BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dicitrakan sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup di luar jejaring sosial, bagaimana dan apa pun bentuknya.
2
Perjalanan hidup manusia itu tidak terlepas dari hukum. Hukum adalah tatanan yang sengaja dibuat oleh
manusia dan secara sengaja pula dibebankan padanya.
3
Hukumlah yang memberi arah, tujuan, cita-cita dari perjalanan hidup manusia itu. Dengan hukum manusia
bisa menjalin cinta kasih, menjalankan roda perekonomian dengan tertib, membentuk masyarakat dan mengatur segala sesuatunya. Benarlah perkataan
Satjipto Rahardjo bahwa hukum adalah untuk manusia. Secara umum, hukum adalah himpunan kaidah, berisi keharusan atau
larangan tentang tingkah laku manusia, kaidah-kaidah mana memang dianut dalam masyarakat.
4
Berangkat dari pandangan tersebut, terdapat beberapa penggolongan hukum dari berbagai kriteria yang dipahami oleh para sarjana.
Salah satunya adalah hukum berdasarkan sumbernya. Hukum berdasarkan sumbernya dapat diklasifikasikan atas undang-undang, hukum kebiasaan dan
hukum adat, hukum yurisprudensi, hukum traktat, dan hukum doktrin. Dari empat klasifikasi tersebut, hukum adatlah yang menjadi salah satu sorotan dalam
pembahasan skripsi ini.
2
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2008, Cet. 2 hlm. 7.
3
Ibid.
4
Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa Bandung: Refika Aditama, 2000, Cet. 2 hlm. 57.
Universitas Sumatera Utara
Para ahli hukum berusaha untuk memberikan definisi terhadap hukum adat. Salah satu yang dapat menjadi pegangan adalah pendapat Prof. Bushar
Muhammad dalam bukunya menyunting pendapat-pendapat para ahli tentang definisi hukum adat dan menyimpulkan bahwa hukum adat adalah hukum yang
mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan kesusilaan
yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat adat itu, maupun yang merupakan keseluruhan
peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.
5
Pembahasan mengenai hukum adat tidak akan terlepas dari istilah masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adat. Bila kembali pada konsep
awal bahwa hukum adalah untuk manusia, maka hukum adat adalah untuk masyarakat hukum adat. Ter Haar mengemukakan bahwa masyarakat hukum
adalah
6
kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, dan mempunyai kekayaan yang berwujud
ataupun tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat
alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama- lamanya. Sejalan namun berbeda dari penafsiran Ter Haar, Aliansi Masyarakat
5
Bushar Muhammad. Asas-Asas Hukum Adat Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006, Cet. 13. hlm. 19.
6
Ibid. hlm. 21.
Universitas Sumatera Utara
Adat Nusantara yang selanjutnya disebut AMAN mengartikan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
7
Salah satu unsur penting dari masyarakat hukum adat adalah wilayah atau tempat. Setiap masyarakat hukum adat pasti menempati suatu wilayah tertentu
sehingga memenuhi untuk dikatakan masyarakat hukum adat. Wilayah tersebut dapat berupa tanah ulayat termasuk hutan adat, yang pemanfaatannya sedari dulu
adalah sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat hukum adat. Bila dipandang dari sisi sosiologis, masyarakat hukum adat memiliki keterikatan yang
kuat pada hutan. Di berbagai daerah di Indonesia, interaksi antara masyarakat hukum adat dengan hutan tergambar dalam bentuk-bentuk pengelolaan hutan
yang pada umumnya didasarkan pada hukum adat. Biasanya berisi aturan mengenai tata cara pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian
lainnya, pengembalaan ternak, perburuan satwa dan pemungutan hasil hutan. Keberadaan praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat
dikenal dengan berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat
Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada masyarakat Peminggir di Lampung, Tombak pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara.
8
Praktek-praktek tersebut membuktikan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat telah melakukan
7
Husen Alting, Dinamika Hukum Dalam Pengakuan Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Masa Lalu, Kini, dan Masa Mendatang Yogyakarta: LaksBang
PERSSindo, 2010, hlm. 31.
8
Lihat berkas permohonan pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35PUU-X2012.
Universitas Sumatera Utara
pengelolaan sumber daya alam hutan secara turun-temurun. Dari hal itulah tercipta bentuk yang beragam dan terpadu akan praktek pengelolaan hutan yang
hasil akhirnya memberi manfaat kepada masyarakat dan lingkungan baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya, religi maupun ekologi.
