Penyelesaian Sengketa Perdata Antara Nasabah Dengan Bank Melalui Mediasi Perbankan

(1)

PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA

ANTARA NASABAH DENGAN BANK

MELALUI MEDIASI PERBANKAN

TESIS

Oleh

SYARIFAH LISA ANDRIATI

067005026/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

ABSTRAK

Sektor perbankan memiliki posisi yang strategis sebagai lembaga intermediasi. Dalam menjalankan kegiatannya bank membutuhkan kepercayaan serta dukungan dari masyarakat. Oleh karenanya sudah seharusnya bank memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat khususnya hak nasabah. Bank sebagai suatu lembaga yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dapat menimbulkan suatu hubungan hukum yang berpotensi mengakibatkan terjadinya sengketa antara nasabah dan bank. Salah satu bentuk perlindungan hukum yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, yang dirubah dengan PBI Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi perbankan merupakan alternatif penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara nasabah dengan bank. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sejumlah pertanyaan yakni, bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah dalam mediasi perbankan? apa manfaat mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dalam penyelesaian sengketa perbankan? Dan bagaimana independensi dari Lembaga Mediasi Perbankan serta bagaimana kekuatan hukum dari suatu akta kesepakatan yang dihasilkan dari proses mediasi?

Untuk meneliti hal-hal tersebut di atas digunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan guna memperoleh bahan hukum primer dan sekunder.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertama, mediasi perbankan merupakan regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam menjalankan fungsi pengawasan. Perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah secara hukum positif harus dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam hierarki perundang-undangan. Oleh karena itu peraturan mengenai mediasi perbankan ini memerlukan penyempurnaan yang lebih komprehensif. Kedua, Manfaat mediasi perbankan dalam menyelesaikan sengketa antara nasabah dengan bank adalah dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank karena dengan berlarut-larutnya sengketa antara nasabah dengan bank dapat menurunkan citra bank. Sedangkan bagi nasabah mediasi perbankan merupakan salah satu aturan hukum untuk melindungi hak-hak nasabah terutama nasabah kecil dan usaha mikro dan kecil karena penyelesaian sengketa dapat ditempuh secara sederhana, murah, dan cepat.

Ketiga, sebagai suatu Lembaga Mediasi Perbankan (LMP) harus independen

sehingga bebas dari pengaruh dan intervensi dari Bank Indonesia. Sehingga dalam menjalankan tugasnya lembaga ini dengan benar-benar netral. Kekuatan hukum dari akta kesepakatan yang dihasilkan dari proses mediasi perbankan adalah mengikat para pihak yang membuatnya yakni nasabah dan bank. Akta ini harus didaftarkan dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari di Pengadilan Negeri. Melalui pendaftaran ini maka akta mediasi perbankan mempunyai kekuatan hukum layaknya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Penelitian ini menyarankan agar LMP yang akan


(3)

dibentuk oleh asosiasi perbankan tidak hanya terdiri dari kalangan perbankan saja, tetapi ikut juga memasukkan unsur-unsur lain seperti akademisi dan praktisi. Dan sebaiknya LMP independen ini tidak hanya melayani nasabah yang dirugikan oleh bank , tetapi juga melayani bank yang kemungkinan dirugikan oleh nasabahnya sehingga dapat menciptakan harmonisasi bilateral antara keduanya.

Kata Kunci: Mediasi Perbankan; Perlindungan Hukum; Alternatif Penyelesaian Sengketa


(4)

ABSTRACT

Baking sector has a strategic position as an institute of intermediation. In carrying out its activity, a bank needs the trust and support from community. Therefore, a bank should have given a protection to the rights of community especially the rights of consumers. As an institution raising and distributing community’s funds, a bank can create a legal relationship which is potential in causing a dispute between the customers and the bank. One of the legal protections produced by Bank Indonesia is Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, changed by PBI Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Banking mediation is an alternative dispute resolution to solve any dispute existing between the customers and the bank. This study was initiated by a number of questions such as how legal protection of bangking mediation to the rights of bank customers, what is the advantages of banking mediation as alternative dispute resolution in solving the banking dispute, how is the independency of banking mediation institution, and how is the legal power an act of agreement produced by mediation process has.

Based on the objectives that mention above, this research use the method of normative legal research with qualitative approach. The instrument for collecting data is library research which use primary and secondary data.

The result of study shows that, first, banking mediation is a regulation issued by Bank Indonesia in the implementation of its function of control. Legal protection toward the rights of customers in a legal positive way must be implemented based on the regulation on this banking mediation needs a more comprehensive finishing touch; second, the advantage of banking mediation as alternative dispute resolution in solving the dispute between the customers and the bank is to improving the trust of the community to degrade the bank image. To the customers, banking mediation is one of the legal regulations to protect the rights of customer especially small customers and small and micro business for the dispute solution can be done simply, cheap and accurately; third, the Banking Mediation Institution must be independent that makes it free from the influence an intervention of Bank Indonesia that, in performing its duty, this institution must be really neutral. The legal power of the act agreement produced by the banking mediation process binds the parties made it such as the customers and the bank. This act must be registered in 30 (thirty) days in the court of the first instance. Through this study, it is suggested that the Banking Mediation Institution to be established by banking association which not only consist of banking community but also the other elements such as academics and practitioners. The independent Banking Mediation Institution not only serve the customers inflicted financial loss by the bank but also the bank which might be inflicted financial loss by its customers that the institution can create a bilateral harmony between the two of them.


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT., atas limpahan rahmat dan karunia-NYA sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul : “Penyelesaian Sengketa Perdata Antara Nasabah Dengan Bank Melalui Mediasi Perbankan”. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai Gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankan Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof.Dr.Chairuddin P.Lubis,DTM&K, SpA(K).

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,MSc

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Prof.Dr.Bismar Nasution, SH, MH, sekaligus selaku Ketua Komisi Pembimbing atas segala bimbingan yang diberikan.

4. Prof.Dr.Tan Kamello, SH, MS, selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Prof.Dr.Runtung, SH, MHum, selaku Komisi Pembimbing atas bimbingan dan arahan yang diberikan dalam rangka penyelesaian tesis ini.


(6)

6. Penguji Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Dr.Sunarmi, SH, MHum, atas bimbingan dan arahan yang diberikan dalam penyusunan tesis ini.

7. Seluruh staf Pengajar Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, yang telah membimbing dan mengajar selama penulis mengikuti perkuliahan pada Sekolah Pascasarjana USU.

8. Seluruh pegawai administrasi Sekolah Pascasarjana USU atas bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dengan lancar.

9. Pada kesempatan ini penulis juga mendedikasikan penulisan tesis ini kepada kedua orang tua penulis Ayahanda Said Adnan dan Ibunda Darmiaty yang telah mengasuh dan membesarkan penulis dengan tidak pernah lelah, penuh kasih sayang dan selalu memberikan bantuan baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dengan baik. Dan semoga Allah SWT. membalas segala kebaikan mereka. Dan penulis juga berterimakasih kepada kakak-kakak dan adik-adik penulis: Syarifah Dian Andriaty, SE, Syarifah Nora Andriaty, Syarifah Lia Andriaty, dan Syarifah Keumala Andriaty atas segala dukungannya.

10.Kepada Diki Syaiful Barkah atas segala dukungan dan kasih saying serta doa yang selalu diberikan kepada penulis sehingga memotivasi penulis untuk menjadi seseorang yang lebih baik.

11.Penulis juga berterimakasih kepada seluruh teman-teman di Sekolah Pascasarjana USU yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(7)

Akhirnya, penulis berharap semoga karya yang masih jauh dari sempurna ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2008

Penulis,


(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama : SYARIFAH LISA ANDRIATI

Tempat / Tanggal Lahir : Banda Aceh/ 11 September 1984

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl.Sunggal No.141 B Medan

Pendidikan :

- Sekolah Dasar Percobaan Negeri

Medan, tahun 1990- 1996.

- Sekolah Menengah Pertama Kemala Bhayangkari Medan, tahun 1996-1999.

- Sekolah Menengah Atas Negeri 1

Medan, tahun 1999-2002.

- Fakultas Hukum USU Medan, tahun 2002-2005.

