rendah kemungkinan mengalami kecemasan sosial dibandingkan dengan orang yang memiliki harga diri tinggi.
6. Kemampuan Sosial Social Skill
Kemampuan sosial merupakan sesuatu yang sering dipelajari di kehidupan sehari-hari. Leary 1983 menyatakan bahwa alasan individu untuk tidak
melakukan proses belajar sosial karena melakukan interaksi seperti pertemuan sosial adalah sesuatu yang tidak menguntungkan dan
berpendapat bahwa individu-individu lainnya menggangap dirinya tidak memiliki kemampuan sosial.
5. Aspek-aspek kecemasan Sosial :
La Greca dan Lopez Olivarez, 2005 mengemukakan tiga aspek kecemasan sosial :
a. Ketakutan akan evaluasi negatif.
Nevid dkk 2003 mengatakan bahwa ketakutan evaluasi negatif seperti khawatir untuk melakukan atau mengatakan sesuatu yang memalukan atau
membuat dirinya merasa hina. Merasa bahwa evaluasi orang lain sedang memeriksa dengan teliti setiap gerak yang dilakukan. Individu juga
cenderung fokus terhadap dirinya sendiri dan mengkoreksi kemampuan sosial yang dimilikinya serta terbawa dalam mengevaluasi kemampuan
dirinya sendiri pada saat berinteraksi dengan orang lain. Puklek dan Videc 2008 menambahkan bahwa kekhawatiran terhadap evaluasi negatif dari
orang lain atau kelompok pada saat ia melakukan pidato di depan umum. Hal ini merupakan salah satu aspek kognitif dari kecemasan sosial.
b. Penghindaran sosial dan rasa tertekan dalam situasi yang baru atau dengan
orang yang tidak dikenal. La Greeca dalam Olivers 2005 mengatakan bahwa penghindaran sosial
dan rasa tertekan dalam situasi baru adalah pada saat individu merasa gugup saat berbicara dan tidak mengerti mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Merasa malu pada saat dekat dengan orang lain, gugup pada saat bertemu dengan orang yang baru dikenal maupun yang sudah dikenal. Merasa
khawatir saat mengerjakan sesuatu yang baru di depan orang lain, sehingga pada saat individu merasakan hal tersebut, yang dapat dilakukan
adalah dengan menghindari kontak mata dan situasi sosial. Beidel 2015 menyatakan bahwa penghindaran sosial dan rasa tertekan dalam situasi
yang baru merupakan salah satu aspek perilaku dari kecemasan sosial. c.
Penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami secara umum atau dengan orang yang baru dikenal.
La Greeca dalam Olivers 2005 menyatakan bahwa penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami secara umum dengan orang yang baru
dikenal seperti melihat bagaimana kemampuan individu dalam membangun relasi. Individu merasa tidak nyaman mengajak orang lain
karena takut terhadap penolakan, merasa kesulitan bertanya kepada orang lain, merasa malu ketika ada pekerjaan kelompok. Hal tersebut
membentuk kecemasan sosial, Beidel 2005 menyatakan bahwa hal ini termasuk dalam aspek psikologis.
Uraian di atas menyimpulkan bahwa faktor kecemasan sosial terbentuk dari ketakutan akan evaluasi negatif aspek kognitif,
penghindaran sosial dan rasa tertekan dalam situasi yang baru aspek perilaku dan penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami secara
umum dengan orang yang baru dikenal aspek psikologis.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Remaja pada merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun, atau seseorang yang menunjukkan tingkah
laku seperti susah diatur, dan sebagainya Sarwono, 2007. Berkaitan dengan sosial, remaja juga membutuhkan proses pencapaian kematangan dalam
hubungan sosialnya. Yusuf 2001 mengungkapkan bahwa perkembangan sosial pada remaja adalah proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma
kelompok, tradisi, moral dan agama. Uraian di atas menyimpulkan bahwa remaja adalah individu yang sedang
berada pada masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perkembangan pada aspek fisik, psikis, ekonomi dan sosial,
yang mana dalam masa perkembangan sosialnya, remaja dituntut untuk menyesuiakan diri dengan lingkungan, kelompok, norma-norma, dan tradisi.
Fase masa remaja berkisar pada usia 13-22 tahun Steinberg, 2002, sedangkan menurut Yusuf 2004 mengatakan bahwa fase-fase perkembangan
usia remaja berlangsung pada usia 12-18 tahun. Berdasarkan uraian para peneliti tentang batasan usia remaja, maka dapat disimpulkan bahwa batasan rentang usia
pada remaja adalah berlangsung pada usia 12-13 sampai 18-22 tahun.
2. Perkembangan Psikososial Pada Remaja
Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri
dengan lawan jenis dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga, Nurihsan dan Agustin 2011.
Nurihsan dan Agustin 2011 menegaskan, untuk mencapai tujuan remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Hal yang tersulit adalah penyesuaian
diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok,
maka pengaruh teman-teman sebaya berperan lebih besar pada diri remaja. Pengaruh tersebut dapat dilihat pada perubahan perilaku sosial, pengelompok
sosial yang baru dan penolakan sosial. Penolakan sosial dapat dihubungkan dengan ketidakpouleran seorang remaja dalam lingkungan sosial. Steinberg
2002 menegatakan remaja yang tidak populer akan cenderung untuk menarik diri, pemalu, penakut, dan lebih cenderung menjadi target dalam kasus bullying.
Steinberg 2002 menunjukkan bahwa penting untuk mengetahui 2 tipe
remaja yang tidak populer atau tidak disukai :
a. Remaja yang tidak populer menarik diri, pemalu, penakut dan lebih
cenderung untuk menjadi korban bullying. b.
