d Fasilitas, fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi
kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan
tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung sarana dan prasarana maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3 Disposisi
Variabel ketiga yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik menurut Edward III dalam Agustino 2012: 152 adalah disposisi.
Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu
kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk
melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George C.
Edward III, adalah: a
Pengangkatan birokrat, disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi
kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan
pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan.
b Insentif, Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk
mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan
memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para
pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan
menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya
memenuhi kepentingan pribadi self interest atau organisasi.
4 Struktur Birokrasi
Variabel keempat, menurut Edward III dalam Agustino 2012: 153, yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah
struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya
dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi karena
terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menurut adanya kerjasama orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada
kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebagiankan sumberdaya- sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi
sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.
Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur
birokrasiorganisasi ke arah yang lebih baik adalah: melakukan Standar Operating Prosedures SOPs dan melaksanakan Fragmentasi. SOPs adalah suatu kegiatan
rutin yang
memungkinkan para
pegawai atau
para pelaksana
kebijakanadministraturbirokrat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan. Sedangkan pelaksanaan
fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja.
3. Aplikasi Model Implementasi di Dalam Penelitian
Penggunaan model-model tersebut di dalam melakukan analisis terhadap sebuah proses implementasi tergantung kepada kompleksitas permasalahan kebijakan
yang dikaji serta tujuan analisis itu sendiri. Semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin mendalam analisis yang dilakukan, semakin diperlukan
teori atau pedang analisis. Dari model-model implementasi kebijakan yang telah dikemukakan, model
implementasi Sabatier dan Mazmanian fokusnya perlu dikerucutkan menjadi suatu konsep lebih lanjut. Hal ini sejalan dengan pendapat Wahab 2014: 213
yaitu fokus yang ditempatkan kepada tujuan kebijakan jelas dan konsisten, namun masih perlu dikonseptualisasikan lebih lanjut. Meskipun Sabatier dan Mazmanian
mendorong penelitian dalam jangka waktu panjang dan memberikan contoh mengenai proses pembelajaran berorientasi kebijakan oleh para pendukung
kerangka kerja ini, kerangka kerja Sabatier dan Mazmanian tetap tidak bisa memberikan wadah konseptual yang baik untuk melihat perubahan kebijakan
selama periode satu dekade atau lebih. Hal ini terutama disebabkan oleh fokus yang terlalu besar kepada perspektif pendukung program, sehingga mengabaikan
strategi dan pembelajaran aktor-aktor lain.
Sementara itu model bottom up seperti Model Implementasi Smith. Menurut model tersebut, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh perubahan sosial dan
politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat yang dalam hal ini
sebagai target sasaran. Model Smith lebih menitikberatkan kepada idealized policy, target groups, implementing organization dan environmental factors.
Dari paparan model di atas, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa penelitian
ini menggunakan model implementasi kebijakan publik menurut George C. Edward III yang dikenal sebagai model top down. Menurut peneliti model
implementasi yang diutarakan oleh George C Edward III dapat menjawab pertanyaan rumusan masalah mengapa penerapan pengadaan obat dengan
prosedur e-Puchasing berdasarkan e-Catalogue di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Provinsi Lampung belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini
diperkuat menurut Menurut Edward dalam Winarno 2014: 177 dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edward mengajukan dua pertanyaan, yakni: Prakondisi-
prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Lalu hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi
gagal.
D. E-Procurement
Pengadaan barang dan jasa secara elektronik merupakan terobosan yang baik
dalam mencapai tegaknya penyelenggaraan tatanan good governance yakni menjunjung nilai transparan dan akuntabel. Untuk mengetahui e-Procurement
lebih jauh maka penting kita jelaskan terlebih dahulu apa itu e-Procurement. Menurut Siahaya 2012: 80 Pengadaan secara elektronik e-Procurement
merupakan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan jaringan elektronik jaringan internet atau intranet atau electronic data
interchange EDI Menurut Sasongko dalam Karang 2013: 17, pengadaan barangjasa secara
elektronik atau e-procurement adalah pengadaan barang dan jasa yang dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemajuan teknologi informasi lebih mempermudah dan mempercepat proses pengadaan barangjasa, karena penyedia
barangjasa tidak perlu lagi datang ke Kantor Pokja ULP untuk melihat, mendaftar, dan mengikuti proses pelelangan tetapi cukup melakukannya secara
online di website pelelangan secara elektronik. Menurut Siahaya 2012: 80 tujuan e-Procurement yaitu:
1. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
2. Meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha
3. Meningkatkan tingkat efisiensi proses pengadaan
4. Mendukung proses monitoring dan audit
5. Memenuhi kebutuhan akses informasi terkini
Adapun menurut Siahaya 2012: 81 metode-metode pelaksanaan e-procurement yaitu:
1. e-Tendering adalah tata cara pemilihan pemasok yang dilakukan secara
terbuka dan dapat diikuti oleh semua pemasok yang terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik.
2. e-Bidding, merupakan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dengan cara
penyampaian informasi danatau data pengadaan dari penyedia barang dan jasa, dimulai dari pengumuman sampai dengan pengumuman hasil
pengadaan, dilakukan melalui media elektroni antara lain menggunakan media internet, intranet danatau elektronic data interchange EDI
3. e-Catalogue adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis,
spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia barang dan jasa.
4. e-Purchasing adalah tata cara pembelian barang dan jasa melalui sarana e-
Catalogue.
E. Kerangka Pikir
Permenkes nomor 63 tahun 2014 merupakan peraturan menteri kesehatan tentang
pengadaan obat berdasarkan katalog elektronik e-Catalogue. Peraturan menteri kesehatan ini menghimbau kepada seluruh satuan kerja di bidang kesehatan baik
pusat maupun daerah dan fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun tingkat lanjutan agar pengadaan obat dilaksanakan berdasarkan katalog elektronik e-
Catalogue obat dengan menggunakan metode pembelian secara elektronik e- Purchasing. Peraturan pengadaan obat berdasarkan katalog elektronik e-