Sejalan dengan berubahnya waktu dan berkembangnya pemikiran manusia, yang dahulu hutan adat adalah milik sepenuhnya masyarakat hukum
adat kini pemerintah turut campur tangan didalamnya. Landasan yuridis utama dari hal tersebut sebagai bentuk dari perwujudan pembukaan konstitusi adalah
Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan mandat kepada negara agar pemanfaatan bumi tanah, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebesar-besarnya digunakan untuk menciptakan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Dalam menjalankam mandat konstitusi tersebut, maka pada sektor kehutanan sebagai salah satu kekayaan sumber daya alam yang ada, pemerintah
menyusun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang selanjutnya disebut Undang-Undang Kehutanan. Bagian dasar pertimbangaan
undang-undang tentang kehutanan menggambarkan adanya kemajuan, yakni perlunya suatu pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia
sehingga mampu menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat, dan budaya serta tata nilai kemasyarakatan. Namun, apabila ditelaah lebih
mendalam maka akan terungkap kontradiksi antara “adat dan budaya serta nilai- nilai kemasyarakatan” di satu sisi berhadapan dengan “norma hukum nasional”
disisi yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Kehutanan telah dijadikan alat oleh negara untuk mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya
untuk kemudian dijadikan sebagai hutan negara, yang selanjutnya justru atas nama negara diberikan danatau diserahkan kepada para pemilik modal melalui
berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut. Undang-
undang tersebut juga menghadirkan ketidakpastian hak atas wilayah adatnya. Padahal, hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah adat merupakan hak
yang bersifat turun-temurun. Hak ini bukanlah hak yang diberikan negara kepada masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak yang lahir dari proses mereka
membangun peradaban di wilayah adatnya. Sayangnya, klaim negara atas kawasan hutan selalu dianggap lebih sahih daripada klaim masyarakat hukum
adat. Padahal hak masyarakat hukum adat atas wilayah adat yang sebagian besar diklaim sebagai kawasan hutan oleh negara, selalu jauh lebih dahulu adanya dari
hak negara. Undang-undang Kehutanan memperlakukan masyarakat hukum adat yang
secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda dengan subjek hukum yang lain, sehingga masyarakat hukum adat secara faktual,
kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam kehidupannya. Bahkan, seringkali hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara
sewenang-wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa pasal
yang terdapat di dalam Undang-Undang Kehutanan antara lain Pasal 1 angka 6,
Universitas Sumatera Utara
Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang mengatur tentang status dan penetapan hutan adat serta Pasal 4 ayat 3, Pasal 5 ayat 3, Pasal 67 ayat 1, 2, dan 3 yang
mengatur tentang bentuk dan tata cara pengakuan masyarakat hukum adat. Keberlakuan Undang-Undang Kehutanan berdampak pada kerugian
konstitusional bagi masyarakat hukum adat. Kerugian tersebut membangkitkan semangat beberapa komunitas dan kesatuan masyarakat hukum adat yang
tergabung dalam AMAN, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu untuk melakukan
judicial review terhadap pasal-pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Dari judicial review yang dilakukan, maka lahirlah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35PUU-X2012. Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian yakni menghilangkan frase “Negara”
dalam pasal 1 angka 6 sehingga hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, dan hapusnya penjelasan pasal 5 ayat 1, serta
beberapa ketentuan lainnya yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang disebutkan oleh mahkamah
konstitusi. Dengan adanya Putusan ini maka terbentuklah kembali keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat dalam hal
kepemilikan hutan adat. Pada sisi lain, manusia sebagai mahluk sosial memerlukan sumber-sumber
kehidupan. Hutan adat yang dekat dengan masyarakat hukum adat itu menjadi skala prioritas bagi mereka dalam mendapatkan kehidupan. Untuk mendapatkan
sumber kehidupan itu, bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah
Universitas Sumatera Utara
melalui investasi pada hutan adat. Ide Investasi ini memiliki bermacam-macam persoalan diantaranya, apakah masyarakat hukum adat dapat melakukan tindakan
hukum? Bagaimana wujud keterlibatan masyarakat hukum adat dalam investasi itu? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sangat menarik untuk dibahas sejalan
dengan muculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35PUU-X2012.
B. Rumusan Masalah