Tabel 6.2. Uji Akar-akar Unit Unit Root Test Pada First Difference
Variabel Nilai ADF
t-statistik Nilai Kritis Mackinnon
Ket 1
5 10
Pertumbuhan Ekonomi -6,60
-3,69 -2,97
-2,62 Stasioner Pengeluaran Rutin
Pemerintah -6,22 -3,70
-2,98 -2,63
Stasioner Pengeluaran
Pembangunan Pemerintah -5,95
-3,69 -2,97
-2,62 Stasioner
Investasi Swasta -6,91
-3,70 -2,98
-2,63 Stasioner Pekerja -7,44
-3,70 -2,98
-2,63 Stasioner
Inflasi -6,49 -3,70
-2,98 -2,63
Stasioner
Sumber: Lampiran 2b
Pada Tabel 6.2 dapat dilihat bahwa semua variabel, baik variabel independen maupun dependen, stasioner pada derajat satu I1 atau first
difference. Hal ini berarti bahwa hipotesis nol ditolak yang artinya semua variabel stasioner pada taraf 10 persen, ditunjukkan oleh nilai t-statistik ADF yang lebih
kecil dari nilai kritis MacKinnon.
6.2. Uji Kointegrasi
Tujuan dilakukannya uji kointegrasi yaitu untuk mengetahui ada tidaknya hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel yang diamati. Variabel-
variabel tersebut dikatakan saling terkontegrasi jika ada kombinasi linear diantara variabel-variabel yang tidak stasioner dan residual dari kombinasi tersebut harus
stasioner. Uji kointegrasi Engel-Granger digunakan untuk mengestimasi hubungan jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi, pengeluaran rutin
pemerintah, pengeluaran pembangunan pemerintah, investasi swasta, pekerja, dan inflasi. Hasil uji kointegrasi dapat dilihat pada Tabel 6.3.
Tabel 6.3. Hasil Uji Akar Unit terhadap Residual Persamaan Regresi
Variabel Nilai ADF
t-statistik Nilai Kritis Mackinnon
Ket 1
5 10
U -5,20 -2,65
-1,95 -1,61
Stasioner
Sumber: Lampiran 3a
Berdasarkan Tabel 6.3 dapat dilihat bahwa residual dari persamaan yang digunakan berhasil menolak hipotesis nol atau dengan kata lain uji akar unit pada
residual U bersifat stasioner pada level atau I0, sehingga dapat dikatakan bahwa variabel-variabel yang digunakan cenderung menuju pada keseimbangan jangka
panjang walaupun pada tingkat level terdapat variabel yang tidak stasioner. Hal ini terlihat dari nilai t-statistik ADF yang lebih kecil dari nilai kritis Mackinnon
10 persen. Selain itu, koefisien residual U sebesar – 0,91 semakin menguatkan
bahwa diantara variabel-variabel yang digunakan terdapat kointegrasi Lampiran 3a. Oleh karena terdapat kointegrasi diantara variabel-variabel dalam penelitian,
maka model jangka panjang pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 6.4.
Tabel 6.4. Model Jangka Panjang
Variabel Koefisien Probabilitas
C -22,12 0,00
Pengeluaran Rutin - 2,05
0,02 Pengeluaran Pembangunan
1,32 0,24
Investasi Swasta 0,29
0,49 Pekerja 3,93
0,00 Inflasi -
0,23 0,00
R-squared =
0,86 ProbF-statistic =
0,00
Sumber: Lampiran 3b Ket :
dalam logaritma
Hasil estimasi jangka panjang menunjukkan nilai R-squared sebesar 0,86. Hal ini berarti model pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dapat
dijelaskan oleh variabel pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pembangunan pemerintah, investasi swasta, pekerja, dan inflasi sebesar 86 persen. Sedangkan
sisanya sebesar 14 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Pada persamaan jangka panjang mempunyai probabilitas F-statistik yang lebih kecil
dari taraf yang digunakan yaitu 10 persen, sehingga seluruh variabel eksogen berpengaruh signifikan terhadap variabel endogen secara bersamaan atau serentak.