- Program Studi Magister Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana USU Medan, tahun 2006.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR ISTILAH... xi

DAFTAR SINGKATAN... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 9

G. Metode Penelitian ... 19

BAB II : TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH BANK ... 21

A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam Hukum Perbankan ... 21


(10)

B. Perlindungan Dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam

Arsitektur Perbankan ... 31

C. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam Peraturan Bank Indonesia Tentang Mediasi Perbankan ... 39

BAB III : MEDIASI PERBANKAN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA ... 47

A. Latar Belakang Munculnya Mediasi Perbankan ... 47

B. Pengertian Dan Batasan Mediasi ... 56

C. Karakteristik yang Terdapat Dalam Mediasi Perbankan ... 62

D. Manfaat Mediasi Dalam Menyelesaikan Sengketa Antara Nasabah Dengan Bank ... 70

BAB IV : PELAKSANAAN MEDIASI MENURUT PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG MEDIASI PERBANKAN 75 A. Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Perbankan.. 75

B. Pelaksanaan Mediasi Perbankan Dalam Menyelesaikan Sengketa Perbankan ... 82

C. Independensi Mediator Dalam Melaksanakan Fungsi Perbankan ... 89

D. Kekuatan Hukum Akta Kesepakatan Mediasi Perbankan.... 99

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 106

A. Kesimpulan ... 106

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA... 110


(11)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Pengaduan Nasabah Perbankan... 82 2. Kasus Mediasi Yang Ditangani Bank Indonesia……….. 83


(12)

DAFTAR ISTILAH

Agent of reality : agen realitas

Agreement to mediate : perjanjian mediasi

Alternative Dispute Resolution : alternatif penyelesaian sengketa

Backward looking : memandang ke belakang

Bancassurance : produk bank

Bearer of bad news : penyandang berita jelek

Billing statement : perincian tagihan

Business interest : kepentingan bisnis

Catalyst : katalisator

Cash advanced : penarikan tunai

Closed logical system : sistem yang tertutup

Conflict of interest : konflik kepentingan

Court annexed/ connected : dalam pengadilan

Debt collector : penagih utang

Decision maker : pengambil keputusan

Delegated legislation : peraturan yang didelegasikan

Educator : pendidik

Explicit deposit protection : perlindungan secara eksplisit

Fairness : kejujuran

Fee : biaya

Fiduciary financial Institution : lembaga kepercayaan masyarakat

Financial intermediary bank : bank intermediasi keuangan

Forward looking : memandang ke depan

Good governance : pemerintahan yang baik

Implicit deposit protection : perlindungan secara implisit

Law enforcement : penegakan hukum

Legal advice : pendapat hukum

Legal counsel : konsultasi hukum

Legal positivism : positivisme yuridis

Library research : penelitian kepustakaan

Living law : hukum yang hidup dalam masyarakat

Negative publicity : publikasi negatif

Non-coercive : tanpa paksaan

Out court : luar pengadilan

Out-of court settlement : di luar jalur pengadilan

Overlapping : tumpang tindih

Overloaded : terlampau padat

Power to control : kewenangan mengontrol

Power to impose sanction : kewenangan memberi sanksi


(13)

Power to regulate : kewenangan mengatur

Predictable : dapat diramalkan

Presumption of negligence : praduga lalai/bersalah

Qualified : memenuhi syarat

Scapegoat : kambing hitam

Scientific : ilmuwan

Service excellence : pelayanan yang baik

Solving the problem : penyelesaian masalah

Subordinate sources : sumber yang lebih rendah

Sumir : dangkal

Reasonable : layak

Rechtstoepassing : hukum yang diberlakukan

Resource person : narasumber

The interest : kepentingan

Translator : penerjemah

Unresponsive : kurang tanggap

Very expensive : biaya mahal

Walk-in customer : pihak yang memanfaatkan jasa bank

Waste of Time : buang waktu

Wet giving : kewenangan pembentukan

Win-Lose : menang-kalah


(14)

DAFTAR SINGKATAN

ADR : Alternative Dispute Resolution

API : Arsitektur Perbankan Indonesia

APS : Alternatif Penyelesaian Sengketa

ASBANDA : Asosiasi Bank Daerah

ASBISINDO : Asosiasi Bank Syariah Indonesia

ATM : Anjungan Tunai Mandiri

BI : Bank Indonesia

IBI : Ikatan Bankir Indonesia

LMP : Lembaga Mediasi Perbankan

LMPI : Lembaga Mediasi Perbankan Indonesia

MAPS : Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa

PBI : Peraturan Bank Indonesia

PERBANAS : Perhimpunan Bank-bank Swasta Indonesia

PIN : Personal Identification Number

PPS : Pilihan Penyelesaian Sengketa

SEBI : Surat Edaran Bank Indonesia

UUPK : Undang-Undang Perlindungan Konsumen


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan pihak-pihak yang kekurangan dana. Oleh karenanya perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan, dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.

Hukum perbankan adalah merupakan kumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain. Hukum perbankan itu merupakan sistem karena membentuk suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain, dan bagian-bagian tersebut bekerja sama untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuannya.1

Perbankan2 menjadi salah satu pilar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Tonggak kelahiran Undang-undang perbankan mulai disahkan sejak dilahirkannya

1

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2003), hlm.1-3.

2

Kata “bank” berasal dari bahasa Italy “banca”, yang berarti bence, yaitu suatu bangku tempat duduk. Sebab, pada zaman pertengahan, pihak bankir Italy yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk-duduk di halaman pasar . Lihat A.Abdurrachman,


(16)

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan3 dan selanjutnya diadakan perubahan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 19984 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan .

Dalam melaksanakan fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak-pihak-pihak yang kekurangan dana maka menimbulkan adanya hubungan hukum antara bank dengan nasabah. Hubungan hukum yang terjalin ini dapat menimbulkan suatu friksi yang apabila tidak diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank.

Semakin agresifnya perbankan menawarkan sejumlah produknya, seperti kartu kredit, anjungan tunai mandiri, serta berbagai bentuk kredit dan tabungan kepada masyarakat luas menyebabkan peluang terjadinya perselisihan semakin terbuka luas. Pengaduan masyarakat mengenai ketidakpuasan terhadap pelayanan perbankan juga meningkat.

3

Merupakan suatu fakta historis bahwa proses pembentukan Undang-Undang Perbankan dilakukan pada masa-masa tidak normal, sehingga hal tersebut secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap materi undang-undang yang bersangkutan. Karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dibentuk dengan bernuansa liberalisasi perbankan di bawah Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 1998), sehingga terdapat ketentuan-ketentuan yang di dalamnya cenderung liberal dan cenderung membela dan menganakemaskan bank. Hal-hal tersebut tercermin dalam ketentuan perbankan sebagai berikut : (1) Perlindungan nasabah kurang; (2) pengaturan kejahatan bank ragu-ragu; (3) Pengaturan rahasia bank overacting; (4) Pengaturan kewajiban bank kurang tegas; (5) Bank terlalu bebas; (6) Pengawasan bank kurang ketat.Lihat Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Buku Kesatu, (Bandung: Citra Adytia Bakti,2003), hlm.4.

4

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dibuat pada saat keadaan perbankan dalam keadaan benar-benar kacau balau, baik akibat jor-joran pemberian kredit, kesembrawutan policy pemerintah di bidang perbankan, maupun krisis moneter yang menerjang perekonomian Indonesia termasuk bisnis perbankan .Ibid, hlm.2.


(17)

Lemahnya perlindungan terhadap nasabah terlihat dari semakin banyaknya kasus yang muncul dalam kaitan dengan perkembangan perbankan. Hal ini juga semakin jelas terlihat dari banyaknya keluhan nasabah melalui media massa yang intinya nasabah tidak puas atas pelayanan yang diberikan oleh bank yang tidak sesuai dengan iklan yang ditawarkan.5

Sengketa dapat terjadi karena tidak ditemukannya titik temu antara para pihak yang bersengketa. Sengketa ini dapat terjadi diawali karena adanya perasaan tidak puas dimana ada pihak yang merasa dirugikan dan kemudian perasaan tidak puas ini menjadi conflict of interest yang tidak terselesaikan sehingga menimbulkan suatu konflik.6

Penyelesaian konflik hukum tersebut dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui proses litigasi dan non litigasi7. Dalam menyelesaikan suatu sengketa hukum dapat ditempuh melalui jalur pengadilan. Konflik hukum antara bank dengan nasabah ini diselesaikan melalui forum pengadilan untuk memenangkan hak-hak masing-masing dengan prinsip win-lose. Dalam dunia bisnis menghendaki penyelesaian sengketa yang efisien dan efektif dimana prosesnya tidak berbeli-belit.

Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoriti hukum. Peran dan fungsi

5

Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan

dan Deposito (Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan Di Indonesia Dewasa Ini), (

Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm.3. 6

Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm.34.

7

Litigasi merupakan penyelesaian suatu sengketa hukum melalui jalur pengadilan, sedangkan non litigasi adalah penyelesaian sengketa hukum melalui jalur luar pengadilan.


