Peran Bank Indonesia (BI) Dalam Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dengan Nasabah

(1)

PERAN BANK INDONESIA (BI) DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA ANTARA BANK DENGAN NASABAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

OLEH

SISKA SIAGIAN

060200221

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERAN BANK INDONESIA (BI) DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA ANTARA BANK DENGAN NASABAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

OLEH

SISKA SIAGIAN

060200221

Disetujui Oleh :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. Muhammad Hayat, S.H. NIP : 196204211988031004 NIP : 195008081980021001

Diketahui oleh:

Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. NIP : 196204211988031004


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/I yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah : “Peran Bank Indonesia (BI) Dalam Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dengan Nasabah”. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi maupun penulisan dari skripsi ini.

Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., M. Hum., sebagai Pembantu Umum Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M. Hum, DMF, sebagai Pembantu Umum Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak Muhammad Husni, SH., M. Hum., sebagai Pembantu Umum Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello,S.H., M.S., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata pada fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktu untuk membimbing serta memberikan masukan-masukan dan ilmu pengetahuan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Muhammad Hayat, S.H., selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktu untuk membimbing serta memberikan masukan-masukan dan ilmu pengetahuan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Berlin Nainggolan, SH., M. Hum., selaku dosen wali Penulis di Fakultas Hukum Universitas Suimatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.

8. Buat seluruh pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terutama buat Ibu Ayu sebagai pegawai stmbuk yang selalu membantu penulis dalam pengurusan berkas studi.

9. Buat Bapak Saryo, S.H. selaku karyawan Bank Indonesia yang telah membantu penulis dalam mendapatkan data-data yang dibutuhkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Penghargaan dan rasa hormat penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Sarli Omega dan Ibu Nurhayati Baringbing, sebagai orang tua penulis yang sangat dicintai, terima kasih atas doa dan kasih saying yang telah diberikan selama


(5)

ini dengan ketulusan hati dan terimakasih telah mendidik penulis hingga dapat menjadi seperti sekarang.

11.Buat adikku Lisda Siagian, Risma Siagian dan Alfandri Siagian. Terima Kasih atas perhatian, kasih, motifasi dan pengertiannya selama ini.

12.Buat R. Daniel Aritonang, S.H. terima kasih buat semua yang sudah diberikan kepada penulis, baik kesabaran, pengertian dan kasih sayang selama ini.

13.Buat Angga Benhardi Aritonang yang telah mendukung dan memotifasi penulis selama ini.

14.Buat Witra, Maria, Rentha, Ingrid dan Selamat Teguh yang telah menjadi teman penulis sejak pertama sekali kuliah, yang telah banyak membantu dan mendukung penulis.

15.Buat semua civitas GMKI, yang telah banyak membantu dan memberikan banyak pengalaman kepada penulis selama ini.

16.Buat abang-abang dan kakak-kakak stambuk: Bang Sahala, Kak Anju, Bank langlang Buana, Kak Kiris,Bang Okber dan yang tidak dapat penulis uraikan satu persatu yang telah banyak membantu dan membimbing penulis.

17.Buat kawan-kawan stambuk 06 : Devi, Maria Arbina, Pince, Paulina, Randi Kandera, Corry, Debora, dan. yang tidak dapat penulis uraikan satu persatu yang telah banyak membantu dan membimbing penulis selama ini.

Medan, Februari 2010 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI………... iv

ABSTRAKSI……….. vi

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang……….… 1

B. Perumusan Masalah……….……… 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….……… 8

D. Keaslian Penulisan……….……….. 9

E. Tinjauan Kepustakaan….………. 10

F. Metode Penelitian……….……… 14

G. Sistematika Penulisan………….……….. 16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ANTARA BANK DENGAN NASABAH………. . 19

A. Pengertian Bank dan Nasabah………..……… 19

B. Sahnya Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah………. 28

C. Perlindungan Nasabah Selaku Konsumen………..….. 33

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SENGKETA DAN SENGKETA PERBANKAN……….………….…... 46


(7)

B. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Litigasi ………..…... 50

C. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non Litigasi ………... 56

BAB IV PERANAN BANK INDONESIA (BI) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BANK DENGAN NASABAH DAN KEKUATAN HUKUM PUTUSAN DARI MEDIASI PERBANKAN……….... 69

A. Sejarah Bank Indonesia (BI)...……….. 69

B. Peran Bank Indonesia (BI) dalam Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dengan Nasabah Menurut PBI No.7/7/PBI/2005 Mengenai Penyelesaian Pengaduan Nasabah……….. 76

C. Peran Bank Indonesia (BI) dalam Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dengan Nasabah Menurut PBI No. 8/5/PBI/2006 jo PBI No. 10/1/PBI/2008 Mengenai Mediasi Perbankan……… 80

D. Kekuatan Hukum Kekuatan Hukum Putusan Perdamaian Melalui Mediasi Perbankan ……….……… 90

BAB V PENUTUP………..…………..…….. 94

E. Kesimpulan……….. 94

F. Saran……….… 97


(8)

ABSTRAKSI

Semakin pesatnya perkembangan di dunia perbankan, maka semakin membuka kemungkinan terjadinya sengketa yang dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank. Penyelesaian sengketa perbankan biasanya diselesaikan melalui jalur litigasi. Namun dalam perkembangannya, penyelesaian secara litigasi dianggap terlalu lamban dan tidak dapat menyelesaikan sengketa. Oleh sebab itu, para pihak yang bersengketa mencari penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi.

Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analitis yang disertai dengan riset ke Bank Indonesia Medan. Pada tahap awal penelitian dilakukan dengan mempelajari berbagai literature dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Penulis melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan metode library research (penelitian kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini. Di tahap selanjutnya penulis melakukan riset ke Bank Indonesia Medan untuk memperoleh data yang diperlukan, hal ini dilakukan dengan melakukan wawancara dengan Bapak Saryo, S.H. selaku Pengawas Bank Muda.

Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang bertugas sebagai pengatur dan pengawas bank memiliki kewenangan untuk membuat suatu peraturan dibidang perbankan. Dengan kewenangan itu, Bank Indonesia mengeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia yang berorientasi kepada perlindungan terhadap nasabah seperti PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan PBI Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan.

PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah diharapkan keaktifan dari suatu bank untuk menyelesaikan sengketanya dengan nasabah secara mekanisme internal dan memberikan laporan per triwulan kepada Bank Indonesia. Sedangkan dalam PBI Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan, Sengketa perbankan yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme pengaduan nasabah, dapat diselesaikan dengan mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia sebagai mediator. Setelah mencapai kesepakatan dalam mediasi perbankan,maka hasilnya dituangkan dalam suatu akta.

1. Peran Bank Indonesia (BI) Kata kuncinya :

2. Penyelesaian sengketa 3. Bank, nasabah


(9)

ABSTRAKSI

Semakin pesatnya perkembangan di dunia perbankan, maka semakin membuka kemungkinan terjadinya sengketa yang dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank. Penyelesaian sengketa perbankan biasanya diselesaikan melalui jalur litigasi. Namun dalam perkembangannya, penyelesaian secara litigasi dianggap terlalu lamban dan tidak dapat menyelesaikan sengketa. Oleh sebab itu, para pihak yang bersengketa mencari penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi.

Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analitis yang disertai dengan riset ke Bank Indonesia Medan. Pada tahap awal penelitian dilakukan dengan mempelajari berbagai literature dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Penulis melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan metode library research (penelitian kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini. Di tahap selanjutnya penulis melakukan riset ke Bank Indonesia Medan untuk memperoleh data yang diperlukan, hal ini dilakukan dengan melakukan wawancara dengan Bapak Saryo, S.H. selaku Pengawas Bank Muda.

Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang bertugas sebagai pengatur dan pengawas bank memiliki kewenangan untuk membuat suatu peraturan dibidang perbankan. Dengan kewenangan itu, Bank Indonesia mengeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia yang berorientasi kepada perlindungan terhadap nasabah seperti PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan PBI Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan.

PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah diharapkan keaktifan dari suatu bank untuk menyelesaikan sengketanya dengan nasabah secara mekanisme internal dan memberikan laporan per triwulan kepada Bank Indonesia. Sedangkan dalam PBI Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan, Sengketa perbankan yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme pengaduan nasabah, dapat diselesaikan dengan mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia sebagai mediator. Setelah mencapai kesepakatan dalam mediasi perbankan,maka hasilnya dituangkan dalam suatu akta.

1. Peran Bank Indonesia (BI) Kata kuncinya :

2. Penyelesaian sengketa 3. Bank, nasabah


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perbankan menjadi salah satu pilar yang penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia pada saat ini. Undang-Undang perbankan mulai disahkan sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya diubah lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya disebut UUP, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang selanjutnya disebut UUPS.

Sektor Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan agen pembangunan (agent of development), karena bank merupakan lembaga keuangan yang memiliki fungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) yakni sebagai lembaga yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Di samping itu perbankan juga merupakan agen kepercayaan (agent of trust) mengingat adanya salah satu prinsip pengelolaan bank yakni prinsip kepercayaan (fiduciary principle).

Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah didasarkan pada prinsip kepercayaan, akan tetapi dalam praktiknya seringkali tidak dapat


(11)

dihindarkan adanya sengketa (dispute) di antara mereka. Perselisihan dan sengketa diantara dua pihak yang melakukan hubungan kerjasama mungkin saja terjadi. Terjadinya perselisihan dan sengketa ini sering kali disebabkan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik ataupun karena ada pihak yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya.

Dari berbagai pengalaman yang ada, timbulnya konflik tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu1

i. informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank,

:

ii. pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan yang masih kurang,

iii. ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana, dan

iv. tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank.

Sebuah konflik, yakni sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam rasa tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengkata bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas

1

Muliaman D. Hadad, Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia, http: //www.google.com, available on 17 november 2006, hlm. 1.


(12)

atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain2

Sengketa Perbankan bisaaanya berawal dari terjadinya komplain yang diajukan nasabah kepada bank karena merasa dirugikan secara finansial. Upaya yang dilakukan nasabah antara lain dengan datang langsung ke bank, menelpon

.

Secara umum berbagai pihak menilai bahwa masih belum terdapat kesetaraan kedudukan antara Bank dan Nasabah sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum yang timbul dari transaksi keuangan yang ditawarkan bank. Pada umumnya nasabah sebagai pihak pengguna jasa berada pada posisi yang lemah dan lebih rendah dibandingkan dengan pihak bank sebagai penyedia jasa. Hal ini terutama dapat dilihat apabila terdapat perbedaan pendapat atau perselisihan antara nasabh dengan bank mengenai pencatatan, perhitungan dan atau fakta yang terkait dengan transaksi keuangan.Apabila pihak nasabah mengajukan keberatan (complaint) atas perbedaan tersebut, pada umumnya pihak nasabah hanya bersikap pasif terhadap penyelesaian yang diberikan oleh pihak bank. Apabila pihak nasabah merasa tidak puas dengan respon dan atau penyelesaian yang diupayakan oleh bank nasabah bisaaanya hanya pasrah atau mengungkapkan rasa ketidakpuasannya melalui media masa. Melalui sarana media masa, nasabah yang merasa dirugikan oleh bank pada umumnya menghimbau kepada nasabah lain untuk lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi dengan suatu bank. Publikasi negatif tersebut pada gilirannya dapat menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi bank.

2

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 1.


(13)

pada call center bank yang bersangkutan, menulis di media cetak misalnya pada surat pembaca, atau menyampaikan keluhan secara tertulis langsung kepada bank.

Sebagai contoh seperti yang termuat dalam sebuah surat harian Kompas 6/2/2006, terdapat keluhan nasabah Bank Mandiri yang bernama Herri Okstarizal bertempat tinggal di Jalan Jambu Gang Rambe No 45, Pematangsiantar, Sumatera Utara. Secara singkat, masalah yang dihadapi oleh nasabah tersebut adalah berkurangnya saldo tabungan, padahal nasabah tidak pernah mengambil uang dari tabungannya, baik melalui buku tabungan maupun melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Sampai ditulisnya artikel ini, belum ada publikasi jawaban yang disampaikan oleh Bank Mandiri ke Harian Kompas. Pada hari yang berbeda Kompas (9/2/2006) menampilkan sebuah jawaban yang disampaikan oleh Bank Central Asia (BCA) terhadap keluhan nasabahnya tentang adanya penggandaan kartu sebagai berikut: “Sehubungan dengan surat di Kompas (1/12/2005) Penggandaan Kartu Kredit BCA atas nama Bapak Agus Syahabuddin perlu diinformasikan, BCA Card Center telah berupaya menjelaskan dan menyelesaikan permasalahan Bapak Agus Syahabuddin sebagaimana surat penyelesaian kepada Bapak Agus Syahabuddin Nomor 9591/DKK-ULN/06 tertanggal 5 Januari 2006”.

Di sisi lain terkadang ada bank yang kurang memperhatikan pengaduan nasabah, atau bahkan mengabaikannya. Padahal bank memiliki kewajiban untuk menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang ada sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/10/PBI/2008.


(14)

Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah pada praktiknya tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dapat diakibatkan oleh tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi bank baik seluruhnya maupun sebagian mengingat lembaga Pengaduan Nasabah berada pada internal bank yang bersangkutan sehingga penyelesaiannya merupakan kebijakan bank tempat nasabah melakukan kegiatan transaksi keuangan. Ketika nasabah menerima putusan yang diberikan oleh bank tersebut maka permasalahan selesai. Akan tetapi terkadang ada nasabah yang merasa bahwa bank tidak memberikan solusi seperti yang diinginkannya sehingga pada gilirannya berbagai cara akan ditempuh antara lain melaporkan kepada Lembaga Konsumen, Lembaga Ombudsman, mengajukan gugatan secara perdata, bahkan terkadang ada nasabah yang melaporkan bank kepada polisi.

Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi pada umumnya “lambat”, buang waktu lama, diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangat formalistik dan juga sangat teknis sekali. Selain itu, arus perkara semakin deras, sehingga peradilan dijejali dengan beban yang terlampau banyak3

Walaupun telah menempuh jalur litigasi, namun kadang kala nasabah masih belum mendapatkan solusi yang diinginkannya. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat permusuhan (adversarial) yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru,

.

3

M. Yahya Harahap , Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradila ndan Penyelesaian Sengketa , (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 148.


(15)

lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa4

Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menggantikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 bahwa tujuan utama Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Kestabilan nilai rupiah dan nilai tukar yang wajar merupakan sebagian prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan perekonomian yang berkesinambungan

.

Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, perbankan diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk menetapkan peraturan dan perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha bank serta mengenakan sanksi terhadap bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dasar hukum tentang keberadaan, tugas, dan kewenangan Bank Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 6 tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang.

5

4

Ibid. 5

Frianto Pandia, Elly Santi, Achmad Abror, Lembaga Keuangan , (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2005), hlm. 21.

. Sebagai realisasi untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia mempunyai tugas antara lain mengatur dan mengawasi bank serta melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan dan harus mempertimbangkan kebijaksanaan umum pemerintah di bidang perekonomian. Untuk melaksanakan tugas tersebut Bank


(16)

Indonesia diberi kewenangan untuk menetapkan peraturan, memberikan atau mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan Bank Indonesia sebagai regulator dan supervisi tersebut dapat diwujudkan antara lain berupa pemberian pengaturan terkait dengan penyelesaian sengketa antara nasabah dan perbankan. Hal ini sejalan dengan salah satu pilar yang terdapat dalam Aristektur Perbankan Indonesia, yaitu Perlindungan Konsumen berupa nasabah bank.

Untuk mengatasi sengketa-sengketa perbankan yang semakin merebah, maka pada tahun 2005, Bank Indonesia mengeluarkan sebuah peraturan, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/10/PBI/2008. Namun sering sekali bank kurang memperhatikan hal ini sehingga banyak nasabah yang merasa dirugikan merasa tidak puas dengan putusan-putusan yang dikeluarkan oleh bank yang bersangkutan.

