Perjanjian Jual Beli Antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan Daewoo Logistic Indonesia

(1)

PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PT. SARI

BUMI BAKAU DENGAN DAEWOO

LOGISTIC INDONESIA

SKRIPSI

OLEH :

ARTIKA SEPTY TOBING

05020048

HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI

PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PT. SARI BUMI BAKAU

DENGAN DAEWOO LOGISTIC INDONESIA

Oleh :

Artika Septy Tobing 050200048

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS NIP. 131 764 556

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Muhammad Husni, SH, M.Hum Ramli Siregar, SH, M.Hum


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis Ucapakan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan Berkat yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Dalam proses penyelesaiannya, skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah berperan dalam penulisan skripsi ini. Skripsi tentang “PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PT.SARI BUMI BAKAU DENGAN DAEWOO LOGISTIC INDONESIA” ini disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas dan syarat mencapai gelar Sarjana Hukum.

Dalam menyelesaikan skripsi ini tak jarang penulis menjumpai kendala dan hambatan baik dalam pengumpulan data maupun dalam pengolahan data-datanya. Tetapi dengan seizin Tuhan dan dengan dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis mengucapakan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua penulis, P.L. Tobing, SH dan R. Simangunsong yang tercinta, atas segala Kasih sayang, doa, penghiburan, dukungan dan semangat yang telah papa dan mama berikan yang jadi sumber kekuatan bagi penulis selama ini. Tak terbalaskan setiap curahan kasih sayang, doa-doa, dan dorongan yang telah mama dan papa berikan selama ini. Just want you know that I LOVE YOU.

Dalam kesempatan ini, adalah merupakan kewajiban yang membanggakan bagi penulis untuk menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU. 2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan.

3. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.

4. Bapak Ramli Siregar, SH, M.hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.


(4)

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.hum selaku dosen wali penulis yang selalu membimbing penulis.

6. Adik-adikku, Dedek, Ingrid, dan Rico juga sepupuku iin, Cristine dan jonathan yang tercinta atas perhatian, dukungan dan hiburan yang telah kalian berikan. Disaat jenuh mengahadapi semua ini kalian selalu ada. Membantu membuat tertawa dengan semua candaan, mendorong agar tetap maju, mendoakan. Terima kasih banyak yah..

7. Sepupuku, Margaret tercinta yang telah setia menemani dan membantuku dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Opungku tersayang, Tulang Baik, Tulang Mopo, Tulang Olan, Tulang Jos, Tulang Ganda, Tante Evi, Tante Dona, Bou Ulam dan Bang Ulam,terima kasih atas setiap nasehatnya, doa, dorongan dan semangat yang telah kalian berikan selama ini. 9. Kamu yang ku namakan ‘Jelek’ yang selalu rajin bertanya dan mengingatkan

untuk menyelesaikan skripsiku. Terima kasih banyak ya.. Terima kasih juga buat doa-doanya, dorongan dan semangat yang telah diberikan selama ini. Want you know, that ‘Aishitemasu’ hun..

10.Sahabat- sahabatku terkasih Sera, Debhora, Putri dan Sarah. My best friend ever. Walaupun jarak memisahkan, kita jarang ketemu tapi doa dan dukungan kalian buatku sangat nyata bisa kurasakan dan begitu besar. Hopefully it will never end always be forever and ever. Thank’s girl’s…

11.Teman-teman seperjuanganku di fakultas hukum USU, Yuni, Dina, Eva, Grace, Roma, Ine, dan Wulan. Terima kasih karena telah bersama kita melewati hari-hari dengan canda, tawa, suka dan duka. Perjuangan di Fakultas Hukum akan hampa tanpa ada kalian. Selamat berjuang diluar kampus. Wish you all the best, guys.!

12.Kak Yus dan bang Panda yang telah banyak membantu penulis.

13.Keluarga besarku yang tak tersebutkan satu persatu. Terima kasih banyak telah mendukung, mendoakan, dan membantuku.


(5)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini bukanlah sesuatu yang dapat dibanggakan sebagai sebuah tulisan yang sempurna dikarenakan waktu yang singkat dan kesibukan-kesibukan penulis lainnya. Akan tetapi penulis berharap bahwa kelak skripsi ini dapat memberi sumbangan Ilmu Pengetahuan yang bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Medan, Juni 2009


(6)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penulisan ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II PENGERTIAN UMUM HUKUM PERJANJIAN ... 12

A. Pengertian Perjanjian ... 12

B. Syarat sahnya Perjanjian ... 17

C. Azas-azas perjanjian ... 24

D. Jenis-jenis Perjanjian ... 28

E. Hapusnya Suatu Perjanjian ... 35

BAB III TENTANG JUAL BELI PADA UMUMNYA ... 44

A. Pengertian Jual Beli ... 44

B. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli ... 46

C. Kewajiban Penjual Dan Pembeli ... 49

D. Ketentuan Khusus Mengenai Jual Beli ... 58


(7)

BAB IV PELAKSANAAN KERJASAMA JUAL BELI ... 67

A. Bentuk dan Isi Perjanjian Kerjasama antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan Daewoo Logistic Indonesia ... 67

B. Tugas, kewajiban dan Tanggung jawab Perjanjian Pembiayaan antara PT. Sari bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia ... 71

C. Cara Penyelesaian Sengketa antara PT. Sari bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia ... 74

BAB V PENUTUP ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 82

Lampiran I : Surat Perjanjian Kerjasama Operasi Antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan PT. Daewoo Logistics Indonsia

Lampiran II : Memorandum of Undderstanding Antara Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara Dengan PT. Sari Bumi Bakau Lampiran III : Perjanjian Kerjasama Operasional (KSO) Antara Pemerintah


(8)

PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PT. SARI BUMI BAKAU DENGAN DAEWOO LOGISTIC INDONESIA

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Persetujuan timbal balik yang saling menguntungkan menindaklanjuti MoU (Memorandum of Understanding) oleh PT. Sari Bumi Bakau dengan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dituangkan dalam perjanjian Kerja sama Jual-beli antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia.

Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui Bentuk Perjanjian antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia dan untuk Tanggung Jawab pihak Daewoo Logistic Indonesia Dalam Perjanjian Jual-beli dengan PT. Sari Bumi Bakau dan Cara Penyelesaian Sengketa Antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan Daewoo Logistic Indonesia.

Berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dengan Direktur Utama PT. Sari Bumi Bakau dengan Nomor : 029/SSB/MoU/IX/2007, maka dibentuk kerjasama Operasional (KSO) antara pihak pertama dan pihak kedua, pada kegiatan pemasaran produksi pertanian (komoditi jagung) dari wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mensejahterahkan masyarakat demi kepentingan bersama. Pasal 3 Perjanjian Kerjasama Operasional maka pihak kedua mempunyai tanggung jawab untuk Membayar harga jual atas komoditi jagung yang dibeli dari Pihak Pertama sesuai dengan harga standar Internasional komoditi jagung dan dibayar tunai sekaligus setiap saat, setelah Pihak Kedua telah menerima komoditi jagung yang dibeli itu dari Pihak Pertama di tempat dan/atau digudang Pihak Kedua. Perjanjian Kerjasama (KSO) pasal 5 antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia apabila terjadi perbedaan pendapat maka diselesaikan oleh para pihak melalui musyawarah mufakat. Apabila terdapat hal-hal yang tidak dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, maka para pihak sepakat untuk memilih domisili hukum sependapat untuk menyelesaikannya melalui badan peradilan umum dengan memilih domisili hukum yang tetap di Paniteraan Pengadilan Negeri Tarutung.

Agar kerjasama Operasional (KSO) antara pihak pertama dan pihak kedua tidak hanya pada kegiatan pemasaran produksi pertanian (komoditi jagung) saja tetapi juga dibarengi dengan peningkatan Sumber daya manusia dari wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat demi kepentingan bersama. Agar terciptanya transparansi dalam penyesuaian dengan harga standar Internasional komoditi jagung dan dibayar tunai sekaligus setiap saat, setelah Pihak Kedua telah menerima komoditi jagung yang dibeli itu dari Pihak Pertama di tempat dan/atau digudang Pihak Kedua. Agar hendaknya Penyelesaian sengketa dapat diselesaikan secara win-win solution sesuai dengan tanggung jawab, kewajiban dan fungsinya masing-masing pihak.


(9)

PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PT. SARI BUMI BAKAU DENGAN DAEWOO LOGISTIC INDONESIA

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Persetujuan timbal balik yang saling menguntungkan menindaklanjuti MoU (Memorandum of Understanding) oleh PT. Sari Bumi Bakau dengan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dituangkan dalam perjanjian Kerja sama Jual-beli antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia.

Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui Bentuk Perjanjian antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia dan untuk Tanggung Jawab pihak Daewoo Logistic Indonesia Dalam Perjanjian Jual-beli dengan PT. Sari Bumi Bakau dan Cara Penyelesaian Sengketa Antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan Daewoo Logistic Indonesia.

Berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dengan Direktur Utama PT. Sari Bumi Bakau dengan Nomor : 029/SSB/MoU/IX/2007, maka dibentuk kerjasama Operasional (KSO) antara pihak pertama dan pihak kedua, pada kegiatan pemasaran produksi pertanian (komoditi jagung) dari wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mensejahterahkan masyarakat demi kepentingan bersama. Pasal 3 Perjanjian Kerjasama Operasional maka pihak kedua mempunyai tanggung jawab untuk Membayar harga jual atas komoditi jagung yang dibeli dari Pihak Pertama sesuai dengan harga standar Internasional komoditi jagung dan dibayar tunai sekaligus setiap saat, setelah Pihak Kedua telah menerima komoditi jagung yang dibeli itu dari Pihak Pertama di tempat dan/atau digudang Pihak Kedua. Perjanjian Kerjasama (KSO) pasal 5 antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia apabila terjadi perbedaan pendapat maka diselesaikan oleh para pihak melalui musyawarah mufakat. Apabila terdapat hal-hal yang tidak dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, maka para pihak sepakat untuk memilih domisili hukum sependapat untuk menyelesaikannya melalui badan peradilan umum dengan memilih domisili hukum yang tetap di Paniteraan Pengadilan Negeri Tarutung.

Agar kerjasama Operasional (KSO) antara pihak pertama dan pihak kedua tidak hanya pada kegiatan pemasaran produksi pertanian (komoditi jagung) saja tetapi juga dibarengi dengan peningkatan Sumber daya manusia dari wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat demi kepentingan bersama. Agar terciptanya transparansi dalam penyesuaian dengan harga standar Internasional komoditi jagung dan dibayar tunai sekaligus setiap saat, setelah Pihak Kedua telah menerima komoditi jagung yang dibeli itu dari Pihak Pertama di tempat dan/atau digudang Pihak Kedua. Agar hendaknya Penyelesaian sengketa dapat diselesaikan secara win-win solution sesuai dengan tanggung jawab, kewajiban dan fungsinya masing-masing pihak.


(10)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi dunia jelas dapat dibaca dari maraknya transaksi bisnis yang mewarnainya. Pertumbuhan ini menimbulkan banyak variasi bisnis yang menuntut para pelaku bisnis melakukan banyak penyesuaian yang salah satu mekanisme penyesuaiannya ditempuh dengan mengadakan kerjasama di antara para pelaku bisnis, karena tidak semua jenis bisnis dikuasai. Terlaksananya kerjasama tidak terlepas dari perjanjian atau yang lebih dikenal sebagai Perjanjian yang mendasari kerjasama tersebut. Untuk itu sudah sepatutnya para pelaku bisnis mengenal hal-hal dasar yang meliputi Perjanjian.1

Dalam Undang-undang pada pasal 1233 mengatakan, bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.

Mengenal Teori Perjanjian (sering disebut sebagai kontrak dalam pergaulan bisnis sehari-hari) diliputi oleh berbagai istilah yang bagi banyak pihak dapat menimbulkan kebingungan atau malah dianggap sama, padahal hakekatnya berbeda.

2

1

Perbedaan Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

tanggal 2 Desember 2008

2

J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), (Bandung : Alumni, 1999), Hal. 38.


(11)

Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana,salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Sekalipun dalam KUH Perdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan secara tegas, akan tetapi dalam pasal 1233 KUH Perdata ditegaskan bahwa perikatan selain dari Undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi dari pasal 1313 KUH Perdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal 1233 KUH Perdata, maka terlihat bahwa pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.

Pada hakikatnya perjanjian berisi kehendak para pihak yang mengikatkan diri untuk melaksnakan sesuatu yang diperjanjikan. Dengan demikian sejak perjanjian dibuat, para pihak mempunyai hak dan kewajiban.3

Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan dua istilah tersebut, perlu dikutip pendapat Prof. Subekti dalam bukunya Hukum Pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

3

Libertus Jehani, Pedoman Praktis Menyusun Surat Perjanjian, (Jakarta : Visimedia, 2008, Cetakan Keempat), Hal. 9


(12)

Perjanjian mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian. Beliau memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut: "Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu."

Sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh undang undang, contohnya perikatan antara orangtua dengan anaknya muncul bukan karena adanya kesepakatan dalam perjanjian diantara ayah dan anak tetapi karena perintah undang-undang.4

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu parjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

Sebagai ikatan hukum pengertian perjanjian atau agreement merupakan pertemuan keinginan (kesepakatan yang dicapai) oleh para pihak yang memberikan konsekuensi hukum yang mengikat kepada para pihak, untuk melaksanakan poin-poin kesepakatan dan apabila salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi, maka pihak yang wanprestasi tersebut diwajibkan untuk mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan sebagaimana disepakati dalam perjanjian.