(18)

peradilan dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum atau dianggap terlalu formalistik dan terlampau teknis.8

Pengalaman pahit yang menimpa masyarakat yang memperlihatkan sistem peradilan yang tidak efektif dan tidak efisien . Penyelesaian perkara memakan waktu puluhan tahun dan proses bertele-tele, yang dililit upaya hukum yang tidak berujung.9 Banyaknya kelemahan yang terdapat pada pengadilan atau penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi maka banyak kalangan yang berusaha untuk mencari alternatif lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan pengadilan.10

Di Indonesia alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute

resolution11) diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa ”alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati

8

Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa: Seri Dasar-dasar Hukum

Ekonomi Arbitrase di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hlm.6.

9

M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian

Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997 ), hlm.248.

10

Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa), (Bandung: Citra Aditya Bakti,2000), hlm.33.

11

Jacquelin M.Nolan-Haley dalam bukunya Alternative Dispute Resolution In A Nutshell yang dikutip oleh Bismar Nasution dalam makalah “Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui Mediasi” yang disampaikan pada Dialog Interaktif PERMA No.2 Tahun 2003 tentang Mediasi di Pengadilan, Medan 2003 menyebutkan bahwa Istilah Alternative Dispute Resolution pertama kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada tahun 1976, yaitu ketika “Chief Justice Warren Burger mengadakan the Roscoe E.Pound Conference on the Cause of Popular Dissatisfaction

with the Administration of Justice” (“Pound Conference) di Saint Paul, mencari cara-cara baru dalam


(19)

para pihak yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.

Untuk menjaga hubungan hukum yang terjalin antara bank dan nasabah maka tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus sedemikian rupa menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan dari nasabah bank yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, dalam rangka untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangpercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan, yang pada saat ini tengah gencar melakukan ekspansi untuk mencari dan menjaring nasabah, maka perlindungan hukum bagi nasabah terhadap kemungkinan terjadinya kerugian sangat diperlukan.12

Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan friksi13 antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya pengaduan nasabah. Pengaduan nasabah ini apabila tidak dapat terselesaikan dengan baik oleh bank berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa yang pada akhirnya akan dapat merugikan nasabah dan atau bank.

12

Pada Tahun 1998 terjadi krisis moneter sebagai akibat dilikuidasinya 16 bank pada tanggal 1 November 1997 sehingga perbankan menjadi rush . Hal ini terjadi karena kurang percaya masyarakat terhadap lembaga perbankan dimana kepentingan nasabah kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah. Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, (Bandung: Books Terrace & Library,2005),hlm.326.

13

Tata hukum bukan hanya untuk memuaskan kepentingan satu pihak dengan mengorbankan pihak lainnya, tetapi menghasilkan suatu kompromi di antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya friksi-friksi, yang memiliki harapan hidup relatif lama, Lihat Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, Alih bahasa oleh Somardi (Jakarta : Bee Media Indonesia, 2007), hlm.15.


(20)

Dalam dunia perbankan diperlukan suatu penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat dan murah. Perbankan sebagai salah satu industri jasa keuangan yang merupakan jantung atau motor penggerak roda perekonomian negara dan yang bertumpu kepada kepercayaan masyarakat (fiduciary financial institution).

Bank Indonesia memformalisasikan 6 (enam) pilar utama sebagai sasaran yang ingin dicapai, yaitu: (1) Struktur perbankan yang sehat dan mampu mendorong pembangunan ekonomi nasional dan berdaya saing internasional; (2) Sistem pengaturan yang efektif dan mampu mengantisipasi perkembangan pasar keuangan domestik dan internasional; (3) Sistem pengawasan yang independen dan efektif; (4) Penguatan kondisi internal industri perbankan; (5) Penciptaan dan penguatan infrastruktur pendukung industri perbankan; dan (6) Perlindungan dan pemberdayaan nasabah.14

Untuk melaksanakan visi dan misi tersebut dalam rangka melindungi kepentingan nasabah Bank Indonesia telah mengeluarkan berbagai Peraturan. Salah satu perlindungan terhadap hak-hak nasabah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi Perbankan merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh pihak bank dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi antara bank dengan nasabah.

14


(21)

Kehadiran mediasi perbankan pada pokoknya dapat menjembatani antara kepentingan bank dan nasabah sehingga dapat menyelesaikan problem hukum yang terjadi dengan baik.

Keberadaan lembaga mediasi perbankan ini merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap konsumen. Ini merupakan langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia. Payung hukum terhadap mediasi perbankan ini masih dipertanyakan oleh berbagai ahli hukum. Dan juga masih dipertanyakan independensi dari Bank Indonesia sebagai pelaksana fungsi mediasi perbankan hingga terbentuknya lembaga mediasi perbankan yang independen.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah dalam mediasi perbankan?

2. Apa manfaat mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dalam penyelesaian sengketa perbankan?

3. Bagaimana independensi dari Lembaga Mediasi Perbankan (LMP) serta bagaimana kekuatan hukum dari suatu Akta Kesepakatan yang dihasilkan dari proses mediasi?


(22)

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan yang akan dikaji, maka yang menjadi tujuan penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah dalam mediasi perbankan.

2. Untuk mengetahui manfaat mediasi perbankan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dalam penyelesaian sengketa perbankan.

3. Untuk mengetahui independensi dari Lembaga Mediasi Perbankan (LMP) serta kekuatan hukum dari suatu Akta Kesepakatan yang dihasilkan dari proses mediasi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoretis

Manfaat penelitian yang bersifat teoretis diharapkan bahwa hasil penelitian dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum terutama hukum perbankan dalam hal penyelesaian sengketa perdata antara bank dengan nasabah melalui mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank.


(23)

Manfaat penelitian yang bersifat praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi dan perbankan dalam meyelesaikan sengketa di bidang perbankan antara nasabah dengan bank.

E. Keaslian Penulisan

Penelitian dengan judul ” Penyelesaian Sengketa Perdata antara Nasabah dengan Bank Melalui Mediasi Perbankan” yang diketahui berdasarkan penelusuran atas hasil-hasil penelitian, khususnya di Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Ilmu Hukum, belum pernah dilakukan penelitian penyelesaian sengketa perdata antara bank dengan nasabah melalui mediasi perbankan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi


(24)

Kerangka teori merupakan pendukung membangun atau berupa penjelasan dan permasalahan yang dianalisis. Teori dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.15 Menurut M.Solly Lubis, kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoretis. Hal ini dapat menjadi masukan eksternal bagi penulis.16

Menurut Radbruch, tugas teori hukum adalah untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulat hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.17 Fungsi teori mempunyai maksud dan tujuan untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan.

Dalam menjawab berbagai permasalahan dalam penelitian ini maka teori yang digunakan adalah teori positivisme yuridis (legal positivism). Legal positivism adalah aliran yang berpandangan bahwa studi tentang wujud hukum seharusnya merupakan studi tentang hukum yang benar-benar terdapat dalam sistem hukum, dan bukan hukum yang seyogianya ada dalam kaidah-kaidah moral. 18

15

Satjipto Rahardjo, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order

Finding Disorder), Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai guru besar tetap pada Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro Semarang, 15 Desember 2000, hlm.8. 16

M.Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju,1994), hlm.80. 17

W.Friedmann, Legal Theory, (New York: Columbia University Press, 1967), hlm.3-4. 18

Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: IBLAM, 2004), hlm.35.


(25)

Aliran positivis mengatakan ”Kaidah hukum itu hanya bersumber dari kekuasaan negara yang tertinggi, dan sumber itu hanyalah hukum positif yang terpisah dari kaidah sosial, bebas dari pengaruh politik,ekonomi,sosial dan budaya”.19

John Austin sebagai salah seorang penganut positivisme menilai bahwa sumber hukum yang lain adalah sumber hukum yang lebih rendah (subordinate

sources). Hukum identik dengan kekuasaan negara, dan hukum hanyalah hukum

tertulis atau hukum positif saja, dapat menimbulkan kesimpangsiuran dalam memandang keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang ternyata sangat diakui. 20

Khuzaifah Dimyati sebagaimana yang dikutip oleh H.R.Otje Salman S. dan Anton F.Susanto dalam bukunya Teori Hukum menjelaskan bahwa dalam positivisme yuridis hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan positivisme adalah pembentukan struktur-struktur rasional sistem-sistem yuridis yang berlaku. Sebab hukum dipandang sebagai hasil pengolahan ilmiah belaka, akibatnya pembentukan hukum makin profesional. Dalam positivisme yuridis ditambah bahwa hukum adalah sistem yang tertutup (closed logical system) artinya peraturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan norma sosial, politik dan moral.21