Untuk mengatasi masalah itu, maka pada tahun 2006, Bank Indonesia kembali mengeluarkan peraturan baru, yaitu PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008. Mediasi Perbankan ini merupakan upaya lanjutan (fase 2) dari upaya penyelesaian pengaduan nasabah (fase 1) yang tidak terselesaikan secara internal oleh bank. Dengan demikian sebelum menempuh proses mediasi terlebih dahulu pihak nasabah harus telah mengajukan pengaduan kepada bank yang


(17)

bersangkutan dan ketika tidak menerima putusan dari lembaga pengaduan yang ada di internal bank, baru kemudian pihak nasabah diperkenankan untuk menyelesaian sengketa dimaksud ke lembaga Mediasi Perbankan.

BI mensyaratkan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 pada pasal 3 angka ( 2 ) agar lembaga mediasi perbankan yang independen sudah dapat dibentuk paling lambat 31 Desember 20076

B. Perumusan Masalah

. Sambil menunggu terbentuknya lembaga mediasi tersebut, BI akan bertindak sebagai lembaga mediasi perbankan yang akan memfasilitasi proses penyelesaian sengketa nasabah dengan bank yang tidak dapat diselesaikan secara bilateral antara nasabah dengan bank yang untuk sementara ini dijalankan oleh Bank Indonesia (BI).

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis membuat penelitian hukum yang mengambil judul sebagai berikut : “Peran Bank Indonesia ( BI ) Dalam Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dengan Nasabah “.

Setelah menguraikan latar belakang pemilihan judul skripsi, penulis akan merinci permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Adapun pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peran Bank Indonesia dalam penyelesaian sengketa antara bank dengan nasabah menurut PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian

6

Bank Indonesia mensyaratkan dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 agar lembaga mediasi perbankan sudah dibentuk paling lambat 31 Desember 2007. Namun karena telah lewat 31 Desember 2007 belum terbentuknya lembaga ini, maka PBI ini diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008, dengan mencabut pasal 3 ayat (2) PBI No. 8/5/PBI/2006.


(18)

Pengaduan Nasabah dan PBI No. 8/5/PBI/2006 jo PBI No.10/1/PBI/2008 tentang Mediasi Perbankan?

2. Bagaimana kekuatan hukum putusan perdamaian melalui mediasi perbankan?

C. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui peran Bank Indonesia dalam penyelesaian sengketa antara bank dengan nasabah menurut PBI No. 7/7/PBI/2005 dan PBI No. 8/5/PBI/2006 jo PBI No.10/1/PBI/2008?

2. Untuk mengetahui kekuatan hukum putusan perdamaian melalui mediasi perbankan?

Adapun penulisan ini dilakukan diharapkan bermanfaat untuk :

1. Memperluas pengetahuan penulis dalam bidang keperdataan terutama tentang penyelesaian sengketa antara bank dengan nasabah serta perkembangannya seiring dengan berkembangnya perbankan dalam era globalisasi, termasuk di Indonesia.

2. Hasil penulisan ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran dalam suatu karya ilmiah berbentuk skripsi, yang dapat bermanfaat bagi masyarakat yang membaca skripsi ini mengenai prosedur penyelesaian sengketa antara bank dengan nasabah.

3. Hasil penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Bank Indonesia dalam menyelesaikan sengketa antara bank dengan nasabah.


(19)

Sehingga kepentingan bank maupun nasabah sama-sama terlindungi dan tidak ada hak yang dilanggar demi tercapainya keadilan dan keseimbangan keduduka n antara bank dengan nasabah.

D. Keaslian Penulisan

Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat sebagai pemenuhan syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum, maka seyogianya skripsi ditulis berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa melakukan tindakan peniruan (plagiat) baik sebagian atau keseluruhan dari karya orang lain. Dengan demikian penulis berdasarkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki dapat menjamin keaslian skripsi yang berjudul “ Peran Bank Indonesia ( BI ) Dalam Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dengan Nasabah “ ini sebagai karya tulis ilmiah yang asli ( original ) dan benar-benar merupakan hasil pemikiran dan usaha dari penulis tanpa meniru atau plagiat.

E. Tinjauan Kepustakaan

Sejalan dengan skripsi ini, maka perlu bagi penulis untuk memberikan pengertian tentang judul skripsi ini, agar tidak menimbulkan keragu-raguan sebelum hinnga pada akhir pembahasan dalam penyusunan lebih lanjut pada bab-bab berikutnya.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dikatakan bahwa perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,


(20)

mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak seperti yang terurai dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

G. M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik menyatakan7

Bank sebagai suatu lembaga intermediasi yaitu suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana membawa konsekuensi pada timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Dari sisi pihak yang memiliki kelebihan dana, interaksi dengan bank terjadi pada saat pihak yang kelebihan dana tersebut menyimpan dananya pada bank dalam bentuk giro, tabungan, deposito, sementara dari sisi pihak yang memerlukan dana interaksi terjadi pada saat pihak yang memerlukan dana tersebut meminjam dana dari bank guna keperluan tertentu. Interaksi antara bank dengan konsumen pengguna jasa

:

“Bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.”

7


(21)

perbankan (selanjutnya disebut dengan nasabah) dapat pula mengambil bentuk lain pada saat nasabah melakukan transaksi jasa perbankan selain penyimpanan dan peminjaman dana.

Dalam interaksi yang demikian intensif antara bank dengan nasabah di atas, bukan suatu hal yang tidak mungkin apabila terjadi konflik yang apabila tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank.

Schuyt mengemukakan :

“konflik merupakan situasi yang didalamnya dua pihak atau lebih mengejar tujuan-tujuan yang satu dengan yang lain yang tidak dapat diselesaikan dan dimana mereka dengan daya upaya mencoba dengan sadar menentang tujuan-tujuan pihak lain.”8

Konflik adalah setiap situasi dimana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain gagal mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak saling berusaha untuk memperjuangkan secara sadar tujuan-tujuan pokok mereka

Menurut Achmad Ali :

9

8

Achmad Ali, Sosiologo Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: IBLAM,2004), hlm. 63.

9

Ibid., hlm.64.

.

Pasal 1 angka 4 PBI Nomor 8/5/PBI/2006 menyebutkan bahwa sengketa adalah permasalahan yang diajukan nasabah atau perwakilan nasabah kepada penyelenggara mediasi perbankan, setelah melalui proses penyelesaian pengaduan oleh bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.


(22)

Gary Goodpaster dalam “Tinjauan terhadap penyelesaian sengketa” dala buku Arbitrase di Indonesia mengatakan10

Untuk menyikapi permasalahan tersebut, maka Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam berhubungan dengan bank. Mengingat pentingnya permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan oleh Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004. API sendiri merupakan suatu cetak biru sistem perbankan nasional yang terdiri dari enam pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam

:

“Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Karena adanya konsekuensi itu, maka sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi mereka.” Untuk menyelesaikan sengketa tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara litigasi dan non litigasi. Litigasi merupakan penyelesaian sengketa hukum melalui jalur pengadilan sedangkan non litigasi adalah penyelesaian sengketa hukum melalui jalur luar pengadilan. Apabila ingin menempuh jalur non litigasi, maka Bank Indonesia memfasilitasinya. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

10

Gunawan Widjawa & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.3.


(23)

rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API adalah:

a. struktur perbankan yang sehat, b. sistem pengaturan yang efektif,

c. sistem pengawasan yang independen dan efektif, d. industri perbankan yang kuat,

e. infrastruktur yang mencukupi, dan f. perlindungan nasabah.

Sebagai Bank Sentral, Bank Indonesia memiliki wewenang menetapkan peraturan perbankan termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat perinsip kehati-hatian11

Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan

. Dengan adanya kewenangan ini, maka Bank Indonesia menetapkan 2(dua) peraturan untuk mengatasi sengketa perbankan ini, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, dan Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008.

Pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan Nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada Nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank seperti yang tertulis dalam pasal 1 angka 4 PBI Nomor 7/7/PBI/2005.

11


(24)

transaksi keuangan ( walk-in customer ) yang tertulis dalam pasal 1 angka 2 PBI Nomor 8/5/PBI/2006.

