ﺔﻐﻠﻟﺍ ﻢﻠﻋ ﻦﻣ ﻉﺮﻔﻟﺍ ﻚﻟﺫ ﻭﺃ ﻰﻨﻌﻤﻟﺍ ﺱﺭﺪﻳ ﻱﺬﻟﺍ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﻭﺃ ﻰﻨﻌﻤﻟﺍ ﺔﺳﺍﺭﺩ ﻪﻧﺄﺑ ﻢﻬﻀﻌﺑ ﻪﻓﺮﻌﻳ ﺰﻣﺮﻟﺍ ﻰﻓ ﺎﻫﺮﻓﺍﻮﺗ ﺐﺟﺍﻮﻟﺍ ﻁﻭﺮﺸﻟﺍ ﺱﺭﺪﻳ ﻱﺬﻟﺍ ﻉﺮﻔﻟﺍ ﻚﻟﺫ ﻭﺃ ﻰﻨﻌﻤﻟﺍ ﺔﻳﺮﻈﻧ ﻝﻭﺎﻨﺘﻳ ﻱﺬﻟﺍ
ﻰﻨﻌﻤﻟﺍ ﻞﻤﺣ ﻰﻠﻋ ﺍﺭﺩﺎﻗ ﻥﻮﻜﻳ ﻰﺘﺣ
ya’rifuhu ba’ ḍahum bi `annahu dirāsatu al-ma’nā aw al-‘ilmu allaż
Ī
yadrusu al- ma’nā aw żālika al-far’u min ‘ilmi al-lugati allaż
Ī
yatanāwalu naẓriyyata al- ma’nā aw żālika al-far’u allaż
Ī
yadrusu asy- syurūṭa al-wājiba tuwāfiruhā f
Ī
ar- ramzi
ḥattā yakūna qādiran ‘alā ḥamli al-ma’nā “Sebahagian mereka ahli bahasa mendefinisikan ia ‘Ilmu Dilalah adalah kajian tentang makna, atau ilmu
yang membahas tentang makna, atau cabang yang mengkaji teori makna, atau cabang yang mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengungkap
lambang-lambang bunyi sehingga mempunyai makna.”
Al-Khuli 1982: 251 mengatakan semantik di dalam bahasa Arab adalah:
ﻩﺎﻨﻌﻣﻭ ﻱﻮﻐﻠﻟﺍ ﺰﻣﺮﻟﺍ ﻦﻴﺑ ﺔﻗﻼﻌﻟﺍ ﺱﺭﺪﻳ ﺔﻐﻠﻟﺍ ﻢﻠﻋ ﻦﻣ ﻉﺮﻓ : ﻲﻧﺎﻌﻤﻟﺍ ﻢﻠﻋ .ﺔﻟﻻﺪﻟﺍ ﻢﻠﻋ ﺕﺎﻤﻠﻛ ﻦﻴﺑ ﺕﺎﻗﻼﻌﻟﺍﻭ ﻱﻮﻐﻠﻟﺍ ﺯﺎﺠﻤﻟﺍﻭ ﻲﻧﺎﻌﻤﻟﺍ ﻉﻮﻨﺗﻭ ﺎﻴﺨﻳﺭﺎﺗ ﺕﺎﻤﻠﻜﻟﺍ ﻲﻧﺎﻌﻣ ﺭﻮﻄﺗ ﺱﺭﺪﻳﻭ
. ﺔﻐﻠﻟﺍ
’Ilmu ad-dil ālati. ‘Ilmu al-ma’āni: far’u min ‘ilmi al-lugati yadrusu al-‘alāqata
bayna ar-ramzi al-lugawiyi wa ma’nahu wa yadrusu ta ṭawwura ma’āniya al-
kalimāti tārīkhiyyan wa tanawwu’a al-ma’ānī wa al-majāza al-lugawiyya wa al- ‘alāqāti bayna al-kalimāti al-lugati “Ilmu semantik. Ilmu tentang makna: cabang
dari ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara lambing bahasa dan maknanya serta mempelajari perkembangan makna kata dari waktu ke waktu dan
macam-macam makna serta gaya bahasa dan hubungan kata dalam bahasa.”