19

Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: IBLAM, 2006), hlm.138. 20

Ibid,hlm.140. 21

H.R.Otje Salman, Anton F.Susanto, Teori Hukum :Mengingat,Mengumpulkan dan


(26)

Positivisme yuridis merupakan suatu ajaran ilmiah tentang hukum. positivisme menentukan kenyataan dasar sebagai berikut: Pertama, Tata hukum negara tidak dianggap berlaku karena hukum itu mempunyai dasarnya dalam kehidupan sosial, bukan juga karena hukum itu bersumber dalam jiwa bangsa (menurut Von Savigny), bukan juga karena hukum itu merupakan cermin dari suatu alam. Dalam pandangan positivisme yuridis hukum hanya berlaku, oleh karena itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Kedua, Dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya dapat dipandang. Dengan kata lain: hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya. Dengan ini bentuk yuridis hukum dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum material. Ketiga, Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu pengetahuan hukum, oleh sebab isi ini dianggap variabel dan bersifat sewenang-wenang. Isu hukum tergantung dari situasi etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari dalam suatu ilmu pengetahuan lain, bukan dalam ilmu pengetahuan hukum.22

Di samping teori positivisme yuridis juga dipergunakan teori konflik yang dikemukakan oleh Schuyt, bahwa konflik merupakan situasi yang di dalamnya dua pihak atau lebih mengejar tujuan-tujuan yang satu dengan yang lain yang tidak dapat diselesaikan dan dimana mereka dengan daya upaya mencoba dengan sadar menentang tujuan-tujuan pihak lain.23

22

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, ( Yogyakarta : Kanisius, 1982), hlm.128-129.

23


(27)

Dalam situasi ini dibedakan antara bentuk-bentuk penyelesaian sengketa secara yuridis dan non yuridis penyelesaian konflik dapat timbul ke permukaan dalam berbagai bentuk seperti melalui musyawarah atau perundingan. Kedua belah pihak yang berada dalam konflik dapat menyelesaikan secara internal. Jadi kedua belah pihak memiliki kebebasan untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan baik.

Menurut Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa :

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keleluasaan dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepadanya.24

Achmad Ali mendefinisikan:

Konflik adalah setiap situasi di mana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain gagal mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak saling berusaha untuk memperjuangkan secara sadar tujuan-tujuan pokok mereka.25

Persengketaan hukum merupakan salah satu wujud dari konflik pada umumnya. Salah satu fungsi hukum adalah untuk menyelesaikan konflik di dalam masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Harry C.Bredemeier:

The function of the law is the orderly resolution of conflicts. As this implies, ’the law’(the clearest model of which I shall take to be the court system) is brought into operation after there has been a conflict. Someone claims that his interests have been violated by someone else. The court’s task is to render a decision that will prevent the conflict – and all potential conflicts like it – from disrupting productive cooperation…26

24

Hermansyah, op.cit, hlm.131. 25

Achmad Ali, op.cit., hlm.64. 26


(28)

Menurut Bredemeier, fungsi hukum adalah menertibkan pemecahan konflik-konflik. Secara tidak langsung hukum baru berfungsi setelah ada konflik-konflik. Yaitu jika seseorang mengklaim bahwa kepentingan-kepentingannya telah diganggu oleh orang lain. Sering dikemukakan bahwa pembicaraan tentang hukum barulah dimulai apabila terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga.

Gary Goodpaster dalam ”Tinjauan terhadap penyelesaian Sengketa” dalam buku Arbitrase di Indonesia mengatakan:

Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Karena adanya konsekuensi itu, maka sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi mereka. 27

Hal ini berarti dalam penyelesaian suatu konflik terdapat berbagai cara yang dapat ditempuh oleh seseorang ataupun masyarakat. Setiap penyelesaian sengketa mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda. Oleh karena itu dalam suatu proses penyelesaian sengketa harus diperhatikan juga kebiasaan masyarakat setempat sehingga diperoleh suatu penyelesaian sengketa yang tepat .

Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan suatu istilah asing yang

perlu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Berbagai istilah dalam bahasa Indonesia telah diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak, seperti

27

Gunawan Widjaya & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.3.


(29)

Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS)28, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan mekanisme penyelesaian sengketa secara kooperatif.

ADR sering diartikan sebagai alternative to litigation dan alternative to

adjudication. Pemilihan terhadap salah satu dari dua pengertian tersebut

menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama yang menjadi acuan (alternative to litigation), seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, termasuk arbitrase, merupakan bagian dari ADR. Apabila ADR (di luar litigasi dan arbitrase) merupakan bagian dari pengertian ADR sebagai alternative to

adjudication dapat meliputi mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat

konsensus atau kooperatif seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Dilihat dari perkembangan ADR di Amerika Serikat, maka ADR yang dimaksud adalah ADR sebagai alternative to adjudication. Hal ini disebabkan keluaran (outcome)

adjudication baik pengadilan maupun arbitrase cenderung menghasilkan ”win-lose”,

bukan ”win-win”, sehingga solusi yang dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa (mutual acceptable solution) sangat kecil tercapai.29

Istilah ADR memberi kesan bahwa pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa secara konsensus hanya dapat dilakukan di luar pengadilan (out court), sedangkan saat ini dibutuhkan juga dalam pengadilan (court annexed atau court

28

Lihat Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH memperkenalkan dan memberikan sarana penyelesaian lingkungan hidup di luar pengadilan (ADR), didayagunakan/ diefektifkan sebagai pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara alternatif.

29


(30)

connected). Beragam pengertian ADR dilandasi oleh pertimbangan psikologis untuk

mendapatkan dukungan terhadap penyelesaian melalui ADR dari pihak pengadilan. ADR seolah-olah merupakan jawaban kegagalan pengadilan memberikan akses keadilan bagi masyarakat sehingga pemasyarakatan istilah ini megundang rasa tidak aman kecemburuan bagi insan pengadilan.30

Altschul yang dikutip oleh H.Priyatna Abdurrasyid dalam bukunya ”Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa” mengatakan bahwa ADR ialah ”a trial of a

case before a private tribunal agreed to by the parties so as to save legal costs, avoid publicity, and avoid lengthy trial delays”. Altschul mengatakan bahwa alternatif

penyelesaian sengketa ialah suatu pemeriksaan sengketa oleh majelis swasta yang disepakati oleh para pihak dengan tujuan menghemat biaya perkara, meniadakan publisitas dan meniadakan pemeriksaan yang bertele-tele, sedangkan Phillp D.Bostwick (going private with the juficial system: 1995) mengatakan bahwa

Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah:” Sebuah perangkat pengalaman dan

teknik hukum yang bertujuan :31

a) Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak.

b) Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi.

c) Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan.

30 Ibid. 31

H.Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternative Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar, (Jakarta: Fikahati Aneka, 2002), hlm.15.


(31)

Jacqueline M.Nolan-Haley menjelaskan bahwa ADR “is umbrella term which

refers generally to alternatives to court adjudication of dispute such an negotiation, mediation, arbitration, mini trial and summary jury trial”.32 Di sini Jacqueline M.Nolan – Haley menekankan bahwa penyelesaian sengketa alternatif itu sebagai istilah protektif yang merujuk secara umum kepada alternatif-alternatif ajudikasi pengadilan atas konflik, tanpa menyinggung konsiliasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa alternatif.

Blacks Law Dictionary menjelaskan ADR adalah:

Terms refers to procedures setting dispute by means other than litigation; e.g. by arbitration, mediation, mini-trial. Such procedures which are usually less costly and more expeditious, are increasingly being used in commercial and labor dispute, divorcee action, in resolving motor vehicle and medical malpractice tort claims, and in other dispute that would likely otherwise involve court litigation.33

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Alternatif Penyelesaian Sengketa diartikan sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsiliasi, mediasi, konsolidasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10).

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ADR atau APS adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa dapat membantu atau

32

Jacqueline M.Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In Arbitration Nushell, (ST.Paul, Minn: West Publishing Co, 1992), hlm.1-2.

33

Henry Campbell, Blacks Law Dictionary, 6th edition ( St.Paul :.Minn West publishing Co, 1990), hlm.78.


(32)

dilibatkan dalam menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi atau melibatkan pihak ketiga yang netral.

2.Kerangka Konsepsi

Untuk menghindarkan kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan, maka di bawah ini akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah berikut:

1) Sengketa adalah permasalahan yang diajukan nasabah atau perwakilan nasabah kepada penyelenggara mediasi perbankan, setelah melalui proses penyelesaian pengaduan oleh Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang penyelesaian tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.34 2) Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.35

3) Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan (walk-in customer).36

4) Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam

34

Pasal 1 angka 4 PBI Nomor 8/5/PBI/2006. 35

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. 36


(33)

bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.37

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian dalam tesis ini adalah deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.38

Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.39 Dalam penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum.

