Post 34d83e23c655fd90
MAKNA RITUAL KEJAWEN
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
DI DESA JUMO KECAMATAN KEDUNGJATI
KABUPATEN GROBOGAN
TAHUN 2009
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Oleh :
EKO HARYANTO
NIM. 12107004
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
TAHUN 2010
(2)
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara:
Nama : Eko Haryanto
NIM : 12107004
Jurusan : Tarbiyah
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Judul : MAKNA RITUAL KEJAWEN PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM DI DESA JUMO
KECAMATAN KEDUNGJATI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 2009
Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga, 15 Januari 2010 Pembimbing
Drs. JUZ’AN, M.Hum NIP. 19611024 198903 1 002
(3)
DEPARTEMEN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323 706, 323 433 Salatiga 50721
Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail : [email protected]
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi Saudara Eko Haryanto dengan Nomor Induk Mahasiswa 12107004 yang berjudul Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam Di Desa Jumo
Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan Tahun 2009 telah
dimunaqosahkan dalam Sidang Panitia Ujian Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada Sabtu, 13 Maret 2010 dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.).
Salatiga, 27 Rabiul Awal 1431 H. 13 Maret 2010 M. Panitia Ujian
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
DR.Imam Sutomo, M.Ag Dr. H.Muh Saerozi, M.Ag
NIP. 19580827 198303 1 002 NIP. 19660215 199103 1 001
Penguji I Penguji II
Dr. Adang Kuswaya, M.Ag Dra. Siti Asdiqoh, M.Si
NIP. 19720531 199803 1 002 NIP. 19680812 199403 2 003
Dosen Pembimbing
Drs. Djuz’an, M.Hum
(4)
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Eko Haryanto
NIM : 12107004
Jurusan : Tarbiyah
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 15 Januari 2010 Yang menyatakan,
(5)
MOTTO
“
Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna, karena Kegagalan terbesa r adalah apabila kita tidak pernahmencoba. Namun jika kita meremehkan pekerjaan itulah jaminan kegagalan “
(6)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Tuhan Yang Maha Esa
Untuk Bapak dan Ibuku Djumi‟an dan Nariyah yang slalu memberikan do‟a Kedua adik ku Erna Wahyuningsih dan Tri Wahyu Utomo
Dosen pembimbingku Drs. Djuz‟an, M.Hum dan Dra. Maryatin. Sahabat-sahabatku di Blok D Luqman, Andik, Ipul, Hadi, Ugi, Ghoni dan Teman spesialku Umi Hani‟ah yang selalu setia “ menungguku”.
(7)
KATA PENGANTAR
Bismillahir rahmanir rahim
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam pencipta langit dan bumi beserta isinya yang telah memberikan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada pemimpin umat dan penutup para Rasul, Muhammad SAW yang telah membimbing dan mendidik manusia dari masa kegelapan menuju masa yang sangat terang benderang dengan syariatnya yang lurus.
Skripsi yang berjudul “Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam di Desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan tahun 2009” ini, diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam( S.PdI ) pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri ( STAIN ) Salatiga.
Dalam skripsi ini, penulis akan memaparkan Apa bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan, nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen tersebut dan Apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Yang terhormat Ketua STAIN Salatiga Bpk. DR.Imam Sutomo, M.Ag
2. Yang terhormat Bpk. Drs. Djuz‟an, M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang
telah berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.
3. yang terhormat Dra. Maryatin yang telah berkenan meluangkan waktu dan pikiran untuk memberi masukan dan nasehat kepada penulis.
(8)
4. Ibu Maslikhah, M.Si dosen STAIN Salatiga, yang telah memberikan motivasi, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Ayahku tercinta Bpk. Djumi‟an dan Ibuku tersayang Ibu Nariyah yang telah
mengasuh, mendidik, membimbing serta memotivasi kepada penulis, baik moral maupun spiritual
6. Umi Hani‟ah yang slalu menungguku dengan sabar dan tulus.
7. Pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, khususnya IMM Cabang Salatiga, Perum BTN Blok D (Luqman Gentho, Andik, Tuan Muda Ipul), Kepala Desa Jumo Bpk. Harnomo, Pak Manaf dan Ibu Musripah di SMA Muhammadiyah Gubug, Mas Agus Humanis, Lion dan Teman-teman seperjuangan yang tidak tersebut namanya satu persatu.
Semoga segala amal yang telah diperbuat akan menjadi amal saleh, yang akan mendaptakan pahala yang setimpal dari Allah SWT, kelak dikemudian hari.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.Amin.ya rabbal
„alamin
Salatiga 13 Maret 2010 Penulis
Eko Haryanto NIM 12107004
(9)
ABSTRAKSI
Haryanto, Eko.2009. Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam di Desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan.
Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.
Kata kunci: Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan
Penelitian ini membahas tentang Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam di Desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan. Rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Apa bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati-Grobogan, nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen tersebut dan apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen, adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan, nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen tersebut dan apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen.
Sesuai dengan pendekatan kualitatif, maka kehadiran peneliti di lapangan sangat penting sekali mengingat peneliti bertindak langsung sebagai instrumen lengsung dan sebagai pengumpul data dari hasil observasi yang mendalam serta terlibat aktif dalam penelitian. Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan / responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan dari para informan, sedangkan data tambahan berupa dokumen. Keseluruhan data tersebut selain wawancara diperoleh dari observasi dan dokumentasi. Analisa data dilakukan dengan cara menelaah data yang ada, lalu mengadakan reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan dan tahap akhir dari ananlisa data ini adalah mengadakan keabsahan data dengan menggunakan ketekunan pengamatan triangulasi.
Dari penelitian yang dilaksanakan diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap tradisi Kejawen di Desa Jumo relatif normal, dengan adanya kesadaran yang tinggi dan keyakinan mereka semua atau pemahaman masyarakat. Tradisi Kejawen merupakan kewajiban yang harus ditunaikan dan menurut warga masyarakat Jumo banyak sekali berkah dan manfaatnya bagi perubahan hidup masyarakat juga merupakan sarana untuk memohon hajad (keinginan) agar Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rejeki dan keselamatan kepada masyarakat Nilai pendidikan dalam tradisi Kejawen adalah dengan adanya kebersamaan tanpa memandang status sosial, karena dihadapan Tuhan semua manusia adalah sama.
Nilai sosial pada Ritual Kejawen adalah bahwa perayaan tradisi tersebut akan mendatangkan suatu pengaruh yang kuat berkenaan dengan kehidupan sosial budaya. nilai religius pada tradisi Kejawen adalah untuk lebih meningkatkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pengucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha
(10)
Esa karena telah diiberi berkah serta pertolongan di masa sekarang dan akan datang. Dampak dalam bidang ekonomi pengucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberi berkah dan pertolongan selama satu tahun dan mengharap ditahun yang akan datang menjadi lebih baik. Dampak dalam bidang sosial budaya yaitu adanya kebersamaan dalam memberikan simpatinya dalam menyelenggarakan tradisi Kejawen ini dapat mempersatukan kelompok-kelompok dalam ikatan yang paling erat untuk hidup bersama dalam kerukunan. Semua ini merupakan gambaran pola hidup gotong royong yang sangat kental bagi masyarakat Indonesia. Dampak dalam bidang religius yaitu pemahaman masyarakat terhadap tradisi Kejawen, merupakan ajaran turun temurun dari para leluhur dalam rangka mensyukuri karunia Tuhan Yang Maha Esa.
(11)
DAFTAR INFORMAN
1. Bapak Harnomo Kepala Desa Jumo 2. Bapak K. Kahono Tokoh Pendidikan 3. Bapak H. Jasmo Tokoh Pendidikan 4. Bapak KH. Multazam Tokoh Agama 5. Bapak K. Rondin Tokoh Agama
6. Bapak HM. Suryadi S.Ag Tokoh Pendidikan 7. Bapak KH. Abdur Razak Tokoh Agama 8. Bapak H. Mashuri Tokoh Agama 9. Bapak Suhardi tokoh Pendidikan 10.Bapak Wursriyanto tokoh Pendidikan 11.Bapak H. Sambudi Kaurs Kesra (modin)
12.Bapak Sofanduri A.Ma Tokoh spiritual serta tokoh Pendidikan 13.KH. Sururi Tokoh Agama
(12)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR BERLOGO ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN ... v
HALAMAN MOTTO ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... x
DAFTAR INFORMAN ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Kegunaan Penelitian ... 5
E. Penegasan Istilah ... 6
F. Metode Penelitian ... 7
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 7
2. Kehadiran Peneliti ... 7
3. Lokasi Penelitian ... 7
4. Sumber Data ... 7
5. Prosedur Pengumpulan Data ... 10
6. Analisis Data ... 12
7. Pengecekan Keabsahan Data ... 13
(13)
G. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Ritual Kejawen ……… 17
1. Pengertian Ritual Kejawen ………... 17
2. Aspek yang mempengaruhi Budaya Jawa dan Islam ………... 20
3. Bentuk-bentuk Ritual Kejawen ……… 26
4. Pandangan para Tokoh tentang adanya bentuk Ritual Kejawen ... 34
5. Tujuan Pelaksanaan Ritual Kejawen ……… 36
B. Pendidikan ……….. 41
1. Pengertian Pendidikan ………. 41
2. Batasan Pendidikan ………... 42
3. Tujuan Pendidikan ………... 43
4. Unsur-unsur Pendidikan ……….. 44
5. Tri Pusat Pendidikan ……… 45
6. Bentuk-bentuk Pendidikan ………... 48
C. Hubungan antara Ritual Kejawen dengan Pendidikan ……… 49
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Paparan Data ………... 50
1. Gambaran Umum Lokasi ……….. 50
2. Latar Belakang adanya Ritual kejawen yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan ………... 53
(14)
1. Bentuk-bentuk Ritual kejawen di Desa Jumo, Kec.
Kedungjati, Kab. Grobogan ………... 55
2. Faktor pendukung dan penghambat adnya Ritual Kejawen …. 66 3. Persepsi para tokoh Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan tentang Ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakatnya ……… 69
BAB IV PEMBAHASAN ………. 73
BAB V PENUTUP ……… 86
A. Kesimpulan ……… 86
B. Saran ……….. 89 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN
(15)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kesatuan yang meliputi wilayah dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari pulau pulau besar dan kecil, tanahnya subur kaya flora dan fauna serta sumber alamnya. Tanah air Indonesia terkenal kesuburan dan kekayaannya, srhingga bangsa lain tertarik dan berupaya untuk menguasai, hal ini terbukti bahwa tanah air kita pernah dijajah bangsa lain selama bertahun-tahun..
