8 risiko  yang  mungkin  untuk  sindroma  premenstruasi  termasuk  riwayat  keluarga
sindroma premenstruasi pada ibu, riwayat perjalanan hidup atau penyakit jiwa yang dideritai  sekarang  yang  melibatkan  mood  atau  gangguan  ansietas,  riwayat
penyalahgunaan  alkohol,  dan  riwayat  depresi  postpartum.  Beberapa  studi menemukan  bahwa  nulparitas,  usia  onset  menstruasi  yang  lebih  awal,  konsumsi
alkohol dan kafein yang tinggi, stres yang berlebihan, dan IMT yang tinggi adalah faktor-faktor risiko untuk gejala sindroma premenstruasi tertentu. Penelitian terbaru
mendukung  laporan  sebelumnya  bahwa  faktor  keluarga  dan  stres  memiliki  peran dalam  sindroma  ini  Katz,  Lentz,  Lobo  dan  Gesherson,  2007.  Di  Malaysia,  satu
studi  yang  dilakukan  di  Negeri  Sembilan  pada  2247  wanita  menyatakan  angka kejadian  sindroma  premenstruasi  ialah  74,6;  68,2  menderita  sindroma
premenstruasi  ringan  dan  6,4  menderita  sindroma  premenstruasi  sedang-berat Lee, Chen, Lee dan Kaur, 2006.
2.3. GEJALA
Berbagai  gejala  sindroma  premenstruasi  telah  dikenal  pasti.  Dalam sindroma  premenstruasi,  yang  paling  penting  ialah  waktu  berlakunya  gejala  dan
juga  tingkat  keparahan  gejala.  Kedua  hal  ini  lebih  penting  daripada  karakter spesifik.  Depresi,  irritabilitas,  kecemasan,  ketegangan,  agresi,  ketidakmampuan
untuk  adaptasi  dan  merasa  di  luar  kendali  adalah  gejala-gejala  psikologikal  yang tipikal.  Kembung, mastalgia dan sakit kepala adalah gejala fisik yang klasik bagi
sindroma premenstruasi O’Brien, 2007. Gejala  lain  yang  tersering  pada  sindroma  premenstruasi  adalah
ketidaknyamanan di abdomen, clumsiness, merasa kurang energi, perubahan pola tidur,  dan  perubahan  mood  yang  tidak  menentu. Perubahan  perilaku  termasuklah
menarik diri daripada pergaulan, perubahan aktivitas sehari-hari, perubahan nafsu makan yang jelas, dan perubahan dalam keinginan seksual. Secara keseluruhannya,
terdapat  lebih  150  gejala  yang  dapat  dikaitkan  dengan  sindroma  premenstrual. Colin dan Shushan, 2007.
Universitas Sumatera Utara
9
2.4. ETIOLOGI
Sindroma  prementruasi  terjadi  bukan  hanya  kerana  satu  faktor.  Genetik, keadaan  lingkungan,  psikologikal,  dan  pengaruh  hormonal  merupakan  faktor-
faktor penting dalam gangguan mood O’Brien, 2007. Penyebab prinsip sindroma premenstruasi  masih  belum  jelas,  walaupun  ada  beberapa  teori  telah  diusulkan
termasuk ketidakseimbangan tingkat estrogen-progesteron, aldosteron yang tinggi, hipoglikemia,  hiperprolaktinemia,  dan  faktor-faktor  psikogenik  Colin  dan
Shushan, 2007. Terdapat  pendapat  mengatakan  progesteron  endogen  siklikal  yang
dihasilkan  pada  fase  luteal  dalam  siklus  menstruasi  bertanggungjawab  terhadap gejala-gejala  yang  terjadi  pada  wanita  yang  sangat  sensitif  pada  tingkat
progesterone  yang  normal.  Walaupun  begitu,  tidak  ada  perbedaan  tingkat progesteron  yang  ditunjukkan  pada  perempuan  dengan  sindroma  premenstruasi
atau  tanpa  sindroma  premenstruasi.  Ada  hipotesa  mengatakan  bahwa mekanisme meningkatnya  sensitivitas  terhadap  progesteron  adalah  berkaitan  dengan  faktor
neuroendokrin yang abnormal dan disregulasi metabolisme serotonin. Dalam usia reproduktif,  produksi  progesteron  berpengaruh  pada  kesehatan  fisikal  dan
psikologikal  wanita.  Progesteron  dan  metabolitnya  seperti  allopregnanolone diproduksi  oleh  ovari  dan  adrenal,  dan  juga  secara  de  novo  di  otak.  Hormon  ini
sendiri  merupakan  neurosteroid  yang  bisa  melewati  sawar  otak.  Progesteron mempunyai efek sedatif apabila dikonsumsi.
Wanita  tidak  mempunyai  sindroma  premenstruasi  sebelum  pubertas, sewaktu  hamil  atau  selepas  menopause  –  ini  adalah  masa-masa  di  mana  siklus
hormon ovarian belum bermula ataupun telah berhenti. Oleh karena itu, dipercayai fungsi fisiologik ovari adalah pemicu terjadinya sindroma premenstruasi. Supresi
siklus  endokrin  di  ovari  dengan  danazol,  diikuti  dengan  administrasi  analog gonadotropin  releasing  hormone
GnRH  atau  dengan  oophorektomi  bilateral berhasil  mengsupresi  gejala  sindroma  premenstruasi.  Oleh  itu,  hipotesa  bahwa
steroid  ovarian  mempunyai  peran  dalam  patofisiologi  sindroma  ini  adalah  jelas.