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan yang sesuai dengan pasal 1 angka 5 PBI Nomor 8/5/PBI/2006.

Goodpaster menyatakan12

F. Metode Penelitian

:

“Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja dengan para pihak yang besengketa, membantu mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.”

Pada pasal 1 angka 8 PBI Nomor 8/5/PBI/2006, setelah dilakukan mediasi, maka hasil kesepakatan tersebut dituang dalam suatu akta yang disebut dengan Akta Kesepakatan. Akta Kesepakatan adalah dokumen tertulis yang memuat Kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi Nasabah dan Bank.

Metode Penelitian

a. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum13

12

Garry Goodpaster, Panduan Negoisasi dan Mediasi, seri dasar ekonomi 9, (Jakarta:ELIPS, 1999), hlm.241.

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.63.


(25)

Pada penelitian deskriptif , analisis data tidak keluar dari lingkup sample. Bersifat deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain14

Adapun yang menjadi data sekunder penelitian yang digunakan terdiri dari

. b. Jenis dan Sumber Data

Sumber atau jenis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dua jenis data yaitu :

1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pihak-pihak yang terkait di lapangan penelitian, dengan mengadakan wawancara kepada pihak-pihak di Bank Indonesia yang berkompeten di bidang penyelesaian sengketa antara bank dengan nasabah.

2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori, dan informasi-informasi serta pemikiran konsepsual dari peneliti pendahulu, baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

15

1. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan seperti (PBI) No. 7/7PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, sebagaimana yang telah diubah :

14

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 37.

15

Jhon Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2006), hlm.192.


(26)

dengan PBI No. 10/10/PBI/2008, PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008, dan lain sebagainya.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian seperti buku-buku tentang hukum dan juga tentang perbankan, dan lain sebagainya.

3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

c. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik penelitian kepustakaan, yaitu dengan meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, seperti : Buku-buku hukum, majalah huku m, artikel-artikel, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan lainnya.

Selain dengan studi pustaka, penulis juga mengumpulkan data-data dengan cara melakukan riset di Bank Indonesia (BI) Medan.

d. Analisis Data

Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif, dan selanjutnya diuraikan dengan mengudakan metode secara deskriptif dan induktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang dapat dipahami secara jelas dan terarah berkaitan dengan masalah dalam skripsi ini. Dengan demikian, kegiatan


(27)

analisis ini diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis membagi pembahasan tema ke dalam lima (5) bab pokok yang terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

Pada awal bab ini penulis menjelaskan tentang pendahuluan, menguraikan tentang hal-hal yang bersifat umum, yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Umum Tentang Kedudukan Hukum Antara Bank Dengan Nasabah

Dalam bab ini, di jelaskan mengenai pengertian bank dan nasabah, bagaimana hubungan bank dengan nasabah serta syarat syahnya hubungan hukum antara bank dan nasabah. Dalam bab ini dibahas juga mengenai perlindungan nasabah selaku konsumen yang telah menggunakan produk-produk dari suatu bank


(28)

BAB III Tinjauan Umum Tentang Sengketa Dan Cara-Cara Penyelesaian Sengketa

Adapun yang dibahas dalam bab ini adalah pengertian sengketa dan sengketa perbankan, kemudian cara-cara penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penyelesaian sengketa melaui jalur litigasi, penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi

BAB IV Peranan Bank Indonesia ( BI ) Dalam Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dengan Nasabah Dan Kekuatan Hukum Putusan Dari Mediasi Perbankan.

Bab ini menguraikan tentang sejarah Bank Indonesia ( BI ) dan dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan BI untuk mengatasi sengketa yang timbul antara bank dengan nasabah serta peran BI Dalam penyelesaian sengketa antara bank dengan nasabah menurut PBI No.7/7/PBI/2005 mengenai penyelesaian pengaduan nasabah dan peran BI dalam penyelesaian sengketa antara bank dengan nasabah menurut PBI No.8/5/PBI/2006 jo PBI No. 10/1/PBI/2008 mengenai Mediasi Perbankan. Selain itu, pada bab ini dibahas juga mengenai kekuatan hukum putusan perdamaian melalui mediasi perbankan


(29)

BAB V Kesimpulan Dan Saran

Pada bab ini dimuat mengenai kesimpulan dan saran dari pembahasan keseluruhan skripsi ini.


(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN HUKUM

ANTARA BANK DENGAN NASABAH

A. Pengertian Bank dan Nasabah

Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan suatu Negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik Negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya.

Setelah mengumpulkan dana, maka bank menyalurkan dana tersebut melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan oleh bank. Bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bank adalah usaha dibidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang dimasyarakat, terutama pemberian kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.

Rumusan mengenai pengertian bank yang lain, dapat juga kita temui dalam kamus istilah hukum Fockema Andreae yang mengatakan bahwa bank adalah suatu lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan dalam menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga16

“bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang

.

G. M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik, berpendapat bahwa:

16


(31)

yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.”17

1. Perseroan terbatas;

Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa bentuk badan hukum suatu bank umum dapat berupa :

2. Koperasi;

3. Perusahaan daerah.

Dari ketiga bentuk badan hukum dari suatu bank tersebut dapat disimpulkan bahwa bank umum wajib berbentuk sebagai badan hukum. Oleh karena itu, tunduk dan berlaku doktrin-doktrin hukum badan hukum.

Doktrin hukum mengemukakan adanya 4 (empat) unsur suatu badan hukum dianggap sebagai badan hukum, yaitu sebagai berikut18

1. Harus ada kekayaan yang terpisah, lepas dari kekayaan anggotanya; :

2. Mempunyai tujuan tertentu;

3. Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum; 4. Adanya organisasi yang teratur.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai perantara keuangan (financial intermediary) yaitu usaha menghimpun dan menyalurkan dana tersebut, bank harus menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Pihak-pihak yang bekerjasama dengan bank tersebut disebut sebagai nasabah. Bank harus bisa menjaga kepercayaan masyarakat karena bank merupakan suatu lembaga yang sangat

17 Ibid. 18

Thy Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia,


(32)

bergantung kepada kepercayaan dari masyarakat, terutama nasabahnya dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan baik.

Pada tahun 1998 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diintroduksilah rumusan masalah nasabah dalam pasal 1 angka 16, yaitu pihak yang menggunakan jasa bank. Rumusan ini kemudian diperinci pada angka berikutnya, sebagai berikut :

Nasabah penyimpan dana adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998).

Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan (Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998).

Dilihat dari jenis subjek hukum dari pihak nasabah, maka terdapat dua jenis subjek hukum, yakni dapat berupa orang dan badan hukum. Dalam istilah perbankan, terdapat istilah yang dipersamakan, yakni “perorangan”. Termasuk nasabah perorangan adalah usaha dagang, toko dan sebagainya. Sedangkan aspek hukum dari pihak bank hanya berupa badan usaha. Hal ini dikarenakan tidak ada lembaga perbankan yang berbentuk orang atau perorangan.


(33)

Adapun pihak-pihak yang termasuk sebagai nasabah adalah19 1. Orang

:

Nasabah bank terdiri dari orang yang telah dewasa dan orang yang belum dewasa. Nasabah orang dewasa hanya diperbolehkan untuk nasabah kredit dan atau nasabah giro. Sedangkan nasabah simpanan dan atau jasa-jasa bank lainnya dimungkinkan orang yang belum dewasa, misalnya nasabah tabungan dan atau nasabah lepas (working customer) untuk transfer dan sebagainya.

Terhadap perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah yang belum dewasa tersebut telah disadari konsekuensi hukum yang diakibatkannya. Konsekuensi hukum tersebut adalah tidak dipenuhinya salah satu unsur sahnya perjanjian seperti yang termuat dalam pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang dapat mewakili anak yang belum dewasa itu, yaitu orang tua atau walinya melalui acara gugatan pembatalan. Dengan kata lain, selam orang tua atau wali dari orang yang belum dewasa tersebut tidak melakukan gugatan, maka perjanjian tersebut tetap berlaku dan mengikat terhadap para pihak.