Wilayah Indonesia yang sangat luas telah dihuni suku bangsa yang tersebar ke seluruh pelosok tanah air secara tidak merata. Penduduk menempati wilayah yang berbeda-beda sehingga menjadikan wilayah peradaban yang dimilikinya beraneka ragam, yang kemudian menjadi modal dasar pembangunan nasional. Dari persebaran yang tidak merata tersebut, Pulau Jawa adalah pulau yang paling padat penduduknya dibandingkan dengan jumlah penduduk di pulau lainnya. Di Pulau Jawa ini tidak hanya didiami oleh suku bangsa Jawa saja, melainkan juga suku-suku bangsa lainnya.
Pada dasarnya masing-masing suku bangsa memiliki kebiasaan, tradisi, adat istiadat dan budaya yang saling mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Mereka hidup secara berdampingan dan penuh toleransi dengan peradaban yang berbeda-beda. Kita dapat melihat Paham kejawen tidak dapat terlepas dari kehidupan orang Jawa. Paham ini sering di
(16)
identikkan dengan Mistisisme. Menurut Tim penyusun Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2007:749), “Mistisisme adalah ajaran yang menyatakan ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia yang bersifat gaib. Meskipun tidak seluruhnya anggapan ini benar, tetapi memang dunia keja wen tidak dapat dilepaskan dari mistis dan mistis juga merupakan bagian dari keja wen.
Sebelum datangnya agama Hindu dan Budha di Jawa, orang Jawa telah mengenal suatu keyakinan yang bersifat sinkritisme, yaitu Animisme dan Dinamisme. Di sinilah akar permasalahannya dari keyakinan orang Jawa hingga saat ini, sedangkan ajaran Hindu atau Budha hanya sebagai pewarna saja. Dan masuknya agama-agama wahyu termasuk agama Islam ternyata tidak mematikan keyakinan dan paham ini. Ia tetap berjalan secara pasang surut mengikuti perubahan waktu dan perkembangan jaman. Bahkan ajaran Hindu dan Budha mengokohkan keyakinan Animisme dan Dinamisme. Hal itu terwujud dalam bentuk kepercayaan adanya danyang-danyang yang berarti hantu penjaga (rumah, pohon dsb) di tempat-tempat tertentu dan percaya adanya dewa-dewa yang menguasai tempat-tempat di bagian bumi ini.
Sesudah masuknya Islam di tanah Jawa pada abad XV justru semakin memberi corak tumbuhnya paham keja wen yang bibit-bibitnya telah turun temurun dan telah diwariskan kepada anak cucu, sehingga menimbulkan fenomena budaya baru yaitu percampuran antara keja wen dengan Islam. Hal ini dapat dicontohkan berkembangnya seni budaya pewayangan dari wali
songo sebagai media dakwah Islam. Jadi, “Wayang memang merupakan seni
(17)
wasilah memasyarakatkan nilai-nilai budaya Jawa yang dipandang luhur. Dalam pertunjukan wayang diekspresikan tata karma feudal yang halus yang
berlaku dikraton” (Simuh, 1999:119). Dengan demikian para wali adalah tokoh penyebar Ajaran Agama Islam yang berdakwah melalui seni, selain disukai masyarkat Jawa sebagai hiburan pada jaman dulu mereka juga mendapatkan makna yang disampaikan oleh wali melalui pertunjukan wayang tersebut.
Menurut Koentjaraningrat (1984:5), “Kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, ialah:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai satu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia”.
Wujud pertama sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto, wujud kedua bersifat tentang pola tingkah laku manusia dan bisa diobservasi, difoto dan didokumentasi. Sedangkan wujud ketiga adalah merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat, hal ini berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba. Walaupun demikian masyarakat Jawa cenderung mengaplikasi keyakinan ke arah mistis.
Lain halnya dalam kehidupan masyarakat di desa Jumo, dari beberapa warga tidak menjalankan ritual yang ada di masyarakat
(18)
setempat, mereka beranggapan bahwa kegiatan itu kuno, tidak menguntungkan dan membuang waktu saja sehingga kerab kali kegiatan hanya diikuti 80 % dari jumlah penduduk yang ada di desa Jumo, Kedungjati – Grobogan.
Faktor yang mempengaruhi mereka untuk tidak menjalankan ritual karena kurang kesadaran dari pribadi, pendidikan yang rendah dan tidak adanya usaha untuk melestarikan budaya bangsa yang telah turun temurun. padahal makna yang terkandung dalam ritual tersebut mengambil peranan penting dalam keseimbangan antar sesama warga yang keseimbangan itu berbentuk keharmonisan, kerukunan dan kenyamanan.
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut penulis mencoba mengadakan penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam skripsi yang berjudul:
“Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam di Desa Jumo, Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan Tahun 2009”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas maka yang menjadi topik permasalahan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
(19)
1. Apa bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan?
2. Apa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan?
3. Apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bentuk ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan.
2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ritual kejawen di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan?
3. Untuk mengetahui apa pandangan para Tokoh terhadap ritual Kejawen tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian, diharapkan nantinya dapat berguna yaitu sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah, Hasil penelitian ini dapat berguna untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang terdapat di Indonesia.
2. Bagi Masyarakat, Sebagai sumbangan informasi bagi semua lapisan masyarkat agar tetap menjaga tradisi peninggalan orang-orang Jawa yang ada sampai saat ini.
(20)
3. Bagi STAIN Salatiga, Untuk memperkaya perbendaharaan perpustakan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
4. Bagi Peneliti, Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan dan bahan dokumentasi untuk penelitian lebih lanjut.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman, suharsono dan Ana Retnoningsih (2005) menyatkan:
1. Makna adalah arti atau maksud dari suatu kata.
2. Ritual adalah berkenaan dengan ritus: tata cara dalam upacara keagamaan. Dan menurut Tim Dosen FIP(1998:02) menyatakan:
3. Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untu membina kepribadianya sesuai dengan nilai-nilai didalam masyarakat dan
kebudayaan. Sedangkan menurut Sudirman Dkk (1991:04), “Pendidikan
berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi
dalam arti mental”.
Jadi yang di maksud makna Ritual Kejawen perspektif Pendidikan Islam adalah nilai-nilai Pendidikan Islam dalam sebuah ritual Kejawen sehingga mampu menjadikan manusia untuk lebih dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih baik untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
(21)
Metode penelitian di bagi menjadi delapan tahap, yaitu: 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis menitikberatkan pada “ Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam yang ada di desa Jumo Kecamatan
Kedungjati Kabupaten Grobogan”, dengan menggunakan jenis pendekatan kualitatif. Dengan demikian, “ Pendekatan kualitatif adalah jenis
penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistic atau dengan cara-cara lain dari kualifikasi (pengukuran)”(Djuanidi Ghani,1997:11).
Dalam pendekatan kualitatif ini semua data diperoleh dalam bentuk kata-kata lisan maupun tulisan yang bersumber dari manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, Lexy J. Moleong (2000:4-8) menyatakan Ciri-ciri pendekatan kualitatif sebagai berikut:
a. Mempunyai latar alamiah b. Manusia sebagai alat c. Memakai metode kualitatif d. Analisa data secara induktif
e. Lebih mementingkan proses daripada hasil f. Penulisan bersifat deskriptif
g. Teori dari dasar (grounded thory)
h. adanya “batas” yang ditentukan oleh “focus” i. Adanya khusus untuk keabsahan data j. Desain yang bersifat sementara
(22)
k. Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.
Untuk memperoleh data tentang “ Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan yang ada di desa Jumo Kecamatan Kedungjati
Kabupaten Grobogan” diperlukan pengamatan yang mendalam. Oleh
karena itu, kegiatan tersebut melalui pendekatan kualitatif. Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah deskriptif. Menurut sumadi
Suryabrata (1998:19), ” Penelitian deskriptif adalah penelitian yang
bermaksud untuk membuat pencandraan (uraian, paparan) mengenai situasi kejadian-kejadian”. Sedangkan tujuan penelitian deskriptif
menurut Husain Umar (1999:29), ” Tujuan penelitian deskriptif adalah
untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat resea rh dilakukan dan untuk memeriksa sebab-sebab dari sesuatu gejala
tertentu”.