2.3 Pengertian Makna dan Pembagiannya
Al-Khuli 1982: 166 mengatakan makna di dalam bahasa Arab adalah:
. ﻞﻤﺠﻟﺍ ﻭﺃ ﺕﺍﺭﺎﺒﻌﻟﺍ ﻭﺃ ﺕﺎﻤﻠﻜﻟﺍ ﻦﻣ ﺺﺨﺸﻟﺍ ﻪﻤﻬﻔﻳ ﺎﻣ : ﻲﻨﻌﻣ
Ma’nā: mā yafhamuhu asy-syakhṣu min al-kalimāti aw al-‘ibarāti aw al-jumali “Makna adalah apa yang dapat dipahami seseorang dari suatu kata ungkapan atau
kalimat”. Menurut Djajasudarma 1993: 34 makna adalah hubungan yang ada di
antara suatu bahasa.Sedangkan pengertian makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1 Arti, 2 Maksud pembicara dan penulis KBBI, 1995: 619.
Chaer 2003: 269 menerangkan bahwa untuk dapat memahami makna sebuah ujaran banyak yang perlu diperhatikan seperti psikologi, dan budaya dan dalam
7
studi faktor-faktor itu tercermin pada apa yang disebut tingkatan makna, yakni makna leksikal, makna gramatikal, dan makna kontekstual.
Adapun dalam penelitian ini, peneliti meneliti makna kontekstual dari kata
ﻦﻳﺩ
dīnun dan
ﺔّﻠﻣ
millatun dalam Al-Qur’an. Oleh karena kedua kata tersebut
ﻦﻳﺩ
dīnun dan
ﺔّﻠﻣ
millatun merupakan dua kata yang dimaknai sama yaitu agama maka peneliti menganggap penting untuk meneliti sekilas tentang makna
leksikal dari kedua kata tersebut. Memahami makna leksikal setiap butir kata yang digunakan dalam sebuah
ujaran merupakan tahap pertama dalam memahami makna ujaran itu.Namun, menurut Chaer 2003: 270 persoalannya tidak sesederhana itu sebab ada
sejumlah kasus di dalam studi yang menyangkut makna leksikal itu. Kasus-kasus itu adalah: 1 kasus kesamaan makna atau kesinoniman; 2 kasus kebalikan
makna atau keantoniman; 3 kasus ketercakupan makna atau kehiponiman dan kebalikannya kehiperniman; dan 4 kasus kesamaan bentuk dan keberbedaan
makna atau kehomoniman. Kasus-kasus di atas perlu pemahaman yang mendalam karena sering
ditemukan dan menjadi kendala sehingga menimbulkan kesalahan dalam menafsirkan makna sebuah ujaran. Dalam penelitian ini, peneliti memilih kasus
kesamaan makna atau kesinoniman dari empat kasus di atas untuk menganalisis kata
ﻦﻳﺩ
d ῑnun dan
ﺔّﻠﻣ
millatun yang terdapat dalam Al-Qur’an karena seperti yang peneliti ungkapkan sebelumnya bahwa kata
ﻦﻳﺩ
d ῑnun dan
ﺔّﻠﻣ
millatun dimaknai sama yaitu ‘agama’.
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Arab, seringkali ditemui adanya hubungan kemaknaan atau relasinya antara sebuah kata dengan kata lainnya.Salah
satu bentuk relasi tersebut yaitu dapat berupa kesamaan makna yang disebut sinonim.Menurut Chaer, 1989:82 Secara etimologi berasal dari bahasa Yunani
kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’.