5

4

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1983), Hal. 23

5

Suharnoko, Hukum Perjanjian,Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, Hal. 1


(13)

Sedangkan kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian, dan kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.6

Peraturan khusus tercantum didalam Bab kelima KUH Perdata mengatur tentang jual beli. Jual beli adalah suatu persetujuan timbal balik sifatnya yang harus

Perjanjian/Verbintenis adalah hubungan hukum/rechsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian mengandung hubungan hukum antara perorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Perjanjian atau perikatan diatur dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam perjanjian jual-beli tidak terlepas dari Unsur-unsur pokok ("essentialia") perjanjian jual-beli berupa barang dan harga. Sesuai dengan asas "konsensualisme" yang menjiwai hukum perjanjian B.W., perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya "sepakat" mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah.

Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH perdata yang berbunyi: "Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar".

6

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebasan Berkontrak, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, Hal 38


(14)

memenuhi ketentuan yang terdapat didalam pasal 1320 dibagian umum, meskipun ketentuan khusus ada yang mengatur lembaga tersebut.

Persetujuan timbal balik yang saling menguntungkan menindaklanjuti MoU (Memorandum of Understanding) oleh PT. Sari Bumi Bakau dengan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dituangkan dalam perjanjian Kerja sama Jual-beli antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia.

Perjanjian Jual-beli antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat wilayah kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera utara demi kepentingan bersama.

Dari uraian tersebut di atas mendorong penulis untuk meneliti dan menulis skripsi dengan judul “Perjanjian Jual Beli Antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan

Daewoo Logistic Indonesia”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas maka permasalahan pokok dalam penulisan skripsi ini penulis rumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Bentuk Perjanjian antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo

Logistic Indonesia ?

2. Bagaimanakah Tanggung Jawab pihak Daewoo Logistic Indonesia Dalam Perjanjian Jual-beli dengan PT. Sari Bumi Bakau?

3. Bagaimanakah Cara Penyelesaian Sengketa Antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan Daewoo Logistic Indonesia ?


(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.

I. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan utama penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk Mengetahui Bentuk Perjanjian antara PT. Sari Bumi

Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia

2. Untuk Mengetahui Tanggung Jawab Pihak Daewoo Logistic Indonesia dalam Perjanjian Jual-beli dengan PT. Sari Bumi Bakau

3. Untuk Mengetahui Cara Penyelesaian Sengketa Antara PT. Sari Bumi Bakau Dengan Daewoo Logistic Indonesia

II. Manfaat Penulisan

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang yang berkaitan dengan permasalahan Perjanjian Kerjasama Jual Beli.

2. Secara praktis, bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, bagi praktisi hukum, terutama untuk warga negara ataupun Badan Hukum Indonesia maupun Pemerintah Negara Asing, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai dasar hukum bagi pemerintah, penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

D. Keaslian Penulisan

Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang di peroleh selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di angkatlah suatu


(16)

materi yaitu mengenai “PERJANJIAN JUAL BELI ANTARA PT. SARI BUMI BAKAU DENGAN DAEWOO LOGISTIC INDONESIA” .

Dalam proses pengajuan judul skripsi ini harus di daftarkan terlebih dahulu kebagian hukum Perdata Dagang dan telah di periksa dan disahkan oleh Ketua Departemen Hukum Keperdataan atas dasar pemeriksaan tersebut di yakini bahwa judul yang di angkat termasuk pembahasan yang ada di dalamnya belum pernah ada penulisan sebelumnya dan merupakan karangan ilmiah yang memang benar atau dibuat tanpa menciplak dari skripsi lain, khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sehingga dapat di pertanggung jawabkan keaslian penulisannya.

E. Tinjauan kepustakaan

Pengaturan tentang Perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Pasal 1457 KUH Perdata menggariskan bahwa pihak-pihak yang membentuk persetujuan jual beli masing-masing mengikatkan dirinya secara timbal-balik (wederkerig). Penjual mengikatkan dirinya kepada pembeli untuk menyerahkan obyek jual beli. Pembeli mengikatkan dirinya kepada penjual untuk membayar harga obyek jual beli.

Asas konsensualisme yang terkandung dalam pasal 1320 KUH Perdata. (kalau dikehendaki : pasal 1320 KUH Perdata dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata), tampak jelas pula dari perumusan-perumusan berbagai macam perjanjian.


(17)

Kalau kita ambil perjanjian yang utama, yaitu jual-beli, maka konsensualisme itu menonjol sekali dan perumusannya dalam pasal 1458 KUH Perdata. yang berbunyi: "Jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar".

F. Metode Penulisan.

Sudah merupakan ketentuan dalam hal ini penyusunan serta penulisan suatu karangan ilmiah atau skripsi haruslah berdasarkan pada data yang di peroleh secara objektif dan berarti pula harus di pertanggung jawabkan secara ilmiah.

Jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) atau disebut penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.7 Penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan hukum normatif dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari bahan hukum primer, sekunder maupun tertier.8

Bahan primer yaitu peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan Perjanjian jual beli yang terdiri dari : a) peraturan dasar (UUD 1945) dan Tap MPR RI dan b) peraturan perundang-undangan berupa undang-undang, peraturan

7

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2003), halaman 13 – 14.

8

Bahan Hukum Primer yakni : 1) norma-norma dasar Pancasila; 2) peraturan dasar : Batang Tubuh UUD 1945 atau TAP MPR; 3) peraturan perundang-undangan; 4) bahan hukum yang tidak dikodifikasi misalnya Hukum Adat; 5) yurispridensi; dan 6) traktat Bahan Hukum Sekunder yakni : 1) Rancangan Undang-Undang; 2) hasil karya ilmiah para sarjana dan 3) hasil-hasil penelitian. Sedang


(18)

pemerintah, keputusan presiden, peraturan daerah dan peraturan atau keputusan menteri. Bahan hukum sekunder seperti Rancangan Undang-Undang, hasil penelitian dan hasil karya para ahli hukum.

Penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum tidak saja yang ada dalam peraturan perundang-undangan ataupun keputusan-keputusan pengadilan, tetapi juga norma-norma yang hidup dalam masyarakat.

Pengumpulan data ini merupakan landasan utama dalam menyusun skripsi, didasarkan atas sesuatu penelitian penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1) Penelitian Kepustakaan (Library Research).