Berdasarkan pendapat diatas, pendekatan kaulitatif ini dimaksudkan untuk menjelaskan peristiwa atau kejadian yang ada pada
saat penelitian berlangsung, yaitu tentang ” Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan yang ada di desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan”.
2. Kehadiran Peneliti
Sesuai dengan pendekatan kualitatif, maka semua fakta berupa kata-kata maupun tulisan dari sumber data manusia yang telah diamati dan dokumen yang terkait disajikan dan digambarkan apa adanya untuk
(23)
selanjutnya ditelaah guna menemukan makna. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lapangan sangat penting sekali mengingat peneliti bertindak langsung sebagai instrumen lengsung dan sebagai pengumpul data dari hasil observasi yang mendalam serta terlibat aktif dalam penelitian.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di desa Jumo, Kecamatan Kedungjati, Kab. Grobogan, Jawa Tengah, Sebuah desa terpencil yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Uniknya para warga masih memegang tradisi kejawen yang sampai sekarang masih lestari, hal ini juga menjadi alasan penulis untuk mengadakan penelitian di desa tersebut.
4. Sumber Data
Menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy Moleong (2000:112), ”
Sumber data dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Data dalam penelitian ini adalah semua data atau informasi yang diperoleh dari informan yang dianggap penting, selain itu data juga dihasilkan dari dokumentasi yang menunjang. Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Kata-kata atau Tindakan
Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan / responden pada waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan dari para informan dari beberapa
(24)
pihak diantaranya: Pejabat desa, Tokoh Agama dan masyarkat yang penulis anggap mampu untuk memberikan keterangan yang relevan. b. Data Tertulis (Dokumentasi)
Data yang berbentuk tulisan diperoleh dari pejabat desa dan dokumen-dokumen lain yang tentunya masih berkaitan dengan subjek penelitian.
c. Foto
Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh beberapa foto tentang ” Makna Ritual Kejawen Perspektif Pendidikan Islam yang ada di desa Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten
Grobogan”.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Agar sebuah kajian ilmiah dapat disajikan secara sistematis, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah penentuan seperangkat metode yang sesuai dengan objek dan karakteristik materal yang diangkat. Hal ini dimaksudkan agar sebuah metode penelitian rasional dan terarah maka peneliti menggunakan teknik-teknik pengumpulan data seperti yang tersebut di bawah ini:
a. Observasi
Menurut Hadari Nawawi (1990:100), “Observasi biasa
diartikan sebagai pengamatan dan percatatan secara sisitematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian”. Penulis berusah mengamati dan mendengarkan dalam rangka memahami, mencari
(25)
Jawab, mencari bukti terhadap fenomena sosial-keagamaan (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda dan simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang diobservasi dengan mencatat, merekam, memotret fenomena tersebut guna penemuan data analisis. Metode observasi digunakan untuk mengamati bentuk ritual Kejawen di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan.
b. Wawancara atau Interviu
Wawancara identik dengan pengumpulan data dengan bertanya
langsung, lisan maupun tertulis kepada nara sumber. Jadi, “Interviu
adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan pula” (Hadari Nawawi, 1990:111). Ciri utamanya adalah kontak langsung dengan tatap muka antara penulis dengan sumber informasi. Metode wawancara digunakan untuk menggali informasi tentang bentuk Kejawen dan maknanya dari peneliti terhadap perangkat desa, para tokoh agama dan masyarakat di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan. c. Dokumen
Dalam memperluas pengumpulan data, tehknik ini sangat
dibutuhkan. Jadi, “Tehnik ini adalah cara pengumpulan data melalui
peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil/hukum-hukum yang
(26)
1990:133). Metode ini digunakan untuk lebih memperluas pengamatan dan pengumpulan data terhadap sesuatu yang diselidiki oleh peneliti. 6. Analisis Data
Menurut Noeng Muhadjir (1996:104) mengatakan, “Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainya. Untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikanya sebagi temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut,
analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mancari makna”.
Sedangkan Menurut Imam Suprayogo dan Tobroni (2001:192),
“Kegiatan analisis data selama pengumpulan data dapat dimulai setelah
peneliti memahami fenomena sosial yang sedang diteliti dan setelah
mengumpulkan data yang dapat dianalisis”. Kegiatan-kegiatan analisis selama penulis mengumpulkan data meliputi:
a. Menetapkan fokus penelitian
b. Penyusunan temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah terkumpul
c. Pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya berdasarkan temuan-temuan pengumpulan data sebelumnya
d. Pengembangan pertanyaan-pertanyaan analitik dalam rangka pengumpulan data berikutnya; dan
(27)
Setelah data terkumpul maka selanjutnya adalah tahap menganalisis data, sebagai tatap akhir suatu penelitian maka penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan cara data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Jadi, ” Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data serta menarik kesimpulan (verifikasi)” (Milles, 1992:16-18).
Dengan demikian, penulis akan menunjukkan laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Data yang penulis mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dan sebagainya.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam menggunakan Kriteria kreadibilitas. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa apa yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam latar penelitian. Menurut Lexy J. Moloeng (2000:175-178) mengatakan, Pemeriksaan keabsahan data yaitu:
a. Perpanjangan keikutsertaan b. Ketekunan pengamatan c. Triangulasi
(28)
d. Pemeriksaan teman sejawat melalui diskusi e. Analisis kasus negatif
f. Kecakupan referensional g. Pengecekan anggota h. Uraian rinci
i. Auditing
8. Tahap-tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut: a. Tahap pra lapangan
1) Mengajukan judul penelitian 2) Menyusun proposal penelitian
3) Konsultasi penelitian kepada pembimbing b. Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi:
1) Persiapan diri untuk memasuki lapangan penelitian
2) Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian
3) Pencatatn data yang telah dikumpulkan c. Tahap analisis data, meliputi kegiatan:
1) Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian 2) Pengecekan keabsahan data
d. Tahap penulisan laporan penelitian 1) Penulisan hasil penelitian
(29)
3) Perbaikan hasil konsultasi
4) Pengurusan kelengkapan persyaratan ujian 5) Ujian munaqosah skripsi
G. Sistematika Penulisan
Dalam sistem pembahasan penulisan skripsi ini, penulis mengajukan pembahasan dari beberapa bab yang berisi tentang keterkaitan tentang studi kasus yang penulis teliti, penulis memberikan gambaran sebagai berikut:
Adapun pembahasan dalam skripsi ini: Pada BAB I berisi Pendahuluan, yang memuat: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah dan Metode Penelitian. Metode penelitian berisi: Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Pada BAB II berisi Kajian Pustaka, yang memuat: yang pertama adalah Ritual Kejawen, Ritual Kejawen itu sendiri mencakup: Pengertian Ritual Kejawen, Aspek-aspek yang mempengaruhi Budaya Jawa dan Islam, Bentuk-bentuk ritual Kejawen, Pandangan para Tokoh tentang adanya bentuk Ritual Kejawen dan Tujuan pelaksanaan Ritual Kejawen, yang kedua adalah Pendidikan, pendidikan itu sendiri mencakup: Pengertian Pendidikan, Batasan Pendidikan, Tujuan Pendidikan, Unsur-unsur Pendidikan, Tri Pusat Pendidikan, Bentuk-bentuk Pendidikan dan Hubungan antara bentuk-bentuk ritual kejawen dengan pendidikan.
(30)
Pada BAB III berisi Paparan Data dan Temuan Penelitian yang mencakup: Paparan Data berisi Gambaran Umum Lokasi dan Latar Belakang adanya Ritual kejawen yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan dan Temuan Penelitian berisi Bentuk-bentuk Ritual Kejawen di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan, Faktor pendukung dan penghambat adanya Ritual Kejawen dan Persepsi para tokoh Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan tentang Ritual Kejawen yang ada di lingkungan masyarakatnya.
Sedangkan BAB IV berisi Pembahasan, BAB V berisi Penutup yang mencakup: Kesimpulan dan Saran.
(31)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Ritual Kejawen
1. Pengertian Ritual Kejawen
Masyarakat Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang di dalam kehidupan kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun. Masyarakat Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa tengah, secara geografis suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan Kediri.
Masyarakat Jawa sejak jaman pra-sejarah memiliki kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya ruh atau jiwa pada benda-benda, tumbuhan ataupun hewan. Mereka beranggapan bahwa di dalam benda-benda atau tumbuhan tersebut memiliki kekuatan ghaib.
”Mereka juga mempercayai jika suatu peristiwa dialami oleh seseorang,
orang cenderung menghubungkanya dengan apa yang telah terjadi dan dihayatinya dulu. Tidak jarang pula hal itu dilihat sebagai suatu tanda atau peringatan akan terjadinya sesuatu di masa datang”( Hans J. Daeng, 2000:79). Pola pikir seperti ini oleh masyarakat Jawa mendorong manusia
(32)
agar lebih hati-hati dalam bertingkahlaku agar selaras dan harmonis dalam menjalani kehidupan ini.