Remaja yang tidak populer menghindar dan menarik diri, mereka cenderung gugup menjalin relasi dengan remaja lainnya, oleh sebab itu,
remaja yang menarik diri dapat menjadi korban bullying.
D. Bullying
1. Pengertian Bullying
Santrock 2007 mengatakan bahwa bullying adalah perilaku verbal dan fisik yang dimaksudkan untuk menggangu seseorang yang lebih lemah. Hal ini
senada dengan pernyataan Wicaksana 2008 menyatakan bahwa bullying adalah kekerasan fisik dan psikologis jangka panjang yang dilakukan seseorang atau
kelompok, terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi dimana ada hasrat untuk melukai atau menakuti serta membuat korban
tertekan. Bullying adalah sebuah situasi di mana penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang SEJIWA,
2008. Beberapa penjelasan di atas tentang pengertian bullying menyimpulkan
bahwa bullying adalah perilaku verbal, fisik, psikologis, penyalahgunaan kekuatan, yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang secara intens dan
disengaja yang tujuannya dimaksudkan untuk mengganggu, menakuti, dan membuat orang lain tertekan.
2. Jenis-jenis Bullying
Beberapa jenis dan wujud bullying, adalah SEJIWA, 2008 :
a. Bullying fisik adalah jenis bullying yang bias dilihat karena terjadi
sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya, contoh dari bullying fisik seperti menampar, menimpuk, menginjak kaki,
menimpuk, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan berlari keliling lapangan atau push up, dan
menolak b.
Bullying verbal adalah jenis bullying yang bisa dideteksi karena dapat ditangkap melalui indra pendengaran kita. Contoh dari bullying verbal
adalah memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menebar gosip, memfitnah, dan
menolak. c.
Bullying psikologis adalah jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap oleh mata atau telinga. Sebagai contoh seperti
mencibir, mengucilkan, memandang sinis, melototi, memandang penuh ancaman dan mendiamkan.
Uraian di atas menyimpulkan bahwa bullying menyebabkan berbagai konsekuensi negatif, baik bagi pelaku maupun korban. Pelaku
akan selalu merasa menang dan berkuasa diantara kalangan sebaya sedangkan remaja merasa bahwa ia tidak popular, cenderung menarik
diri dan menjadi korban bullying, maka ia cenderung menutup diri, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menghindar, dan cemas pada situasi sosial. Davidson, Neale, dan Kring 2006 mengatakan kecemasan sosial dapat terjadi atau muncul pada
saat masa remaja, yaitu saat munculnya kesadaran sosial dan interaksi dengan orang lain menjadi sangat penting dalam kehidupan masa
remaja.
3. Remaja korban Bullying
Remaja korban bullying adalah individu yang mengalami penindasan, pengucilan, dan penolakan teman sebaya serta lingkungan sosial. SEJIWA 2008
menyatakan remaja korban bullying kemungkinan memiliki kepercayaan bahwa hinaan dan cercaan memang patut diterima, karena merasa buruk rupa, tidak
pandai, atau populer. Beberapa ciri yang dijadikan korban bullying, yaitu bertubuh kecil, lemah,
sulit bergaul, kurang percaya diri, canggung sering salah bicara atau bertindak, memiliki aksen bahasa yang berbeda, menyebalkan, tidak berparas tampan atau
cantik, miskin, kurang pandai dan anak yang gagap.
E. Pengaruh Harga Diri terhadap Kecemasan Sosial pada Remaja Korban
Bullying
Remaja korban bullying memiliki kebutuhan pada harga diri yang tinggi, karena mampu menghasilkan rasa percaya diri, menghargai diri sendiri dan
terlihat kuat. Apabila kebutuhan untuk keperluan harga diri tersebut tidak terpenuhi pada remaja korban bullying, maka memicu rasa rendah diri, tidak
berharga, dan memiliki mental yang lemah. Situasi tersebut bisa dialami pada PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
remaja korban bullying, karena kondisi yang dialami remaja saat menjadi korban menurut SEJIWA 2008 adalah gelisah, takut, menjadi pendiam, menyendiri,
harga diri rendah dan cemas. Kecemasan sosial berawal dari rasa cemas pada saat berada dalam situasi
sosial. Davidson, Neale, dan Kring 2006 mengatakan bahwa kecemasan sosial muncul pada saat masa remaja, yaitu saat munculnya kesadaran sosial dan
interaksi dengan orang lain menjadi sangat penting dalam kehidupan remaja. Dayakisni dan Hudaniah 2009 mengatakan bahwa kecemasan sosial adalah
perasaan tidak nyaman dengan kehadiran orang lain, yang disertai oleh perasaan malu, kekakuan, hambatan dan kecenderungan untuk menghindari interaksi
sosial. Kernis 2006 menambahkan bahwa harga diri yang sehat mampu
mengevaluasi secara positif dan percaya diri terhadap dirinya sendiri. Coopersmith dalam Trisakti dan Astuti, 2014 mengatakan bahwa individu
dengan harga diri tinggi cenderung percaya bahwa ia mampu, berarti, berharga, adanya penerimaan, kepedulian, dan rasa kasih sayang yang diterima dari
individu yang lain. Sebaliknya individu dengan harga diri rendah cenderung merasa tidak
berharga dan menilai dirinya secara negatif. Sarwono dan Meinarno 2009 mengatakan bahwa individu merasa mengalami keterbatasan, merasa tidak
nyaman, memiliki rasa takut, dan mengevaluasi diri secara negatif. Coopersmith dalam Pambhudi, Suroso, dan Meiyuntariningsih, 2015 menambahkan bahwa