Bentuk-bentuk Ritual Kejawen Ritual Kejawen

dihidangkan kepada peserta selamatan, serta makanan yang di bawa pulang ke rumah yang disebut berkat. Bisa dikatakan bahwa itu merupakan wujud dari kerukunan yaitu cara untuk menciptakan relasi yang harmonis antara orang-orang dekat, yang tidak harus intimakrab, tetapi yang cukup dekat untuk harus hidup bersama satu sama lain. Selain tatanan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, nilai yang dapat diambil dari tradisi Keja wen cukup besar. Karena dapat mempengaruhi pola pikir manusia. Semula orang yang angkuh dan sombong dengan tetangganya dapat luntur dan membaur. Kebersamaan adalah kunci utama dalam pergaulan dan saling merasa memiliki untuk berbagi tanpa membedakan kaya atau miskin, sehingga kesenjangan sosial dan perselisihan terhindarkan Dengan pola inti yang serupa itulah nilai-nilai Islam telah merasuki pelaksanaan upacara selamatan dalam berbagai bentuknya. Kita dapat melihat Budaya Jawa sangat luwes menerima kehadiran budaya apa saja terutama dalam bentuk-bentuk ritual Keja wen serta sudah terbukti menyatu dalam tradisi yang selalu dilakukan secara rutin di tengah masyarakat Jawa.

3. Bentuk-bentuk Ritual Kejawen

a. Upacara Tinkeban atau Mitoni Berkaitan dengan upacara tingkeban atau mitoni, Koentjaraningrat 1994: 350-351 menyatakan sebagai berikut: Upacara pertama yang dinamakan tingkeban diadakan saat kandungan berumur tujuh bulan, yang antara lain terdiri dari suatu slametan yang dinamakan slametan mitoni. Hidangan untuk slametan ini terdiri dari tujuh buah nasi tumpeng dengan tujuh macam lauk- pauk, dan tujuh macam juadah dengan warna yang berbeda-beda pula. Sejak diadakan upacara mitoni, seorang calon Ibu harus mematuhi berbagai syarat dan pantangan, seperti mencuci rambutnya seminggu sekali dengan air merang yang sudah diberi kekuatan gaib dengan ucapan mantera-mantera. Adapun larangan untuk makan berbagai makanan tertentu, seperti telur, ayam muda, buah “kepel”, udang, ikan yang berpatil, dan buah-buah yang letak bijinya melintang, sebenarnya sudah mulai sejak awal kehamilanya, Orang-orang tua seringkali memberikan makna yang berbeda terhadap berbagai pantangan makanan itu yang hampir semuanya mempunyai arti simbolik yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan serta berdasarkan asosiasi pikiran yang sederhana. Buah-buahan dengan biji-biji yang tersusun melintang dianggap dapat mempengaruhi letak yang salah dari si jabang bayi. Dengan demikian masyarakat Jawa sangat hati-hati dalam menjaga bayi yang di kandung oleh seorang ibu agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti cacat fisik. b. Upacara Kelahiran Pada hari kelahiran bayi diadakan suatu slametan pemberian nama, yaitu slametan brokohan . Koenjtaraningrat 1994: 354 juga menyatakan: Upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur tujuh hari,. Dalam upacara ini rambut si bayi di potong sedikit kemudian di beri nama. Dalam upacara Islam santri, upacara ini disebut korban aqiqah, dengan ditandai adanya penyembelihan hewan aqiqah yang berupa kambing 2 ekor untuk anak laki-laki dan 1 ekor kambing untuk anak perempuan. c. Upacara Sunatan Menurut M. Afnan Chafidh dan A. Ma‟ruf Asrori 2006:63,”Menurut bahasa, khitan berarti memotong kuluf kulit yang menutupi kepala penis. Sedangkan menurut istilah syarak, khitan adalah memotong bulatan kulit di ujung hasafah, yaitu tempat pemotongan penis”. Upacara ini dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Dalam pelaksanaan khitan itu masyarakat mempunyai ciri yang berbeda-beda. Ada yang melaksanakan khitan antara usia empat sampai delapan tahun, dan pada masyarakat lain dilaksanakan ketika anak berusia antara 12 sampai 14 tahun. Pelaksanaan khitan sebagai bentuk perwujudan secara nyata mengenai pelaksanaan hukum Islam, sunatan atau khitanan ini merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang Islam. Karena itu sering kali sunatan disebut selam, sehingga mengkhitankan dikatakan nyelameken, yang mengandung makna mengIslamkan ngIslamake. Walaupun demikian hukum Islam menganjurkan agar sunatan di lakukan pada saat seorang anak berumur tujuh hari, asalkan tidak membahayakan anak itu. Berkaitan dengan hal tersebut Koentjaraningrat 1994:357-358 menyatakan sebagai