only in relation to costs.

[3] Section 10(1) makes the Chief Magistrate responsible for ensuring the orderly and expeditious exercise of the jurisdiction and powers of Magistrates Courts. Section

10(2) provides that, subject to the Act and to such consultation with Magistrates as the Chief Magistrate considers appropriate and practicable, the Chief Magistrate has power to do all things necessary or convenient to be done for ensuring the orderly and expeditious exercise of the jurisdiction and powers of the Magistrates Courts.

A number of specific examples of things which may be done by the Chief Magistrate are set out. One of them is focused on in this application. Section 10(2)(d) describes one example of the power under s 10(2) to be:

“(d) nominating a Magistrate to be a supervising Magistrate or a coordinating Magistrate for the purpose of allocation of the work of the Magistrates Court.”

It is stated in s 10(3) that s 10(2) does not authorise the Chief Magistrate to promote a Magistrate. Section 18(1A) also provides that a Magistrate can only be promoted in accordance with a determination by the Governor in Council. Nevertheless, it is common ground that the nomination as coordinating Magistrate under s 10(2)(d) entitles the person nominated to an allowance of $2,000, by virtue It is stated in s 10(3) that s 10(2) does not authorise the Chief Magistrate to promote a Magistrate. Section 18(1A) also provides that a Magistrate can only be promoted in accordance with a determination by the Governor in Council. Nevertheless, it is common ground that the nomination as coordinating Magistrate under s 10(2)(d) entitles the person nominated to an allowance of $2,000, by virtue

[4] The first applicant was appointed by letter dated 8 March 2000 as supervising Magistrate at Beenleigh Magistrates Court as from 10 April 2000. (The designation

“supervising Magistrate” has now been changed to “coordinating Magistrate”. There are no Magistrates designated as supervising Magistrates at present). The period for which he was to sit at the Magistrates Court at Beenleigh was expressed to be 5 years (s 10(5)). It is implicit in that document that his nomination as supervising Magistrate was expected to be for a period of 5 years as well. In accordance with the requirements of s 10(5), the reason given for his transfer was that he had been at Brisbane Central Courts for a period of 9 years and that in line with Chief Magistrate’s stated policy, Magistrates who have been in the centre for a considerable time can expect a transfer. The letter then proceeds:

“Further and more importantly I consider that your experience and abilities as a Magistrate since 1987, suit you to the position of supervising Magistrate at Beenleigh.”

The letter also stated that the transfer was subject to review at any time in accordance with s 10(2) of the Act.

[5] The phrase “for the purpose of the allocation of work of the Magistrates Court” should be given an ample scope. It was common ground that that is so. A list of

duties in evidence listed the following for coordinating Magistrates: · orderly disposition of court business at centre

· directing other Magistrates as to what courts they are to convene and where · work allocation for those Magistrates · Magisterial correspondence · maintenance/upkeep of Magistrates’ libraries at their centre · liaison/local clerk of the court · training of new Magistrates at centres

Carrying out the role of coordinating Magistrate involved limited direct contact with the Chief Magistrate throughout the year. The first applicant suggested about four times. It was put to him that it may have been as many as ten. In either event the actual contact was quite infrequent. (Regional coordinating Magistrates have additional duties relating to leave, relief and use of Government vehicles. They are coordinating Magistrates given those additional functions administratively by the Chief Magistrate).

[6] The Chief Magistrate had a practice of holding coordinating Magistrates’ meetings twice a year, one in conjunction with the annual Magistrates’ conference. The subjects raised at these meetings extended considerably beyond matters directly within the role of coordinating Magistrates. It is apparent that the Chief Magistrate’s intention was to involve those who had been nominated as coordinating Magistrates in a wider role than that referred to in s 10(2)(d) because she wished to have the benefit of their expertise in an advisory capacity on a wide range of subjects. In that regard the persons in attendance were there because they [6] The Chief Magistrate had a practice of holding coordinating Magistrates’ meetings twice a year, one in conjunction with the annual Magistrates’ conference. The subjects raised at these meetings extended considerably beyond matters directly within the role of coordinating Magistrates. It is apparent that the Chief Magistrate’s intention was to involve those who had been nominated as coordinating Magistrates in a wider role than that referred to in s 10(2)(d) because she wished to have the benefit of their expertise in an advisory capacity on a wide range of subjects. In that regard the persons in attendance were there because they

[7] There has been some emphasis on this since the issue of what might legitimately be taken into account in deciding to terminate the nomination of a person as a

coordinating Magistrate was a point at which the submissions of the first applicant and the respondent diverged. The argument on behalf of the first applicant was that, even allowing a wide operation to the notion of “the purpose of allocation of work of the Magistrates Court”, the factors relied upon by the Chief Magistrate in this case fell outside the scope of the power to withdraw a coordinating Magistrate’s nomination as such. On the other hand, it was submitted by the respondent that where there had been a serious breakdown in mutual respect between the Chief Magistrate and the coordinating Magistrate, it was a legitimate consideration in determining whether the nomination might be withdrawn.