2. Sumber Data

Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library

research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan

informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik berupa peraturan

37

Pasal 1 angka 5 PBI Nomor 8/5/PBI/2006. 38

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), hlm.63 39

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.14


(34)

perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder Penelitian yang digunakan terdiri dari :40

1) Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan. 2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks,

jurnal-jurnal, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian.

3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia,dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library

research), yaitu dengan meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik

dalam tesis ini, seperti: Buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan lainnya.

4. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian diolah dengan menggunakan metode deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

40

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2006), hlm.192.


(35)

BAB II

TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH BANK

A. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam Hukum Perbankan

Hukum perbankan sebagai suatu sistem41. Jika dilihat dalam perspektif sistem sebagai entitas, maka hukum perbankan diartikan sebagai kumpulan peraturan hukum yang merupakan satu kesatuan yang masing-masing unsurnya berkaitan satu sama lain dan bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan keseluruhan dari hukum per bankan. Unsur sistem hukum perbankan yang dimaksudkan adalah peraturan hukum (norma), asas-asas hukum42, dan pengertian-pengertian hukum yang terdapat di dalamnya. Unsur hukum tersebut dibangun di atas tertib hukum, sehingga terdapat keharmonisan di dalam atau di luarnya, dan dapat dihindarkan adanya tumpang tindih (overlapping) di antara unsur-unsur yuridis tersebut. Kalau terjadi konflik mengenai

41

Tujuan hukum yang kompleks hanya mungkin diwujudkan secara baik dan nyata jika proses hukum berlangsung dengan baik dan stabil. Proses yang baik dan stabil ini hanya mungkin berlangsung jika setiap komponen hukum berfungsi dengan baik dan benar. Maka ketika pembahasan menyentuh kedua aspek hukum ini, aspek fungsi dan prosesnya, pembicaraan tidak lagi dapat dihindarkan dari keharusan untuk membicarakan totalitas dari keseluruhan komponen sistem hukum itu, dan satu-satunya pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan ini adalah pendekatan sistem atau teori sistem hukum.Lili Rasjidi, I.B.Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm.185.

42

Asas-asas hukum secara reflektif meletakkan perkaitan antara nilai-nilai (tata nilai), pokok-pokok pikiran, perlibatan moril dan susila pada satu pihak dengan hukum positif pada pihak lain. Asas-asas hukum memiliki perkaitan dengan hukum positif dalam artian bahwa aturan-aturan hukum harus dimengerti beranjak dari latar belakang asas-asas hukum yang selaras dengan atau terkait pada hukum positif. Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum Perjanjian

Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Alih Bahasa Tristam P.Moeliono, (Bandung: Citra Aditya


(36)

persoalan perbankan, maka solusinya adalah melalui asas hukum yang terdapat dalam sistem hukum perbankan itu sendiri.43

Sebagai suatu sistem hukum, hukum perbankan didasarkan kepada asas-asas hukum antara lain, asas demokrasi ekonomi, asas kepercayaan, asas kehati-hatian, asas pemerataan, asas kesejahteraan, asas-asas dalam hukum kontrak, asas-asas dalam hukum perkreditan, dan asas-asas dalam hukum jaminan. Asas-asas tersebut terletak pada masing-masing graduasinya yakni asas idiil, asas konstitusionil, asas politis, dan asas teknis operasional. Asas-asas ini yang berfungsi untuk menganyam sistem hukum perbankan dan sebagai pedoman kerja untuk melaksanakan norma hukum perbankan serta penyelesaian konflik. Tanpa adanya ikatan asas-asas tersebut, hukum perbankan akan mengalami ketidakjelasan dalam mencapai cita-cita dan tujuannya, dan dapat mengakibatkan terjadinya collapse bagi norma-norma hukum perbankan.44

Dalam kerangka berpikir yuridis, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai perlindungan hak-hak nasabah. Perlindungan ini diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang ditujukan kepada pihak yang melanggar hak tersebut yakni bank dan pihak ketiga. Dalam kacamata hukum positif perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah seharusnya diatur dalam undang-undang. 45

43

Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan

Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu

Hukum Perdata pada Fakultas Hukum diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, Medan, 2 September 2006, hlm.6.

44

Tan Kamello, Mediasi Perbankan, Disajikan dalam Diskusi Terbatas, Kerjasama Bank Indonesia Dan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, tanggal 21 Desember 2006, hlm.2.

45


(37)

Perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada setiap objek hukum. Menurut sistem perbankan Indonesia, perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melalui dua cara, yakni Perlindungan secara implisit (implicit deposit

protection) dan perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection), yaitu

perlindungan diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat.46

Perlindungan secara implisit (implisit deposit protection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini yang diperoleh melalui : (1) peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, (2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya, (4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan informasi risiko kepada nasabah. 47

Perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection), yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga

46

BPHN, Departemen Kehakiman-RI Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank, (Jakarta: BPHN, 1993/1994), hlm.53.

47

Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, ( Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hlm.133-134.


(38)

apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. 48

Beberapa mekanisme yang dipergunakan dalam rangka perlindungan nasabah bank adalah sebagai berikut:49

1) Pembuatan Peraturan Baru

Lewat pembuatan peraturan baru di bidang perbankan atau merevisi peraturan yang sudah ada merupakan salah satu cara untuk memberikan perlindungan kepada nasabah suatu bank. Banyak peraturan yang secara langsung maupun tidak langsung yang bertujuan melindungi nasabah. Akan tetapi, lebih banyak lagi diperlukan seperti itu dari apa yang terdapat dewasa ini.

2) Pelaksanaan Peraturan yang Ada

Salah satu cara lain untuk memberikan perlindungan kepada nasabah adalah dengan melaksanakan peraturan yang ada di bidang perbankan secara lebih ketat oleh pihak otoritas moneter, khususnya peraturan yang bertujuan melindungi nasabah sehingga dapat dijamin law enforcement yang baik. Peraturan perbankan tersebut harus ditegakkan secara objektif tanpa melihat siapa direktur, komisaris, atau pemegang saham dari bank yang bersangkutan.

48

Ibid.

49


(39)

3) Perlindungan Nasabah Deposan Lewat Lembaga Asuransi Deposito

Perlindungan nasabah, khususnya nasabah deposan melalui lembaga asuransi deposito yang adil dan predictable ternyata dapat juga membawa hasil yang positif.

4) Memperketat Perizinan Bank

Memperketat pemberian izin untuk suatu pendirian bank baru adalah salah satu cara agar bank tersebut agar bank tersebut kuat dan qualified sehingga dapat memberikan keamanan bagi nasabahnya.

5) Memperketat Pengaturan di Bidang Kegiatan Bank

Ketentuan yang menyangkut kegiatan bank banyak juga yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan untuk melindungi pihak nasabah. Pengaturan-pengaturan tersebut misalnya ketentuan mengenai permodalan, manajemen, aktiva produktif, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan kesehatan bank.

6) Memperketat Pengawasan Bank

Dalam rangka meminimalkan risiko yang ada dalam bisnis bank, maka pihak otoritas, khususnya Bank Indonesia (juga dalam hal ini Menteri Keuangan) harus melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank yang ada, baik terhadap bank-bank pemerintah maupun terhadap bank swasta. Hanya saja perlu diperhatikan di sini bahwa sebagai pengawas, Bank Indonesia tidak dapat mencampuri secara langsung urusan intern dari bank yang diawasinya itu. Sebab, pengendalian bank tersebut tetap menjadi kewenangan pengurus bank tersebut.


(40)

Karena itu, harus jelas batas-batas dari ikut campur tangan Bank Indonesia sehingga tidak mengambil porsi kewenangan dari pengurus bank tersebut.