Dengan hal ini penulis membaca beberapa literatur berupa buku-buku ilmiah, peraturan perundang-undangan dan dokumentasi lainnya seperti majalah, koran serta sumber-sumber teoritis lainnya yang berhubungan dengan Perjanjian jual beli.

2) Penelitian Lapangan (Field Research).

Dengan mengadakan wawancara pada pihak berwenang di PT. Sari Bumi Bakau Dan Daewoo Logistic Indonesia untuk memperoleh hasil yang akurat.


(19)

G. Sistematika Penulisan.

Dalam penulisan suatu karya ilmiah khususnya skripsi, sistematika penulisan merupakan suatu bagian yang sangat penting, karena dengan adanya sistematika penulisan ini maka pembahasannya akan dapat di arahkan untuk menjawab masalah-masalah dan membuktikan kebenaran hipotesanya.

Kemudian agar memudahkan isi dari skripsi ini, maka sistematika penulis disusun secara menyeluruh mengikat kerangka dasarnya yang di bagi dalam beberapa bab serta sub bab secara berurutan, yang masing-masing bab itu akan menantang pemecahan permasalahan dalam pembahasannya dan kita lihat sebagai berikut.

Pada Bab I sebagai pendahuluan, penulis menguraikan tentang hal-hal umum dari sekripsi ini seperti uraian singkat garis besar permasalahan yang digunakan sebagai dasar pemegang dalam penulisan skripsi ini.

Secara sistematis Bab I ini di bagi dalam beberapa sub bab, yaitu tentang : A. Latar Belakang,

B. Perumusan masalah,

C. Tujuan dan manfaat penulisan, D. Keaslian penulisan,

E. Tinjauan kepustakaan, F. Sistematika penulisan,

Pada Bab II penulis membahas tentang pengertian umum Hukum Perjanjian yang dibagi menjadi beberapa sub bab yaitu :

A. Pengertian Perjanjian B. Syarat-syarat sah perjanjian,


(20)

C. Asas-Asas Perjanjian, D. Jenis-jenis Perjanjian E. Hapusnya suatu Perjanjian

Pada Bab III penulis membahas tentang Jual Beli Pada Umumnya yang di bagi menjadi beberapa sub bab yaitu :

A. Pengertian Jual Beli,

B. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli C. Kewajiban Penjual Pembeli,

D. Ketentuan-ketentuan Khusus Mengenai Jual Beli, E. Soal resiko Dalam Perjanjian Jual Beli,

Pada Bab IV penulis membahas tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama yang di bagi menjadi beberapa sub bab yaitu :

A. bentuk dan isi perjanjian kerjasama antara PT. Sari Bumi bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia

B. Syarat-syarat perjanjian pembiayaan antara PT. Sari Bumi bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia

C. Cara-cara penyelesian Sengketa antara PT. Sari Bakau Indonesia dengan Daewoo Logistic Indonesia

Dan terakhir Bab V, pada bab ini penulis membicarakan tentang kesimpulan dan saran, dimana kesimpulan tersebut menggambarkan secara singkat isi pokok dari skripsi ini, kemudian saran juga merupakan bagian akhir dari pembahasan skripsi ini yang mana sangat berguna bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.


(21)

BAB II

PENGERTIAN UMUM HUKUM PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.

Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.9

Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai

wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat).

9

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 97


(22)

sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, "perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum".10

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.11 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.12 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.13

kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUH Perdata tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasamya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.

Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH Perdata, ternyata mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih mengandung

10

Ibid., hal. 97-98

11

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36

12

R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 49

13


(23)

ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :

a. Perbuatan

Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;

b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,

Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

c. Mengikatkan dirinya,

Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.14

14

Salim H.S dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), (Jakarta:


(24)

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.15

Masing-masing pihak yang dimaksud adalah pihak-pihak yang langsung terlibat dalam perjanjian tersebut biasanya terbagi atas perorangan dan badan usaha. Badan usaha sendiri juga dibagi yaitu badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Perorangan adalah setiap orang yang dalam melakukan perbuatan hukum bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, sedangkan usaha perorangan dalam melakukan perbuatan hukum ia diwakili oleh pemiliknya yang hanya seorang bertindak baik untuk dan atas namanya sendiri juga untuk dan atas nama usahanya. Pada dasarnya antara perorangan dengan usaha perorangan tidak terdapat perbedaan, karena keduanya tidak ada pemisahan harta kekayaan artinya harta kekayaan pribadi juga merupakan harta kekayaan perusahaannya. Badan usaha adalah suatu badan yang menjalankan usaha/ kegiatan perusahaan, sedangkan perusahaan pengertiannya lebih condong kepada jenis usaha/ kegiatan dan suatu badan usaha. Suatu Badan usaha dianggap sebagai suatu badan hukum diatur sesuai ketentuan Undang-undang.

Bandingkan: Hasanuddin Rahman, Legal Drafting (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000) hal. 59

15

Ibid, hal. 120, Hakekat dan suatu Perjanjian pada saat perancangan suatu perjanjian

adalah Perumusan tentang adanya kesepakatan atau kesesuaian kehendak (consensus ad idern);

rumusan tentang adanya janji yang dibuat oleh masing-masing pihak sebagai imbalan atas janji-janji atau untuk kepentingan pihak yang lain, walaupun selalu ada kemungkinan dibuatnya kontrak yang berisi perjanjian sepihak. namun dianjurkan untuk selalu memahami perjanjian yang mhal balik sehingga prestasi harus dilakukan oleh salah satu pihak selalu dipahami sebagai imbalan atas prestasi yang akan dilakukan oleh pihak lain; Perumusan tentang pihak-pihak pembuat perjanjian dan informasi tentang kemampuan hukum dan para pihak untuk melakukan tindakan hukum dan mengikatkan di dalam kontrak dan Perumusan tentang objek dan nilai ekonomis perjanjian yang menjadi causa dan transaksi diantara para pihak; Penggunaan bentuk, wujud dan format tertentu (sesuai keinginan para pihak).

Syarat dan ketentuan yang biasanya disepakati oleh para pihak dalarn suatu perjanjian adalah Besarya harga jual beli atau harga sewa menyewa dan besarnya modal dasar yang disepakati; Objek atau barang yang ditentukan; besannya suku bunga kredit bila merupakan sesuatu yang menggunakan pinjaman ataupun pembayarannya menggunakan tenggang waktu; jangka waktu sewa, kredit, leasing atau lain sebagainya bla merupakan perjanjia pemberian modal ventura;


(25)

Dalam Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional. Saat ini pada masyarakat Internasional, Perjanjian Internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum Internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum Internasional lainnya.

Sampai tahun 1969, pembuatan Perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai dengan 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on The Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan merupakan Hukum Internasional Positif.

Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan Perjanjian Internasional (treaty) adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh Hukum Internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya. Pengertian diatas mengandung unsur :

carapembayaran; biaya yang haru dibayar masing-masing pihak; kewajiban menutup asuransi jika diperlukan.