Nasabah kredit dan rekening giro bisaaanya diwajibkan bagi nasabah yang telah dewasa. Hal ini disababkan karena resiko bank yang sangat besar jika dalam pemberian kredit dan atau pembukaan rekening giro diperbolehkan bagi nasabah yang belum dewasa.

19


(34)

2. Badan Hukum20

Untuk nasabah berupa badan, perlu diperhatikan aspek legalitas dari badan tersebut serta kewenangan bertindak dari pihak yang berhubungan dengan bank. Hal ini berkaitan dengan aspek hukum perseorangan.

Berkaitan dengan kewenangan bertindak bagi nasabah yang bersangkutan, khususnya bagi “badan”, termasuk apakah untuk perbuatan hukum tersebut perlu mendapat persetujuan dari komisaris dan/atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) agar diperhatikan anggaran dasar dari badan yang bersangkutan.

Subjek hukum yang berbentuk badan, tidak otomatis dapat berhubungan dengan bank. Untuk dapat berhubungan dengan bank, harus juga dilihat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bagaimana ketentuan internal yang berlaku pada bank yang bersangkutan.

Dari segi kacamata hukum, hubungan antara bank dengan nasabah terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu21

1. Hubungan Kontraktual :

Hubungan yang paling utama atau lazim antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual. Hal ini berlaku hampir terhadap semua nasabah, baik nasabah debitur, nasabah deposan, ataupun nasabah non debitur-non deposan.

Terhadap nasabah debitur, hubungan kontraktual tersebut berdasarkan atas suatu kontrak yang dibuat antara bank sebagai kreditur (pemberi dana) dengan pihak debitur (peminjam dana).

20

Ibid.

21

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, ( Bandung:PT. Citra Aditya bakti, 1999), hlm.102.


(35)

Hukum kontak yang menjadi dasar terhadap hubungan bank dan nasabah debitur bersumber dari ketentuan-ketentuan KUH Perdata tentang kontrak (buku ketiga). Sebab, menurut pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan sama dengan undang-undang bagi kedua belah pihak. Selain itu, sebagian sarjana berpendapat bahwa perjanjian kredit bank diatur juga oleh ketentuan khusus mengenai “pinjam pakai habis” (Verbruiklening) vide Pasal 1754 sampai pasal 1769 KUHPerdata.

Berbeda dengan nasabah debitur, maka untuk nasabah deposan atau nasabah non debitur-non deposan, tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur untuk kontrak jenis ini, karena itu kontrak-kontak ini tunduk kepada ketentuan-ketentuan umum dari KUHPerdata mengenai kontrak. Disamping itu, berbeda dengan kontrak untuk nasabah debitur, kontrak kredit yang sering sekali diatur cukup komprehensif, maka untuk kontrak antara bank dengan nasabah deposan atau nasabah non debitur - non deposan, lazimnya hanya diatur dalam bentuk kontrak yang sangat simpel/sederhana. Itupun sama seperti kontrak kredit, diberlakukan kontrak dalam bentuk kontrak standar (kontrak baku) yaitu kontrak yang klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak22

Ada tiga tingkatan dari pemberlakuan hubungan kontraktual kepada hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan pihak bank, yaitu sebagai berikut :

. Dalam kontrak baku bisaaanya terdapat ketentuan-ketentuan yang berat sebelah, dimana pihak bank seringkali lebih diuntungkan.

22

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 39.


(36)

a. Sebagai hubungan bank dan nasabah penyimpan;

b. Sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya sekedar hubungan debitur-kreditur;

c. Sebagai hubungan implied contract, yaitu hubungan kontrak yang tersirat. Karena pada prinsipnya hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan bank adalah hubungan kontraktual tersebut (hubungan kreditur-debitur), maka tidak mengherankan jika dalam praktek, sering sekali pihak nasabah, terutama nasabah penyimpan dana tidak mendapatkan perlindungan yang sewajarnya oleh sektor hukum.

2. Hubungan Non Kontraktual

Selain dari hubungan kontraktual, ada enam jenis hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya, yaitu23

a. hubungan fidusia (fiduciary relation), :

b. hubungan konfidensial, c. hubungan Bailor-Bailee, d. hubungan Principal-Agent,

e. hubunkgan Mortgagor-Mortgagee, dan f. hubungan Trustee-Beneficiary.

Akan tetapi, berhubung hukum di Indonesia tidak tegas mengakui hubungan-hubungan tersebut, maka hubungan- hubungan tersebut baru dapat dilaksanakan jika disebutkan dengan tegas dalam kontrak untuk hal tersebut. Atau

23


(37)

setidak-tidaknya ada kebisaaaan dalam praktek perbankan untuk mengakui eksistensi kedua hubungan tersebut.

Selain hubungan tersebut, terdapat juga beberapa hubungan lainnya seperti hubungan moral. Hubungan moral antara bank dengan nasabahnya tercipta disaat nasabah telah memberikan kepercayaannya kepada suatu bank. Atas kepercayaan itu, maka bank harus menjaga kepercayaan nasabah dan masyarakat dalam melakukan segala bentuk dan produk jasa dari bank bersangkutan.

Kepercayaan nasabah terhadap bank dapat dilihat dari formulir-formulir yang diisi oleh nasabah dan disetujui oleh bank. Formulir-formulir tersebut berisi tentang permohonan atau perintah atau kuasa kepada bank. Nasabah yang mengisi formulir tersebut pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari kepercayaan masyarakat kepada bank. Hubungan antara bank dengan nasabah yang terdapat pada formulir-formulir yang diisi oleh nasabah dan disetujui oleh bank disebut sebagai hubungan formil24

a. Ketentuan yang terdapat dalam aplikasi; .

Hubungan hukum antara nasabah dengan bank dalam pembukaan rekening terdapat empat ketentuan yang berlaku:

b. Ketentuan yang terdapat pada syarat-syarat umum pembukaan rekening; c. Ketentuan yang terdapat pada produk yang digunakan oleh nasabah; d. Peraturan yang berlaku (sebagaimana dijelaskan dan dirumuskan diatas).

Pada kenyataannya, formulir-formulir dan aplikasi-aplikasi yang diisi oleh nasabah bisaaanya berbentuk perjanjian baku yang telah disediakan oleh bank,

24


(38)

sehingga hal ini sering sekali mengakibatkan perbedaan kedudukan antara bank dengan nasabah.

Hubungan hukum tersebut dapat dikualifikasikan dalam 2 (dua) bentuk. Pertama, hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan disebut perjanjian simpanan. Kedua, hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitor disebut perjanjian kredit bank. Kedua bentuk hubungan hukum tersebut sangat erat kaitannya dengan jaminan sebagai unsur pengaman. Dalam bentuk hubungan hukum yang pertama, dana yang disimpan oleh nasabah penyimpan harus dapat dijamin keamanannya oleh bank. Bentuk jaminan untuk melindungi dana nasabah penyimpan diatur dalam Lembaga Penjaminan Simpanan, sedangkan bentuk jaminan untuk melindungi bank sebagai pemberi kredit adalah lembaga jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.

Hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan nasabah tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai hubungan hukum melainkan hubungan moral. Sebagai hubungan moral, maka pertanggungjawabannya lebih tinggi di mata hukum. Moral menjadi sumber dan sekaligus jembatan etis dalam tonggak hukum perbankan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan fungsi perbankan terdapat 2 (dua) hubungan hukum dan 1 (satu) hubungan moral25.

Bila digambarkan, maka bentuk hubungan hukum antara bank dengan nasabah deposan dan nasabah kreditur adalah sebagai berikut :

25

Tan Kamello, “Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah”, disampaikan pada pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dihadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, Medan, 2 September 2006, hlm. 7.


(39)

BANK

Nasabah Deposan Nasabah Kreditur

B. Sahnya Hubungan Hukum Antara Bank dan Nasabah

Pada dasarnya hubungan hukum antara bank dengan nasabah adalah hubungan yang bersifat kontraktual yang berdasarkan pada hukum perjanjian. Hubungan hukum antara nasabah dengan bank terjadi setelah kedua belah pihak menandatangani perjanjian untuk memanfaatkan produk jasa yang ditawarkan bank. Dengan adanya persetujuan dari nasabah terhadap formulir perjanjian yang dibuat oleh bank, berarti nasabah telah menyetujui isi serta maksud perjanjian dan demikian berlaku facta sun servanda yaitu perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak sebagai undang-undang. Azas ini terdapat dalam pasal 1338 KUHPerdata26

26

Ibid., hlm.18.