Ada dua faktor yang menyebabkan keyakinan atau paham keja wen ini masih berlangsung sampai sekarang ini, yaitu :
a. Faktor Intern
Hal ini tidak terlepas dari sikap hidup orang Jawa yang telah meyakini betul dengan nilai-nilai kejawen. Orang Islam tradisional menganggap keja wen adalah merupakan kelengkapan utama dalam kehidupan sehari-hari. Dan belum lengkap dalam menjalankan agama Islam tanpa dicampuri dengan nilai-ailai ajaran Keja wen. Mereka kalangan orang Jawa masih banyak melakukan ritual-ritual kuno seperti ciri magis pewayangan, pengorbanan kerbau atau hewan tertentu bahkan ketika mereka sudah menyatakan ke-Islamannya. Karena itu mereka menjalankan agama hanya sebatas pada
pelaksanaan syari‟at rukun Islam yang lima. Sedangkan mereka butuh
ketenangan batin dan media atau sarana mendekatkan diri kepada Tuhan.
b. Faktor Ekstern.
Hal ini banyak diwarnai oleh perjalanan sejarah Jawa. Selain di dalam buku Horoskop Jawa (Primbon) disebutkan adanya larangan keras untuk mantu atau menggelar hajatan (pernikahan) di bulan Suro pada hari senin dan selasa. Atau pada tanggal 6, 11, 13, 14, 17, 18, 27
(33)
yang mereka sebut sebagai tanggal-tanggal naas atau sial. Paham Keja wen justru dikokohkan oleh Islam yang diajarkan oleh para Walisongo. Antara lain Tawassul. Pengkultusan orang-orang tertentu, larangan menyembelih hewan tertentu (Baca : Sapi) karena untuk menghormati ajaran Hindu dan lain sebagainya.
Menurut Ragil Pamungkas (2006:31-32), ”Dalam Agama Islam tidak mengajarkan sesembahan terhadap benda-benda selain hanya kepada Allah SWT. Akan tetapi setelah Islam masuk di tanah Jawa, para Walisongo tidak menghilangkan budaya-budaya asli orang Jawa melainkan para Walisongo memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam upacara atau ritual tersebut dengan mengganti keberadaan sesaji dengan penyajian baru seperti menu tumpeng dan kenduri”. Contoh dari ritual -ritual asli Jawa yang telah dimasuki ajaran-ajaran Islam di antaranya seperti upacara : Mitung Dino, Patang Puluh Dino, Nyatus, Mendak, Nyewu, dan lain-lain.
Pada dasarnya adat Keja wen mengajarkan manusia untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan, menghormati antar sesama manusia, dan mahkluk-makhluk lainnya. Secara garis besar dapat penulis simpulkan bahwa keja wen berisi pengungkapan seseorang yang ingin dekat dengan Tuhan melalui berbagai cara yang telah turun- temurun diwariskan dari orang-orang Jawa agar hidupnya selaras, harmonis dan bahagia.
Penulis menemukan sesuatu yang unik dari tradisi sa wanan oleh warga desa Jumo, kecamatan Kedungjati kabupaten Grobogan, sa wan ini
(34)
terdiri dari daun alang-alang, kencur, dlingu, bawang putih dan merah serta garam selanjutnya ditumpu hingga lembut. Fungsi sawan ini oleh warga desa Jumo diyakini dapat menyembuhkan beberapa penyakit, tak heran orang yang sakit panas, demam dan penyakit kulit seperti dompo, seluruh badanya dioles sa wan hingga rata di seluruh badan maka apa yang terjadi si penderita panasnya atau demamnya menurun. Hal ini menunjukkan Ilmu medis yang dimiliki orang Jawa sangat mujarab yang belum tentu dengan Ilmu kedokteran dapat menyembuhkan orang sakit. 2. Aspek-aspek yang mempengaruhi Budaya Jawa dan Islam
Tradisi dari orang jawa merupakan proses akulturasi antara budaya Jawa dan Islam, Hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan dan Hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek ritual, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Proses akulturasi budaya Jawa dan Islam
Dalam proses akulturasi ini ada 2 pendekatan mengenai
bagaimana cara yang ditempuh supaya nilai-nilai Islam dapat di serap menjadi bagian dari budaya Jawa. Yang pertama : Islamisasi kultur Jawa mulai pendekatan ini budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam baik secara formal maupun secara substansial yang ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan, peran tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai kepada penerapan hukum-hukum, norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan.
(35)
Pendekatan kedua : Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan kedalam budaya Jawa. Maksudnya disini adalah meskipun istilah-istilah dan nama-nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai yang
dikandungannya adalah nilai-nilai Islam sehingga Islam menjadi men-Jawa. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada
polarisasi Islam keja wen atau Jawa yang ke-Islaman sehingga timbul istilah Jawa atau Islam keja wen, sebagai contoh penggunaan sebutan Jawa In pandum yang pada hakekatnya terjemah dari tawakal.
Sebagai suatu cara pendekatan dalam proses akulturasi, kedua kecenderungan itu merupakan strategi yang sering diambil ketika dua kebudayaan saling bertemu. Apalagi pendekatan itu sesuai dengan watak orang Jawa yang cenderung bersikap moderat serta
mengutamakan keselarasan. Dari percampuran kedua budaya tersebut. penulis memiliki penilaian yaitu ketika dimensi keberagaman orang Islam Jawa termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, saya menilai bahwa percampuran itu masih sebatas pada segi-segi lahiriyah sehingga Islam seakan hanya sebagai kulitnya saja, sedangkan nilai-nilai esensialnya adalah Jawa.
b. Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam aspek Kepercayaan. Setiap agama memiliki aspek fundamental yaitu aspek
(36)
sesuatu yang sakral, yang suci atau yang ghaib. Dalam agama Islam aspek fundamental terumuskan dalam aqidah atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman yang harus dipercayai oleh orang muslim. Kemudian dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumberkan pada ajaran hindu terdapat kepercayaan adanya para dewata, terhadap kitab-kitab suci, para resi, roh-roh jahat, lingkaran penderitaan (sa msara), hukum karma dan hidup bahagia abadi (moksa). Dalam agama budha terdapat kepercayaan mengenai empat kebenaran abadi (kesunyatan), yakni dukha (penderitaan), samudaya (sebab penderitaan), nirodha (pemadam keinginan), dan morga (jalan kelepasan).
Adapun pada agama primitif sebagai orang Jawa sebelum kedatangan hindu ataupun budha terdapat kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan-kepercayaan dari agama hindu, budha, maupun animisme dan dinamisme ini dalam proses perkembangan Islam berinteraksi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam, yang meliputi pada aspek keTuhanan, prinsip ajaran Islam telah tercampur dengan berbagai unsur kepercayaan hindu, budha maupun kepercayaan primitif. Contohnya seperti sebutan Allah SWT. Orang Islam kejawen menyebut Tuhan sebagai istilah Gusti Allah dua istilah ini merupakan gabungan kata dari bahasa Jawa dan bahasa arab. Kata Gusti dalam bahasa Jawa berarti pihak yang dihormati, dijunjung, dan diharap-harapkan dapat memberikan pengayoman dan perlindungan, sedangkan kata Allah diambil dari bahasa arab yang berarti nama dari
(37)
Tuhan dalam agama Islam.
Dalam kepercayaan terhadap makhluk jahat tidak saja pada agama Islam, tetapi juga ada dalam agama hindu maupun kepercayaan primitif dan tampaknya telah saling mengisi. Namun setan, jin (Islam) dan raksa (hindu) telah dikategorikan sebagai jenis makhluk halus atau roh jahat penggoda manusia dan dapat menjelma seperti manusia atau hewan. Terdapat pula sejumlah nama makhluk halus, setan-setan berkelamin pria dan bermuka buruk seperti setan Dharat, Setan Bisu, Setan Mbelis, Dhemit, Memedi, dan lain-lain. Adapun setan yang sejenis kelamin wanita seperti Wewe, Kuntil Anak dan Sundel Bolong, Tuyul dan lain-lain.
c. Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam aspek Ritual Ritual atau ritualistic adalah kegiatan yang meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang terdapat dalam rukun Islam yaitu, syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji. Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistic diatas. Dalam ritual sholat dan puasa, selain terdapat sholat wajib lima waktu dan puasa wajib di bulan ramadhan, terdapat pula sholat-sholat dan puasa sunnah. Yang intisari dari sholat adalah doa yang
ditunjukkan kepada Allah SWT, sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani.
(38)
mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa. Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari keberadaannya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai saat kematiannya. Selain itu ada juga upacara-upacara yang di lakukan berkaitan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah contohnya, para petani, pedagang, nelayan, dan upacara-upacara yang berhubungan dengan tempat tinggal, contoh pindah rumah,
membangun gedung untuk berbagai keperluan dan meresmikan rumah tinggal. Berbagai macam upacara-upacara di atas dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia.
Dalam kepercayaan orang Jawa, upacara dilakukan dengan dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, makhluk-makhluk halus, dewa-dewa) tertentu yang bertujuan supaya kehidupannya senantiasa dalam keadaan selamat. Setelah Islam datang , secara luwes Islam memberikan warna baru dalam upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau selamatan. Dalam upacara selamatan ini yang
pokok adalah pembacaan do‟a yang dipimpin oleh kiai atau moden.
