penghianatannyaitu punya kekuatan moral dan hukum.tapi, disitulah masalahnya: kau mau melegalkan dan membenarkan penghianatan?” …
“Disitulah aku merasa, orang yang berpoligami dengan alasan agar tidak berdosa – ya, agar perbuatannya sah – justru menunjukan derajat
keserakahan. Ia mau kenikmatan, mau menyakiti istri pertamanya, sekaligus mau lepas dari beban moral dan dosa”. hal.77
Kutipan-kutipan diatas menunjukkan bahwa banyak sekali hal yang sering terjadi di masyarakat yang merugikan perempuan. Mungkin upacara adat adalah
bagian dari budaya Indonesia, tapi poligami jelas bukan. Dan masa sekarang ini banyak sekali para istri yang menjadi korban poligami, karena adanya asumsi
gender bahwa istri harus tunduk kepada suami sekalipun diperlakukan tidak adil. Hal ini lah yang sangat bertentangan dengan konsep hidup A. Baginya orang-
orang yang berpoligai saat ini bukan lagi orang-orang suciyang melakukannya untuk tujuan baik membantu orang, melainkan semata-mata demi sebuah
kepuasan dan melegalkan sebuah penghianatan.
4.2.3 Stereotipe
Tokoh A juga merupakan sosok yang tidak mau di streotipekan. Menurut Fakih 2014:14, stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu
kelompok tertentu. Biasanya stereotipe berakibat pada ketidakadilan sehinga dinamakan pelabelan negatif. Salah satu jenis stereotipe adalah bersumber dari
pandangan gender yang mensubordinasikan kaum perempuan. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang
bersumber dari penandaan stereotipe yang dilekatkan pada mereka.
Salah satu stereotipe itu adalah pelabelan bahwa perempuan hanya sebagai obyek seksual. Stereotipe tersebut telah menyebabkan terjadinya kekerasan fisik,
psikis, dan sesksual kepada perempuan karena perempuan tidak dianggap sebagai manusia yang memiliki hak atas tubuh mereka. Adakalanya perempuan juga
dianggap godaan, dan dihargai hanya berdasarkan utuh tidaknya selaput darah mereka saat menikah nanti.Pelabelan tentang keperawanan membuat perempuan
terdiskriminasi. Hali ini terlihat dalam kutipan novel Pengakuan Eks Parasit Lajang berikut ini:
“Pada masa itu perempuan masih hidup dengan ditakut-takuti. Perempuan harus menjaga selaput daranya sampai malam pertama pernikahan. Seorang
gadis yang tidak perawan layaklah dicampakkan oleh suaminya.Dan peristiwa semacam itu memang masih ada terjadi.ditelevisi kulihat berita tentang
penyanyi gendut FH yang menceraikan istrinya dengan alasan sudah tidak perawan lagi.” hal.33
“ibuku pernah berkata bahwa perempuan itu seperti porselen. Jika sudah pecah, jadi tidak berharga.Ia bilang begitu bukan dengan nada menggurui,
tapi lebih dengan nada muram dan tak berdaya.”…
“Kulihat di televisi ia berkhotbah di hadapan para remaja putri.Ia berkata, selaput dara ibarat segel dari Allah. Kita saja tidak mau menerima botol air
mineral atau softdrink yanng segelnya sudah rusak, padahal itu hanya segel dari pabrik.” hal.34
Kutipan tersebut menunjukkan betapa masih terdapat stereotipe dalam masyarakat, yang melabeli bahwa perempua harus perawan agar dapat diterima
calon suami, agar dianggap bermoral dan berbudi baik.Padahal robeknya selaput dara tidak hanya karena adanya aktivitas coitus interruptus.Selaput dara juga bisa
sobek jika si anak perempuan melakukan gerakan senam tertentu, bersepeda, atau terjatuh. Bahkan tidak selamanya selaput dara akan mengeluarkan darah saat
melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya. Jadi layaklah jika dikatakan masih banyak stereotipe terhadap perempuan terjadi ditengah masyarakat.
“Aku tidak mau menerima nilai-nilai yang menurutku tidak adil.Tak ada yang bisa menjawabku dimana letak keadilan dalam hal memuliakan dan menuntut
keperawanan wanita.Karena itu pelan-pelan aku mencoret ayat ini dalam tata moralitasku sendiri.Untunglah agama tidak pernah menjadikan keperawanan
sebagai syarat perkawinan pertama.” hal. 35
“Pada masa itu perempuan masih hidup dengan ditakut-takuti.Tapi aku sedang menyusun sistem nilaiku sendiri.” hal. 36
Kutipan diatas menunjukkan sikap feminisme tokoh A, yang menolak sistem nilai yang menurutnya mendiskriminasikan perempuan. A menyusun nilai-nilai
moralitasnya sendiri,A tidak bisa menerima sistem yang menurutnya tidak adil dan merugikan perempuan.
“Tahu tidak, Bibi, kenapa aku sampai memutuskan untuk idak mau menikah? Itu karena Bibi Betul-betul karena Bibi. Bibi terlalu mengagung-agaungkan
perkawinan. Seolah-olah kalau tidak kawin, perempuan itu tidak sempurna. Seolah-olah tanpa suami, hidup perempuan itu hampa. Padahal bekerja dan
mandiri, tapi bibi tidak menghargai itu. Karena pandanan seperti itulah banyak perempuan jadi perawan tuayang dengki. Gara-gara Bibi, aku
memutuskan untuk menunjukan bahwa tidak sebegitunya perempuan butuh suami. Ya, sejujurnya , Bibilah yang membikin aku tidak mau kawin”
hal.268
Kutipan diatas menunjukkan alasan terbesar A kenapa ia tidak mau menikah. A ingin menunjukkan kepada Bibinya yang terlalu mengagung-agungkan
perkawinan, dan kepada perempuan disekitarnya, bahwa tidak ada yang buruk dengan tidak menikah atau menjadi perawan tua, itu semua hanya pelabelan dari
masyarakat bahwa perempuan yang tidak menikah adalah perempuan malang
yang hidupnya pasti tidak bahagia,itulah salah satu misi A ia ingin membuka mata masyarakat bahwa perempuan punya pilihan sendiri, dan tidak ada yang salah dari
tidak menikah.
4.2.4 Kekerasan