Berdasarkan model jangka panjang tersebut dapat diketahui bahwa semua variabel penelitian memiliki arah yang benar sesuai dengan hipotesis yang
diajukan. Pada pengujian signifikasi secara statistik t-hitung diperoleh bahwa variabel pengeluaran rutin pemerintah, pekerja, dan inflasi memberikan pengaruh
yang signifikan secara individu terhadap pertumbuhan ekonomi pada taraf 10 persen. Di sisi lain, variabel pengeluaran pembangunan dan investasi swasta tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi baik pada taraf 1 persen, 5 persen maupun 10 persen, tetapi memberikan arah yang sesuai
dengan hipotesis yang telah diajukan. Koefisien pengeluaran rutin pemerintah yang bernilai negatif
menunjukkan bahwa apabila pengeluaran rutin pemerintah meningkat sebesar 1 persen maka akan menurunkan atau menghambat pertumbuhan ekonomi sebesar
2,05 persen. Hal ini dikarenakan pengeluaran rutin pemerintah lebih bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti
pengeluaran untuk pembayaran cicilan dan bunga utang. Dengan meningkatnya pembayaran cicilan dan bunga utang menyebabkan dana yang semula dianggarkan
untuk keperluan investasi domestik digunakan untuk menutupinya, sehingga
investasi domestik menurun. Penurunan investasi tersebut pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kweka dan Morissey 2000, investasi publik pengeluaran pembangunan pemerintah dapat tidak
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi karena adanya ketidakefisienan dalam pelaksanaannya. Dalam penelitian ini diindikasikan bahwa
penyebab tidak signifikannya pengeluaran pembangunan adalah karena terjadi kebocoran dalam APBN, khususnya dalam pembiayaan pembangunan, sehingga
mengakibatkan pengeluaran pembangunan yang dilakukan tidak sebesar nilai dana yang dianggarkan untuk realisasi pembangunan.
Selain itu juga karena pada periode penelitian terjadi guncangan bencana alam yaitu gempa bumi dan gelombang tsunami yang melumpuhkan propinsi
Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara, sehingga diperlukan peran pemerintah yang besar yaitu dengan mengalokasikan anggaran pembangunan
untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi dan untuk membangun daerah tersebut kembali.
Pengeluaran pembangunan pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi pada jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa bila
pengeluaran pembangunan pemerintah meningkat sebesar 1 persen maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1,32 persen. Pengeluaran
pembangunan pemerintah merupakan pengeluaran yang digunakan untuk investasi, salah satunya adalah investasi fisik seperti pembangunan prasarana jalan
dan gedung sekolah. Adanya pembangunan tersebut akan meningkatkan
permintaan agregat akan bahan bangunan dan jasa yang berhubungan dengan konstruksi. Permintaan agregat akan direspon dunia usaha dengan meningkatkan
produksi barang dan jasa. Kemudian peningkatan produksi barang dan jasa tersebut akan meningkatkan output nasional yang selanjutnya akan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Hubungan yang positif antara investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0,29 mengindikasikan bahwa jika investasi swasta meningkat sebesar 1 persen maka akan mengakibatkan peningkatan pada pertumbuhan ekonomi
sebesar 0,29 persen. Namun dalam estimasi jangka panjang investasi swasta tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kondisi perekonomian
Indonesia pada periode penelitian mengalami keterpurukan yaitu karena adanya krisis ekonomi yang kemudian mendorong ketidakstabilan politik dan keamanan.
Semenjak itu iklim investasi menjadi tidak kondusif sehingga para investor terutama investor asing lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya di
Indonesia. Hal ini mengakibatkan investasi yang seharusnya bisa lebih besar terakumulasi menjadi berkurang.
Hubungan yang positif antara investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa adanya peningkatan investasi swasta berarti tersedia
akumulasi modal dalam jumlah yang lebih besar sehingga tersedia dana untuk meningkatkan pembangunan. Selain itu investasi tersebut juga dapat
mempengaruhi kapasitas produksi yang akan mendorong peningkatan produktivitas untuk menghasilkan output sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pekerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 3,93. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan jumlah pekerja sebesar 1
persen maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,93 persen. Semakin meningkatnya jumlah pekerja maka dapat meningkatkan jumlah output
barang dan jasa, dengan asumsi dalam jangka panjang modal adalah fleksibel. Dengan adanya peningkatan output barang dan jasa yang dihasilkan maka output
nasional akan meningkat, dan selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Rata-rata inflasi dari tahun 1975 sampai dengan tahun 2004 adalah 12,20 persen per tahun. Jika inflasi meningkat dari 12,20 persen menjadi 12,32 persen
maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 0,23 persen. Kenaikan inflasi dalam jangka panjang akan menghambat investasi karena mempersulit harapan-
harapan rasional yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi. Inflasi yang tinggi bagi produsen dirasakan sebagai kenaikan harga barang-barang input
produksi. Keterbatasan biaya produksi memaksa produsen mengurangi produksi, dengan kata lain penawaran mengalami penurunan. Penurunan penawaran
mengakibatkan penurunan pada output riil. Selain itu inflasi yang tinggi pada jangka panjang akan menurunkan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya
akan menurunkan daya beli masyarakat. Hal tersebut mencerminkan penurunan kegiatan perekonomian atau dengan kata lain menghambat pertumbuhan ekonomi.
6.3. Pendekatan Koreksi Kesalahan