Seperti halnya dikatakan oleh Niels Mulder (1999:34) bahwa:
(39)
dihidangkan kepada peserta selamatan, serta makanan yang di bawa pulang ke rumah yang disebut berkat. Bisa dikatakan bahwa itu merupakan wujud dari kerukunan yaitu cara untuk menciptakan relasi yang harmonis antara orang-orang dekat, yang tidak harus intim/akrab, tetapi yang cukup dekat untuk harus hidup bersama satu sama lain.
Selain tatanan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, nilai yang dapat diambil dari tradisi Keja wen cukup besar. Karena dapat
mempengaruhi pola pikir manusia. Semula orang yang angkuh dan sombong dengan tetangganya dapat luntur dan membaur.
Kebersamaan adalah kunci utama dalam pergaulan dan saling merasa memiliki untuk berbagi tanpa membedakan kaya atau miskin,
sehingga kesenjangan sosial dan perselisihan terhindarkan Dengan pola inti yang serupa itulah nilai-nilai Islam telah merasuki
pelaksanaan upacara selamatan dalam berbagai bentuknya.
Kita dapat melihat Budaya Jawa sangat luwes menerima kehadiran budaya apa saja terutama dalam bentuk-bentuk ritual Keja wen serta sudah terbukti menyatu dalam tradisi yang selalu dilakukan secara rutin di tengah masyarakat Jawa.
3. Bentuk-bentuk Ritual Kejawen a. Upacara Tinkeban atau Mitoni
Berkaitan dengan upacara tingkeban atau mitoni,
Koentjaraningrat (1994: 350-351) menyatakan sebagai berikut:
Upacara pertama yang dinamakan tingkeban diadakan saat kandungan berumur tujuh bulan, yang antara lain terdiri dari suatu slametan yang dinamakan slametan mitoni. Hidangan untukslametan
(40)
ini terdiri dari tujuh buah nasi tumpeng dengan tujuh macam lauk-pauk, dan tujuh macam juadah dengan warna yang berbeda-beda pula. Sejak diadakan upacara mitoni, seorang calon Ibu harus mematuhi berbagai syarat dan pantangan, seperti mencuci rambutnya seminggu sekali dengan air merang yang sudah diberi kekuatan gaib dengan ucapan mantera-mantera. Adapun larangan untuk makan berbagai
makanan tertentu, seperti telur, ayam muda, buah “kepel”, udang, ikan
yang berpatil, dan buah-buah yang letak bijinya melintang, sebenarnya sudah mulai sejak awal kehamilanya, Orang-orang tua seringkali memberikan makna yang berbeda terhadap berbagai pantangan makanan itu yang hampir semuanya mempunyai arti simbolik yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan serta berdasarkan asosiasi pikiran yang sederhana. Buah-buahan dengan biji-biji yang tersusun melintang dianggap dapat mempengaruhi letak yang salah dari si jabang bayi.
Dengan demikian masyarakat Jawa sangat hati-hati dalam menjaga bayi yang di kandung oleh seorang ibu agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti cacat fisik.
b. Upacara Kelahiran
Pada hari kelahiran bayi diadakan suatu slametan pemberian nama, yaitu slametan brokohan. Koenjtaraningrat (1994: 354) juga menyatakan:
Upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur tujuh hari,. Dalam upacara ini rambut si bayi di potong sedikit kemudian di beri nama. Dalam upacara Islam santri, upacara ini disebut korban aqiqah, dengan ditandai adanya penyembelihan hewan aqiqah yang berupa kambing 2 ekor (untuk anak laki-laki) dan 1 ekor kambing (untuk anak perempuan).
c. Upacara Sunatan
Menurut M. Afnan Chafidh dan A. Ma‟ruf Asrori
(2006:63),”Menurut bahasa, khitan berarti memotong kuluf (kulit) yang menutupi kepala penis. Sedangkan menurut istilah syarak, khitan adalah memotong bulatan kulit di ujung hasafah, yaitu tempat
(41)
pemotongan penis”.
Upacara ini dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Dalam pelaksanaan khitan itu masyarakat mempunyai ciri yang berbeda-beda. Ada yang melaksanakan khitan antara usia empat sampai delapan tahun, dan pada masyarakat lain dilaksanakan ketika anak berusia antara 12 sampai 14 tahun. Pelaksanaan khitan sebagai bentuk
perwujudan secara nyata mengenai pelaksanaan hukum Islam, sunatan atau khitanan ini merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang Islam. Karena itu sering kali sunatan disebut selam, sehingga mengkhitankan dikatakan nyelameken, yang mengandung makna mengIslamkan (ngIslamake). Walaupun demikian hukum Islam menganjurkan agar sunatan di lakukan pada saat seorang anak berumur tujuh hari, asalkan tidak membahayakan anak itu. Berkaitan dengan hal tersebut Koentjaraningrat (1994:357-358) menyatakan sebagai berikut:
Para keluarga santri yang sebanyak mungkin berusaha mengikuti peraturan hukum agama, melakukan upacara itu pada hari-hari yang di tentukan dalam hukum Islam, yaitu misalnya pada hari-hari keempat puluh setelah lahir. Dalam keluarga santri lain, upacara sunatan dapat juga dilakukan pada waktu seorang anak pria berumur empat sampai tujuh tahun; akan tetapi keluarga-keluarga penganut agami Ja wi pada umumnya menghubungkan sunatan dengan umur akil baliq, di samping sebagai peresmian masuk Islam, dan karena itu mengadakanya pada waktu seorang anak pria berumur antara 10 dan 16 tahun.
(42)
Dalam setiap daerah di Jawa Tengah, pernikahan merupakan ritual yang sangat penting sehingga sebelum diadakanya pesta perayaan pernikahan para keluarga dan kerabat sangat sibuk mempersiapkan segala kelengkapan dalam perayaang pernikahan tersebut. Hal ini dikatakan oleh koenjtaraningrat (1994:130), “Upacara pernikahan anak wanita yang pertama terutama merupakan kejadian yang sangat penting dalam suatu keluarga. Sudah berminggu-minggu sebelumnya keluarga mempelai wanita sibuk melakukan berbagai persiapkan untuk perayaan itu”. Upacara ini bukan sekedar pesta, Tradisi seperti ini dianggap penting dan seolah-olah menjadi wajib oleh masyarakat Jawa dengan berbagai macam tujuan yang berbeda di
seluruh Jawa Tengah. Jadi, “Semua kegiatan dilakukan oleh para
kerabat, berbagai hidangan slametan, upacara sira man, upacara merias pengantin wanita (paes), perayaan midadareni pada malam menjelang hari pernikahan dan sebagainya, yang telah dideskripsi mengenai suatu pernikahan Di desa, juga dijalankan pada pernikahan keluarga
priyayi”(Koentjaraningrat, 1994:259). Agar upacara berjalan mulus dan maksudnya dapat tercapai, Orang Jawa memberi sesaji kepada kekuatan tidak tampak yang ada di sekitar mereka.
Beberapa selamatan yang dilaksanakan dalam upacara perkawinan di antaranya: selamatan hari sebelum pernikahan atau pada hari sebelum upacara pemberian seserahan (pemberian mahar) ditunjukkan untuk mendapatkan keberuntungan bagi kedua pengantin.
(43)
Selamatan pada malam sebelum dilangsungkannya pernikahan (malam widadaren) dan pada malam sesudah pernikahan diadakan sesajian yang dinamakan selamatan penganten. Dengan membaca do‟a qunut dan menggunakan beras kuning , ayam bersantan dan makanan pelengkap lainnya. Setelah 3\4 hari setelah pernikahan diadakan selamatan bagi atau peserta susulan yaitu Ngunduh mantu yang lebih bersifat keagamaan yang bertujuan untuk mendapatkan berkah dari Allah dan Nabi Muhammad. Dalam tradisi Jawa setiap ada pernikahan pasti kita jumpai symbol-simbol yang mempunyai makna tertentu seperti janur kuning dan macam-macam sesaji. Disebelah
kanan-kiri‟gapura‟janur kuning, terlihat pula ada tebu, cengkir, dan pisang raja yang diikat pada dua tiang didepan ruang pertemuan resepsi. Berkaitan dengan itu Wawan Susetya (2007: 33-34) menerangkan:
Pertama, pisang raja maknanya sangat jelas sebagai simbolik dari Raja. Artinya, pernikahan atau perkawinan dalam kehidupan manusia merupakan salah satu tahap yang paling penting dari tiga proses perjalanan: kelahiran, perkawinan dan kematianya. Dan, sang
mempelai didudukan di „singgasana rinengga‟ dengan pakaian ala raja
dan permaisuri yang penuh aura kewibawaan dan kegembiraan. Kedua, tebu. Orang Jawa mengartikan dengan ungkapan mantebing kalbu (mantapnya hati/kalbu), karena Tanaman tebu rasanya manis dan menyegarkan. Ketiga, cengkir (buah kelapa yang masih muda); maknanya adalah kencenging piker (pikiran yang lurus). Dengan berbekal cengkir, sang mempelai diharapkan mampu melewati ujian kritis dalam memepertahankan pernikahanya, sehingga mampu
menghadapi suka maupun duka bersama dalam mengarungi kehidupan berumah-tangga.