Universitas Sumatera Utara
10 Sebaliknya,  penggunaan  prostagen  pada  terapi  hormon  hormone  replacement
therapy [HRT] menimbulkan siklisitas dalam mood negatif dan gejala fisik, sama
seperti  yang  didapati  pada  sindroma  premenstruasi  O’Brien,  2007;  Colin  dan Shushan, 2007.
Penelitian  tentang  sindroma  premenstruasi  menghasilkan  data-data  yang menyokong teori defisiensi progesteron, ketidakseimbangan estrogenprogesteron,
atau  kelebihan  progesteron.  Namun,  konsentrasi  steroid  ovarian  di  serum  adalah normal pada wanita-wanita ini dan interaksi fluktuasi jumlah steroid ovarian atau
metabolitnya  dengan  sistem  neurotransmiter  atau  ketidakseimbangan  reseptor  di otak secara langsung relevan dengan patogenesis sindroma premenstruasi. Hal ini
dipercayai  menyebabkan  wanita  lebih  sensitif  terhadap  tingkat  progesteron  yang fisiologis O’Brien, 2007.
Penelitian lanjutan
menunjukkan neurotransmiter
serotonin 5-
hydroxytryptamine [5-HT]  penting  dalam  patogenesis  sindroma  premenstruasi
atau  PMDD.  Estrogen  dan  progesteron  telah  dibuktikan  mempengaruhi  aktivitas serotonin secara sentral. Banyak gejala gangguan mood yang lain yang menyerupai
sindroma  premenstruasi  atau  PMDD  mempunyai  asosiasi  dengan  disfungsi serotonergik Colin dan Shushan, 2007. Estrogen mempunyai dampak yang jelas
terhadap  beberapa  neurotransmiter,  termasuk  serotonin,  asetilkolin,  noradrenalin, dan  dopamin.  Secara  kumulatif,  ia  bertindak  sebagai  satu  agonis  terhadap  fungsi
serotonin  dengan  meningkatkan  jumlah  reseptor  serotonin,  respons  serotonin  di postsinaptik, dan transpor dan uptake neurotransmiter. Ia juga akan meningkatkan
sintesis serotonin dan meningkatkan derajat metabolit 5-hydroxyl indoleacetic acid 5-HIAA.
Sudah  diketahui  bahwa  sistem  serotonergik  memainkan  peranan  penting dalam  meregulasi  mood,  tidur,  aktivitas  seksual,  selera  makan,  dan  kemampuan
kognitif.  Serotonin  merupakan  bagian  major  dalam  perkembangan  terjadinya depresi. Beberapa studi menunjukkan adanya kelainan metabolisme serotonin pada
pasien  sindroma  premenstruasi.  Hipotesis  ini  disokong  secara  indirek  dengan
Universitas Sumatera Utara
11 adanya  perubahan  konsentrasi  reseptor  serotonin  dengan  berubahnya  jumlah
estrogen  dan  progesteron.  Selective  serotonin  reuptake  inhibitor  SSRI  seperti Fluoxetine,  Paroxetine,  Citalopram  dan  Sertraline,  telah  menunjukkan  adanya
efikasi  yang  luar  biasa  dalam  mengobati  sindroma  premenstruasi  dan  PMDD O’Brien, 2007.
Vitamin  B6  piridoksin  adalah  kofaktor  pada  langkah  terakhir  sintesis serotonin dan dopamin daripada triptofan melalui diet. Walaubagaimanapun, tidak
ada data yang menunjukkan adanya abnormalitas yang konsisten pada sintesis amin di otak atau defisiensi kofaktor seperti B6 O’Brien, 2007.
Aktivitas gamma aminobutyric acid GABA yang menurun ada dilaporkan terjadi pada pasien dengan depresi, PMDD dan sindroma premenstruasi. Estrogen
meningkatkan pengikatan agonis GABA dan up-regulation reseptor GABA. Selain daripada efek SSRI terhadap sistem serotonergik, SSRI juga meningkatkan fungsi
GABA, dan memperbaiki gejala-gejala depresi. Pemeriksaan metabolit progesteron pada wanita dengan sindroma premenstruasi menunjukkan jumlah allopregnanolon
yang  rendah  semasa  fase  luteal.  Ini  membuktikan  teori  ini  diterima  karena allopregnanolon mempunyai aktivitas yang menyerupai GABA dan defisiensinya
akan  bisa  menginduksi  gejala  yang  sama  seperti  yang  dialami  pada  sindroma premenstruasi O’Brien, 2007.
Selain itu, dalam penelitian Siregar 2012, dari hasil penelitian didapatkan stres  sebagai  trigger  terjadinya  sindroma  premenstruasi  terutama  yang  berkaitan
dengan keadaan keluarga.
2.5. DIAGNOSIS