Undang-Undang Perbankan tidak mengatur secara khusus hak-hak nasabah, baik nasabah debitur maupun hak nasabah kreditur. Seharusnya Undang-Undang Perbankan mengatur secara khusus tentang hak-hak nasabah, dan bukan diatur dalam peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Perlindungan hukum bagi nasabah seharusnya sudah dilakukan pada tahap pra kontrak sampai dengan pelaksanaan kontrak. Pada tahap pra kontrak, pihak bank dalam menjalankan usahanya selalu menawarkan, mempromosikan dan mengiklankan produk-produk bank yang cukup menggiurkan. Tujuannya adalah untuk menarik konsumen bank agar memasuki ruang kontrak sehingga terdapat keterikatan antara nasabah dengan banknya. Ketika hubungan hukum antara nasabah dengan banknya mulai tercipta, maka sejak momentum itu terbuka konflik hukum antar para pihak.50

Dalam sistem hukum perbankan Indonesia, pihak nasabah dibiarkan sendiri terlunta-lunta tanpa suatu perlindungan yang predictable dan reasonable. Karena itu, salah satu masalah yang sering dikeluhkan terus-menerus adalah tidak adanya atau kurangnya perlindungan terhadap nasabah jika berhubungan dengan bank, baik nasabah debitur, nasabah deposan, maupun nasabah nondebitur-nondeposan. Dalam beberapa kasus spektakuler yang pernah terjadi di Indonesia, seperti kasus likuidasi Bank Summa (1984), Kasus Pidana Bank Majapahit (1983), dan kasus likuidasi 16 (enam belas) bank bermasalah (akhir tahun 1997) menunjukkan bahwa kedudukan

50


(41)

para nasabah masing-masing bank tersebut sangat krusial dan tidak terlindungi oleh hukum. Dalam kasus-kasus biasa lainnya sehari-hari, kedudukan nasabah bank bahkan lebih kritis berhubung tidak banyak mendapat sorotan dari masyarakat dan kurang mendapat tanggapan dari pihak otoritas moneter yang berwenang.51

Perlindungan hukum dalam transaksi perbankan, merupakan hal yang patut dikedepankan agar kepentingan para pihak dapat dilindungi. Wujud perlindungan hukum pada dasarnya merupakan upaya penegakan hukum. Penegakan hukum secara konsepsional merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah. Upaya penegakan hukum tidak terlepas dari cita hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (prilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat). Dalam menegakkan hukum terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu unsur keadilan, unsur kemanfaatan dan unsur kepastian hukum.52

Kemajuan teknologi perbankan di Indonesia belakangan ini, membawa konsekuensi masalah yang dialami konsumen perbankan berkisar pada penerapan teknologi tersebut, misalnya penggunaan mesin ATM (Automated Teller Machine) atau Anjungan Tunai Mandiri. Masalah yang dialami nasabah adalah mengenai penarikan tunai (cash advenced) melalui ATM yang tidak dilakukan nasabah, tetapi

51

Munir Fuady, op.cit., hlm.99. 52

Syafruddin Kalo, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Mediasi, disampaikan pada dialog interaktif Mediasi Perbankan kerjasama Bank Indonesia dengan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU. Medan, 21 Desember 2006, hlm.6.


(42)

tercantum dalam perincian tagihan (billing statement) yang disampaikan pihak bank kepada nasabah. Padahal hanya pihak bank dan nasabah saja yang tahu nomor PIN (Personal Identification Number) kartu ATM nasabah yang bersangkutan. Yang mengemuka di sini, kemajuan teknologi perbankan sepintas hanya memberikan keamanan pada pihak bank saja, sedangkan tidak demikian halnya bagi nasabah. Sehingga ide pelayanan terhadap konsumen khususnya nasabah melalui teknologi perbankan hanya menjadi semacam lip service saja.53

Perselisihan yang terjadi antara nasabah dan bank sebenarnya tidak semata-mata masalah kartu kredit. Bank Indonesia mencatat, sengketa bank dan nasabah meliputi masalah dana, kredit, ATM, kartu kredit, ataupun electronic banking

(e-banking). Yang menjadi masalah terbesar adalah masalah kartu kredit dan ATM.

Kasus-kasus ini sering kali terjadi karena banyak hal, antara lain kurang cermatnya nasabah dalam menggunakan dan menjaga keamanan kartu kredit dan ATM-nya. Untuk kartu kredit masalah yang sering dihadapi nasabah mulai dari masalah surat penagihan hingga datangnya debt collector yang dirasakan sudah mengancam keberadaan nasabah.54

Dalam Undang-undang Perbankan tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur masalah perlindungan hukum terhadap simpanan nasabah. Dalam Pasal 29

53

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung : Citra Aditya Bakti,2003), hlm.43.

54

Majalah Info bank : Analisis-Strategi Perbankan dan Keuangan No.345, Desember 2007, Vol.XXIX, hlm.14.


(43)

ayat (1) Undang-undang Perbankan hanya disebutkan, pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia. 55

Hal ini memberi konsekuensi bagi BI untuk lebih efektif dalam melakukan pembinaan dan pengawasan bank. Sebagai lembaga pembina dan pengawas perbankan di Indonesia, BI mempunyai peran yang besar dalam usaha melindungi dan menjamin agar nasabah tidak melakukan tugas dan kewenangannya untuk mengawasi pelaksanaan ketentuan perundang-undangan oleh seluruh bank yang beroperasi di Indonesia. Pengawasan yang efektif dan baik merupakan langkah preventif dalam meminimalisasi kasus-kasus kerugian nasabah karena tindakan bank.56

Tak dilindunginya konsumen sebagai nasabah, sudah terasa sejak konsumen pertama kali berhubungan dengan bank. Hubungan keduanya tidak seimbang. Apalagi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sama sekali tidak mengenal defenisi/rumusan nasabah. Ketika konsumen menjadi kreditur dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan, tak ada agunan apapun yang diberikan bank kepada konsumen, kecuali modal kepercayaan.57

Pada tahun 1998 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diintroduksilah rumusan nasabah dalam Pasal 1 angka 16 , yaitu pihak yang

55

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm.65. 56

Syafruddin Kalo, op.cit., hlm.10. 57


(44)

menggunakan jasa bank. Rumusan ini kemudian diperinci pada angka berikutnya, sebagai berikut:

“Nasabah penyimpan dana adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”. (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998).

“Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”. (Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998).

Posisi konsumen sangatlah lemah dibandingkan dengan posisi bank. Undang-Undang Perbankan mengatur masalah perlindungan nasabah secara sumir. Itu tercermin dalam wewenang Bank Indonesia dalam melakukan pembinaan dan pengawasan bank. Artinya perlindungan terhadap konsumen sebagai nasabah bank, tidak dapat dipisahkan dari upaya menjaga kelangsungan bank dalam sistem perbankan nasional. Perlindungannya tidak diatur secara tegas/eksplisit.58

Perlindungan nasabah ini perlu berkaitan dengan pembentukan sebuah sistem perbankan yang mantap, dan akhirnya bermuara pada sebuah sistem perbankan yang efisien, kuat, dan mantap guna menciptakan stabilitas sistem keuangan yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu perbankan dan nasabah

58


(45)

harus memiliki hubungan yang setara untuk mendukung sistem perbankan yang sehat.

B. Perlindungan Dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia

Sejak Januari 2004 Bank Indonesia telah memiliki sebuah blueprint mengenai tatanan industri perbankan ke depan, yaitu Arsitektur Perbankan Indonesia. Arsitektur Perbankan Indonesia (API) adalah sebuah istilah baru di bidang perbankan nasional, tetapi sebelum itu telah dikenal beberapa istilah lain yang mempunyai arti dan tujuan relatif sama, yaitu blueprint perbankan, landscape perbankan, stratifikasi perbankan, atau pemetaan perbankan nasional. 59

Tujuan utama Arsitektur Perbankan Indonesia adalah untuk menciptakan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Mengenai pentingnya keberadaan Arsitektur Perbankan Indonesia menurut Burhanuddin Abdullah secara kontekstual didasarkan pada tiga alasan, yaitu pertama, bank masih merupakan institusi penting bahkan terpenting dalam menyediakan sumber dana untuk dunia usaha. Fungsi financial intermediary bank, yakni kemampuan untuk mengumpulkan dana masyarakat untuk kemudian membiayai pembangunan ekonomi, menyebabkan perbankan menjadi industri yang penting. Kedua, industri perbankan

59

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana Media Group, 2006), hlm.177


(46)

memiliki potensi risiko yang dapat memicu instabilisasi perekonomian suatu negara bahkan perekonomian global. Ketiga, Arsitektur Perbankan Indonesia juga menggambarkan upaya Bank Indonesia selaku otoritas perbankan untuk lebih transparan dalam kebijakan perbankannya dan merupakan salah satu bentuk dari adanya peningkatan good governance di pihak Bank Indonesia.60

Arsitektur Perbankan Indonesia pada hakekatnya merupakan sebuah rancang bangun perbankan nasional jangka panjang. Untuk mewujudkan rancang bangun yang dikehendaki tersebut, Bank Indonesia mengidentifikasi adanya enam pilar yang telah dijabarkan dan diimplementasikan secara bertahap, yaitu:61

1. Struktur perbankan yang sehat; 2. Sistem pengaturan yang efektif;

3. Sistem pengawasan yang independen dan efektif; 4. Industri perbankan yang kuat;

5. Industri pendukung yang mencukupi; 6. Perlindungan nasabah.

Jika selama ini Bank Indonesia selalu berpijak pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004

60

Ibid., hlm.180-181. 61

Krisna Wijaya, Djoko Retnadi, Konsolidasi Perbankan Nasional : Dari Rekapitulasi

Menuju Arsitektur Perbankan Indonesia (API), (Jakarta: Masyarakat Profesional Madani, 2005),


(47)

dalam pengaturan aspek kehati-hatian bank, maka dengan telah berlaku efektifnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sejak tahun 2001 aspek pengaturan perbankan pun harus diperluas dengan aspek perlindungan dan pemberdayaan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Apabila dilihat dari masa berlaku efektifnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) yaitu tahun 2001, maka sepintas terlihat bahwa Bank Indonesia kurang merespons pemberlakukan undang-undang tersebut. Namun demikian hal ini bukan berarti perlindungan dan pemberdayaan nasabah tidak diperhatikan oleh Bank Indonesia.