(26)

a. Adanya subjek Hukum Internasional, yaitu Negara, Organisasi Internasional dan gerakan-gerakan pembebasan. Pengakuan Negara sebagai sebagai subjek Hukum Internasional yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat Perjanjian-perjanjian Internasional tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina. Organisasi Internasional juga diakui sebagai pihak yang membuat perjanjian dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian berasal dari Negara-negara anggota dan Perjanjian Internasional yang dibuat merupakan bidang kewenangan Organisasi Internasional tersebut. Pembatasan tersebut terlihat pada Pasal 6 Konvensi Wina. Kapasitas gerakan-gerakan pembebasan diakui namun bersifat selektif dan terbatas. Selektif artinya gerakan-gerakan tersebut harus diakui terlebih dahulu oleh kawasan dimana gerakan tersebut berada. Terbatas artinya keikutsertaan SieInfokum-Ditama Binbangkum 4 gerakan dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan keinginan gerakan mendirikan negaranya yang merdeka.

b. Rezim Hukum Internasional.

Perjanjian internasional harus tunduk pada Hukum Internasional dan tidak boleh tunduk pada suatu Hukum Nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu dibuat oleh Negara atau Organisasi Internasional namun apabila telah tunduk pada suatu Hukum Nasional tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah Perjanjian Internasional.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:


(27)

a. Adanya kata sepakat;

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian; c. Adanya suatu hal tertentu;

d. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang hams dipenuhi oleh subyek suat perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:

a. Kata sepakat

Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah


(28)

perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.16

J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.17

Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Soebekti,18

16

Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4.

17

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti Bandung,

1993, hal. 129

18

Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1996, hal. 23-24.

yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja


(29)

memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.

b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)

Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak

ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian.

Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian:

1) Orang yang belum dewasa

2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan

3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin". Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka


(30)

tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.19

Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang Namun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang tertenu) maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata.

Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345, bunyinya sebagai berikut:

Pasal 433:

Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, walaupun jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.

Pasal 345:

19

Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 78.


(31)

hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.

Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUH Perdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

Soebekti menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.

c. Adanya suatu hal tertentu

Yang dimaksud dengan suat hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.


(32)

Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).

d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,20

20

Sri Soedewi Masjchon, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum JAminan dan

Jaminan Perorangan, Liberty, (Yogyakarta, 1980), hal. 319

sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian.

Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.

Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa


(33)

yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat perjanjian batal demi hukum.

C. Asas-Asas Perjanjian

Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.

Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.


(34)

Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.

a. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:21

a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan

e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUH

21

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 4.


(35)

Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.22

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

b. Asas konsensualisme

23

Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta

Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil.

22

Ibid., hal. 4

23


(36)

notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian fonnil.

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum.

Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:

1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang; 2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. d. Asas itikad baik

Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur.

Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).24

24


(37)

Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.

e. Asas kepribadian

Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.

Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.

D. Jenis-jenis Perjanjian

Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat


(38)

mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian-perjanjian itu:

1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.

2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.25

3. Dalam KUH Perdata Pasal 1234, perikatan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu: a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang

h. Perikatan untuk berbuat sesuatu c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.

Lebih lanjut penjelasan dari perikatan di atas, adalah sebagai berikut: a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang

Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.

b. Perikatan untuk berbuat sesuatu

25

R. M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 10


(39)

Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga". Sebagai contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang.

c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah: perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.

Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau diluar KUH Perdata dan macam Perjanjian dilihat dari lainnya, disini R. Subekti,26

1) Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchoriende voorwade). Suatu contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian.

membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu:

2) Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling),

26


(40)

perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.

3) Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.

4) Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair) ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.

5) Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke permukaan. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli


(41)

warisnya.

6) Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:27

1. Perjanjian timbal balik.

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli.

2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.28

27

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III,Op. cit, hal. 90-93.

28

Pasal 1314 KUH Perdata, "Suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu persetujuan atas beban, adalah suatu persetujuan yang mewajibkan masingmasing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.


(42)

Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend).

Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V s/d XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.

4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan)


(43)

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua: belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan.

6. Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya.

a. perjanjian liberatoir: yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUH Perdata;

b. perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.

c. perjanjian untung-untungan: misalnya prjanjian asuransi, pasal 1774 KUH Perdata.

d. Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.

Selanjutnya, berhubung dengan pembedaan perjanjian timbal balik dengan perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban, maka menurut Mariam Darus Badrulzaman, perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual beli) dan


(44)

juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai faham, yaitu:29

• Faham pertama: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generic).

• Faham kedua: mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).

• Faham ketiga: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori combinatie).

E. Hapusnya suatu perjanjian

Hapusnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan. Suatu perikatan dapat hapus dengan pembayaran,tetapi perjanjian yang merupakan sumbernya mungkin belum hapus. Bila x dan y mengadakan jual beli perikatan dapat hapus dengan dibayarnya harga oleh y selaku pembeli. Tetapi mungkin perjanjiannya (yaitu memiliki barang) harus tercapai dulu. Jadi jika perikatan-perikatan yang terdapat. Bila perjanjian telah hapus seluruhnya barulah perjanjian dinyatakan telah berakhir. Ada beberapa cara hapusnya perjanjian :

a.Ditentukan dalam perjanjian oelh kedua belah pihak.

29


(45)

Misalnya : penyewa dan yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan perjanjian sewa menyewa yang akan berakhir setelah 3 tahun.

b.Ditentukan oleh Undang-Undang.

Misalnya : perjanian untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan ditentunkan paling lama 5 tahun.

c.Ditentukan oleh para pihak dan Undang-undang.

Misalnya : dalam perjanjian kerja ditentukan bahwa jika buruh meninggal dunia perjanjian menjadi hapus.

d.Pernyataan menghentikan perjanjian.

Hal ini dapat dilakukan baik oleh salah satu atau dua belh pihak. Misalnya : baik penyewa maupun yang menyewakan dalam sewa menyewa orang menyatakan untuk mengakhiri perjanjian sewanya.

e.Ditentukan oleh Putusan Hakim.

Dalam hal ini hakimlah yang menentukan barakhirnya perjanjian antara para pihak. f.Tujuan Perjanjian telah tercapai.

Misalnya : dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang dan pihak lain telah mendapat barang maka perjanjian akan berakhir.

g.Dengan Persetujuan Para Pihak.

Dalam hal ini para pihak masing-masing setuju untuk saling menhentikan perjanjiannya. Misalnya : perjanjian pinjaman pakai berakhir karena pihak yang meminjam telah mengembalikan barangnya.