.

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :

Hubungan Hukum Hubungan Hukum


(40)

a. Perbuatan,

Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;

b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,

Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

c. Mengikatkan dirinya,

Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Asas kebebasan berkontrak tersebut tidak berarti para pihak bebas untuk melakukan perjanjian apa saja menurut kepentigan dan kehendak para pihak. Kebebasan tersebut tetap memiliki batas-batas tertentu. Batas-batas tersebut terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

mengenai sepakat mereka yang mengikat dirinya diatur dalam KUHPerdata pada pasal 1321 sampai 1328. Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan


(41)

yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hal ini jelas, bahwa hukum perjanjian tidak boleh dibuat dengan adanya paksaan kepada salah satu atau kedua belah pihak.

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

mengenai kecakapan untuk melakukan perikatan diatur lebih lanjut dalam pasal 1329 KUHPerdata yang menyatakan setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan,jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 tahun bagi wanita. Sedangkan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dewasa adalah mereka yang sudah berusia 19 tahun bagi laki-laki dan berusia 16 tahun bagi wanita. Meski dalam undang-undang perkawinan ditetapkan usia dibawah itu. Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, yang tidak cakap hukum :


(42)

b.Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan.

c.Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan putusan Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).

3. suatu hal tertentu;

mengenai sesuatu hal tertentu, diatur dalam KUHPerdata pasal 1332, pasal 1333, dan pasal 1334. Dari pasal-pasal diatas dapat disimpulkan perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.

4. suatu sebab yang halal.

mengenai suatu sebab yang halal diatur dalam KUHPerdata pasal 1334, pasal 1335, pasal 1336, dan pasal 1337. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal,


(43)

atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Misalnya perjanjian jual beli narkoba atau jual beli senjata gelap.

Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.

Setiap perjanjian atau kontrak harus memperhatikan syarat-syarat sahnya perjanjian seperti yang telah diuraikan diatas, tidak terkecuali terhadap perjanjian yang dilakukan oleh nasabah dan bank. Baik perjanjian-perjanjian yang berbentuk formulir-formulir atau aplikasi-aplikasi yang diisi oleh nasabah dan disetujui oleh bank.

Jika kita berangkat dari rumusan kebebasan berkontrak dan sahnya perjanjian dalam meneropong permasalahan hukum berkaitan dengan hubungan hukum antara nasabah dengan bank, maka jelas bahwa hubungan hukum antara bank dengan nasabah tersebut sah dan berlaku sebagai undang-undang serta sekaligus telah memenuhi rasa keadilan27

Bank harus memperhatikan apakah nasabah yang akan melakukan perjanjian terhadap bank tersebut telah memenuhi syarat kecakapan. Selain itu, perjanjian harus dibuat dengan adanya kesepakatan para pihak, para pihak yang akan menentukan hal-hal apasaja yang akan diperjanjikan. Namun pada

.

27


(44)

kenyataanya, sering sekali perjanjian yang dibuat cenderung mengabaikan hal ini. Seperti halnya nasabah pada suatu bank, kadang kala merupakan orang yang belum dewasa untuk melakukan suatu perjanjian sehingga perlu izin dari wali.

Selain itu, kecenderung perjanjian yang dibuat berbentuk perjanjian baku yang dibuat secara sepihak oleh pihak bank. Hal ini menyebabkan kedudukan yang berbeda antara bank dengan nasabah. Kedudukan bank menjadi lebih tinggi dibandingkan kedudukan nasabah. Kondisi yang seperti ini dapat memposisikan nasabah sebagai pihak yang lemah yang cenderung dirugikan.

C. Perlindungan Nasabah Selaku Konsumen

Lembaga perbankan adalah suatu lembaga yang sangat bergantung kepada kepercayaan dari masyarakat. Oeh karena itu,tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat, tentu suatu bank tidak akan mampu menjalankan usahanya dengan baik. Sebagai pengguna jasa dan produk dari bank, maka nasabah dari suatu bank dapat dikatakan sebagai konsumen.

Seiring dengan pesatnya perkembangan perbankan yang didukung oleh cepatnya laju ilmu pengetahuan dan teknologi, bank telah menghasilkan berbagai produk dan jasa-jasa yang dapat dikonsumsi oleh nasabah. Jasa-jasa atau produk yang dihasilkan oleh bank saat ini sangat bervariasi seperti ATM, SMS banking, phone banking, sampai internet bangking, dan lain sebagainya.

Di satu pihak, perkembangan ini sangat menguntungkan karena dapat mempermudah nasabah untuk melakukan transaksi-transaksi keuangan. Nasabah bebas untuk memilih produk atau jasa bank yang akan dikonsumsi. Namun seiring


(45)

perkembangan ini, maka semakin terbuka peluang terjadinya masalah atau sengketa diantara para pihak.

Hubungan hukum antara bank dengan nasabah yang terjadi bersifat kontraktual, yang berupa kontrak baku yang dibuat oleh bank28

Mengacu kepada pasal ini, maka nasabah dapat kita sebut sebagai konsumen dan bank disebut sebagai produsen. Nasabah memanfaatkan berbagai

. Karena hubungan ini, maka kedudukan nasabah menjadi lebih rendah dari pada bank. Untuk mengatasi masalah ini, maka diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap konsumen yang dapat menjamin dipenuhinya hak-hak konsumen sebagai pemakai suatu hasil produksi. Untuk itu, pemerintah mensahkan suatu undang-undang yang melindungi konsumen, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. UU Perlindungan Konsumen yang mewajibkan adanya kesetaraan hubungan antara pelaku usaha (bank) dengan konsumen (nasabah).

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Sedangkan yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen).

28


(46)

produk dan fitur-fitur yang disediakan oleh pihak perbankan yang dalam hal ini adalah bank.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo membagi konsumen kedalam dua jenis, yaitu29

a. Konsumen akhir, yakni pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk.

:

b. Konsumen antara, yakni konsumen yang memakai suatu produk atau sebagian dari proses produksi suatu peoduk lainnya.

Sebagai konsumen, maka nasabah memiliki hak dan kewajiban. Hak dari konsumen terurai dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

29

Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2004), hlm. 7.


(47)

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Adapun kewajiban konsumen diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu:

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Sementara itu, bank yang dalam hal ini bertindak sebagai produsen harus memberikan perlindungan terhadap nasabah sebagai konsumen. Adapun yang menjadi hak diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;


(48)

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;


(49)

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam penjelasan pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah ditetapkan bahwa perlindungan konsumen didasarkan pada 5 (lima) asas, yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen


(50)

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Selain dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dapat dilakukan beberapa cara untuk melindungi nasabah. Berkaitan dengan perlindungan hukum bagi nasabah ini, Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu30

a. Peraturan perundang-undangan dibidang perbankan, :

Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindari terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini diperoleh melalui:

b. Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia,

c. Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya, d. Memelihara tingkat kesehatan bank,

e. Melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian

30


(51)

Selain itu juga dilakukan perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection), yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI no.26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum31

Dalam rangka perlindungan nasabah bank, maka terdapat beberapa mekanisme perlindungan nasabah, yaitu:

.

Pada dasarnya, perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana ini merupakan salah satu upaya dalam rangka menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank. Hal ini berhubungan dengan kelangsungan bank yang tidak bisaa terlepas dari kepercayaan masyarakat, seperti nasabah penyimpan dan lain sebagainya.

32

1) Pembuatan peraturan baru

Lewat pembuatan peraturan baru dibidang perbankan atau merevisi peraturan yang sudah ada merupakan salah satu cara untuk memberikan perlindungan kepada nasabah suatu bank. Banyak peraturan baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertujuan untuk melindungi nasabah. Akan tetapi lebih banyak lagi diperlukan seperti itu dari apa yang terdapat dewasa ini.

31

Ibid.

