2.2.1.4 Langkah-Langkah Metode Pembelajaran Role Playing
Metode role playing memiliki sembilan yang harus ditempuh untuk diterapkan yaitu pemanasan suasana kelompok, seleksi partisipan, pengaturan
setting, persiapan pemilihan siswa sebagai pengamat, pemeranan, diskusi dan evaluasi, pemeranan kembali kemudian sharing dan generalisasi Huda,
2013:116-117 yang secara rinci dipaparkan sebagai berikut: 1
Pemanasan Suasana Kelompok Pada tahap ini, guru mengidentifikasi, menjelaskan, menafsirkan
masalah yang dirumuskan dalam suatu tema materi tertentu tertentu. Kemudian guru menjelaskan tentang metode yang akan digunakan adalah
role playing bermain peran. 2
Seleksi Partisipan Guru terlebih dahulu menganalisis peran, kemudian guru memilih
pemain siswa yang akan berperan. Oleh karenanya guru harus memperhatikan kemampuan siswa yang beragam.
3 Pengaturan Setting
Guru mengatur sesi-sesi peran, guru menegaskan kembali tentang peran, kemudian guru dan siswa mendekati situasi yang bermasalah.
4 Persiapan Pemilihan Siswa sebagai Pengamat
Guru dan siswa memutuskan yang akan dibahas, guru memberi tugas pengamatan terhadap salah seorang siswa.
5 Pemeranan
Guru dan siswa memulai, mengukuhkan, dan menyudahi role playing. 6
Diskusi dan Evaluasi Guru dan siswa menilai pemeran kejadian, posisi, kenyataan, guru dan
siswa mendiskusikan, dan mengembangkan pemeranan selanjutnya. 7
Pemeranan Kembali Siswa dibimbing guru memerankan perannya kembali dengan bekal
komentar dari kelompok pengamat. 8
Diskusi dan Evaluasi Dilakukan sebagaimana pada tahap 6.
9 Sharing dan Generalisasi Pengalaman
Guru dan siswa menghubungkan situasi yang diperankan dengan kehidupan di dunia nyata dan masalah-masalah lain yang mungkin muncul,
guru menjelaskan prinsip umum dalam tingkah laku.
2.3 Pembelajaran Sastra di Jenjang SMA
Karakter siswa dapat dikembangkan melalui pembelajaran sastra. Dalam pembelajaran sastra, pemilihan bahan ajar harus disesuaikan dengan kemampuan
siswa pada suatu tahap pembelajaran. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat yaitu: membantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta rasa, dan menunjang pembentukan watak Rahmanto, 1988: 15. Pengajaran sastra
akan membantu generasi bangsa mengenali masalah-masalah di masyarakat pada suatu periode yang ditafsirkan dalam karya sastra. Apabila karya sastra dianggap
tidak berguna, tidak bermanfaat lagi untuk menafsirkan dan memahami masalah- masalah dunia nyata maka tentu saja pengajaran sastra itu mempunyai relevansi
dengan masalah-masalah nyata, maka pembelajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting dan menduduki tempat yang selayaknya Rahmanto, 1988: 16.
Pengajaran sastra menjadi solusi pemecahan masalah di masyarakat, asalkan pengajaran sastra tersebut dilakukan dengan tepat. Ada tiga aspek yang perlu
dipertimbangkan dalam memilih bahan pengajaran yang tepat yaitu pertama dari sudut bahasa, kedua dari sudut kematangan jiwa psikologi, dan yang ketiga dari
sudut latar belakang budaya para siswa Rahmanto, 1988: 27-33.
2.4 Unsur-Unsur Intrinsik Novel
Suatu karya sastra dibangun oleh unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun suatu karya sastra itu sendiri. Unsur-
unsur inilah yang akan dijumpai jika seseorang membaca karya sastra. Dalam novel, unsur intrinsik menjadi unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun
cerita. Unsur intrinsik yang padu akan memberikan identitas bagi sebuah novel. Unsur-unsur yang termasuk intrinsik adalah, plot, penokohan, tema, latar, sudut
pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan unsur moral yang terdapat dalam fiksi Nurgiyantoro, 2015: 30. Berikut ini peneliti hanya ingin menganalisis unsur
tokoh dan penokohan. 2.4.1
Unsur Tokoh Tokoh cerita adalah orang yang mengambil bagian dan mengalami peristiwa-
peristiwa atau sebagian dari peristiwa-peristiwa yang digambarkan di dalam plot. Berdasarkan pembangunan konflik cerita, terdapat tokoh protagonis dan tokoh
antagonis Waluyo, 1994:167. Waluyo melanjutkan, tokoh protagonis adalah tokoh sentral atau tokoh yang mendukung jalannya cerita, sedangkan tokoh
antagonis adalah konflik dengan tokoh protagonis 1994:168. Tokoh pertama- tama dicirikan oleh cara mereka memandang hal ihwal sekitar mereka. Tokoh
dapat dilihat dari isi cerita dan perkembangan ceritanya, dengan hal tersebut gambaran tentang tokoh dapat dianalisis Luxemburg: 137-138.