Secara Verhar 1978 dalam Chaer 1989: 82 mendefinisikan sebagai ungkapan
8
bisa berupa kata, frase, atau kalimat yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Sementara Djajasudarma 1993: 36 sinonim digunakan untuk menyatakan sameness of meaning’ kesamaan arti. Hal tersebut dilihat dari kenyataan bahwa
para penyusun kamus menunjukkan sejumlah perangkat kata yang memiliki makna sama; semua bersifat sinonim, atau satu sama lain sama makna, atau
hubungan di antara kata-kata yang mirip dianggap mirip maknanya. Dalam bahasa Arab, sinonim disebut dengan
ﻑﺩﺍﺮﺘﻟﺍ at-tarādufu. ‘Umar 1998: 145 mendefinisikan
ﻑﺩﺍﺮﺘﻟﺍ at-tarādufu sebagai berikut: ﺪﺣﺍﻭ ﻰﻨﻌﻣ ﻰﻠﻋ ﻆﻔﻟ ﻦﻣ ﺮﺜﻛﺃ ﻝﺪﻳ ﻥﺃ ﻮﻫ ﻑﺩﺍﺮﺘﻟﺍ
at- tarādufu huwa `an yadulla `akṡara min lafẓin ‘alā ma’nā wāḥidin “Sinonim
adalah banyak lafaz tapi satu arti” Contoh kata-kata yang bersinonim dalam bahasa Arab antara lain:
ﻖﻠﺧ
khalaqa dan
ﻊﻨﺻ
ṣana’a memiliki makna ‘membuat, menciptakan’;
ﺮﻈﻧ
na ẓara,
ﻯﺃﺭ
ra`ā dan
ﺮﺼﺑﺃ
ab ṣara ‘melihat’;
ﺕﺎﻣ
māta,
ﻲّﻓﻮﺗ
tuwuffiya, dan
ﺄﻔﻁ
ṭafa`a memiliki makna ‘mati, meninggal, wafat, padam’;
ﻥﺎّﻛﺩ
dukkānun,
ﺕﻮﻧﺎﻫ
hānūtun memiliki makna ‘kedai, warung’; dan lain-lain. Pada definisi Verhaar di atas dikatakan “maknanya kurang lebih sama”.
Ini berarti dua buah kata yang bersinonim itu, kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja Chaer, 1989: 82 Menurut Zgusta 1971: 89 dan Ullman
1972: 141 seperti yang terdapat dalam Chaer 1989: 82 kesamaannya tidak bersifat mutlak karena ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila
bentuk berbeda maka maknapun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit.
Jadi makna kata
ﻖﻠﺧ
khalaqa dan
ﻊﻨﺻ
ṣana’a tidak persis sama, andaikata makna kedua kata tersebut persis sama, tentu kita dapat mengganti kata
ﻖﻠﺧ
khalaqa dalam kalimat
ﺽﺭﻷﺍﻭ ﺕﺍﻭﺎﻤﺴﻟﺍ ُﷲ ﻖﻠﺧ
khalaqa allahu as- samāwāti wal arḍa ‘Allah menciptakan langit dan bumi’ menjadi
ﷲ ﻊﻨﺻ
9
ﺽﺭﻷﺍﻭ ﺕﺍﻭﺎﻤﺴﻟﺍ
ṣana’a allahu as-samāwāti wal arḍa ‘Allah membuat langit dan bumi’. Ternyata penggantian tidak dapat dilakukan karena membuat efek
rusaknya makna keseluruhan sehingga menjadi bukti jelas bahwa kata-kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang persis sama.
Menurut Chaer 1989:85 ketidakmungkinan untuk menukar sebuah kata dengan lain yang bersinonim banyak sebabnya. Antara lain, karena :
1. Faktor waktu
2. Faktor tempat atau daerah
3. Faktor sosial
4. Faktor bidang kegiatan
5. Faktor nuansa makna
Perbedaan-perbedaan di atas menjadikan kata-kata yang bersinonim tidak mudah begitu saja dipertukarkan dalam konteks kalimat. Menurut Chaer 1989:
85 mengutip teori Verhaar bahwa yang sama pada kata-kata yang bersinonim adalah informasinya, padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat
ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Contoh:
1 Sekarang dia tinggal di Manado
Kini dia tinggal di Manado 2
Istrinya yang sekarang orang Medan kini
Kata sekarang dan kini yang terdapat pada dua kalimat di atas adalah dua buah kata yang bersinonim sehingga kata sekarang dapat diganti dengan kata kini
seperti terlihat pada contoh 1.Tetapi dalam kalimat 2 kata sekarang tidak dapat diganti dengan kata kini.
Lebih lanjut menurut Chaer 1989: 114 kalau kita mengikuti teori komponen makna yang mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri
dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut.Maka yang sama dari kata-kata yang bersinonim
tersebut adalah bagian atau unsur tertentu itu saja dari makna itu yang sama.
10
Contoh kata
ﺕﺎﻣ
māta dan
ﻲّﻓﻮﺗ
tuwuffiya. Kata
ﺕﺎﻣ
māta memiliki komponen makna 1 tidak bernyawa 2 dapat dikenakan terhadap apa saja manusia,
binatang, pohon, dsb. Sedangkan
ﻲّﻓﻮﺗ
tuwuffiya memiliki komponen makna 1 tidak bernyawa 2 hanya dikenakan pada manusia. Dengan demikian kata
ﺕﺎﻣ
māta dan
ﻲّﻓﻮﺗ
tuwuffiya hanya bersinonim pada komponen makna 1 tidak bernyawa.