32


(52)

2) Pelaksanaan peraturan yang ada

Salah satu cara lain untuk memberikan perlindungan terhadap nasabah adalah dengan melaksanakan peraturan yang telah ada di bidang perbankan secara lebih ketat oleh pihak otoritas moneter, khususnya peraturan mengenai perlindungan nasabah sehingga dapat dijamin law enforcement yang baik. Peraturan perbankan tersebut harus ditegakkan secara objektif tanpa melihat siapa direktur, komisaris, atau pemegang saham dari bank tersebut.

3) Perlindungan nasabah deposan lewat lembaga asuransi deposito

Perlindungan nasabah, khususnya nasabah deposan melalui lembaga asuransi deposito yang adil dan predictable ternyata juga dapat membawa hasil yang positif.

4) Memperketat perizinan bank

Memperketat pemberian izin untuk suatu pendirian bank baru adalah salah satu cara agar bank tersebut kuat dan kualified sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi nasabahnya.

UUP menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi apabila suatu bank akan didirikan berupa persyaratan dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Susunan organisasi; b. Permodalan;

c. Kepemilikan;

d. Keahlian di bidang perbankan; dan e. Kelayakan rencana kerja.


(53)

5) Memperketat peraturan dibidang kegiatan bank

Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan bank banyak juga yang bertujuan secara langsung dan tidak langsung untuk melindungi pihak nasabah. Peraturan-peraturan tersebut khususnya yang menyangkut dengan kegiatan bank mengatur tentang hal-hal sebagai berikut :

a. Ketentuan menganai permodalan. Antara lain mengenai kecukupan modal atau yang disebut juga dengan capital adequate ratio (CAR) yang diukur dari persentase tertentu terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR).

b. Ketentuan mengenai manajemen, yang dalam hal ini merupakan penilaian kualitatif mengenai manajemen permodalan, manajemen renthabilitas, dan manajemen likuiditas.

c. Ketentuan mengenai kualitas aktiva produktif, yang dalam hal ini diukur tingkat kemampuan pengembaliannya dengan kategori lancar, kurang lancar, diragukan atau macet.

d. Ketentuan mengenai likuiditas. Dalam hal ini seringkali dilakukan pengukuran lewat cash ratio atau minimum reserve requirement. Juga harus dihindari adanya kesulitan likuiditas yang bisaaanya terjadi karena adanya tindakan yang disebut mismatch.

e. Ketentuan mengenai rentabilitas. Dalam hal ini sering diukur dengan cara penilaian kuantitatif melalui resiko perbandingan laba selama 12 bulan terakhir terhadap volume usaha dalam periode yang sama, dan


(54)

rasio biaya operasional terhadap perdapatan operasional terhadap pendapatan operasional dalam periode satu tahun.

f. Ketentuan mengenai solvabilitas.

g. Ketentuan mengenai kesehatan bank. Dalam hal ini sering dipergunakan sebagai ukuran adalah capital, posisi devisa netto, batas maksimum pemberian kredit.

6) Memperketat pengawasan bank. Dalam rangka meminimalkan resiko yang ada dalam bisnis bank, maka pihal otoritas, khususnya Bank Indonesia harus melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank yang ada, baik terhadap bank-bank pemerintah maupun terhadap bank swasta.

Bank Indonesia merupakan bank sentral yang paling berpengaruh di dunia perbankan. Karena kedudukannya sebagai bank sentral, maka Bank Indonesia memiliki tugas dalam hal pengawasan dan pembinaan bank. Dalam hal perlindungan nasabah, Bank Indonesia telah memasukkannya dalam program kerjanya. Sejak diluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) pada tanggal 9 Januari 2004, Bank Indonesia memformasikan 6 (enam) pilar utama sebagai sasaran yang ingin dicapai, yaitu: (i) struktur perbankan yang sehat, (ii) sistem pengaturan yang efektif, (iii) sistem pengawasan yang independen dan efektif, (iv) industri perbankan yang kuat, (v) infrastruktur yang mencukupi, dan (vi) perlindungan nasabah.

Soedrajad dalam makalahnya yang berjudul “Menuju Sistem Perbankan untuk Mendukung Pembangunan”, yang menyatakan bahwa API adalah kerangka menyeluruh, meliputi arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan Indonesia


(55)

dalam jangka lima sampai sepuluh tahun kedepan, yang berlandaskan pada visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional33

Keempat program di atas saling terkait satu sama lain dan secara bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak nasabah. Secara ideal, implementasi program-program di atas seharusnya dimulai dengan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kegiatan usaha dan produk-produk keuangan dan perbankan. Edukasi ini selain untuk memperluas wawasan masyarakat mengenai industri perbankan juga ditujukan untuk mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pengenalan perencanaan keuangan.

.

Bank Indonesia sejak awal tahun 2002 mulai menyusun cetak biru sistem perbankan nasional yang salah satu aspek didalamnya tercakup upaya untuk melindungi dan memberdayakan nasabah. Upaya ini kemudian berlanjut dan dituangkan menjadi Pilar ke VI dalam API yang mencakup empat aspek, yaitu mekanisme pengaduan nasabah, pembentukan lembaga mediasi independen, transparansi informasi produk, dan edukasi nasabah. Keempat aspek tersebut dituangkan kedalam empat program API, yaitu:

1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan nasabah, 2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan independent, 3. Penyusunan standar transparansi informasi produk, 4. Peningkatan edukasi untuk nasabah.

33


(56)

Langkah selanjutnya setelah edukasi adalah dilaksanakannya transparansi mengenai karakteristik produk-produk keuangan dan perbankan34

Transparansi ini penting dilakukan agar masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi nasabah (calon nasabah) bank mendapatkan informasi yang cukup memadai mengenai manfaat, risiko, dan biaya-biaya yang terkait dengan suatu produk tertentu sehingga keputusan untuk memanfaatkan produk tersebut sudah melalui pertimbangan yang matang dan sesuai dengan kebutuhan calon nasabah

.

35

34

Muliaman D. Hadad, op.cit., 2006, hlm. 3-4. 35

Ibid.


(57)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG SENGKETA DAN

CARA-CARA PENYELESAIAN SENGKETA

A. Pengertian Sengketa dan Sengketa Perbankan

Sengketa atau perselisihan di dalam berbagai kegiatan bisnis merupakan sesuatu yang tidak diharapkan terjadi karena dapat mengakibatkan kerugian pada pihak-pihak yang bersengketa, baik mereka yang berada pada posisi yang benar maupun pada posisi yang salah. Oleh karena itu, terjadinya sengketa bisnis perlu dihindari untuk menjaga reputasi dan relasi yang baik ke depan. Walaupun demikian, sengketa kadang-kadang tidak dapat dihindari karena adanya kesalahpahaman, pelanggaran perundang-undangan, ingkar janji, kepentingan yang berlawanan, dan atau kerugian pada salah satu pihak36

Proses sengketa terjadi karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa. Secara potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian/pendapat yang berbeda dapat beranjak ke situasi sengketa. Secara umum, orang tidak akan mengutarakan pendapat yang mengakibatkan konflik terbuka. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan timbulnya konsekuensi yang tidak menyenangkan, dimana seseorang (pribadi atau sebagai wakil kelompoknya) harus menghadapi situasi rumit yang mengundang ketidaktentuan sehingga dapat mempengaruhi kedudukannya

.

37

36

Sanusi Bintang, Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hm. 113.

37

Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2000), hlm. 34.