berikut: Para keluarga santri yang sebanyak mungkin berusaha mengikuti peraturan hukum agama, melakukan upacara itu pada hari- hari yang di tentukan dalam hukum Islam, yaitu misalnya pada hari keempat puluh setelah lahir. Dalam keluarga santri lain, upacara sunatan dapat juga dilakukan pada waktu seorang anak pria berumur empat sampai tujuh tahun; akan tetapi keluarga-keluarga penganut agami Ja wi pada umumnya menghubungkan sunatan dengan umur akil baliq, di samping sebagai peresmian masuk Islam, dan karena itu mengadakanya pada waktu seorang anak pria berumur antara 10 dan 16 tahun. d. Upacara Pernikahan Dalam setiap daerah di Jawa Tengah, pernikahan merupakan ritual yang sangat penting sehingga sebelum diadakanya pesta perayaan pernikahan para keluarga dan kerabat sangat sibuk mempersiapkan segala kelengkapan dalam perayaang pernikahan tersebut. Hal ini dikataka n oleh koenjtaraningrat 1994:130, “Upacara pernikahan anak wanita yang pertama terutama merupakan kejadian yang sangat penting dalam suatu keluarga. Sudah berminggu-minggu sebelumnya keluarga mempelai wanita sibuk melakukan berbagai persiapkan untuk per ayaan itu”. Upacara ini bukan sekedar pesta, Tradisi seperti ini dianggap penting dan seolah-olah menjadi wajib oleh masyarakat Jawa dengan berbagai macam tujuan yang berbeda di seluruh Jawa Tengah. Jadi, “Semua kegiatan dilakukan oleh para kerabat, berbagai hidangan slametan , upacara sira man, upacara merias pengantin wanita paes , perayaan midadareni pada malam menjelang hari pernikahan dan sebagainya, yang telah dideskripsi mengenai suatu pernikahan Di desa, juga dijalankan pada pernikahan keluarga priyayi ”Koentjaraningrat, 1994:259. Agar upacara berjalan mulus dan maksudnya dapat tercapai, Orang Jawa memberi sesaji kepada kekuatan tidak tampak yang ada di sekitar mereka. Beberapa selamatan yang dilaksanakan dalam upacara perkawinan di antaranya: selamatan hari sebelum pernikahan atau pada hari sebelum upacara pemberian seserahan pemberian mahar ditunjukkan untuk mendapatkan keberuntungan bagi kedua pengantin. Selamatan pada malam sebelum dilangsungkannya pernikahan malam widadaren dan pada malam sesudah pernikahan diadakan sesajian yang dinamakan selamatan penganten . Dengan membaca do‟a qunut dan menggunakan beras kuning , ayam bersantan dan makanan pelengkap lainnya. Setelah 3\4 hari setelah pernikahan diadakan selamatan bagi atau peserta susulan yaitu Ngunduh mantu yang lebih bersifat keagamaan yang bertujuan untuk mendapatkan berkah dari Allah dan Nabi Muhammad. Dalam tradisi Jawa setiap ada pernikahan pasti kita jumpai symbol-simbol yang mempunyai makna tertentu seperti janur kuning dan macam-macam sesaji. Disebelah kanan- kiri‟gapura‟ janur kuning , terlihat pula ada tebu, cengkir, dan pisang raja yang diikat pada dua tiang didepan ruang pertemuan resepsi. Berkaitan dengan itu Wawan Susetya 2007: 33-34 menerangkan: Pertama , pisang raja maknanya sangat jelas sebagai simbolik dari Raja. Artinya, pernikahan atau perkawinan dalam kehidupan manusia merupakan salah satu tahap yang paling penting dari tiga proses perjalanan: kelahiran, perkawinan dan kematianya. Dan, sang mempelai didudukan di „singgasana rinengga‟ dengan pakaian ala raja dan permaisuri yang penuh aura kewibawaan dan kegembiraan. Kedua, tebu . Orang Jawa mengartikan dengan ungkapan mantebing kalbu mantapnya hatikalbu, karena Tanaman tebu rasanya manis dan menyegarkan. Ketiga, cengkir buah kelapa yang masih muda; maknanya adalah kencenging piker pikiran yang lurus. Dengan berbekal cengkir , sang mempelai diharapkan mampu melewati ujian kritis dalam memepertahankan pernikahanya, sehingga mampu menghadapi suka maupun duka bersama dalam mengarungi kehidupan berumah-tangga. Sedangkan Menurut Thomas Wiyasa Bratawijaya 2007:33-34 mengatakan bahwa: Sepasang pohon pisang raja yang berbuah maknanya adalah agar mempelai kelak menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga, lingkungan dan bangsa. Sedangkan sepasang tebu maknanya adalah dari mempelai diharapkan agar sagala sesuatu yang sudah dipikir matang-matang dikerjakan atau dilaksanakan dengan tekat yang bulat pantang mundur. e. Upacara Kematian Upacara ini dilakukan pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan. Mengkafani, mensholati