(46)

Tentang hapusnya perikatan yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata. Hapusnya persetujuan berarti menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan dengan sendirinya menghapus seluruh perikatan, tetapi belum tentu dengan hapusnya perjanjian akan menghapus persetujuan hanya saja persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan pelaksanaan, sebab ini berarti bahwa pelaksanaan persetujuan telah dipenuhi debitur.

Adapun cara-cara penghapusan perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata, yaitu:

a. Pembayaran

Pembayaran disini adalah pembayaran dalam arti luas, tidak saja pembayaran berupa uang, juga penyerahan barang yang dijual oleh penjual. Pembayaran itu sah apabila pemilik berkuasa memindahkannya. Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang atau kepada seseorang yang dikuasakan untuk menerima.

Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan seperti seorang yang turut berutang atau seorang penanggung hutang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berhutang atau bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.

Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan:

Yang dimaksud dengan "pembayaran" oleh Hukum Perikatan bukanlah sebagaimana ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang, tetapi setiap tindakan pemenuhan prestasi, walau bagaimana pun sifat dari prestasi


(47)

itu. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan prestasi atau tegasnya adalah “pembayaran”.30

30

Ibid., hal. 157.

Pembayaran kepada orang yang tidak berkuasa menerima adalah sah apabila kreditur telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah memperoleh manfaat karenanya (Pasal 1384, Pasal 1385, Pasal 1386 KUH Perdata).

Pembayaran harus dilakukan di tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian, dan jika tidak ditetapkan dalam perjanjian maka pembayaran dilakukan di tempat barang itu berada atau di tempat tinggal kreditur atau juga di tempat tinggal debitur. Jika objek perjanjian adalah sejumlah uang maka perikatan berakhir dengan pembayaran uang jika objeknya benda maka perikatan berakhir setelah adanya penyerahan benda.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan Dalam pembayaran dapat terjadi konsiyasi apabila debitur telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan Notaris atau Jurusita, kemudian kreditur menolak penawaran tersebut. Atas penolakan kreditur kemudian debitur menitipkan pembayaran kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk disimpankan. Dengan adanya tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan, debitur telah bebas dari pembayaran yang berakibat hukum hapusnya perikatan. Prosedur konsiyasi ini diatur dalam Pasal 1405 sampai dengan 1407 KUH Perdata.


(48)

Pasal 1004 KUH Perdata menegaskan adanya penitipan untuk membantu pihak-pihak yang berhutang, apabila si berpiutang menolak menerima pembayaran dengan melakukan penitipan uang atau barang si Panitera Pengadilan.

Dalam Pasal 1381 KUH Perdata menyatakan bahwa salah suatu cara menghapuskan perjanjian ialah dengan tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan konsiyasi. Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan hanya mungkin terjadi dalam perjanjian yang berbentuk:

a. Pembayaran sejumlah uang

b. Penyerahan sesuatu benda bergerak. Marhainis Abdulhay, mengatakan:

Dengan dilakukannya penitipan di Panitera Pengadilan itu maka akan membebaskan siberutang dari perikatan dan berlakulah baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut UU dan uang atau barang yang dititipkan di Panitera Pengadilan tetap akan menjadi tanggungan si berpiutang.31

31

Marhainis Abdulhay, Hulaim Perdata Material, Jilid II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984,

Akibat hukum konsiyasi ialah debitur sudah dianggap melakukan kewajibannya untuk berprestasi. Sesudah tanggal itu ia bebas dan pembayaran bunga. c. Pembaharuan hutang atau novasi

Pembaharuan hutang lahir atas dasar persetujuan, para pihak untuk membuat persetujuan dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dengan perjanjian baru.


(49)

Dalam Pasal 1381 KUH Perdata yang menegaskan bahwa novasi merupakan salah satu cara penghapusan perjanjian.

Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 (tiga) macam jalan untuk melaksanakan suatu pembayaran utang atau novasi, yaitu:

1. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan-utang baru guna orang menghutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya disebut novasi objelctif.

2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang yang berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatan, dinarnakan dengan novasi subjektif

3. Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa is berutang dibebaskan dari perikatan, ini disebut dengan novasi subjektif aktif.

Dalam Pasal 1414 KUH Perdata diterangkan bahwa pembaharuan hutang hanya dapat terlaksana antara orang yang cakap untuk mengadakan perikatan, dan dalam Pasal 1415 KUH Perdata ditegaskan bahwa pembaharuan hutang yang dipersangkakan kehendak seseorang untuk mengadakannya harus dengan tegas ternyata dalam perbuatannya.

d. Perjumpaan hutang atau kompensasi

Perjumpaan hutang sering disebut dengan perhitungan hutang (compensation). Ini adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperhitungkan utang piutang, secara timbal balik antara kreditur dan debitur (hal ini diatur dalam Pasal


(50)

1424 KUH Perdata). Salah satu fungsi lain dari kompensasi adalah untuk memberikan kepastian pembayaran dalam keadaan pailit.

Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427 KUH Perdata, yaitu utang tersebut:

1. Kedua-duanya berpokok sejumlah uang, atau

2. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.

3. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.

Menurut ketentuan Pasal 1462 KUH Perdata, perjumpaan hutang ini terjadi demi hukum, bahkan tanpa sepengetahuan orang yang berhutang, sehingga dalam hal ini tidak perlu menuntut dan tidak perlu bantuan pihak ketiga. Setiap hutang ataupun sebabnya dapat diperjumpakan kecuali dalam 3 (tiga) hal yang disebabkan dalam Pasal 1429 KUH Perdata, yaitu:

1) Apabila dituntut pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya.

2) Apabila dituntut pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.

3) Terhadap suatu barang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita.

Seseorang telah membayar suatu utang, yang telah dihapuskan demi hukum karena perjumpaan, pada waktu menagih suatu piutang yang tidak telah diperjumpakan, tidak lagi dapat menggunakan hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik yang melekat pada piutang ini untuk kerugian orang pihak ketiga, kecuali jika ada


(51)

suatu alasan yang satu yang menyebabkan is tidak tahu tentang adanya piutang tersebut yang seharusnya dijurnpakan dengan utangnya (Pasal 1435 KUH Perdata).

Selain ketentuan ini tersebut, yurisprudensi juga menetapkan bahwa perjumpaan hutang berikut ini tidak dimungkinkan.

1) Hutang-hutang negara berupa pajak.

2) Hutang-hutang yang timbul dari perikatan yang wajar. e. Percampuran hutang

Menurut Pasal 1436 KUH Perdata, percampuran hutang itu terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu yang berarti berada di tangan satu orang yang terjadi demi hukum atau secara otomatis sehingga hutang-piutang akan lenyap. Dan Pasal 1437 KUH Perdata menentukan bahwa percampuran hutang yang terjadi pada debitur utama berlaku juga untuk kepentingan penjamin hutang, tetapi percampuran yang terjadi pada seseorang penjamin hutang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.

Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan percampuran hutang adalah "Percampuran kedudukan (kualitas) dari partai-partai yang mengadakan perjanjian sehingga kualitas sebagai debitur menjadi satu dengan kualitas dari debitur. Dalam hal ini demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada diantara kedua belah pihak"32

32

Ibid, hal. 186

Hal-hal yang menyebabkan terjadinya percampuran hutang adalah perkawinan, dengan percampuran harta antara si berpiutang dengan si berhutang, dan pencampuran hutang terjadi apabila si berhutang menggantikan hak si berpiutang karena warisan.


(52)

f. Penghapusan hutang

Penghapusan hutang terjadi bila dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dan debitur dan melepaskan hak atas pembayaran. Hal yang dibutuhkan adalah adanya kehendak kreditur disertai "menggugurkan" perjanjian itu sendiri. Dan yang dapat dikategorikan sebagai penghapusan hutang bila pembebasan itu merupakan penghapusan atau pelepasan hak kreditur terhadap debitur.

Menurut ketentuan Pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan tidak boleh berdasarkan persangkaan melainkan haru dibuktikan misalnya: pengembalian surat piutang dari kreditur kepada debitur secara sukarela (Pasal 1439 KUH Perdata). Dalam Pasal 1441 KUH Perdata, diterangkan bahwa pengembalian barang yang dijaminkan dalam gadai tidak cukup dijadikan persangkaan tentang pembebasan hutang. Jadi keinginan atau kehendak kreditur itu terwujud dalam suatu tindakan. Akibat hukum penghapusan hutang ini tidak ada diatur undang-undang secara khusus, tetapi dengan pembebasan ini perikatan akan menjadi lenyap atau hapus.

g. Musnahnya barang yang menjadi hutang

Berdasarkan Pasal 1444 KUH Perdata, apabila barang tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar kesalahan debitur ini tersimpul usaha-usaha yang telah dilakukan debitur untuk mencegah hilang atau musnahnya barang objek perjanjian. Meskipun debitur lalai menyerahkan barang, ia pun akan bebas dari perikatan itu, apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya atau musnahnya barang disebabkan diluar kekuasaannya dan barang itu akan menemui nasib yang sama walaupun berada


(53)

ditangan kreditur. Untuk mengatasi hal ini, masyarakat biasanya mengasuransikan perjanjian tersebut.

h. Lampau waktu (daluwarsa)

Menurut Pasal 1946 KUH Perdata yang dinamakan daluarsa (lewat waktu) adalah suatu upaya untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluarsa untuk memperoleh hak milik dinamakan daluarsa acquisitip, dan daluarsa untuk membebaskan sesuatu tuntutan disebut daluarsa ekstrinktip.

Dari sudut hukum lampau waktu diartikan sebagai sesuatu anggapan hukum, dengan lampaunya jangka waktu tertentu, dianggap:

1) Perjanjian telah hapus, sehingga debitur bebas dari kewajiban memenuhi perjanjian.

2) Dianggap seseorang telah memperoleh hak milik atas sesuatu setelah jangka waktu tertentu lewat.


(54)

BAB III

TENTANG JUAL BELI PADA UMUMNYA

A. Pengertian Jual beli

Jual-beli (menurut B.W.) adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

"Jual-beli suatu barang adalah suatu penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli dengan maksud memindahkan hak milik atas barang itu dan dengan syarat pem bayaran harga tertentu berupa uang oleh pembeli kepada penjual".

Penyerahan hak milik atas benda yang dibeli harus memunuhi syarat-syarat pe ngesahan dan tidak membedakan jual-beli benda bergerak dengan benda tidak bergerak, Keadaan yang sedemikian masih terdapat juga di dalam penghidupan sehari-hari umpamanya jual-beli tanah hanya disaksikan atau diketahui oleh Kepala Desa/kebiasaan setempat tanpa dicatatkan ke kantor pendaftaran tanah, Mungkin tindakan yang diambil itu akibat pengaruh Hukum Adat, yang tidak membedakan penjualan benda bergerak dengan benda tidak bergerak, yaitu mengenai pemindahan hak milik atas benda objek penjualan.

Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup


(55)

dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda "koop en

verkoop" yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu "verkoopt"

(menjual) sedang yang lainnya "koopt" (membeli). Dalam bahasa Inggris jual-beli disebut dengan hanya "sale" saja yang berarti "penjualan" (hanya dilihat dari sudut-nya si penjual), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut hasudut-nya dengan "vente" yang juga berarti "penjualan", sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan "Kauf" yang berarti "pembelian".33

Jual-beli yang dilakukan dengan percobaan atau mengenai barang-barang yang biasanya dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat dengan suatu syarat-tangguh (pasal 1463 B.W.). Dengan demikian maka jual-beli mengenai sebuah lemari es, meskipun barang dan harga sudah disetujui, baru jadi kalau barangnya sudah dicoba dan memuaskan. Begitu pula halnya dengan jual-beli sebuah pesawat radio atau televisi.

Barang yang menjadi obyek perjanjian harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian adalah sah menurut hukum misalnya jual-beli mengenai panenan yang akan diperoleh pada suatu waktu dari sebidang tanah tertentu.

34

33

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan kesepuluh, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995), Hal. 2

34


(56)

B. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli.

Ketentuan didalam pasal 1457 menggariskan bahwa pihak-pihak yang membentuk persetujuan jual beli masing-masing mengikatkan dirinya secara timbal-balik (wederkerig). Penjual mengikatkan dirinya kepada pembeli untuk menyerahkan obyek jual beli. Pembeli mengikatkan dirinya kepada penjual untuk membayar harga obyek jual beli.

Meskipun jual beli telah tercipta, pemindahan hak milik atas kebendaan yang menjadi objek persetujuan hanya sah setelah dipenuhi ketentuan tentang hak milik atas benda yang bersangkutan.35

1. persetujuan tentang kewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek jual beli kepada yang berhak, yaitu pembeli.

Berpedoman kepada tindakan “mengikatkan diri” yang mengakibatkan lahir beban kewajiban kepada kedua belah pihak, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua persetujuan didalam lembaga jual beli.

2. persetujuan tentang kewajiban membayar harga benda yang menjadi objek jual beli kepada yang berhak, yaitu penjual.

Sifat konsensual dari jual beli ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH perdata yang berbunyi: "Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar".

Apakah yang dinamakan "konsensualisme" itu ?

35

Basrah, perikatan Jual Beli dan Pembahasan Kasus (Buku ketiga KUH Perdata), Fakultas Hukum USU, Medan 1981, hal. 3


(1)

Apabila kita mengacu pada ketentuan Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka cara penyelesaian sengketa melalui ADR dibagi menjadi 5 (lima) cara, yaitu :

1. konsultasi; 2. negosiasi; 3. mediasi; 4. konsiliasi; atau 5. penilaian ahli.