(58)

Perselisihan dalam kegiatan bisnis atau perdagangan dapat terjadi pasca sebelum perjanjian disepakati, misalnya mengenai objek perjanjian, harga barang, dan isi perjanjian, serta pada waktu pelaksanaan perjanjian. Namun demikian timbulnya bentuk-bentuk konflik tersebut pada umumnya disebabkan oleh berbagi faktor, yaitu38

a) Konflik data ( Data conflicts ) :

Konflik data ( Data conflicts ) terjadi karena kekurangan informasi ( lack of information ), kesalahan informasi ( misinformation ), adanya perbedaan pandangan, adanya perbedaan interpretasi terhadap data, dan adanya perbedaan penafsiran terhadap prosedural. Data merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu persetujuan, oleh karena itu keakuratan data sangat dibutuhkan agar tercapainya kesepakatan yang baik.

b) Konflik kepentingan ( Interest conflicts )

Dalam melakukan setiap kegiatan para pihak memiliki kepentingan, tanpa adanya kepentingan, tanpa adanya kepentingan para pihak tidak akan melakukan kerjasama. Timbulnya konflik kepentingan dapat disebabkan oleh beberapa hal,yaitu :

1. adanya perasaan atau tindakan yang bersaing; 2. adanya kepentingan substansi dari para pihak; 3. adanya kepentingan prosedural;

4. adanya kepentingan psikologi.

38

Joni Emerzon, Hukum Bisnis Indonesia, (Palembang: Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2002), hlm.503-505.


(59)

Keempat hal diatas dapat menimbulkan konflik kepentingan, karena apabila dalam suatu kerjasama para pihak merasa adanya suatu kepentingan, maka dapat menimbulkan rasa persaingan yang tinggi sehingga kerjasama yang dibina tidak menghasilkan hal yang baik.

c) Konflik hubungan ( Relationship conflicts )

Konflik hubungan dapat terjadi adanya emosional yang kuat, adanya kesalahan persepsi, miskin komunikasi, atau kesalahan komunikasi, dan tingkah laku negatif yang berulang-ulang. Para pihak yang mengadakan kerjasama harus dapat mengkontrol emosi melalui suatu aturan main yang disepakati, klarifikasi perbedaan persepsi dan bangun persepsi yang positif, kemudian perbaiki kualitas dan kuantitas komunikasi dan hilangkan tingkah laku negative yang dilakukan secara berulang-ulang. d) Konflik struktur ( Structural conflicts )

Konflik struktur disebabkan oleh adanya pola meruak perilaku atau interaksi, kontrol yang tidak sama, kepemilikan atau distribusi sumber daya yang tidak sama, adanya kekuasaan dan kekuatan, geografi, psikologi yang tidak sama, serta waktu yang sedikit.

e) Konflik nilai ( Value conflicts )

Konflik nilai akan terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan kriteria evaluasi pendapat atau perilaku, adanya perbedaan pandangan hidup, ideology dan agama, adanya penilaian sendiri tanpa memperhatikan penilaian orang lain.


(1)

pada pasal 3 ayat (4), yang menyatakan bahwa sepanjang lembaga Mediasi perbankan independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, fungsi Mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Yang berhak melakukan mediasi hanya Bank Indonesia Pusat yang berada di Jakarta, terkecuali apabila Bank Indonesia menugaskan Bank Indonesia cabang untuk melakukan mediasi tersebut karena suatu hal. Bank Indonesia hanya menjadi mediator diantara para pihak dan tidak berhak memberi keputusan. Adapun sengketa yang dapat diselesaiakan melalui mediasi perbankan harus memenuhi 2 (dua) syarat yakni syarat subjektif adalah syarat yang berkenaan dengan pihak yang mengajukan sengketa yakni nasabah atau perwakilan nasabah dan sudah pernah dibawa ke forum penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank (pasal 7 PBI No. 8/5/PBI/2006). Sedangkan syarat objektif adalah yang berkaitan dengan objek sengketa yaitu tuntutan nilai sengketa paling banyak Rp.500.000.000,- ( lima ratus juta ) dan tuntutan tidak termasuk tuntutan immaterial (pasal 6 PBI No. 8/5/PBI/2006 ). Dalam PBI ini pada pasal 4 diuraukan bahwa Fungsi Mediasi Perbankan yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (4) terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan.

2. Pada pasal 13 PBI No. 8/5/PBI/2006 di uraikan bahwa kesepakatan antara nasabah atau perwakilan nasabah dengan bank yang dihasilkan dari proses mediasi dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh nasabah atau perwakilan nasabah dan bank. Kekuatan hukum dari akta


(2)

kesepakatan hasil mediasi perbankan ini adalah mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang (pasal 1338 KUHPerdata) dan memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana yang diatur dalam pasal 130 ayat (2) HIR yang menegaskan putusan akta perdamaian berkekuatan sebagai putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana halnya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

B. Saran

1. Perlindungan hukum terhadap hak-hak nasabah sudah seharusnya menjadi perhatian khusus. Perlindungan hukum atas hak-hak nasabah tersebut sebaiknya diatur dalam suatu peraturan tertentu seperti undang-undang atau sebagainya agar dapat menjamin kepastian hukum dari hak-hak nasabah, baik hak bagi nasabah debitur maupun hak bagi nasabah kreditur.

2. Masyarakat selaku konsumen atau pemakai jasa bank harus lebih berhati-hati dalam memilih produk atau jasa dari suatu bank. Nasabah harus mempelajari secara mendetail produk atau jasa suatu bank sebelum menggunakannya. Apabila terjadi sengketa dikemudian hari, maka nasabah harus lebih aktif untuk menyelesaikannya dengan menggunakan fasilitas penyelesaian sengketa perbankan yang ada. Seperti pengaduan nasabah dan juga mediasi perbankan yang sampai saat ini difasilitasi oleh Bank Indonesia.

3. Lembaga mediasi perbankan independen sebaiknya segera dibentuk agar dapat lebih efektif dan netral untuk menyelesaikan sengketa dalam bidang perbankan. Lembaga mediasi perbankan independen ini sebaiknya terdiri dari


(3)

orang-orang yang memiliki kompeten dan bersifat netral dalam menyelesaikan sengketa perbankan yang ada. Hal ini bertujuan agar baik nasabah maupun bank yang bersangkutan dapat menyelesaikan sengketa mereka dan mendapatkan solusi yang efektif dan efisien.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Abdurrasyid, H.Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, Fikahati Aneka, 2002.

Bintang, Sanusi, Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000.

Emezon, Joni, Hukum Bisnis Indonesia, Palembang, Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2002.

, Alternative Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Bandung, PT. Citra Aditya bakti, 1999.

Goodpaster, Garry, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Jakarta, Elips, 1999.

Hadimulyo, Mempertimbangkan ADR Kajian Alternavite Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta, Elsan, 1997.

Harahap, M. Yahya, A.lternative Dispute Resolution (ADR) Merupakan Jawaban Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional Masa Depan, Semarang, FH. UKSW Press, 1996.

, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradila ndan Penyelesaian Sengketa , Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1997.

Hermansyah , Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Kencana, 2008. Ibrahim, Jhon, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya,

Bayumedia, 2006.

Margono, Suyud, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2000.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta, Liberty, 1985. Miru, Ahmadi & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,


(5)

, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2007.

Pandia, Frianto, Elly Santi & Achmad Abror, Lembaga Keuangan , Jakarta, PT Rineka Cipta, 2005.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung, Sumur, 1984.

Santosa, M. Achmad, 1995, Pengaduan Masyarakat dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Jakarta, ICEL, 1995.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1996.

Usman, Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Widiyono, Thy, 2006, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor.

Wijaya, Gunawan, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2001.

2. Kitab PerUndang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (BW).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Indonesia (HIR/RBg/Rv). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Penyelesaian Sengketa Alternatif.

Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia jo Undang-Undang Nomor 6 tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang.


(6)

PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

PBI No. 8/5/PBI/2006 jo PBI No.10/1/PBI/2008 tentang Mediasi Perbankan.

3. Jurnal/Makalah

Felix Oentoeng Soebagjo, 2007, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan, Bahan Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia dan Pembetukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen”, Kerjasama Magíster Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Bank Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2007.

Mohammad Fajrul Falaakh, 2007, Perlindungan Nasabah Bank Melalui Fungsi Mediasi dan Supervisi Bank Indonesia, Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan Oleh Bank Indonesia & Pembentukan Lembaga Mediasi Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM, Denpasar, 11 April 2007.

Muliaman D. Hadad, Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia, http: //www.google.com, available on 17 november 2006.

Tan Kamello, “Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah”, disampaikan pada pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dihadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara, Medan, 2 September 2006

4. Sumber-Sumber Lain Hasil riset di Bank Indonesia