Sedangkan Menurut Thomas Wiyasa Bratawijaya (2007:33-34) mengatakan bahwa:
(44)
Sepasang pohon pisang raja yang berbuah maknanya adalah agar mempelai kelak menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga, lingkungan dan bangsa. Sedangkan sepasang tebu maknanya adalah dari mempelai diharapkan agar sagala sesuatu yang sudah dipikir matang-matang dikerjakan atau dilaksanakan dengan tekat yang bulat pantang mundur.
e. Upacara Kematian
Upacara ini dilakukan pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan. Mengkafani, mensholati dan pada akhirnya menguburkan. Setelah sepekan, diadakan selamatan mitung dina (tujuh hari), matang puluh dina (empat puluh hari), nyatus (seratus hari) mendak sepisan (satu tahun), mendak pinda (dua tahun) dan yang terakhir nyewu atau nguwis-uwisi. Selain berkaitan dengan lingkaran hidup, terdapat pula upacara yang berkenaan dengan keramatan bulan-bulan hijriah seperti: upacara
ba‟da besar, dina wekasan, Mauludan, Rejeban, Megengan, Riyayan, Sawalan dan sedekah haji.
f. Nyadran
Menurut Karkono Kamajaya Partokusumo (1995:246),
“Nyadran berarti melaksanakan upacara „sadran‟ atau „sadranan‟ yang
sampai saat ini masih terkenal dalam masyarkat Jawa dan dilakukanya dengan patuh. Upacara ini dilaksanakan dalam bulan Ruwah atau
Sya‟ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa didalam bulan puasa (Ramdhan)”. Kebiasaan atau tradisi ritual yang dilakukan,
(45)
antara lain :
1) Mandi suci, adalah mensucikan diri lahir dan bathin dalam rangka mempersiapkan ibadah puasa.
2) Mengadakan selametan (wilujengan) dengan menu sajian : kolak, apem, ketan, ambeng, tumpeng, sesaji serta membakar kemenyan. 3) Berziarah kemakam leluhur atau orang-orang yang dianggap bijak
atau berjasa; atau juga nyekar tabur bunga (biasanya kembang melati, mawar warna-warni, kantil dan telasih). Menurut Mark R.
Woodward (199:121), “Ziarah kubur itu diperbolehkan asal tidak
meminta berkah atau pemberian dari orang yang sudah mati, melainkan makna ziarah kubur adalah cara yang tepat agar manusia ingat dengan kematian”. Jadi, “manfaat menabur bunga adalah seketika menyebarkan bau segar di makam yang biasanya kurang nyaman baunya. Ditambah pula dengan bau kemenyan yang menyentak hidung sekaligus mengubah suasana kuburan yang sepi dan terkesan angker menjadi tenang dan
serius-khidmat”. (Karkoyo Kamajaya 1995:253).
g. Ritual Selamatan berkaitan dengan Bersih Desa.
Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada bulan Sapar dan Rajab yang selalu dikaitkan dengan bersih kuburan atau rikat kuburan, selanjutnya kegiatan ritualnya dalah acara tumpengan dan do‟a bersama. Kegiatan sakral lain seperti ruwatan masih banyak dipegang
(46)
dan dilestarikan. Menurut keyakinan Kejawen Ruwatan berarti
pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini terbebas dari sukerta atau kekotoran.
Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala (simbol kejahatan). Prosesi ruwatan diawali dengan menyiapkan sesajen di altar berukuran besar, sedikitnya 60 jenis sesajen. Seluruh bahan yang digunakan menggunakan hasil bumi. Ada buah-buahan, sayuran, tumpeng berukuran besar dan peralatan para petani. Masing-masing bagian sesajen memiliki makna khusus.
Dua sesajen paling menonjol tumpeng lanang dan wadon. Tumpeng lanang terbuat dari buah-buahan, tumpeng wadon dari nasi dan sayur-sayuran. Jadi, ”Menu tumpeng yang telah disediakan ditujukan untuk menyampaikan pesan dari wali untuk selalu mengingat kepada Tuhan. Contoh adanya apem dalam tumpeng
tersebut. Apem diambil dari kata “ampun” yang berarti manusia
diarahkan unuk meminta ampun atas segala dosa yang pernah
diperbuatnya”(Ragil Pamungkas, 2006:33).
h. Ritual Selamatan berkaitan dengan Tanah Pertanian
(47)
disawah dengan perlengkapan tradisional. Sebelum pergi kesawah terlebih dulu disiapkanlah sesaji yang berupa ingkung (ayam kampung yang telah di bakar dengan bumbu) dan buah-buahan. Setelah siap
maka acara yang pertama adalah do‟a bersama di tengah sawah
dengan dipimpin oleh seorang laki-laki, setelah do‟a selesai acara yang kedua adalah makan-makan yang telah disiapkan oleh masing-masing buruh, setelah itu acara yang terakhir adalah memanen hasil pertanian.
Orang Jawa sering menyebut upacara seperti itu adalah slametan
hasil pertanian. Menurut Suwardi Endraswara (2003:13), ”Slametan adalah manifestasi kultur Jawa asli. Di dalamnya lengkap dengan symbol-simbol sesaji, serta menggunakan mantra-mantra tertentu. Karenanya, slametan boleh dikatakan merupakan wujud tindakan ritual dengan teks-teks religi terdahulu”. Jadi tradisi Slametan tidak akan pernah mati dalam setiap kehidupan Orang Jawa.
4. Pandangan para Tokoh tentang adanya bentuk Ritual Kejawen UUD 1945 Pasal 32 yang isinya Pemerintah memajukan kebudayaan Nasional Indonesia artinya Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama yang asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Berhubungan dengan hal tersebut, Karkono Kamajaya
(48)
Usaha kebudayaan harus menuju kearah adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan sendiri. Menurut hemat saya Tradisionalisme tidak perlu dipertentangkan dengan Islam dan tidak pula harus menghambat modernisme. Tradisi juga tidak perlu ditentang, diuber-uber, dicurigai, diolok-olok sebagai hal yang harus diberantas dan dianggap menghambat kemajuan.
Disisi lain Karkono Kamajaya Partokusumo (1995:286) mencermati bahwa:
Konsep kebudayaan mempunyai arti yang sangat luas tidak hanya mencakup unsur-unsur yang material, akan tetapi juga yang imaterial. Ini mengandung arti, kebudayaan Jawa tidak dilihat secara konvensional, terbatas pada segi-segi sastra, seni dan sejarah, akan tetapi juga segi-segi yang lebih luas meliputi filsafat, religi, tradisi, hukum, politik, ekonomi, teknik, teknologi, ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Sedangkan Kuntowijoyo (1991:228-229) menyatakan sebagai berikut:
Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bawa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu , dan manusia harus mengabdikan diri sepenuhya kepada-Nya. Jadi tujuan manusia adalah mengabdikan diri pada Allah SWT, yang merupakan kunci dari seluruh ajaran Islam. Akan tetapi sistem Tauhid ini mengarah kepada perbuatan dan tindakan manusia; keduanya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh sebab itu konsep tentang Iman dan Tauhid harus di aktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan, contoh: perintah zakat. Tujuan utama bersifat humanistik, artinya manusia harus patuh dan memusatkan diri pada Tuhan dan tujuanya untuk kepentingan mansuia.
Disisi lain kuntowijoyo (1991:235) berpendapat bahwa:
Kebudayaan yang ada di indonesia itu banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa banyak mengadopsi konsep-komsep Islam. Kita juga melihat ekspresi-ekspresi ritual oleh orang Jawa, sebagai contoh: Upacara „Pangiwahan‟, upacara itu di
(49)
kita harus memuliakan kelahiran, perkawinan atau bahkan kematian. Semua ritual itu di maksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan manusia bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai mahluk yang mulia.
Kuntowijoyo menambahkan, pengaruh Islam juga sangat terasa dalam upacara-upacara sosial dan kesenian tanpa menghilangkan unsur-unsur budaya Jawa. Misalkan Terbangan, Qasidah dan Gambus, jenis-jenis musik ini belum pernah dikenal sebelum terjadinya penyebaran Islam di Indonesia. Kita bisa melihat seni tembang dalam jenis laras madya yang meskipun menggunakan teks-teks Jawa tetapi berisi shalawatan, atau semacam puji-pujian kepada Nabi.
5. Tujuan pelaksanaan Ritual Kejawen
Dalam ajaran Kejawen juga terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan wa spada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni: hawa nafsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.
Menurut pandangan kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada
(50)
gunanya. Lebih lanjut, nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya. Manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan dan merusak ketentraman yang mengganggu stabilitas kebangsaan.
Kesimpulanya adala bahwa Ajaran Kejawen berisi kaidah-kaidah budi pekerti yang luhur, maka untuk menciptakan seperti yang diajarkan oleh orang Jawa, manusia diajari untuk mengendalikan nafsu yang berisi kesabaran, pengendalian diri, tidak sombong, bertanggungjawab, dermawan, dsb. Untuk mengimbangi agar nafsu terkontrol yang perlu dilakukan oleh puasa, giat menolong, mengubur nafsu (riak, takabur, sombong, sok pamer, bahkan angkuh tidak mau menghormati orang lain). Setelah mempelajari nafsu dalam diri maka yang disoroti dari ajaran Kejawen adalah pamrih, yang merupakan ancaman kedua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Hal ini juga dapat kita katakan sebagai bentuk mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat, mengacaukan ketentraman hubungan antar individu karena tindakan tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya, serta pamrih juga akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Secara nalar pamrih tidak bisa menimbulkan perasaan puas yang mendalam, yang ada hanyalah selalu merasa kurang dan kurang dalam memenuhi kebuTuhannya sendiri.