Selanjutnya menurut Chaer 1994: 290 makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam suatu konteks. Sementara menurut
Al-Khuli 1982: 57 di dalam bahasa Arab makna kontekstual disebut
ﻰﻨﻌﻣ ﻲﻗﺎﻴﺳ
ma’nā siyāqiyyun. Selanjutnya Chaer 2003: 285 mengatakan bahwa memahami makna
leksikal dan makna gramatikal saja belum cukup untuk memahami makna suatu ujaran, sebab untuk dapat memahami makna suatu ujaran harus pula diketahui
konteks dari terjadinya ujaran itu, atau tempat terjadinya ujaran itu.Konteks ujaran ini dapat berupa konteks intrakalimat, antarkalimat, bidang ujaran, atau juga
situasi ujaran. Sudah menjadi asumsi umum bahwa makna sebuah kata tergantung pada
kedudukannya di dalam kalimat, baik menurut letak posisinya di dalam kalimat maupun menurut kata-kata lain yang berada di depan maupun di belakangnya
Chaer, 2003:285. Inilah yang dimaksud dengan konteks intrakalimat. Contohnya kata dalam dan lagi pada kalimat-kalimat berikut:
3 Sungai itu dalam sekali
4 Dalam sungai itu 20 meter
5 Adik lagi makan
6 Adik makan lagi
Makna kata dalam pada kalimat 3 dan 4 menjadi tidak sama karena letak posisinya yang tidak sama. Kata dalam pada kalimat 3 bermakna lawan dari kata
dangkal, sementara kata dalam pada kalimat 4 bermakna jarak atau kedalaman. Begitu pula dengan kata lagi pada kalimat 5 dan 6, maknanya menjadi berbeda
karena letak posisinya yang tidak sama. Kata lagi pada kalimat 5 bermakna
11
‘sedang’, sementara kata lagi pada kalimat 6 bermakna ‘kembali atau untuk kali kedua’.
Chaer 2003: 286 menyatakan bahwa banyak ujaran dalam bentuk kalimat yang baru bisa dipahami maknanya berdasarkan hubungannya dengan makna-
makna kalimat sebelum atau kalimat-kalimat sesudahnya seperti contoh berikut: 7
Meskipun persiapan telah dilakukan dengan seksama, tetapi operasi itu tidak jadi dilakukan. Menurut keterangan tim medis hal itu karena tiba-tiba
si pasien mengalami komplikasi. 8
Meskipun persiapan telah dilakukan dengan seksama, tetapi operasi tidak jadi dilakukan. Hal ini karena rencana operasi itu telah bocor, sehingga tak
sebuah becak pun yang keluar. Kata operasi pada contoh 7 bermakna ‘pembedahan’, sedangkan pada contoh 8
bermakna penertiban.Kedua makna kata operasi itu bisa dipahami adalah karena kalimat yang mengikutinya.
Selanjutnya Chaer 2003: 286-287 memaparkan bahwa yang dimaksud dengan konteks situasi adalah kapan, di mana, dan dalam suasana apa ujaran itu
diucapkan. Contoh kalimat tanya yang berbunyi, “Tiga kali empat berapa?”, bila diucapkan oleh seorang guru di kelas tiga SD, tentu member jawaban “dua belas”.
Namun, bila diucapkan oleh seseorang ditujukan pada tukang afdruk foto, maka jawabannya mungkin “seribu rupiah” ataupun “seribu dua ratus rupiah”.
Teori-teori yang telah dikemukakan di atas menjadi landasan penulis untuk kemudian meneliti dua kata yang bersinonim dalam bahasa Arab yang terdapat
dalam Al-Qur’an yaitu
ﺔّﻠﻣ
millatun dan
ﻦﻳﺩ
d ῑnun. Selanjutnya kedua kata
tersebut akan penulis coba teliti seberapa jauh kesamaan makna di antara keduanya dengan menganalisis makna leksikal ditinjau dari kesinoniman dan
mencari kemungkinan kasus keantoniman dari
ﺔّﻠﻣ
millatun dan
ﻦﻳﺩ
d ῑnun, dan
makna kontekstual kedua kata tersebut ditinjau dari sudut konteks intrakalimat, konteks antarkalimat, dan konteks situasi.
12
2.4 Makna Kata