Letter to Attorney-General, 26 October 2001

[8] The first signs of friction between the Chief Magistrate and the first applicant identifiable in the evidence occurred in about October 2001. A meeting of coordinating Magistrates attended by the first applicant and the respondent was held on

18 and 19 October 2001. Shortly after that meeting, by letter dated 26 October 2001, the Magistrates Association requested the Attorney-General, so far as is relevant for present purposes, to consider repealing ss 10(8),(9),(10) and (11) of the Magistrates Act, ie, the provisions relevant to discipline by way of reprimand by the Chief Magistrate. This was done without letting the Chief Magistrate know that it was being done.

[9] The Magistrates Association is an incorporated Association of which, it was said, about 65 of the 76 Magistrates are members. The Chief Magistrate had a perception that the Association took a very active role, which she also characterised as “unhealthy” in one affidavit, in the internal matters of the Magistracy. This had created tension between her and the Association and debate between her and its executive. By the time of the meeting of coordinating Magistrates on 19 September 2002 there was, as she put it, an accelerating tendency by the executive of the Association to take an active interest in the internal decision making by the Chief Magistrate when they had no statutory role. The first applicant was the only coordinating Magistrate who was a member of the executive of the Association.

[10] The first applicant described the purpose of sending the letter by stating that he was not aware of any Magistrate having received an actual reprimand from the current Chief Magistrate. However, he was aware of several instances where the threat of such a reprimand had been made in conjunction with a “direction” under the Act. He said that many of the “directions” appeared to go beyond the statutory limits which governed the power to give them. That was a matter that the committee of the Association thought necessary to seek to address.

[11] The thrust of the Association’s letter, which used temperate language, was that the changes proposed were needed to recognise the position of Magistrates as independent judicial officers and to reflect the position of other judicial officers in Queensland and the Magistracy throughout Australia. (There is no similar power vested in heads of jurisdiction of superior courts in Queensland and there is no corresponding provision anywhere in Australia with regard to Magistrates, although the Chief Magistrate volunteered that she believed that Western Australia was considering whether to introduce such a provision). The fifth to the thirteenth paragraphs of the letter summarise briefly the legislative position in each of the other States and Territories. The third paragraph is as follows:

“No other Chief Magistrate in Australia has such a power. No other head of jurisdiction of any Court in Queensland or any other State or Territory has such a power. The power of any head of jurisdiction to discipline another judicial officer is an affront to the important concept of judicial independence. The threat of reprimand should not be able to be held over the head of any Magistrate in any circumstance. The power of the Chief Magistrate to discipline by way of reprimand sets up a hierarchy more consistent with the management of public servants than the organisation of judicial officers.”

[12] The fourth paragraph of the letter made a submission that the power to do all things necessary or convenient to be done to ensure the orderly and expeditious exercise of the jurisdiction and powers of the Magistrates Courts and the powers to suspend and remove Magistrates were sufficient. The letter submitted that the changes proposed would reflect the law applying to other judicial officers and that there was no need for the additional power to reprimand.

[13] By letter dated 12 December 2001 the Attorney-General replied that the Government considered that:

· it was “entirely appropriate” that a Magistrate be subject to disciplinary proceedings should their actions impair their ability to carry out the

functions of their office; · the Chief Magistrate being the most senior judicial officer in the

Magistrates Court jurisdiction, and removed from the executive arm of Government, was the most appropriate to exercise the power to reprimand;

· where a Magistrate’s conduct was not appropriate but not sufficiently grave to warrant suspension or removal from office, it was “fair and reasonable” that there be a procedure for reprimand.

[14] The letter concluded in the following terms: “… naturally the Government will continue to monitor the progress

of the legislation and will introduce changes where necessary.”

[15] In her evidence the Chief Magistrate said that sending the letter without her knowledge:

“… was highly disrespectful of the office of Chief Magistrate and also, reading between the lines, there was perhaps a suggestion that I had been abusing the power and I had never reprimanded a

Magistrate or had to in three years of being Chief, and I’m not being oversensitive there but why be agitating for its removal if it’s really sort of a silent - just a silent power, and why I felt insulted was that I didn’t know it was going on and it’s a major issue to write to the Attorney-General to ask that a significant power be removed.”

[16] Later in answer to a question why she had a particular perception that the letter reflected on her she said:

“Because I’m the Chief Magistrate, because there was a suggestion it should be removed without having ever had it put to me why it should be. One possible reason is that people thought I may abuse it. That’s a perception I had reading the letter, but I don’t know because no-one ever discussed it with me and we had the perfect venue the week or so before this was sent where we could all have discussed at the coordinating Magistrates.”