(51)
Pamrih itu seperti apa, sehingga manusia tidak bisa menyempurnakan ketulusan ibadahnya kepada Allah SWT. Untuk itu dari hasil wawancara penting penulis definisikan bentuk-bentuk yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu.
1. Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni nafsu golek menange dhewe, selalu ingin menangnya sendiri tanpa peduli akibatnya.
2. Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar, yakni nafsu golek benere dhewe.
3. Nafsu selalu mementingkan kebuTuhannya sendiri, yakni nafsu golek butuhe dhewe, kelakuan buruk seperti itu disebut juga aji mumpung, misalnya mumpung berkuasa lantas melakukan korupsi, tanpa peduli nasib orang lain.
Di dalam pamrih sendiri menurut KH. Sururi wawancara pada tanggal 27 Juli 2009 jam 15.00 WIB mengatakan,”Terdapat beberapa definisi nafsu yang terkandung di dalamnya, yaitu:
a. Pamrih karena pekerjaannya
Yakni nafsu seseorang ingin diberikan imbalan lebih karena pekerjaannya, padahal pekerjaan itu belum tentu bagus atau memuaskan.
b. Pamrih atas kesombongan harta yang dimilikinya.
Yakni seseorang yang telah berzakat paling banyak dalam mengeluarkan hartanya, orang itu meminta agar namanya di
(52)
umumkan kepada orang banyak, agar terkenal dan terlihat
dermawan dst”.
Setelah beberapa uraian di atas puncak dari kebudayaan Jawa tertuju kepada Allah SWT, manusia selalu ingin mencari tujuan hidupnya untuk selalu menyempurnakan ibadah dan akhlaqnya. Agar selalu dapat ridho Allah SWT melalui upacara-upacara adat itulah manusia tidak sengaja melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, misalkan kepada manusia; ritual dapat mendekatkan diri kepada lingkungan warga sehingga tercipta kerukunan dan ketentraman, bukankah Allah SWT menyayangi manusia untuk berbuat baik asal tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam.
Dapat penulis simpulkan, ritual Kejawen merupakan pembentukan sikap dan mental. Mulai dari pengendalian nafsu maupun ungkapan syukur dan melakukan pemujaan tertinggi pada Tuhan Pencipta Alam. Walaupun seringkali manusia Jawa berbeda-beda dalam tata cara mengungkapkannya yang jelas secara normatif tidak membentuk pola pikir yang dapat menyesatkan manusia serta tidak menuju dalam bentuk kemusyrikan.
Sebenarnya filosofi Jawa memiliki paham yang sangat luhur. Salah satunya, sudah seperti penulis uraikan di atas yaitu menciptakan kerukunan dan kedamaian. Di mata Tuhan, tiap insan dipandang sama, tidak dikenal agama dan tingkat sosialnya, semuanya sama dan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan itu melambangkan keaslian
(53)
masyarakat Jawa yang memiliki budaya dan budi pekerti luhur. Untuk mengerti tujuan hidup, seseorang wajib memahami asal kehidupan ini dan bagaimana menyesuaikan diri agar hidup selaras dan harmonis dengan makhluk ciptaan Tuhan serta menganggap diri sebagai pelayan Tuhan.
Jadi, ”Perjalanan menuju Tuhan harus ditempuh dengan seperangkat laku.
Laku merupakan jalan untuk menempuh kehidupan spiritualitas yang tertinggi, yaitu penyatuan hamba dengan Tuhannya (manunggaling ka wula gusti). Penyatuan hamba dengan Tuhan dan hakikat hidup manusia adalah sejalan dengan apa yang telah Tuhan Tetapkan dan ini merupakan
tujuan utama masyarakat Jawa”(Suwardi Endraswara, 2003:135).
Dalam Islam, sumber kehidupan spiritualitas yang tinggi adalah Iman. Islam sebagai agama dakwah memiliki nilai asasi dalam kehidupan umat manusia, yaitu meletakan nilai-nilai KeTuhanan atau Iman. Kita mengetahui Tuhan adalah asal dan tujuan, dan bahkan pencipta semua wujud yang lahir dan batin, dan manusia sebagai puncak ciptaan-Nya. Oleh sebab itu manusia harus melakukan perbuatan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam Filosofi Jawa memiliki paham yang sangat luhur. Salah satunya, menciptakan kerukunan dan kedamaian. Di mata Tuhan, tiap insan dipandang sama, tidak dikenal agama dan tingkat sosialnya. Semuanya sama dan kembali pada Yang Esa. Keyakinan inilah yang diajarkan kepada para penganut kejawen. Paham ini melambangkan keaslian masyarakat Jawa yang memiliki budaya dan budi pekerti luhur.
(54)
Tiap orang diartikan sebagai pelayan Tuhan, tidak ada lawan. Yang ada hanyalah sikap sama dan saling menghargai. Mereka yang mengikuti paham kejawen diwajibkan memahani seluruh jati diri dan makna
hidupnya. Dengan cara inilah seseorang akan mengerti ke mana akan pergi dan dari mana asalnya. Untuk mengerti tujuan hidup, seseorang wajib memahami asal kehidupan ini. Kita berasal dari satu unsur, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
(55)
B. Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Menurut Tim Dosen Fakultas ILmu Pendidikan IKIP Malang (1988:2-7), “ Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadianya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarkat dan kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat manusia. Pendidikan pada
hakekatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya”.
Menurut buku Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR
RI NO.IV/MPR/73) dikatakan bahwa, “ Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di
dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup”. (Sutari Imam
Bernadib,1982:29). Menurut Ki Hajar Dewantara Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya (Choirul Mahfud, 2006:33). Jadi , Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap
(56)
untuk masa yang akan datang. Pendidikan juga berarti usaha , pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
2. Batasan Pendidikan
Dibawah ini penulis kemukakan beberapa batasan pendidikan: a. Pendidikan sebagai Proses transformasi Budaya
Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.
b. Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.
(57)
Pendidikan sebagai penyiapan warganegara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.
d. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja
Pendidikan sebagai penyimpana tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.
3. Tujuan Pendidikan
Kohsntamm seorang ahli pendidikan menyebutkan bahwa tujuan pendidikan ialah membantu seseorang dalam upaya proses pemanusiaan-diri senpemanusiaan-diri untuk mencapai ketentraman batin yang paling dalam, tanpa
mengganggu atau tanpa membebani orang lain”(Kartini
Kartono,1992:219). Namun secara garis besar Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dazn merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.
4. Unsur-unsur Pendidikan
Proses pendidikan melibatkan banyak hal yaitu:
(58)
Menurut pengertian secara khusus, peserta didik dapat di artikan orang yang belum dewasa atau orang yang masih menjadi tanggungjawab pendidik (Sutari Imam Barnadib, 1982:39). Dalam hal ini Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
1) Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
2) Individu yang sedang berkembang.
3) Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
4) Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri b. Orang yang membimbing (pendidik)
Pendidik adalah tiap orang yang dengan sengaja
mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi (Sutari Imam Barnadib, 1982:38). Disisi lain Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkunga yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat.
c. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif) Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal
(59)
balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat pendidikan.
d. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)
e. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan) f. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode)
g. Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan)
5. Tri Pusat Pendidikan
Faktor terpenting yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah lingkungan, meliputi kondisi dan alam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku kita, pertumbuhan dan
perkembangan.
Meskipun lingkungan tidak bertanggung jawab terhadap kedewasaan, namun merupakan faktor yang sangat menentukan yaitu pengaruhnya yang sangat besar terhadap perkembangan kita, sebab
bagaimanapun kita tinggal dalam satu lingkungan yang disadari atau tidak pasti akan mempengaruhi pola pemikiran kita. Pada dasarnya lingkungan mencakup lingkungan Pendidikan, lingkungan budaya, dan lingkungan sosial.
(60)
dalam proses pendidikan(pakaian, keadaan rumah, alat permainan, buku-buku, alat peraga, dll) dinamakan lingkungan pendidikan.
Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu kita dalam interaksi dengan berbagai lingkungan sekitarnya, utamanaya
berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia, agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang optimal.
a. Keluarga
Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama dialami oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh adn berkembang dengan baik. Pendidikan keluarga berfungsi:
1) Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak 2) Menjamin kehidupan emosional anak
3) Menanamkan dasar pendidikan moral 4) Memberikan dasar pendidikan sosial.
5) Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi anak-anak. b. Sekolah
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu dikirimkan anak ke sekolah. Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka
(61)
diserahkan kepadanya. Karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai lembaga terhadap pendidikan, diantaranya sebagai berikut;
1) Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.
2) Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.
3) Sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapan-kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.
4) Di sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membenarkan benar atau salah, dan sebagainya.
(62)
c. Masyarakat
Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lingkungan lingkungan keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan tersebut tampaknya lebih luas.
Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat banyak sekali, ini meliputi segala bidang, baik pembentukan kebiasaan-kebiasaan, pembentukan pengertia-pengertian (pengetahuan), sikap dan minat, maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan. Jadi, Setiap pusat pendidikan dapat berpeluang memberikan kontribusi yang besar dalam ketiga kegiatan pendidikan, yakni:
1) pembimbingan dalam upaya pemantapan pribadi yang berbudaya 2) pengajaran dalam upaya penguasaan pengetahuan
3) pelatihan dalam upaya pemahiran keterampilan 6. Bentuk-bentuk Pendidikan
Bentuk-bentuk Pendidikan meliputi prndidikan formal, non-formal, dan informal sebagai sebuah sistem. Pendidikan formal yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian jenjang pedidikan yang telah baku, misalnya SD,SMP,SMA, dan PT. Pendidikan nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna
(63)
terjun ke masyarakat. Pendidikan informal adalah suatu fase pendidikan yang berada di samping pendidikan formal dan nonformal.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal, nonformal, dan informal ketiganya hanya dapat dibedakan tetapi sulit dipisah-pisahkan karena keberhasilan pendidikan dalam arti terwujudnya keluaran
pendidikan yang berupa sumberdaya manusia sangat bergantung kepada sejauh mana ketiga sub-sistem tersebut berperanan.
C. Hubungan antara Ritual Kejawen dengan Pendidikan
Hubungan antara bentuk-bentuk ritual kejawen dengan pendidikan sebagai berikut:
1. Mengenalkan kegenerasi muda agar hidup sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat
2. Ritual Kejawen dapat dimanifestasikan sebagai sarana sosialisasi antar masyarakat sehingga tercipta kerukunan dan kenyamanan.
3. Melindungi setiap individu dari rasa ragu dan bahaya dengan mengantisipasikan dan mengatasi secara simbolik.
4. Upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
(64)
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Paparan Data
1. Gambaran Umum Lokasi
Seperti dikatakan oleh Kepala Desa Bapak Harnomo
wawancara pada tanggal 24 Juni 2009 Jam 14.00 WIB, ”Nama desa
Jumo diambil dari nama seseorang yang termasuk sesepuh Desa. Dia bernama mbah Jumo seseorang yang pertama kali tinggal di Desa Jumo”. Dahulu desa Jumo merupakan area Hutan yang dominan ditumbuhi pohon Jati, namun pada awal tahun 2000 terjadi penjarahan kayu jati secara besar-besaran sehingga mengakibatkan hutan gundul dan sering terjadi banjir saat musim penghujan. Sejak saat itu di desa Jumo yang semula berhawa sejuk berubah menjadi panas.
Desa Jumo merupakan daerah pedesaan dengan memiliki 6 dusun di antaranya dukuh Dawung, Krangkong, Persen, Gajahmati, Karangrandu dan Kebonagung. Masyarakat hidup dari pertanian dengan kondisi tanah tadah hujan yang sangat sempit dan tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak sedikit pula para warganya peralihan profesi ke arah wirausaha, merantau dan bagi yang tidak memiliki ladang mereka bekerja sebagai buruh tani.
Adapun desa Jumo termasuk dalam wilayah Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan Jawa Tengah, letaknya
(65)
ditengah-tengah area desa Bringin kabupaten Semarang sebelah utara dan sebelah selatan berbatasan dengan desa Kapung kecamatan Tanggungharjo.
Pada Tahun 2008 jumlah penduduk mencapai 4.287 jiwa terdiri dari 2.097 jumlah laki-laki dan 2.190 jumlah perempuan yang terbagi dari 9 RT dan 28 RW. Infra struktur rumah warga 90% terbuat dari kayu berlantai tanah atau kayu papan (trompo) sedangkan sekitar 10% merupakan bangunan penting desa Jumo terbuat dari tembok misalkan: Sekolahan, Kantor Kelurahan, Puskesmas dan Masjid. Warga desa menganggap rumah yang terbuat dari kayu atau papan mudah dijual sewaktu-waktu dan dapat dipindah-pindah dari satu tempat ketempat lainya.
Pada umumnya setiap rumah yang ada di desa Jumo tempat MCK kurang memadai bahkan ada rumah warga yang tidak memiliki WC serta kurang memperhatikan penerangan dan ventilasi yang cukup sebagai rumah sehat. Adapun jumlah warga yang bermata pencaharian sebagai petani sekitar 80% dan untuk 20% dibagi atas buruh, merantau dan berdagang. Secara geografis wilayah desa Jumo dibatasi oleh: a. Desa Kalimaro sebelah utara
b. Desa Penadaran sebelah timur c. Desa Mliwang sebelah barat d. Desa Kapung sebelah selatan
(1)
B. Saran
Diharapkan studi tentang Makna Ritual Kejawen perspektif Pendidikan didesa Jumo, Kedungjati, Grobogan ini, dapat disempurnakan dengan mengadakan penelitian lebih lanjut dari segi lain, sehingga dapat memberikan gambaran yang lengkap pada makna ritual kejawen perspektif pendidikan yang berupa Nilai-nilai Pendidikan yang terkandung dalam ritual Kejawen tersebut. Untuk itu pengharapan penulis sebagai berikut:
1. Pemerintah daerah bersama warga masyarakat diharapkan terus melestarikan kebiasaan orang-orang tua yang sudah turun-temurun sebagai sarana yang efektif bagi penduduknya untuk berinteraksi dan berkomunikasi sehingga menimbulkan kesatuan.
2. Pelaksanaan bentuk tradisi yang ada di Desa Jumo, Kedungjati, Grobogan bukan dilaksanakan guna menyekutukan Tuhan, melainkan sebagai sarana untuk mensyukuri nikmat pemberian Tuhan. Oleh karena itu warga masyarakat Sekar khususnya diharapkan mampu mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam setiap tradisi.
3. Kewajiban bagi setiap generasi adalah untuk mempersiapkan generasi penerus lebih berkualitas, dan pada saatnya nanti generasi penerus benar-benar siap mengambil alih dan meneruskan tugas serta peranan generasi sebelumnya dan dengan demikian terjalinlah kelangsungan hidup dan eksistensi bangsa dari masa ke masa.
4. Saran kepada peneliti lain yang hendak meneliti obyek yang sama yaitu, Makna Ritual Kejawen perspektif pendidikan supaya mengambil tema
(2)
yang lain agar lebih inovatif sekaligus menambah khasanah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Sutari Imam. 1986. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)-IKIP.
Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Ja wa. Jakarta: PT.Pradnya Paramita.
Chafidh, Muhammad Afnan dan A. Ma‟ruf Asrori. 2006. Tradisi Islami Panduan
Prosesi Kelahiran, Perka winan dan Kematian. Surabaya: Khalista.
Daeng, Hans J. 2000. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Keja wen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Ja wa. Yogyakarta: Narasi.
Ghani, Djunaidi. 1997. Da sar-dasa r Pendidikan Kualitatif: prosedur, tehnik dan teori. Surabaya: PT. Bila Ilmu.
Kartono, Kartini. 1992. Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis. Bandung: Mandar Maju. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan. Mahfud, Choirul. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, Lely J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja
(4)
Mulder, Niels. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubabahan Budaya Ja wa, Muangthai dan Filipina, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Milles, Mattew B. dkk. 1992. Analisis data Kualitatif. Jakarta: PT. UI Press.
Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pamungkas, Ragil. 2006. Lelaku dan Tirakat : Cara Orang Ja wa Menggapai Kesempurnaan Hidup. Yogyakarta: Narasi.
Partokusumo, Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Ja wa Perpaduanya dengan Islam. Yogyakarta: Ikatan Penerbit Indonesia.
Simuh. 1995. Sufisme Ja wa: Transformasi Ta ssa wuf Islam ke Mistik Ja wa. Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya.
Suharsono dan Ana Retnoningsih. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metode Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Suryabrata, Sumadi. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sudirman Dkk. 1991. Ilmu Pendidikan. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.
Susetya, Wawan. 2007. Ular-Ular Manten: Wejangan Perka winan Adat Ja wa. Yogyakarta: Narasi.
Syam, Muhammad Noor Dkk. 1988. Pengantar Dasar-dasa r Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
(5)
Tim Penyusun FIP. 1998. Pengantar Dasar-da sar Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Tim penyusun. 2007. Kamus Besa r Bahasa Indonesia Edisi ke Tiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Umar , Husain. 1999. Metodologi Penelitian Aplikasi dalam Pema saran. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama.
Walgito, Bimo. 1991. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar) edisi revisi. Yogyakarta Andi Offset.
Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa: Kesalihan Normatif Versus Kebatinan. Yogyakarta: LKIS.
(6)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Eko Haryanto
NIM : 12107004
Tempat/Tgl.lahir : Grobogan, 07 Desember 1986
Alamat : Dsn. Dawung RT 01/02 Ds. Jumo, Kedungjati - Grobogan Pendidikan : 1. TK Dharma Wanita Jumo (1993-1994)
2. Sekolah Dasar di SD Negeri Jumo I (1994-1999).
3. SMP Negeri I Kedungjati (1999-2002).
4. SMA Muhammadiyah Gubug (2002-2005)
5. Diploma II PGA Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga (2005-2007)