Di dalam literatur juga disebutkan dua pola penyelesaian sengketa, yaitu

1. The binding adjudicative procedure, yaitu suatu prosedur di dalam

penyelesaian sengketa di mana putusan hakim dalam suatu perkara mengikat para pihak. Bentuk penyelesaian sengketa ini dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu (1) Litigasi, (2) Arbitrase, (3) Mediasi-Arbitrasi, dan (4) Hakim Partikelir.

2. The nonbinding adjudicative procedure, yaitu suatu proses penyelesaian

sengketa, di mana putusan hakim atau putusan orang yang ditunjuk di dalam memutuskan perkara tidak mengikat para pihak. Penyelesaian sengketa dengan cara ini dibagi menjadi enam macam, yaitu (1) Konsiliasi, (2) Mediasi, (3) Mini-Trial, (4) Summary Jury Trial, (5) Neutral Expert


(2)

Kedua penyelesaian sengketa itu berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaannya terletak pada kekuatan mengikat dari putusan yang dihasilkan oleh institusi tersebut. Kalau dalam the binding adjudicative procedure, putusan yang dihasilkan oleh institusi yang memutuskan perkara adalah mengikat para pihak, sedangkan dalam the nonbinding adjudicative procedure, putusan yang dihasilkan tidak mengikat para pihak. Artinya, dengan adanya putusan itu para pihak dapat menyetujui atau menolak isi putusan tersebut. Persamaan dari kedua pola penyelesaian sengketa tersebut adalah sama-sama memberikan putusan atau pemecahan dalam suatu kasus.

Dalam pelaksanaan kontrak mungkin terdapat sengketa. Para pihak bebas menentukan cara yang akan ditempuh jika timbul sengketa di kemudian hari. Biasanya penyelesaian sengketa diatur secara tegas dalam kontrak. Para pihak dapat memilih melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Setiap cara yang dipilih mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing yang harus dipertimbang- kan sebelum memilih cara yang dianggap cocok untuk diterapkan. Jika memilih melalui pengadilan, perlu dipertimbangkan, misalnya apakah pengadilan ber- wenang menyelesaikan sengketa tersebut, kemungkinan dapat dilaksanakannya secara penuh, juga waktu dan biaya yang diperlukan selama proses pengadilan. Apabila kita perhatikan tahap-tahap dalam perancangan kontrak sebagai- mana yang dikemukakan di atas, maka pandangan pertama dan pandangan kedua mengkaji tahap perancangan kontrak didasarkan pada pembuatan kontrak.


(3)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

a. Berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dengan Direktur Utama PT. Sari Bumi Bakau dengan Nomor : 029/SSB/MoU/IX/2007, maka dibentuk kerjasama Operasional (KSO) antara pihak pertama dan pihak kedua, pada kegiatan pemasaran produksi pertanian (komoditi jagung) dari wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat demi kepentingan bersama.

2. Berdasarkan pasal 3 Perjanjian Kerjasama Operasional maka pihak kedua mempunyai tanggung jawab untuk Membayar harga jual atas komoditi jagung yang dibeli dari Pihak Pertama sesuai dengan harga standar Internasional komoditi jagung dan dibayar tunai sekaligus setiap saat, setelah Pihak Kedua telah menerima komoditi jagung yang dibeli itu dari Pihak Pertama di tempat dan/atau digudang Pihak Kedua

3. Berdasarkan Perjanjian Kerjasama (KSO) pasal 5 antara PT. Sari Bumi Bakau dengan Daewoo Logistic Indonesia apabila terjadi perbedaan pendapat maka diselesaikan oleh para pihak melalui musyawarah mufakat. Apabila terdapat hal-hal yang tidak dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, maka para pihak sepakat untuk memilih domisili hukum sependapat untuk


(4)

B. Saran

a. agar kerjasama Operasional (KSO) antara pihak pertama dan pihak kedua tidak hanya pada kegiatan pemasaran produksi pertanian (komoditi jagung) saja tetapi juga dibarengi dengan peningkatan Sumber daya manusia dari wilayah Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat demi kepentingan bersama.

b. agar terciptanya transparansi dalam penyesuaian dengan harga standar Internasional komoditi jagung dan dibayar tunai sekaligus setiap saat, setelah Pihak Kedua telah menerima komoditi jagung yang dibeli itu dari Pihak Pertama di tempat dan/atau digudang Pihak Kedua.

c. agar hendaknya Penyelesaian sengketa dapat diselesaikan secara win-win solution sesuai dengan tanggung jawab, kewajiban dan fungsinya masing-masing pihak.


(5)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku Bacaan

Ancok, Djamaluddin, 2002, Outbound Management Training: Aplikasi Ilmu Perilaku

Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia, MI Press, Yogyakarta.

Anderson, James A., 1979, Public Policy Making, Praeger Publishers, New York Biro Pusat Statistik, 1999, Statistik Indonesia Tahun 1999.

Badruldzaman, Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : PT. Citra Aditya, 2001)

Comes, Faustino Cardoso, 1995, Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Devas Nick, dkk., 1989, Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia, UI-Press, Jakarta.

Dunn, William N., 2001, Analisis Kebijak.sanaan Publik, Disunting dan di Indonesiakan oleh Dr. Muhajir Darwin, Hanindita Graha Widia, Yogyakarta. Dye, Thomas R., 1978, Understanding Public Policy, Prentice Hall, Engelwood

Cliffs, Ney Jersey.

Easton, David. 1971, The Political System, Alferd Knopf, New York.

Grindle, Marlee S., 1980, Politic and Policy Implementation in the third Word, Princeton University Press New Jersey.

Hadisuprapto, Paulus, 1998, Kejahatan Ekonomi Dan Diantisipasinya, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Volume No.1, Jakarta.

Harian Umum Republika, 7 Desember 1998

Irianto, Jusuf, 2001, Tema-tema Pokok Manajemen Sumber Daya Manusia, Insan Cendekiawan, Surabaya.


(6)

Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya : Bayumedia, 2005)

Jehani, Libertus, Pedoman Praktis Menyusun Surat Perjanjian, (Jakarta : Visimedia, 2008, Cetakan Keempat)

Korten, David C., 1990, Getting To The 21th Century: Voluntary Action And Global

Agenda, Kumarian Press, USA Laswell, Harold D. 1971. A Preview of Policy

Sciences, New York.

Satrio, J, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), (Bandung : Alumni, 1999) Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001)

Soebekti, R, Aneka Perjanjian, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995).

Widjaya, Gunawan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Seri Hukum Perikatan), (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2003).

B. Perundang-Undangan

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Kitab Undang-undang Hukum Dagang

C. Website

82