dan pada akhirnya menguburkan. Setelah sepekan, diadakan selamatan mitung dina tujuh hari, matang puluh dina empat puluh hari, nyatus seratus hari mendak sepisan satu tahun, mendak pinda dua tahun dan yang terakhir nyewu atau nguwis-uwisi. Selain berkaitan dengan lingkaran hidup, terdapat pula upacara yang berkenaan dengan keramatan bulan-bulan hijriah seperti: upacara ba‟da besar, dina wekasan, Mauludan, Rejeban, Megengan, Riyayan, Sawalan dan sedekah haji. f. Nyadran Menurut Karkono Kamajaya Partokusumo 1995:246, “Nyadran berarti melaksanakan upacara „sadran‟ atau „sadranan‟ yang sampai saat ini masih terkenal dalam masyarkat Jawa dan dilakukanya dengan patuh. Upacara ini dilaksanakan dalam bulan Ruwah atau Sya‟ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa didalam bulan puasa Ramdhan”. Kebiasaan atau tradisi ritual yang dilakukan, antara lain : 1 Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka mempersiapkan ibadah puasa. 2 Mengadakan selametan wilujengan dengan menu sajian : kolak, apem, ketan, ambeng, tumpeng, sesaji serta membakar kemenyan. 3 Berziarah kemakam leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak atau berjasa; atau juga nyekar tabur bunga biasanya kembang melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih. Menurut Mark R. Woodward 199:121, “Ziarah kubur itu diperbolehkan asal tidak meminta berkah atau pemberian dari orang yang sudah mati, melainkan makna ziarah kubur adalah cara yang tepat agar man usia ingat dengan kematian”. Jadi, “manfaat menabur bunga adalah seketika menyebarkan bau segar di makam yang biasanya kurang nyaman baunya. Ditambah pula dengan bau kemenyan yang menyentak hidung sekaligus mengubah suasana kuburan yang sepi dan terkesan angker menjadi tenang dan serius- khidmat”. Karkoyo Kamajaya 1995:253. g. Ritual Selamatan berkaitan dengan Bersih Desa. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada bulan Sapar dan Rajab yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau rikat kuburan, selanjutny a kegiatan ritualnya dalah acara tumpengan dan do‟a bersama. Kegiatan sakral lain seperti ruwatan masih banyak dipegang dan dilestarikan. Menurut keyakinan Kejawen Ruwatan berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting putraputri tunggal, kedono-kedini sepasang putra-putri, sendang kapit pancuran satu putra diapit dua putri. Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala simbol kejahatan. Prosesi ruwatan diawali dengan menyiapkan sesajen di altar berukuran besar, sedikitnya 60 jenis sesajen. Seluruh bahan yang digunakan menggunakan hasil bumi. Ada buah-buahan, sayuran, tumpeng berukuran besar dan peralatan para petani. Masing- masing bagian sesajen memiliki makna khusus. Dua sesajen paling menonjol tumpeng lanang dan wadon. Tumpeng lanang terbuat dari buah-buahan, tumpeng wadon dari nasi dan sayur- sayuran. Jadi, ”Menu tumpeng yang telah disediakan ditujukan untuk menyampaikan pesan dari wali untuk selalu mengingat kepada Tuhan. Contoh adanya apem dalam tumpeng tersebut. Apem diambil dari kata “ampun” yang berarti manusia diarahkan unuk meminta ampun atas segala dosa yang pernah diperbuatnya”Ragil Pamungkas, 2006:33. h. Ritual Selamatan berkaitan dengan Tanah Pertanian Ritual ini dilakukan saat panen tiba tepatnya saat menuai padi disawah dengan perlengkapan tradisional. Sebelum pergi kesawah terlebih dulu disiapkanlah sesaji yang berupa ingkung ayam kampung yang telah di bakar dengan bumbu dan buah-buahan. Setelah siap maka acara yang pertama adalah do‟a bersama di tengah sawah dengan dipimpin oleh seorang laki- laki, setelah do‟a selesai acara yang kedua adalah makan-makan yang telah disiapkan oleh masing-masing buruh, setelah itu acara yang terakhir adalah memanen hasil pertanian. Orang Jawa sering menyebut upacara seperti itu adalah slametan hasil pertanian. Menurut Suwardi Endraswara 2003:13, ” Slametan adalah manifestasi kultur Jawa asli. Di dalamnya lengkap dengan symbol-simbol sesaji, serta menggunakan mantra-mantra tertentu. Karenanya, slametan boleh dikatakan merupakan wujud tindakan ritual dengan teks- teks religi terdahulu”. Jadi tradisi Slametan tidak akan pernah mati dalam setiap kehidupan Orang Jawa.

4. Pandangan para Tokoh tentang adanya bentuk Ritual Kejawen