Pada satu sisi, UUPK tersebut diberlakukan pada saat Bank Indonesia sedang berupaya keras untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada sistem perbankan, termasuk di dalamnya rekapitalisasi perbankan dan penyempurnaan berbagai ketentuan yang menyangkut aspek kehati-hatian. Sementara itu pada sisi lainnya Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan nasional yang salah satu aspek di dalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi pilar keenam dalam API yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk,


(48)

dan edukasi nasabah. Keempat aspek tersebut dituangkan ke dalam empat program API, yaitu:62

a. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah b. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independen c. Penyusunan standar transparansi informasi produk d. Peningkatan edukasi nasabah

Keempat program di atas saling terkait satu sama lain dan secara bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Secara ideal, implementasi program-program di atas seharusnya dimulai dengan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kegiatan usaha dan produk-produk keuangan dan perbankan. Edukasi ini selain untuk memperluas wawasan masyarakat mengenai industri perbankan juga ditujukan untuk mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pengenalan perencanaan keuangan dan perbankan. Langkah selanjutnya setelah edukasi adalah dilaksanakannya transparansi mengenai karakteristik produk-produk keuangan dan perbankan. Transparansi ini penting dilakukan agar masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi nasabah (calon nasabah) bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai manfaat, risiko, dan biaya-biaya yang terkait dengan suatu produk tertentu sehingga keputusan untuk

62

Muliaman D.Hadad, Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur

Perbankan Indonesia, disampaikan pada diskusi Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Jakarta, 16


(49)

memanfaatkan produk tersebut sudah melalui pertimbangan yang matang dan sesuai dengan kebutuhan calon nasabah.63

Tidak kalah pentingnya dalam upaya peningkatan dan pemberdayaan nasabah ini adalah keberadaan infrastruktur di bank untuk menangani dan menyelesaikan berbagai keluhan dan pengaduan nasabah. Dalam hal ini, bank harus merespon setiap keluhan dan pengaduan yang diajukan nasabah, khususnya yang terkait dengan transaksi keuangan yang dilakukan nasabah melalui bank tersebut. Untuk menghindari berlarut-larutnya penanganan pengaduan nasabah, diperlukan standar waktu yang jelas dan berlaku secara umum di setiap bank dalam menyelesaikan setiap pengaduan nasabah. Standar waktu ini harus ditentukan sedemikian rupa sehingga dapat dipenuhi dengan baik oleh bank dan tidak menimbulkan kesan bahwa pengaduan tidak ditangani dengan semestinya oleh bank.64

Walaupun secara ideal program-program perlindungan dan pemberdayaan nasabah seharusnya dimulai dengan edukasi kepada masyarakat, Bank Indonesia merasa perlu untuk memprioritaskan program-program lainnya terlebih dahulu, yaitu penanganan pengaduan nasabah, transparansi informasi produk perbankan, dan pembentukan lembaga mediasi perbankan independen.

Penerbitan PBI Nomor 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang ”Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” dan PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan

63 Ibid. 64


(50)

Nasabah yang menjadi bagian Paket Kebijakan Perbankan Januari 2005 dan PBI Nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Mediasi Perbankan sebagai bagian Paket Kebijakan Perbankan Januari 2006 merupakan realisasi dari upaya Bank Indonesia untuk menyelaraskan kegiatan usaha perbankan dengan amanat UUPK yang mewajibkan adanya kesetaraan hubungan antara pelaku usaha (bank) dengan konsumen (nasabah). Sebagai bagian dari Paket Kebijakan Perbankan, penerbitan ketiga ketentuan tersebut akan dapat membawa dimensi baru dalam pengaturan perbankan dengan turut pula mempengaruhi perkembangan perbankan nasional ke depan.

Daryono Raharjo Komisaris Bank BTN65 mengatakan bahwa untuk melindungi nasabah maka bank harus mampu membuat produk yang berkualitas, menyampaikan kebenaran dan mengurangi informasi yang tidak benar. Program peningkatan perlindungan nasabah dapat dilakukan melalui:

1. Menyusun standar mekanisme pengaduan nasabah, dangan menetapkan persyaratan minimum mekanisme pengaduan nasabah;

2. Membentuk lembaga mediasi independen, dengan memfasilitasi pendirian lembaga mediasi perbankan;

3. Menyusun transparansi informasi produk, dengan memfasilitasi penyusunan standar minimun transparansi informasi produk bank;

4. Mempromosikan edukasi konsumen, dengan mendorong bank-bank untuk melakukan edukasi kepada konsumen mengenai produk-produk finansial.

65


(51)

Pada awal digulirkannya gagasan pembentukan lembaga mediasi perbankan ini sebagian kalangan perbankan memang memandang bahwa langkah itu akan memperberat posisi mereka. Padahal sebenarnya adanya lembaga seperti ini justru akan memperkuat posisi perbankan dihadapan nasabah. Hal ini justru akan memperkuat daya saing perbankan66

Oleh karena itu Satya Arinanto dalam Diskusi Terbatas mengenai Mediasi Perbankan mengatakan :

Paradigma seperti inilah yang harus dirubah. Perbankan dan nasabah harus memiliki hubungan yang setara karena hal ini memang menjadi syarat dari sistem perbankan yang sehat. Dengan adanya lembaga ini justru akan menghemat biaya dan tetap menjaga reputasi perbankan. Kehadiran lembaga ini akan menjadi suatu peringatan dini bagi perbankan terkait dengan kemungkinan ancaman risiko dan menjadi alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik. Dengan adanya lembaga ini, perbankan harus memperlakukan kalangan nasabah secara equal, baik nasabah yang kecil maupun besar. Selama ini pihak bank lebih cenderung memperhatikan nasabah yang besar, padahal kelompok ini yang lebih sering berpotensi memunculkan kredit bermasalah.67

Pada PBI Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, Bank Indonesia mewajibkan seluruh bank untuk menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang terkait dengan adanya potensi kerugian finansial pada sisi nasabah. Dalam PBI ini diatur mengenai tatacara penerimaan, penanganan, dan juga pemantauan penyelesaian pengaduan. Selain itu, bank diwajibkan pula untuk

66

Satya Arinanto, Beberapa Catatan tentang Mediasi Perbankan, disampaikan dalam Diskusi Terbatas mengenai Mediasi Perbankan kerjasama Bank Indonesia dan Universitas Sumatera Utara, Medan, 15 Februari 2007.

67 Ibid.


(52)

memberikan laporan triwulan kepada Bank Indonesia mengenai pelaksanaan penyelesaian pengaduan nasabah tersebut.

Dalam Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, menyebutkan:

(1) Bank wajib menerima setiap pengaduan yang diajukan oleh nasabah dan atau perwakilan nasabah yang terkait dengan transaksi keuangan yang dilakukan nasabah.

(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis dan atau lisan.

(3) Dalam hal pengaduan dilakukan secara tertulis, maka pengaduan tersebut wajib dilengkapi fotocopi identitas dan dokumen pendukung lainnya.

(4) Pengaduan yang dilakukan secara lisan wajib diselesaikan dalam waktu 2 (dua) hari kerja.

Dengan laporan nasabah atau perwakilan nasabah68 tersebut, selanjutnya kewajiban bank untuk menyelesaikan masalah nasabah dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal penerimaan pengaduan tertulis.69 Hasilnya disampaikan kepada nasabah atau perwakilan nasabah. Bank yang menerima dan menyelesaikan pengaduan nasabah wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia.