Tokoh dianalisis dengan mengikuti keseluruhan ceritanya. Menurut Nurgiyantoro 2015: 258 berdasarkan peranan dan tingkat pentingnya, tokoh terdiri atas tokoh
utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalan novel yang
bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan kejadiannya
lebih sedikit dibandingkan tokoh utama. Kejadiannya hanya ada jika berkaitan dengan tokoh utama secara langsung. Tokoh utama dapat saja hadir dalam setiap
kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan, tetapi tokoh utama juga bisa tidak muncul dalam setiap kejadian atau tidak
langsung ditunjuk dalam setiap bab, namun ternyata dalam kejadian atau bab tersebut tetap erat kaitannya, atau dapat dikaitkan dengan tokoh utama.
Penentuan tokoh utama dalam sebuah cerita dapat dilakukan dengan cara yaitu tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema, tokoh itu yang paling
banyak berhubungan dengan tokoh lain, tokoh itu yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Pembaca dapat menentukan tokoh utama dengan jalan melihat
frekuensi kemunculan tokoh dalam suatu cerita, selain lewat memahami peranan dan frekuensi kemunculan tokoh, dalam menentukan tokoh utama dapat juga
melalui petunjuk yang diberikan oleh pengarangnya. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya.
Judul cerita dapat mencerminkan tokoh utamanya Aminudin, 2002: 80. Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seorang, walau kadar
keutamaannya tidak selalu sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara
keseluruhan. 2.4.2
Unsur Penokohan Penokohan ialah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita Jones melalui Nurgiyantoro, 2015: 247. Cara sastrawan menggambarkan atau memunculkan tokohnya dapat menempuh
berbagai cara Boulton dalam Aminuddin, 1984: 85. Sastrawan menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki
semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya atau pelaku egois,
kacau, dan mementingkan diri sendiri. Pelaku dalam cerita fiksi dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya
kancil, kucing, kaset, dan sepatu. Menurut Sudjiman 1988: 22 watak adalah kualitas nalar dan jiwa tokoh yang membedakannya dengan tokoh lain. Baribin
1989: 57 menyatakan bahwa ada dua cara penggambaran perwatakan dalam prosa fiksi yaitu:
1 Metode analitik cara singkap: pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh. Pengarang langsung menyebutkan bahwa tokoh
tersebut, misalnya keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya 2 Metode dramatik cara lukis : Penggambaran watak tokoh yang tidak
dicerminkan secara langsung tetapi disampaikan melalui pilihan nama tokoh misalnya nama semacam Ijah untuk menyebut pembantu dan nama Laura
untuk anak gadis putri majikan, penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh lain dan lingkungannya, dan melalui
dialog yaitu dialog tokoh yang bersangkutan atau interaksi dengan tokoh lain. Berdasarkan uraian di atas penokohan atau perwatakan tokoh dalam cerita
dapat digambarkan secara langsung dan tidak langsung.
2.5 Hakikat Novel
Secara etimologis, kata novel berasal dari bahasa Latin novellas, yang terbentuk dari kata novus yang berarti baru. Novel merupakan karya sastra yang berasal dari
karya sastra lain, yakni puisi dan drama. Adapun beberapa pandangan ahli mengenai hakikat novel. Menurut Wellek dan Warren dalam Wahyuningtyas 2010: 47, novel
menyajikan kehidupan itu sendiri, sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial. Walaupun karya sastra juga meniru alam dan kehidupan subjektivitas manusia. Novel
adalah produk masyarakat Sumardjo dalam Wahyuningtyas 2010: 47. Novel tercipta oleh dorongan-dorongan yang terdapat dalam masyarakat, yaitu dorongan
rasional maupun emosional.