[17] In December 2001, after she had received a copy of the letter to the Attorney- General, she raised the matter with the first applicant in a telephone call. She said

in her affidavit that she had been surprised by his disinclination, since he was both a member of the executive of the Magistrates Association and present at the coordinating Magistrates meeting in October 2001 to raise the matter at that meeting. She summarised the call in the following way:

“Shortly before Christmas 2001, not long after I received a copy of the letter to the Attorney-General, together with the Attorney- General’s reply, I raised the matter with Mr Gribbin in a telephone call. Principally, I asked Mr Gribbin why he chose not to discuss the matters the subject of the letter at the (then) recent meeting of co- ordinating magistrates prior to sending it. Mr Gribbin responded by telling me that he did not believe that he was obliged to discuss it with me.”

[18] It also appears from her affidavit that she had raised, as an issue for the first applicant to consider, that there may be a conflict of interest between his

membership of the executive of the Magistrates Association and his role as a coordinating Magistrate. The telephone call prompted the first applicant to write to her to the effect that what she had said in the call appeared to be an attempt to dictate the extent of his involvement in the Magistrates Association, or an implied threat to cause him detriment on account of his involvement. He invited her to set out in writing the concerns she had and what action she was asking of him, upon receipt of which he would respond. She responded to the effect that she would not put anything in writing about their conversation except to say that it was a request that he examine his conscience about what she considered to be a conflict, in relation to the letter to the Attorney, between his responsibilities as a coordinating Magistrate and as a member of the executive of the Association.

[19] The episode just described is not directly involved in the immediate events that led to the notice to show cause being given, but it is of some assistance in providing context in which to consider those events. In particular, the role of the Magistrates

Association continued to be an issue, as the controversy over placing that subject on the agenda for the meeting in September 2002 illustrates.

Issues relating to notice to show cause

[20] There is no evidence that the first applicant has performed his role as coordinating Magistrate at Beenleigh other than satisfactorily. Three areas were identified by his

counsel as matters taken into account by the Chief Magistrate in deciding to give the notice to show cause. They may be conveniently described as the Ehrich matter, the affidavit in support of Magistrate Thacker, and the email concerning the inclusion of the item concerning the Magistrates Association on the agenda for the meeting (“the agenda issue”).

The Ehrich matter

[21] On about 13 August 2002 the Chief Magistrate telephoned the first applicant to advise that she wanted to speak to Mr Ehrich, who was a Magistrate performing duty at Beenleigh, about whether he would be prepared to be transferred to Brisbane to create a vacancy to which Magistrate Cornack, who was then in dispute with the Chief Magistrate, could be appointed. Later that day the Chief Magistrate spoke to Magistrate Ehrich at Beenleigh Court. That discussion developed an intensity that ensured that anyone within earshot would know about it. On 15 August 2002, she emailed the first applicant advising him that Magistrate Ehrich would stay at Beenleigh and requesting that the discussion with Magistrate Ehrich be kept highly confidential because of the delicacy of negotiations with Magistrate Cornack. This email was copied to Magistrate Ehrich. On 9 September 2002 the Chief Magistrate wrote to Magistrate Ehrich alleging that there had been a serious breach of confidence because he had told Magistrate Cornack’s solicitor on 4 September 2002 about the discussion.

[22] On 9 September 2002 the Chief Magistrate had also written to the first applicant advising that she was aware that Magistrate Ehrich had spoken to Magistrate Cornack’s solicitor and inquired whether the subject had been discussed by him with Magistrate Cornack or her solicitor. On 12 September 2002 the first applicant wrote to the Chief Magistrate stating “I have no recall of any discussion with Ms Cornack or her legal representatives”. The Chief Magistrate regarded this response as disingenuous. In the absence of any more definiteness than that, it is not surprising that her concerns were not allayed at that time.

[23] The first applicant explained in a subsequent affidavit in these proceedings that Magistrate Ehrich had told him that he had mentioned the conversation with the

Chief Magistrate to several others and that Magistrate Cornack’s solicitor had contacted him on 4 September 2002. The first applicant said he did not have any conversation with Magistrate Cornack’s lawyers in respect of the issue until some time after 19 September 2002, the date upon which he retained the same solicitors in connection with the present matter. His recollection whether he spoke personally to Magistrate Cornack, who was at that time on leave, about it before 12 September was less clear because she occasionally initiated conversations with him by phone.

He had replied in the terms used in the letter of 12 September 2002 because he did not recall having told her of the conversation but could not be certain that he had not.

[24] On 18 September 2002 the Chief Magistrate acknowledged receipt of the letter of