Untuk memastikan bahwa bank telah melaksanakan ketentuan penyelesaian pengaduan nasabah, maka setiap triwulan bank diwajibkan menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai kasus-kasus pengaduan yang sedang dan telah diselesaikan oleh bank. Laporan ini nantinya akan disusun sedemikian rupa sehingga

68

Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan (walk-in customer), sedangkan perwakilan nasabah adalah perseorangan, lembaga dan atau badan hukum yang bertindak untuk dan atas nama nasabah dengan berdasarkan surat kuasa khusus dari nasabah. Lihat Pasal 1 angka 2 dan 3 PBI Nomor 7/7/PBI/2005.

69


(53)

akan mudah diketahui produk apa yang paling bermasalah dan jenis permasalahan yang paling sering dikemukakan nasabah. Melalui laporan ini pula Bank Indonesia akan dapat memantau permasalahan yang kemungkinan dapat berkembang menjadi permasalahan yang bersifat sistemik sehingga dapat segera dilakukan langkah-langkah preventif untuk mencegah ekskalasi permasalahan yang dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan.

Sanksi yang diberikan terhadap bank yang melanggar ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam PBI Nomor 10/10/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah termuat dalam Pasal 17 yaitu dikenakan sanksi administatif sesuai dengan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis dan terhadap pelanggaran tersebut diperhitungkan dengan komponen penilaian tingkat kesehatan bank.

C. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam Peraturan Bank Indonesia Tentang Mediasi Perbankan

1. Pengaturan Mediasi Perbankan Oleh Bank Indonesia

Penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia, melalui Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan. Regulasi berkenaan dengan mediasi perbankan telah pula diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Hal ini sejalan dengan pengaturan kewenangan Bank Indonesia dalam


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrachman, A., Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Jakarta: Pradnya Paramita,1993.

Abdurrasyid, H.Priyatna, Arbitrase & Alternative Penyelesaian Sengketa: Suatu

Pengantar, Jakarta: Fikahati Aneka, 2002.

Ali, Achmad, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Jakarta: IBLAM, 2004.

Bako, Ronny Sautma Hotma, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk

Tabungan dan Deposito (Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan Di Indonesia Dewasa Ini), Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Bintang, Sanusi, Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

BPHN, Departemen Kehakiman-RI Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank, Jakarta: BPHN, 1993/1994.

Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia : Hukum

Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Alih Bahasa Tristam

P.Moeliono, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

Campbell, Henry, Blacks Law Dictionary, 6th edition , St.Paul :.Minn West publishing Co, 1990.

Corley, Robert N., O.Lee Reed, The Legal Environment Of Business, New York: MgGraw-Hill Book Company, 1987.

Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,2003.

Fisher, Bruce D., Marianne Moody Jennings, Law For Business, St.Paul: West

Publishing Company,1986.


(2)

Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Buku Kesatu, Bandung: Citra Adytia Bakti,2003.

___________, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Goodpaster, Garry, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa: Seri Dasar-dasar

Hukum Ekonomi Arbitrase di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995.

Head, John W., Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Jakarta: Proyek ELIPS, 1997. Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta : Kencana Media

Group,2006.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : Kanisius, 1982.

Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayumedia, 2006.

Kelsen, Hans, Teori Umum Hukum dan Negara, Alih bahasa oleh Somardi , Jakarta : Bee Media Indonesia, 2007.

Khairandy, Ridwan, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2004.

Lubis,M.Solly, Filsafat Hukum dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju,1994.

Margono, Suyud, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.

Moore, Christopher W., The Mediation Process : Practical Strategies for Resolving

Conflict, San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1996.

Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Jakarta: IBLAM, 2006.

M.Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian

Sengketa, Jakarta: Sinar Grafika, 1997.

Nolan-Haley, Jacqueline M., Alternative Dispute Resolution In Arbitration Nushell, ST.Paul, Minn: West Publishing Co, 1992.


(3)

Pardede, Marulak, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.

Rasjidi, Lili, I.B.Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, 2003.

Salman, H.R.Otje, Anton F.Susanto, Teori Hukum :Mengingat,Mengumpulkan dan

Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama, 2004.

Sembiring, Sentosa, Hukum Perbankan, Bandung: Mandar Maju, 2000.

Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Bandung : Citra Aditya Bakti,2003.

Sitompul, Zulkarnain, Problematika Perbankan, Bandung: Books Terrace & Library, 2005.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press,1986.

___________, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Soemartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Subekti, R., R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001.

Tim Penyunting Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, Kamus Hukum Ekonomi ELIPS , Jakarta: ELIPS Project,1997.

Widjaya, Gunawan & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Wijaya, Krisna, Djoko Retnadi, Konsolidasi Perbankan Nasional : Dari Rekapitulasi

Menuju Arsitektur Perbankan Indonesia (API), (Jakarta: Masyarakat


(4)

Seminar/Artikel:

Arinanto, Satya, Beberapa Catatan tentang Mediasi Perbankan, disampaikan dalam Diskusi Terbatas mengenai Mediasi Perbankan kerjasama Bank Indonesia dan Universitas Sumatera Utara, Medan, 15 Februari 2007.

Hadad, Muliaman D., Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam

Arsitektur Perbankan Indonesia, disampaikan pada diskusi Badan

Perlindungan Konsumen Nasional, Jakarta, 16 Juni 2006.

Kalo, Syafruddin, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Mediasi, Disampaikan pada dialog interaktif Mediasi Perbankan kerjasama Bank Indonesia dengan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU. Medan, 21 Desember 2006.

Nasution, Bismar, Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dan Nasabah, disampaikan pada Diskusi Terbatas Mediasi Perbankan, diselenggarakan oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tiara Convention Center Medan, Kamis, 14 Februari 2007.

___________, Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui Mediasi, disampaikan pada Dialog Interaktif PERMA No.2 Tahun 2003 tentang Mediasi di Pengadilan, Medan 2003.

Nugroho, Susanti Adi, Mediasi Perbankan, disampaikan pada Diskusi Terbatas Mengenai Mediasi Perbankan Kerjasama Bank Indonesia dengan Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, 12 April 2007.

Purba, A.Zen Umar, Mediasi Dalam Sengketa Perbankan Perbansingan dengan

Bidang Pasar Modal, disampaikan pada Diskusi Terbatas Mengenai Mediasi

Perbankan kerjasama antara BI dan FH USU, Medan, 15 Februari 2007. Rahardjo, Satjipto, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching

Order Finding Disorder), Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai guru besar

tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 15 Desember 2000.

Soebagjo, Felix Oentoeng, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dibidang Perbankan, Bahan Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi


(5)

Perbankan”. Kerjasama Magister Hukum Bisnis Dan Kenegaraan UGM Yogyakarta dan BI, Yogyakarta, 21 Maret 2007.

Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan

Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap

dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, Medan, 2 September 2006.

___________, Mediasi Perbankan, Disajikan dalam Diskusi Terbatas, Kerjasama Bank Indonesia Dan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, tanggal 21 Desember 2006.

Majalah/Jurnal

Majalah Info bank : Analisis-Strategi Perbankan dan Keuangan No.345, Desember 2007, Vol.XXIX.

Hadad, Muliaman D., Menanti Mediator Bank-Nasabah, BEI NEWS Edisi 23 Tahun V, November-Desember 2004.

Adam, Siti Megadianty dan Clarita Degrantini, Mediasi Sebagai Alternatif

Penyelesaian Sengketa, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Delik 2003.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


(6)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Situs Internet

Azis, Acram M., Hak Dasar Nasabah, http://cetak.fajar.co.id diakses tanggal 8 Juli 2008.

Satrio, Dimas & Gatot Murdoko, Harmonisasi Bilateral Bank dan Nasabah, http://www.wawasandigital.com, diakses tanggal 8 Juli 2008.

Sugiarto, Agus, Membangun Fundamental Perbankan Yang Kuat, http://www.ppatk.go.id, diakses tanggal 8 Juli 2008.

Thirzano, Yudir, Menanti Lembaga Mediasi Independen, Masih Terkendala SDM

dan Pendanaan, http://www.surya.co.id, diakses tanggal 10 Juli 2008.

Williarsih, Sefti Weblog, Perlindungan Kepentingan Nasabah dan Pentingnya

Menjaga Reputasi Bank, http://www.worldpress.com, diakses tanggal 8 Juli

2008.

http://www.BI.go.id, diakses 31 Maret 2008.

http://consumerpluss.wordpress.com, diakses tanggal 8 Juli 2008. http://www.perbanasinstitude.ac.id, diakses tanggal 8 Juli 2008. http:/www.hukumonline.com, diakses tanggal 10 Juli 2008. http://www.inilah.com diakses tanggal 10 Juli 2008.

Ideal, Mediasi Perbankan dikelola Asosiasi Bank, Senin, 31 Maret 2008,

http://www.kompas.com, diakses tanggal 8 Juli 2008.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/06/finansial/1190455.htm, diakses tanggal 10 Oktober 2007.